Makalah Hukum Waris tentang Hukum Asabah dalam Warisan
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT,
shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan
agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke
alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah FIQH MAWARIS
pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan
ini penulis mengangkat judul “HUKUM
ASABAH DALAM WARISAN”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan
saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
IBNU DIAT
\
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... ......... 1
BAB II :
PEMBAHASAN
A. Definisi asabah............................................................................................... ......... 2
B.
Hak waris dalam
asabah................................................................................. ......... 3
C. Macam-macam asabah............................................................................................. 4
BAB III :
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................... ......... 10
B. Saran........................................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. ......... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu faraidh merupakan
ilmu yang digunakan untuk mencegah perselisihan-perselisihan dalam pembagian
harta waris, sehingga orang yang mempelajarinya mempunyai kedudukan tinggi dan
mendapatkan pahala yang besar. Ini karena ilmu faraidh merupakan bagian
ilmu-ilmu Qur’ani dan produksi agama. Hanya Allah-lah yang menguasakan
ketentuan faraidh dan Dia tidak menyerahkan hal tersebut kepada seorang raja
maupun kepada nabi-Nya.
“pelajarilah
ilmu faraidh, karena ia termasuk bagian dari agamamu dan setengah dari ilmu.
Ilmu ini adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku.” (HR Ibnu Majah,
al-Hakim, dan Baihaqi)
Ilmu
faraidh sangatlah penting untuk kita pelajari, karena pentingnya ilmu faridh,
para ulama salaf dan khlaf sangat memperhatikan ilmu ini, sehiongga mereka
menghabiskan waktu untuk menelaah, mengerjakan, menuliskan kaidah-kaidah ilmu
faraidh, dan mengarang beberapa buku tentang faraidh.
Sebelum
menggali lebih dalam tentang ilmu faraidh, maka ada baiknya kita memahami terlebih
dahulu kita untuk memahami rukun, syarat, sebab, dan penghalang dalam hukum
waris.
B.
Rumusan Masalah
1.
Menjelaskan pengertian asabah
2.
Menjelaskan hak waris dalam asabah
3.
Menjelaskan macam-macam asabah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ‘Asabah
KATA 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat
seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni
kerabat bapak-- menguatkan dan melindungi. Dalam kalimat bahasa Arab banyak
digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat. Demikian juga
di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali digunakan, di antaranya dalam firman
Allah berikut: "Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala,
sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah
orang-orang yang merugi.'" (Yusuf: 14)
Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan
dengan 'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan menguatkan. Inilah
pengertian 'ashabah dari segi bahasa.
Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah
para fuqaha ialah ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam
Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas. Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu
laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara
laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah). Kekerabatan mereka sangat
kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.
Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di
kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi
ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan
setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.
B. Dalil
Hak Waris Para 'Ashabah
Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah
berhak mendapatkan waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil
Al-Qur'an yang dimaksud ialah (artinya): "dan untuk dua orang ibu bapak,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga"
(an-Nisa': 11).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua
orang tua (ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan seperenam (1/6) apabila
pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila pewaris tidak mempunyai anak, maka
seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua. Ayat tersebut juga
telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka ibu mendapat
bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan berapa bagian
ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua
per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan
ia sebagai 'ashabah.
Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah (artinya)
"jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak." (an-Nisa': 176).
Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara
kandung. Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai
(mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris
tidak mempunyai keturunan. Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha"
memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya. Inilah makna
'ashabah.
Sedangkan
dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.: "Bagikanlah
harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi
hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw.
agar memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah
diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari 'ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam hadits ini
menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut "dzakar"
setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas
menunjukkan makna seorang laki-laki. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang dewasa dan
cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai
'ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian.
Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan kata "dzakar".
C. Macam-macam
'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah
(karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua
ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak)
dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak
tersebut tidak mempunyai keturunan.
Sedangkan
'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu: (1) 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak
tercampur unsur wanita), (2) 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang
lain), dan (3) 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang
lain).
Catatan
Dalam dunia faraid, apabila lafazh 'ashabah
disebutkan tanpa diikuti kata lainnya (tanpa dibarengi bil ghair atau ma'al
ghair), maka yang dimaksud adalah 'ashabah bin nafs.
'Ashabah bin nafs
'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang
nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai empat arah,
yaitu:
- Arah anak, mencakup seluruh laki-laki
keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya.
- Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan
seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari
bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
- Arah saudara laki-laki, mencakup saudara
kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan
saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki
seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung
laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang
laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah
disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
- Arah paman, mencakup paman (saudara
laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan
seterusnya.
Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut
kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih kuat)
daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara.
Hukum 'Ashabah bin nafs
Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi
mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila
salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli waris seorang yang meninggal
dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada. Namun bila ternyata
pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka sebagai 'ashabah
mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah
dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para 'ashabah
pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan
suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah.
Sang suami mendapat bagian setengah (1/2),
saudara perempuan mendapat bagian setengah (1/2). Saudara seayah tidak mendapat
bagian disebabkan ashhabul furudh telah menghabiskannya.
Adapun
bila para 'ashabah bin nafs lebih dari satu orang, maka cara pentarjihannya
(pengunggulannya) sebagai berikut:
Pertama: Pertarjihan
dari Segi Arah
Apabila
dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa 'ashabah bin nafsih, maka
pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan
dibandingkan yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada,
atau akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh
bagian masing-masing. Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari
keturunan anak laki-laki dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak
bila anak tidak ada. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki,
ayah, dan saudara kandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi 'ashabah adalah
anak laki-laki. Sebab arah anak lebih didahulukan daripada arah yang lain.
Sedangkan ayah termasuk ashhabul furudh dikarenakan mewarisi bersama-sama
dengan anak laki-laki. Sementara itu, saudara kandung laki-laki tidak
mendapatkan waris dikarenakan arahnya lebih jauh. Pengecualiannya, bila antara
saudara kandung laki-laki maupun saudara laki-laki seayah berhadapan dengan
kakak. Rinciannya, insya Allah akan saya paparkan pada bab tersendiri.
Kedua:
Pentarjihan secara Derajat
Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris
terdapat beberapa orang 'ashabah bi nafsihi, kemudian mereka pun dalam satu
arah, maka pentarjihannya dengan melihat derajat mereka, siapakah di antara
mereka yang paling dekat derajatnya kepada pewaris. Sebagai misal, seseorang
wafat dan meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Dalam hal ini
hak warisnya secara 'ashabah diberikan kepada anak, sedangkan cucu tidak
mendapatkan bagian apa pun. Sebab, anak lebih dekat kepada pewaris dibandingkan
cucu laki-laki.
Contoh
lain, bila seseorang wafat dan meninggalkan saudara laki-laki seayah dan anak
dari saudara kandung, maka saudara seayahlah yang mendapat warisan. Sebab ia
lebih dekat kedudukannya dari pada anak saudara kandung. Keadaan seperti ini
disebut pentarjihan menurut derajat kedekatannya dengan pewaris.
Ketiga:
Pentarjihan Menurut Kuatnya Kekerabatan
Bila dalam suatu keadaan pembagian waris
terdapat banyak 'ashabah bi nafsihi yang sama dalam arah dan derajatnya, maka
pentarjihannya dengan melihat manakah di antara mereka yang paling kuat
kekerabatannya dengan pewaris. Sebagai contoh, saudara kandung lebih kuat
daripada seayah, paman kandung lebih kuat daripada paman seayah, anak dari
saudara kandung lebih kuat daripada anak dari saudara seayah, dan seterusnya.
Catatan
Perlu untuk digarisbawahi dalam hal pentarjihan
dari segi kuatnya kekerabatan di sini, bahwa kaidah tersebut hanya dipakai
untuk selain dua arah, yakni arah anak dan arah bapak. Artinya, pentarjihan
menurut kuatnya kekerabatan hanya digunakan untuk arah saudara dan arah paman.
Mengapa Anak Lebih Didahulukan daripada Bapak?
Satu pertanyaan yang sangat wajar dan mesti
diketahui jawaban serta hikmah di dalamnya. Sebab, keduanya memiliki posisi
sederajat dari segi kedekatan nasab pada seseorang, ayah sebagai pokok dan anak
merupakan cabang. Berdasarkan posisi ini sebaiknya garis anak tidak didahulukan
daripada garis ayah.
Namun demikian, ada dua landasan mengapa garis
anak lebih didahulukan. Landasan pertama berupa dalil Al-Qur'an, sedangkan yang
kedua berupa dalil aqli. Firman-Nya (artinya) "dan untuk dua orang
ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak." (an-Nisa: 11).
Dalam ayat tersebut Allah SWT menjadikan ayah
sebagai ashhabul furudh bila pewaris mempunyai anak, sedangkan bagian anak
tidak disebutkan. Dengan demikian, jelaslah bahwa anak akan mendapatkan seluruh
sisa harta peninggalan pewaris, setelah masing-masing dari ashhabul furudh
telah mendapatkan bagiannya. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa garis anak
lebih didahulukan daripada garis bapak.
Sedangkan secara aqli, manusia pada umumnya
merasa khawatir terhadap anak (keturunannya), baik dalam hal keselamatannya
maupun kehidupan masa depannya. Oleh sebab itu, orang tua berusaha bekerja
keras untuk memperoleh harta dan berhemat dalam membelanjakannya, semuanya demi
kesejahteraan keturunannya. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang bersikap
bakhil, sangat kikir dalam membelanjakan hartanya, demi kepentingan masa depan
anaknya. Maka sangat tepat apa yang disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah
haditsnya "al-waladu mabkhalah majbanah" (anak dapat membuat
seseorang berlaku bakhil dan pengecut).
Makna
hadits tersebut sangat jelas bahwa orang tua menjadi kikir --bahkan pengecut--
karena sangat khawatir terhadap masa depan anaknya. Karena itu mereka tidak
segan-segan menimbun harta dan kekayaan demi menyenangkan keturunan pada masa mendatang.
Tidak sedikit orang tua yang menjadi pengecut hanya disebabkan menjaga
kemaslahatan keturunannya pada hari depannya. Dengan demikian, mereka takut
berhadapan dengan musuh atau siapa pun yang mengganggu kemudahan jalan
rezekinya. Inilah alasan bahwa hati seseorang cenderung lebih dekat kepada
anaknya dibandingkan kepada ayahnya. Wallahu a'lam.
Catatan
Satu hal yang mesti kita ketahui bahwa 'ashabah
bi nafsihi harus dari kalangan laki-laki, sedangkan dari kalangan wanita
hanyalah wanita pemerdeka budak. Jika demikian berarti wanita tersebut sebagai
'ashabah bi nafsihi, bila budak yang dibebaskannya tidak mempunyai keturunan
(kerabat).
'Ashabah
bi Ghairihi dan Hukumnya
'Ashabah
bi ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya wanita:
- Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila
bersamaan dengan saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki).
- Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
akan menjadi 'ashabah bila berbarengan dengan saudara laki-lakinya, atau
anak laki-laki pamannya (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki),
baik sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
- Saudara kandung perempuan akan menjadi
'ashabah bila bersama saudara kandung laki-laki.
4.
Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan
saudara laki-lakinya, dan pembagiannya, bagian laki-laki dua kali lipat bagian
perempuan.
Syarat-syarat 'Ashabah bi Ghairihi
'Ashabah bi Ghairihi tidak akan terwujud
kecuali dengan beberapa persyaratan berikut:
Pertama: haruslah wanita yang tergolong ashhabul
furudh. Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul furudh, maka tidak akan
menjadi 'ashabah bi ghairih. Sebagai contoh, anak perempuan dari saudara
laki-laki tidak dapat menjadi 'ashabah bi ghairih dengan adanya saudara kandung
laki-laki dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan demikian, anak
perempuan saudara laki-laki bukanlah termasuk ashhabul furudh.
Kedua: laki-laki yang menjadi 'ashabah
(penguat) harus yang sederajat. Misalnya, anak laki-laki tidak dapat menjadi
pen-ta'shih (penguat) cucu perempuan, dikarenakan anak laki-laki tidak
sederajat dengan cucu perempuan, bahkan ia berfungsi sebagai pen-tahjib
(penghalang) hak waris cucu. Begitu juga anak laki-laki keturunan saudara
laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara kandung perempuan disebabkan tidak
sederajat.
Ketiga: laki-laki yang menjadi penguat harus
sama kuat dengan ahli waris perempuan shahibul fardh. Misalnya, saudara
laki-laki seayah tidak dapat men-ta'shih saudara kandung perempuan. Sebab
saudara kandung perempuan lebih kuat kekerabatannya daripada saudara laki-laki
seayah.
Catatan
Setiap perempuan ahli waris berhak mendapat
bagian setengah (1/2) jika sendirian, ia berhak mendapatkan bagian dua per tiga
(2/3) bila menerima bersama saudara perempuannya, dan akan menjadi 'ashabah bila
mempunyai saudara laki-laki. Kaidah ini hanya berlaku bagi keempat ahli waris
dari kalangan wanita yang saya sebutkan (yakni anak perempuan, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan
seayah).
Dalil Hak Waris 'Ashabah bi Ghairihi
Dalil bagi hak waris para 'ashabah bi ghairih
adalah firman Allah (artinya): "bagian seorang anak lelaki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan" (an-Nisa': 11). Dan juga berlandaskan
firman-Nya (artinya): "dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak
bagian dua orang saudara perempuan" (an-Nisa': 176).
Para
ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "ikhwatan" dalam ayat
tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara kandung perempuan dan yang
seayah. Mereka berpendapat bahwa kata ikhwatan tidak mencakup saudara laki-laki
atau perempuan yang seibu, disebabkan hak waris mereka berdasarkan fardh
(termasuk ashhabul furudh) bukan sebagai 'ashabah. Selain itu, hak waris mereka
pun antara laki-laki dan perempuan-- sama rata, berdasarkan firman-Nya
(artinya): "maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu"
(an-Nisa': 12).
Sebab
Penamaan 'Ashabah bi Ghairihi
Adapun
sebab penamaan 'ashabah bi ghairihi adalah karena hak 'ashabah keempat wanita
itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akan tetapi
karena adanya 'ashabah lain ('ashabah bi nafsihi), seperti saudara kandung
laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah mereka. Bila para 'ashabah bi
nafsihi itu tidak ada, maka keempat wanita tersebut mendapat hak warisnya
secara fardh.
'Ashabah ma'al Ghair
'Ashabah ma'al Ghair ini khusus bagi para
saudara kandung perempuan maupun saudara perempuan seayah apabila mewarisi
bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki. Jadi,
saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah bila berbarengan
dengan anak perempuan --atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki dan
seterusnya-- akan menjadi 'ashabah. Jenis 'ashabah ini di kalangan ulama
dikenal dengan istilah 'ashabah ma'al ghair.
Satu hal
yang perlu diketahui dalam masalah ini, seperti yang ditegaskan dalam kitab
Hasyiyatul Bajuri (hlm. 108): "Adapun saudara perempuan (kandung dan
seayah) menjadi 'ashabah jika berbarengan dengan anak perempuan adalah agar
bagian saudara perempuan terkena pengurangan, sedangkan bagian anak perempuan
tidak terkena pengurangan. Sebab bila kita berikan hak waris saudara perempuan
secara fardh, maka akan naiklah pokok pembagiannya dan hak bagian anak
perempuan akan berkurang. Kemudian, di segi lain tidaklah mungkin hak saudara
perempuan itu digugurkan, karena itu dijadikanlah saudara kandung perempuan dan
saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah agar terkena pengurangan."
Dalil
'Ashabah ma'al Ghair
Yang menjadi landasan bagi hak waris 'ashabah
ma'al ghair adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya,
bahwa Abu Musa al-Asy'ari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu
perempuan keturunan anak laki-laki, dan saudara perempuan (sekandung atau
seayah). Abu Musa menjawab: "Bagian anak perempuan separo, dan bagian
saudara perempuan separo."
Penanya itu lalu pergi menanyakannya kepada
Ibnu Mas'ud r.a., dan dijawab: "Aku akan memvonis seperti apa yang
diajarkan Rasulullah saw., bagian anak perempuan setengah (1/2) dan bagian cucu
perempuan keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per
tiga (2/3), sedangkan sisanya menjadi hak saudara perempuan kandung atau
seayah."
Penanya
itu pun kembali kepada Abu Musa al-Asy'ari dan menceritakan apa yang telah
diputuskan Ibnu Mas'ud. Lalu Abu Musa berkata: "Janganlah kalian
menanyakannya kepadaku selama sang alim (Ibnu Mas'ud) berada bersama
kalian."
Dari penjelasan Ibnu Mas'ud dapat disimpulkan
bahwa hak saudara perempuan bila mewarisi bersama-sama dengan anak perempuan
mengambil sisa harta pembagian yang ada. Hal ini berarti saudara kandung
perempuan atau saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id
dinamakan Tirkah (peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang
meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat
islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam pelaksanaanya atau
apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal harus diartikan sedemikian
luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada bagianya. Kebendaan dan
sifat-sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan. hak-hak kebendaan dan hak-hak
yang bukan kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.
Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang
ditinggalkan dengan seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah
terjadinya konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan ukhuwah persaudaraan
antar sesama keluarga yang masih hidup. Pembagian tersebut sudah di atur
dalam al-quran dan al hadist Namun ada beberapa ketentuan yang di sepakati
dengan ijma’ dengan seadil-adilnya.
DAFTAR PUSTAKA
Fiqh islam, lengkap mazhab Syafi’i, dib al bugha,
musthafa,2009, media Zhikir solo
Fiqh mawaris pembagian waris berdasarkan syariat islam
Prof Dr Muhammad teungku hasbi ash- shiddieqy
Hukum waeis islam, tela’ah terhadap hukum
waris islam dan implementasinya di Indonesia, Dr. H. Kosim Rusdi M.Ag
0 komentar:
Post a Comment