Makalah Tarikh Tasyri' pada Masa Reformasi
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015


Makalah Tasyri' pada Masa Reformasi



KATA  PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penyusun ucapkan kehadirat  Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul "Tasyri’ di Indonesia Pada Masa Reformasi" tepat pada waktunya. Dan tidak lupa pula kita sanjung pujikan kepada Nabi Besar Muhamad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita ke alam yang terang benderang ini.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Terima kasih yang sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Makalah ini. Wassalam.


Sigli, 4 November 2014
Pemakalah


KELOMPOK 11

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR............................................................................................             i
DAFTAR ISI............................................................................................................             ii

BAB I        PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...................................................................................            1
B.    Rumusan Masalah..............................................................................             1
C.    Tujuan penulisan................................................................................             1

BAB II       PEMBAHASAN
A.    Kondisi sosial politik.........................................................................            2
B.     Pembaharuan hokum zakat ...............................................................             5
C.     Pembaharuan hokum wakaf...............................................................             8

BAB III    PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................             13

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................            14








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas dalam tataran dunia Islam internasional, bahkan disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Meskipun demikian Islam dengan serangkaian varian hukumnya belum bisa diterapkan sepenuhnya dinegara kita ini.
Dengan mempelajari sejarah perkembangan hukum Islam -dinegara yang dikatakan penduduknya mayoritas beragama Islam- dari berbagai periode sampai masa sekarang ini, dengan harapan dapat kita jadikan acuan dalam memperjuangkan hukum Allah dibumi kita tercinta ini. Karena kita tahu -diakui ataupun tidak- hukum Allah lah sebaik-baiknya hukum yang ada.
Selain itu perlu kita cermati pen-tasyri'-an dan taqnin penerapan fikih -yang akhir-akhir ini lebih cenderung diartikan sebagai hukum Islam- dizaman kita ini, baik dari segi pelaksaannya oleh warga negara serta pengakuan negara melalui kodifikasi hukum Islam sebagai hukum resmi negera. Setelah itu baru kemudian beranjak kepada pemahaman konsep reformasi hukum Islam dan gagasan para tokoh-tokoh Islam dinegara ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kondisi politik pada masa reformasi ?
2.      Jelaskan pembaharuan hokum zakat !
3.      Bagaimana pembaharuan hokum wakaf ?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah agar kami dan semua mahasisswa mampu memahami tentang  tasyri’ di Indonesia pada masa reformasi.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kondisi Sosial Politik
Pada era reformasi, konflik yang terjadi di masyarakat makin mudah terjadi dan sering kali bersifat etnis di berbagai daerah. Kondisi sosial masyarakat yang kacau akibat lemahnya hukum dan perekonomian yang tidak segera kunjung membaik menyebabkan sering terjadi gesekan-gesekan dalam masyarakat. Beberapa konflik sosial yang terjadi pada era reformasi berlangsung di beberapa wilayah, antara lain sebagai berikut.
1.      Kalimantan Barat
Konflik sosial yang terjadi di Kalimantan Barat melibatkan etnik Melayu, Dayak, dan Madura. Kejadian bermula dari tertangkapnya seorang pencuri di Desa Parisetia, Kecamatan Jawai, Sambas, Kalimantan Barat yang kemudian dihakimi hingga tewas pada tanggal 19 Januari 1999. Kebetulan pencuri tersebut beretnis Madura, sedangkan penduduk Parisetia beretnis Dayak dan Melayu. Entah isu apa yang beredar di masyarakat menyebabkan penduduk Desa Sarimakmur yang kebanyakan dihuni etnis Madura melakukan aksi balas dendam dengan menyerang dan merusak segala sesuatu di Desa Parisetia. 
Akibatnya, terjadi aksi saling balas dendam antaretnis tersebut dan menjalar ke berbagai daerah di Kalimantan Barat. Pemerintah berusaha mendamaikan konflik tersebut dengan mengajak tokoh masyarakat dari masing-masing etnis yang ada untuk membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat. Dengan wadah tersebut segala permasalahan dicoba diselesaikan secara damai.

2.      Kalimantan Tengah
Konflik sosial di Kalimantan Barat ternyata terjadi juga di Kalimantan Tengah. Pada tanggal 18 Februari 2001 pecah konflik antara etnis Madura dan Dayak. Konflik itu diawali dengan terjadinya pertikaian perorangan antaretnis di Kalimantan Tengah. Ribuan rumah dan ratusan nyawa melayang sia-sia akibat pertikaian antaretnis tersebut. Sebagian pengungsi dari etnis Madura yang diangkut dari Sampit untuk kembali ke kampung halamannya di Madura ternyata juga menimbulkan masalah di kemudian hari. Kondisi Pulau Madura yang kurang menguntungkan menyebabkan sebagian warganya menolak kedatangan para pengungsi itu. Sampai sekarang pun pengungsi Sampit masih menjadi masalah pemerintah.
3.      Sulawesi Tengah
Konflik sosial di Sulawesi Tengah tepatnya di daerah Poso berkembang menjadi konflik antaragama. Kejadian bermula dipicu oleh perkelahian antara Roy Luntu Bisalembah (Kristen) yang kebetulan sedang mabuk dengan Ahmad Ridwan (Islam) di dekat Masjid Darussalam pada tanggal 26 Desember 1998. Entah isu apa yang berkembang di masyarakat perkelahian dua orang berbeda agama itu berkembang menjadi ketegangan antaragama di Poso, Sulawesi Tengah.
Konflik tersebut juga menyebabkan ratusan rumah dan tempat ibadah hancur. Puluhan, bahkan ratusan nyawa melayang akibat konflik tersebut. Konflik sempat mereda, tetapi masuknya beberapa orang asing ke daerah konflik tersebut menyebabkan ketegangan dan kerusuhan terjadi lagi. Beberapa dialog digelar untuk meredakan konflik tersebut, seperti pertemuan Malino yang dilakukan pada tanggal 19–20 Desember 2001.

4.      Maluku
Konflik sosial yang dipicu oleh konflik agama juga terjadi di Maluku. Kejadian diawali dengan bentrokan antara warga Batumerah, Ambon, dan sopir angkutan kota pada tanggal 19 Januari 1999. Namun, seperti konflik yang terjadi di wilayah Indonesia lainnya, tanpa tahu isu apa yang beredar di masyarakat, terjadi ketegangan antarwarga. Puncaknya terjadi kerusuhan massa dengan disertai pembakaran Masjid Al-Falah. 
Warga Islam yang tidak terima segera membalas dengan pembakaran dan perusakan gereja. Konflik meluas menjadi antaragama. Namun, anehnya konflik yang semula antaragama berkembang menjadi gerakan separatis. Sebagian warga Maluku pada tanggal 25 April 2002 membentuk Front Kedaulatan Maluku dan mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan (RMS) di beberapa tempat. Upaya menurunkan bendera tersebut menimbulkan korban. Mereka gigih mempertahankannya. Sampai sekarang konflik Maluku itu belum dapat diatasi dengan tuntas.
Dari beberapa kejadian itu terlihat betapa di era reformasi terjadi pergeseran pelaku kekerasan. Di era orde baru, kekerasan lebih banyak dilakukan oleh oknum ABRI daripada warga sipil.  Namun, pada era reformasi kekerasan justru diperlihatkan oleh sesama warga sipil. Masyarakat makin beringas dan hukum seperti tidak ada. Banyak kejadian kriminal yang pelakunya tertangkap basah langsung dihakimi bahkan sampai meninggal oleh masyarakat. Kinerja para penegak hukum sepertinya sudah tidak dapat dipercaya lagi. Masyarakat sudah muak melihat berbagai kasus besar yang melibatkan pejabat negara dan oknum militer tidak tertangani sampai tuntas meskipun mereka dinyatakan bersalah.
Sedangkan mengenai masalah ekonomi, selama masa tiga bulan kekuasaan pemerintah B.J. Habibie, ekonomi Indonesia belum mengalami perubahan yang berarti. Enam dari tujuh bank yang telah dibekukan dan dilikuidasi pemerintah pada bulan Agustus 1998. Nilai rupiah terhadap mata uang asing masih tetap lemah di atas Rp10.000,00 per dolar Amerika Serikat. Persediaan sembilan bahan pokok di pasaran juga makin berkurang dan harganya meningkat cepat.
Misalnya, pada bulan Mei 1998, harga satu kilogram beras rata-rata Rp1.000,00, namun harga tersebut sempat naik menjadi di atas Rp3.000,00 per kilogram pada bulan Agustus 1998. Antrian panjang masyarakat membeli beras dan minyak goreng mulai terlihat di berbagai tempat. Oleh karena keadaan ekonomi yang parah menyebabkan rakyat Indonesia melakukan segala tindakan untuk sekadar dapat mencukupi kebutuhan. 
Penjarahan adalah pemandangan biasa yang dijumpai pada awal-awal pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Penjarahan mereka lakukan terhadap tempat-tempat yang dapat membantu kelangsungan hidup. Kayu-kayu di hutan lindung mereka tebangi, tambak udang dan ikan bandeng yang siap panen mereka sikat, lahan-lahan tidur milik orang kaya terutama mantan para penguasa orde baru mereka tempati. Mereka dengan mengatasnamakan rakyat kecil atau wong cilik melakukan tindakan itu semua. Pemerintah yang tidak berwibawa tidak mampu mengatasi semua itu. Aparat penegak hukum pun tidak berkutik dibuatnya.
Pemerintah Indonesia pun sebenarnya berusaha memulihkan keadaan ekonomi nasional dengan menjalin kerja sama dengan Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, kebijaksanaan ekonomi pemerintah Indonesia atas saran dua lembaga keuangan dunia malah memperburuk situasi ekonomi nasional. Dua lembaga keuangan dunia itu menyarankan agar subsidi pemerintah untuk listrik, BBM, dan telepon dicabut.
Akibatnya, terjadi kenaikan biaya pada ketiga sektor tersebut sehingga rakyat makin terjepit. Atas desakan rakyat Indonesia, akhirnya pemerintah memutuskan hubungan dengan dua lembaga keuangan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri. Para pemilik bank (bankir) di Indonesia juga ikut memperburuk keadaan dengan membawa lari dana penyehatan bank (dana BLBI) yang mereka terima. Maksud pemerintah sebenarnya baik, yaitu ikut membantu menyehatkan bank akibat krisis keuangan yang menimpa. Akan tetapi, mental mereka memang sudah rusak sehingga dana itu malah dipakai untuk hal lain sehingga mereka tidak bisa mengembalikan.
Sungguhpun begitu, pemerintah tetap berusaha memulihkan keadaan ekonomi Indonesia. Segala cara dilakukan agar rakyat segera terlepas dari krisis ini. Partisipasi dari setiap warga negara sangat diharapkan untuk dapat segera memulihkan keadaan mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai Pembukaan UUD 1945.

B.     Pembaharuan Hukum Zakat
Mengingat undang-undang yang ada sebelumnya dirasa tidak cukup untuk mengakomodir perkembangan potensi zakat di Indonesia, maka Komisi VIII DPR RI merumuskan undang-undang tentang pengelolaan zakat yang baru. Namun, sejak Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 yang sebelumnya telah ada mengatur tentang Pengelolaan Zakat, kemudian disusul oleh undang-undang baru yang telah sah diresmikan pada tanggal 20 Oktober 2011 lalu, malah menimbulkan kontroversi di kalangan praktisi, akademisi, masyarakat, Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan pihak yang terkait (stake holder) lainnya. Mulai dari kekhawatiran akan dibekukannya LAZ hingga kesan UU tersebut mengerdilkan peran mandiri masyarakat dalam memberdayakan dana zakat.
Selain itu, hasil revisi UU zakat tersebut, telah menghambat kinerja serta peran lembaga-lembaga zakat yang telah ada. Hal ini disebabkan substansi yang terkandung dalam UU zakat tersebut menyatakan bahwa: “…setiap Lembaga Amil Zakat yang ingin mendapatkan izin untuk menyalurkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat setidaknya harus terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah dan sosial.” Dari sini telah jelas bahwa pemerintah ingin menyaring lembaga zakat yang telah ada dengan persyaratan keanggotaan “Ormas Islam”. Padahal, bagi lembaga zakat seperti Dompet Dhu’afa persyaratan seperti itu agak berat karena harus merevisi ulang struktur dasar dan mengubah statusnya selama ini sebagai yayasan.
Pasal-pasal krusial dalam UU No 23 2011 tentang Pengelolaan Zakat
·         Pasal 5 ayat (1). Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS.
·         Pasal 7 ayat (1). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi: (a) perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; (b) pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,dan pendayagunaan zakat; (c) pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan (d)  pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
·         Pasal 17. Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
·         Pasal 38. Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
·         Pasal 41. Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Perbedaan UU Zakat Lama dengan yang Baru
v  UU zakat lama ( no 38 th 1999)
1.      namanya adalah UU Tentang Pengelolaan Zakat
2.      posisi pemerintah dan masyarakat sejajar dalam pengelolaan zakat
3.      masyarakat dibebaskan untuk mengelola zakat
4.      pengaturan Lembaga Amil Zakat (LAZ) hanya dalam dua pasal
5.      LAZ dibentuk oleh masyarakat

UU zakat baru ( no 23 th 2011)
1.      namanya adalah UU Zakat, Infak dan Sedekah
2.      2.posisi pemerintah dan atau badan zakat pemerintah (BAZNAS) lebih tinggi.
3.      hanya yang diberi izin saja yang boleh mengelola zakat.
4.      LAZ diatur dalam 13 pasal.
5.      LAZ dibentuk oleh organisasi kemasyarakatan Islam.
6.      Adanya otoritas tunggal pengelolaan zakat, yaitu pemerintah (BAZNAS).
7.      7.Adanya dualisme pengelolaan zakat (pemerintah dan masyarakat) BAZNAS dan LAZ.
Selain terdapat perbedaan mendasar antara UU zakat yang baru dan yang lama, UU zakat yang baru juga mendapat kritik keras dari banyak LAZ dan sebagian masyarakat. Kritik tersebut ditujukan kepada tiga masalah krusial yang ada di dalamnya, yaitu :
1.      Syarat izin pendirian LAZ adalah harus didirikan oleh organisasi kemasyarakatan Islam. Padahal pada kenyataannya saat ini banyak LAZ yang telah berdiri dan beroperasi namun tidak didirikan oleh ormas Islam.
2.      Tidak diatur dan dijelaskannya kedudukan dan posisi LAZ daerah, baik LAZ propinsi maupun LAZ kabupaten/kota.
3.      Tidak diperkenankannya kelompok masyarakat atau organisasi untuk mengelola zakat, apabila kelompok masyarakat atau organisasi tersebut tidak memiliki izin sebagai LAZ.

Dampak bagi pemerintah
·         Pemerintah diberi kewenangan penuh, jadi pemerintah lebih leluasa dalam penghimpunan maupun pendistribusian dana zakat
·         Kas anggaran pemerintah menjadi bertambah akibat dari himpunan dana zakat
·         Bargaining power yang dimiliki pemerintah membuat pendistribusian dana zakat bisa lebih baik dan tertata
·         Meminimalisir penyimpangan yang terjadi akibat LAZ yang tak berbadan hukum resmi
·         Bisa lebih preventif lagi dalam pemungutan pajaknya

Dampak bagi perbankan syariah
·         Dengan adanya persyaratan lembaga organisasi islam (berstatus hukum resmi) tentu hal ini LAZ dan BAZNAS harus memiliki sistem   keuangan islam juga, tentunya menjadi pendapatan fee base income bagi bank syariah
·         Bertambahnya DPK bank syariah
·         Bisa menambah angka market share dan asset bank syariah
·         Bank syariah bisa membuat gerai pembayaran zakat dengan sistem setor maupun ATM (UPZ)
·         Dana zakat yang begitu besar, bisa dikelola oleh bank syariah untuk hal yang lebih produktif


Dampak bagi masyarakat
·         Pemerataan distribusi masyarakat bisa merata, antara daerah yang minus zakat dan daerah yang surplus dana zakat
·         Zakat konsumtif yang biasanya dikelola oleh LAZ yang tradisional bisa berkurang
·         Pemberdayaan masyarakat melalui zakat yang produktif dan terpusat
·         Masyarakat yang biasa mengumpulkan dana zakat secara tradisional menjadi terkerdilkan dan dapat diancam dengan 1 tahun penjara dan denda sebesar 50 juta bila tanpa izin pejabat yang berwenang.
·         Dimungkinkan kurang terhimpunnya dengan baik dana zakat, karena terbatas LAZ yang memiliki status non ormas islam.

C.    Pembaharuan Hukum Wakaf
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, terjadi pembaharuan di bidang perwakafan di Indonesia. Dikatakan terjadi pembaharuan, karena dengan berlakunya Undang-Undang ini banyak terjadi perubahan-perubahan yang signifikan dari peraturan perundang-undangan mengenai wakaf yang ada sebelumnya. Apalagi sebelum Undang-Undang ini, tidak ada Undang-Undang yang khusus mengatur perwakafan di Indonesia. Baru setelah Undang-Undang inilah ada Undang-Undang yang yang secara sfesifik mengatur perwakafan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 ini mengatur substansi yang lebih luas dan membawa pembaharuan di bidang pengelolaan wakaf secara umum.
Beberapa pengaturan penting sebagai pembaharuan yang ada dalam Undang-Undang wakaf antara lain menyangkut skop benda wakaf, kriteria harta benda wakaf, pendaftaran dan pengumuman wakaf, kegunaan harta benda wakaf, pemanfaatan benda wakaf, rukun atau unsur wakaf, wakaf dengan wasiat, penukaran dan perubahan harta benda wakaf,  pemberi wakaf, penerima wakaf, Badan Wakaf  Indonesia dan Penyelesaian sengketa wakaf.

1.      Skop benda wakaf.
Sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, kecendrungan skop benda wakaf terbatas pada benda yang tidak bergerak saja. Lazimnya, wujudnya dalam bentuk tanah milik dan bangunan saja, yang dipergunakan untuk pekuburan atau pertapakan mesjid saja.
Setelah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 diundangkan, skop benda wakaf menjadi lebih luas hingga meliputi harta dalam bentuk benda bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud seperti uang, logam mulia, surat berharga, kenderaan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa.
Khusus wakaf benda bergerak berupa wang, perwakafan dilakukan melalui Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) yang diatur dalam Pasal 28 sampai Pasal 31 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004. Pengaturan wakaf ini sebelumnya telah diperbolehkan melalui fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2002. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, jenis harta benda wakaf dikelompokkan sehingga meliputi benda tidak bergerak (seperti tanah dan bangunan), benda bergerak selain wang, dan benda bergerak berupa uang. Masing-masing jenis harta benda wakaf ini diperinci lebih lanjut dalam Pasal 16 hingga Pasal 27.

2.      Kriteria harta benda wakaf.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 memberi pengertian yang lebih luas dari kriteria harta benda wakaf yang ada sebelumnya. Dalam Undang-Undang ini ditentukan bahwa harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif.
Dengan kriteria seperti ini, maka harta benda yang diwakafkan harus memiliki daya tahan lama atau manfaat jangka panjang, dan mempunyai nilai ekonomi secara syariah. Dengan kriteria seperti ini, semakin banyak jenis benda yang dapat diwakafkan. Selain memenuhi kriteria seperti di atas, sebagai unsur penting dalam perwakafan ialah harus jelas keberadaan dan status harta benda wakaf pada masa terjadi ikrar wakaf, dan harta benda wakaf harus harta yang dimiliki dan dikuasai sepenuhnya oleh orang yang berwakaf secara sah.

3.      Pendaftaran dan pengumuman wakaf.
Penekanan akan kewajiban pendaftaran dan pengumuman wakaf yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai wakaf. Kewajiban pendaftaran dan pengumuman ini tidak memisahkan antara wakaf ahli yang pada umumnya pentadbiran dan pemanfaatan benda wakaf terhad untuk kaum kerabat atau ahli waris dengan wakaf khairi yang dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. Pelaksanaan pendaftaran dan pengumuman adalah untuk menciptakan tertib hukum dan pentadbiran wakaf guna melindungi benda wakaf.  Khusus untuk pemecutan pelaksanaan dan peningkatan urusan sijil tanah wakaf telah diadakan kerjasama antara Menteri Agama dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional yang dituangkan dalam Keputusan Bersama Nomor 422 Tahun 2004/Nomor 3/SKB/BPN/2004 tentang Sijil Tanah Wakaf. Tujuan Keputusan Bersama ini untuk meningkatkan kegiatan ursan sijil tanah wakaf dan keutamaan penyelesaian pensijilan tanah wakaf yang permohonannya telah diajukan ke Kantor Pertanahan seluruh Indonesia.

4.      Kegunaan harta benda wakaf.
Selain untuk kepentingan ibadah dan sosial, kegunaan harta benda wakaf juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan cara meningkatkan potensi dan manfaat ekonomi benda wakaf. Dalam hal ini, pentadbiran benda wakaf dimungkinkan untuk memasuki wilayah kegiatan ekonomi dalam erti luas, sepanjang pentadbirannya sesuai dengan prinsip pengurusan dan ekonomi syariah. Sebagai salah satu lembaga sosial ekonomi Islam, pentadbiran dan pengembangan harta benda wakaf oleh nazhir dilakukan secara produktif sesuai dengan prinsip syariah. Pentadbiran secara produktif dilakukan antara lain dengan cara pengumpulan, pelaburan, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan, sarana kesehatan dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariah.

5.      Pemanfaatan benda wakaf.
Konsepsi wakaf mengalami perubahan, sebelumnya wakaf merupakan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selamanya (Pasal 215 Kompilasi Hukum Islam). Kerana itu menurut Adijani (1989: 32) dilarang memberikan batas waktu tertentu dalam perwakafan. Sedang menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, pemanfaatan benda wakaf sementara atau untuk jangka waktu tertentu  juga diperbolehkan asal sesuai dengan kepentingannya.

6.      Rukun atau unsur wakaf.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 telah menetapkan unsur yang merupakan rukun wakaf yang harus dipenuhi, iaitu: wakif, nazhir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, kegunaan harta benda wakaf, dan masa wakaf. Dikalangan para mujtahid ada perbezaan pendapat dalam menentukan unsur yang merupakan rukun wakaf. Meskipun berbeza, namun tetap sama pendapat untuk mengatakan bahawa pembentukan lembaga wakaf diperlukan rukun sebagai penentu tegaknya atau sisi terkuat dalam wakaf. Perbezaan dalam menentukan unsur atau rukun wakaf ini merupakan implikasi dari perbezaan dalam memandang substansi wakaf. Pengikut Hanafiyah memandang bahawa rukun wakaf hanyalah sebatas shighat (lafal) yang menunjukkan makna atau substansi wakaf. Sementara pengikut Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah, dan Hanabilah memandang bahawa rukun wakaf terdiri dari waqif (orang yang berwakaf), mauquf ‘alaih (orang yang menerima wakaf), harta yang diwakafkan, dan lafal atau ungkapan yang menunjukkan proses terjadinya wakaf (Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, 2004:87).

7.      Wakaf dengan wasiat.
Apabila wakaf diberikan melalui wasiat, pelaksanaannya dilakukan oleh penerima wasiat yang bertindak sebagai kuasa wakif setelah orang yang berwasiat meninggal dunia. Wakaf melalui wasiat dilakukan baik secara lisan mahupun tertulis yang disaksikan oleh minimum 2 (dua) orang saksi yang memenuhi persyaratan dewasa, beragama Islam, berakal sehat, dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Jumlah atau nilai harta benda wakaf yang diwakafkan dengan wasiat maksimum 1/3 (satu pertiga) dari jumlah harta warisan setelah dikurangi dengan utang pewasiat, kecuali dengan persetujuan seluruh ahli waris.

8.      Penukaran dan perubahan harta wakaf.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 memberikan dasar hukum terhadap penukaran harta benda wakaf. Penukaran dibenarkan bila harta benda yang telah diwakafkan diguna untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan syariah. Selain itu, penukaran hanya boleh dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. Selanjutnya, harta benda wakaf yang telah diubah statusnya wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. Dalam pentadbiran dan pengembangan harta benda wakaf, nazhir pada dasarnya dilarang melakukan perubahan  harta benda wakaf, kecuali atas izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia. Perubahan kegunaan itu hanya boleh diberikan apabila harta benda wakaf ternyata tidak boleh diguna sesuai dengan kegunaan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.
9.      Pemberi wakaf (wakif).
Wakif sebagai pihak yang mewakafkan harta benda miliknya terlibat perseorangan, organisasi, atau syarikat perbadanan. Wakif perseorangan boleh melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah harta benda wakaf. Dari syarat wakif ini tidak ada ketentuan bahawa wakif harus beragama Islam, yang boleh diertikan bahawa pemberi wakaf (wakif) boleh bukan orang Islam. Manakala wakif organisasi atau syarikat perbadanan boleh melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi atau syarikat perbadanan untuk mewakafkan harta benda wakaf miliknya sesuai dengan anggaran dasar masing-masing.

10.  Penerima wakaf (nazhir).
Nazhir sebagai pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk ditadbirkan dan dikembangkan sesuai dengan kegunaan, terlibat perseorangan, organisasi, atau syarikat perbadanan. Nazhir perseorangan harus memenuhi persyaratan warga negara Indonesia, beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, serta tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Untuk organisasi dan syarikat perbadanan, selain memenuhi persyaratan nazhir perseorangan juga harus memenuhi syarat bahawa organisasi atau syarikat perbadanan itu bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam. Manakala nazhir syarikat perbadanan, maka syarikat perbadanan itu merupakan syarikat perbadanan Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugasnya, nazhir mendapat pembinaan dan terdaftar pada Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia.

11.  Badan Wakaf Indonesia.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 membawa hal baru yaitu membentuk Badan Wakaf Indonesia yang merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugas di bidang perwakafan. Badan ini melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Nazhir, melakukan pentadbiran dan pengembangan harta benda wakaf skop nasional dan internasional, memberikan persetujuan atas perubahan kegunaan dan status benda wakaf dan pemberian saran serta pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pada era reformasi, konflik yang terjadi di masyarakat makin mudah terjadi dan sering kali bersifat etnis di berbagai daerah. Kondisi sosial masyarakat yang kacau akibat lemahnya hukum dan perekonomian yang tidak segera kunjung membaik menyebabkan sering terjadi gesekan-gesekan dalam masyarakat. Beberapa konflik sosial yang terjadi pada era reformasi berlangsung di beberapa wilayah, antara lain sebagai berikut.
Mengingat undang-undang yang ada sebelumnya dirasa tidak cukup untuk mengakomodir perkembangan potensi zakat di Indonesia, maka Komisi VIII DPR RI merumuskan undang-undang tentang pengelolaan zakat yang baru. Namun, sejak Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 yang sebelumnya telah ada mengatur tentang Pengelolaan Zakat, kemudian disusul oleh undang-undang baru yang telah sah diresmikan pada tanggal 20 Oktober 2011 lalu, malah menimbulkan kontroversi di kalangan praktisi, akademisi, masyarakat, Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan pihak yang terkait (stake holder) lainnya. Mulai dari kekhawatiran akan dibekukannya LAZ hingga kesan UU tersebut mengerdilkan peran mandiri masyarakat dalam memberdayakan dana zakat.
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, terjadi pembaharuan di bidang perwakafan di Indonesia. Dikatakan terjadi pembaharuan, karena dengan berlakunya Undang-Undang ini banyak terjadi perubahan-perubahan yang signifikan dari peraturan perundang-undangan mengenai wakaf yang ada sebelumnya. Apalagi sebelum Undang-Undang ini, tidak ada Undang-Undang yang khusus mengatur perwakafan di Indonesia. Baru setelah Undang-Undang inilah ada Undang-Undang yang yang secara sfesifik mengatur perwakafan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 ini mengatur substansi yang lebih luas dan membawa pembaharuan di bidang pengelolaan wakaf secara umum.




DAFTAR PUSTAKA

Daud Ali, Muhammad. 2005. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ramulyu, Mohd.  Idris. 1995. Hukum Perkawinan, Kewarisan, Hukum Acara Pengadilan Agama dan Zakat Menurut Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Wahab, Abdul Khalaf. 1991. Khulashah Tarikh Tasyri’ Islam. Solo: CV Ramadhan.
Zainuddin, Ali. 2006. Hokum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Zuhri, Muhammad. 1996. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

0 komentar:

Post a Comment

 
Top