Makalah Hukum Waris tentang Hukum Waris Menurut Hukum Islam
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT,
shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan
agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke
alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum warisan
pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan
ini penulis mengangkat judul “Hukum
Waris Menurut Hukum Islam”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan
saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
NURLIZA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ ......... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah.......................................................................................... ......... 1
C. Tujuan
penulisan...................................................................................................... 1
BAB II :
PEMBAHASAN
A. Kewarisan menurut hukum islam................................................................... ......... 2
B.
System hukum
warisan menurut hukum perdata........................................... ......... 5
C. Perbedaan dan persamaan....................................................................................... 6
BAB III :
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................... ......... 9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. ......... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai salah satu
negara bekas jajahan Hindia Belanda yang beraneka ragam suku, bahasa dan
budaya serta agama, mempunyai ciri khas tersendiri, yang tida dipunyai oleh
negara-negara lain, karena beraneka ragam suku, adat istiadat inilah maka
mengenai sitem hukum yang berlaku berbeda-beda, hal ini disebabkan karena
adanya sifat kekeluargaan, golongan-golongan yang masih dipengaruhi dan
ditentukan oleh corak warisan dari kolonial Hindia Belanda, sehingga
hukum warisan yang berlaku di Indonesia juga masih beraneka ragam berdasarkan
golongan warga negara, yaitu:
1. untuk orang Indonesia asli,
dibeberapa daerah berlaku hukum adat, hukum adat kewarisan di Indonesia
mengenal 3 (tiga) macam sistem susunan kekeluargaan yang sangat mempengaruhi
lingkungan adat yang satu dengan lingkungan hukum adat lainnya, yakni:
a. Golongan yang bersifat
kebapakan, maka seorang isteri oleh karena perkawinan dilepaskan dari hubungan
kekeluargaan dengan orang tuanya, leluhurnya serta sanak keluarganya yang lain.
Sejak perkawinannya jika isteri masuk kedalam rumpun keluarga suaminya.
Demikian pula dengan anak dan turunannya dari perkawinan itu kecuali dalam hal
anak itu perempuan yang telah pernah kawin juga masuk dalam lingkungan
suaminya. Corak dari perkawinan yang bersifat kebapakan, dikenal dengan
perkawinan jujuran, yaitu si isteri dibeli oleh keluarga suaminya dari keluarga
isteri itu dengan jumlah uang yang disepakati dari pembelian tanah Batak, dan
inilah yang disebut jujuran atau perujuk atau Tuhor Boli, dan di tanah Gayo
dinamakan Onjong, kekeluargaan yang bersifat kebapakan di Indonesia ini juga
terdapat di daerah Ambon, Irian Jaya dan Bali.
b. Golongan yang bersifat
keibuan, di Indonesia terdapat di tanah Minangkabau. Sejak perkawinan itu
dilakukan maka suami berdiam di rumah isterinya atau keluarganya, suami tidak
masuk keluarga isteri, tetapi apabila ada anak keturunannya dianggap kepunyaan
ibu saja, dan si ayah/bapak pada hakekatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap
anak yang lahir, dan si suami mendapat penghibaan dari isterinya baik berupa
uang ataupun barang atau ongkos-ongkos untuk keperluan rumah tangga suami
isteri bersama turunannya yang biasanya diambil oleh keluarga isteri dan milik
ini dikuasai oleh seorang yang dinamakan mamak kepala waris, yaitu
seseorang yang paling dituakan atau tertua dari keluarga si isteri.
c. Golongan kebapak-ibuan, di
Indonesia adalah yang paling merata yaitu golongan yang bersifat
parental yang meliputi daerah Jawa, Madura, Sumatera, Riau, Aceh dan lain-lain
yang menonjol kekeluargaannya yang bersifat parental, dan pada hakekatnya tidak
perbedaan antara suami dengan isteri dalam kedudukannya, dari akibat
perkawinannya sisuami menjadi anggota keluarga si isteri dan sebaliknya
pula sisuami menjadi anggota keluarga siisteri.
2. Untuk orang Indonesia asli
yang beragama Islam diberbagai daerah, maka hukum Kewarisan Islam sangat
berpengaruh.
3. Untuk warga negara Indonesia
yang keturunan Tionghoa dan Eropah berlaku hukum kewarisan perdata BW.
B. Rumusan
Masalah.
Dari uraian di atas, penulis mencoba membahas hukum waris
menurut Hukum Islam dan menurut Hukum Perdata (BW), dengan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apakah
ada perbedaan dan persamaan sistem pembagian harta waris menurut hukum
Islam dan menurut hukum Perdata (BW)?.
2. Sejauh
mana perbedaan dan persamaan antara kedua sistem hukum kewarisan
tersebut?.
B A B II
PEMBAHASAN
A. Kewarisan Menurut hukum
Islam
Hukum Kewarisan menurut hukum Islam sebagai salah satu
bagian dari hukum kekeluargaan (Al ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari
agar supaya dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan
dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum
kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang
berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan
disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian
seseorang dapat terhindar dari dosa yakni tidak memakan harta orang yang
bukan haknya, karena tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan. Hal
ini lebih jauh ditegaskan oleh rasulullah Saw. Yang artinya “Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan
belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku
seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua
orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan
mengabarkannya (HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I”.
Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka ilmu kewarisan
menururt Islam adalah sangat penting, apalagi bagi para penegak hukum Islam
adalah mutlak adanya, sehingga bisa memenuhi harapan yang tersurat dalam
hadits rasulullah di atas.
Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa
ketentuan mengenai kewarisan ini, yaitu:
a. hukum kewarisan adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang
pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli awaris dan harta peninggalan.
c. Ahli waris adalah orang
yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi
ahli waris.
d. Harta peninggalan adalah
harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi
hak miliknya maupun hak-haknya.
e. Harta warisan adalah harta
bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan
pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah,
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
f. Wasiat adalah pemberian
suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku
setelah pewaris meninggal dunia.
g. Hibah adalah pemberian suatu
benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang
masih hidup untuk dimiliki.
h. Baitul Maal adalah balai
harta keagamaan.
Sedang kewajiban ahli waris
terhadap pewaris menurut ketentuan pasal 175 KHI adalah:
a. Mengurus dan menyelesaikan
sampai pemakaman jenazah selesai.
b. Menyelesaikan baik
hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun
menagih piutang.
c. Menyelesaiakan wasiat
pewaris.
d. Membagi harta warisan
diantara ahli waris yang berhak.
Para ahli waris baik secara
bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris
yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat
mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta
warisan (pasal 188 KHI).
Bila pewaris tidak
meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada
atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan
penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan
kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).
Bagi pewaris yang beristeri
dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian dagi
gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian
pewaris adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190 KHI). Duda
mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179 KHI). Janda
mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan apabila
pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian (Pasal 180
KHI).
Masalah waris malwaris
dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur dalam pasal 49
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan baik ditingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
a. Perkawinan.
b. Kewarisan, wasiat dan hibah
yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
c. Wakaf dan sedekah.
Menurut hukum Islam hak
waris itu diberikan baik kepada keluarga wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu
perempuan, ibu dan nenek pihak perempuan, saudara perempuan sebapak seibu,
sebapak atau seibu saja). Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari
15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan.
Sedangkan bagian
masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼ bagian apabila sipewaris mati
tidak meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian 1/8 apabila sipewaris
mempunyai anak atau cucu, dan isteri tidak pernah terhijab dari ahli waris.
Adapun yang menjadi dasar hukum bagian isteri adalah firman Allah dalam surat
An Nisa’ ayat 12, yang artinya: “Para isteri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak, dan jika kamu mempunyai
anak, maka isteri-isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat atau setelah dibayar hutang-hutangmu”.
Suami mendapat ½ bagian
apabila pewaris tidak mempunyai anak dan mendapat ¼ bagian apabila pewaris
mempunyai anak, berdasarkan firman Allah surat an Nisa’ ayat 12, yang artinya: “Dan
bagimu (suami-suami) seperdua bagian dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika tidak mempunyai anak, dan jika ada anak maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat dan
sesudah dibayar hutang-hutangnya”.
Sedangkan bagian anak
perempuan adalah:
a. Seorang anak perempauan
mendapat ½ bagian, apabila pewaris mempunyai anak laki-laki.
b. Dua anak perempauan atau
lebih, mendapat 2/3 bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.
c. Seorang anak perempuan atau
lebih, apabila bersama dengan anak laki-laki, maka pembagiannya dua berbanding
satu (anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu
bagian),
hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat An Nisa’ Ayat
11 yang artinya: “Jika anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan”.
Bagian anak laki-laki adalah:
a.
Apabila hanya seorang anak laki-laki saja, maka dia mengambil semua
warisan sebagai ashabah, jika tidak ada ahli waris dzawil furudz, namun jika
ada ahli waris dzawil furudz maka ia hanya memperoleh ashabah (sisa) setelah
dibagikan kepada ahli waris dzwil furudz tersebut (ashabah bin nafsih).
b.
Apabila anak laki-laki dua orang atau lebih, dan tidak ada anak
perempauan, serta ahli waris dzwil furudz yang lain, maka ia membagi rata harta
warisan itu, namun jika ada anak perempuan, maka dibagi dua banding satu
(ashabah bil ghair), berdasarkan surat Anisa’ ayat 11 dan 12 tersebut.
Ibu dalam menerima pusaka/bagian harta waris adalah
sebagai berikut:
1. Ibu
mendapat seperenam, apabila pewaris meninggalkan anak.
2. Ibu
mendapat sepertiga bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak.
Dan diantara ahli waris yang
ada, apabila ada ibu maka yang dihijab ibu adalah nenek dari pihak ibu, yaitu
ibu dari ibu dan seterusnya keatas. Nenek dari pihak bapak yaitu ibu dari bapak
dan seterusnya keatas. Hal ini berdasarkan surat An Nisa’ ayat 11 yang
artinya:”Dan untuk dua orang ibu bapak, baginya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika pewaris itu mempunyai anak”.
Bagian Bapak adalah:
a. Apabila
sipewaris mempunyai anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki, maka bapak
mendapat 1/6 dari harta peninggalan dan sisanya jatuh kepada anak laki-laki.
b. Apabila
pewaris hanya meninggalkan bapak saja, maka bapak mengambil semua harta
peninggalan dengan jalan ashabah.
c. Apabila
pewaris meninggalkan ibu dan bapak, maka ibu mendapat 1/3 dan bapak mengambil
2/3 bagian.
Sedangkan bagian nenek
adalah:
a. Apabila
seorang pewaris meninggalkan seorang nenek saja, dan tidak meninggalkan ibu,
maka nenek mendapat bagian 1/6.
b. Apabila
seorang pewaris meninggalkan nenek lebih dari seorang dan tidak meninggalkan
ibu, maka nenek mendapat 1/6 dibagi rata diantara nenek tersebut.
Menurut hukum waris Islam,
oarng yang tidak berhak mewaris adalah:
a. Pembunuh
pewaris, berdasrkan hadtis yang diriwayatkan oleh At tirmidzi, Ibnu Majah, Abu
Daud dan An Nasa’i.
b. Orang
murtad, yaitu keluar dari agama Islam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Bardah.
c. Orang
yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang yang tidak menganut agama Islam
atau kafir.
d. Anak zina, yaitu anak
yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh At Tirmidzi (Hazairin, 1964: 57).
Perlu diketahui bahwa jika
pewaris meninggalkan ibu, maka semua nenek terhalang, baik nenek dari pihak ibu
sendiri maupun nenek dari pihak ayah (mahjub hirman). Dan jika semua ahli waris
ada, maka yang berhak mendapat warisan adalah hanya anak (baik
laki-laki maupun perempuan), ayah, ibu, dan janda atau duda
sedangkan ahli waris yang lain terhalang (mahjub) (Pasal 174 Ayat (2)
KHI).
B. Sistem Hukum kewarisan
menurut KUH Perdata (BW).
Menurut Kitab Undang-undang
Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
1. Sebagai
ahli waris menurut Undang-undang.
2. Karena
ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan
mewarisi menurut Undang-undang atau “ab intestato” dan cara yang kedua
dinamakan mewarisi secara “testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku
suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum
kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti,
1993: 95).
Bila orang yang meninggal
dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan
pembagian warisan sebagai berikut:
a. Yang pertama berhak
mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing-masing berhak
mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
b. Apabila
tidak ada orang sebagaimana tersebut di dtas, maka yang kemudian berhak
mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal
dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya
mendapat seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
c. Apabila
tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh
untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang
meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika
anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris,
maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).
Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan
yang tidak terurus yaitu jika seorang meninggal dunia lalu mempunyai harta,
tetapi tidak ada ahli warisnya, maka harta warisan itu dianggap sebagai tidak
terurus. Dalam hal yang demikian itu maka Balai Harta peninggalan (Wesskamer)
dengan tidak usah menuggu perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu
namun harus memberitahukan kepada pihak Pengadilan. Dalam hal ada perselisihan
apakah suatu harta warisan dapat dianggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal
ini akan diputuskan oleh Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan
tentang keadaan harta tersebut dan jika dianggap perlu didahului dengan
penyegelan barang-barang, dan selanjutnya membereskan segala sangkutan
sipewaris berupa hutang-hutang dan lain-lain. Wesskamer harus membuat
pertanggungjawaban, dan juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin
ada dengan panggilan-panggilan umum, seperti melalui RRI, surat-surat kabar dan
lain-lain cara yang dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun belum juga
ada seorang ahli waris yang tampil atau melaporkan diri, maka weeskamer akan
melakukan pertanggungjawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada
negara, dan selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara.
Menurut ketentuan pasal 838
KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya tidak
berhak mewaris ialah:
a. Mereka
yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh
pewaris.
b. Mereka
yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah telah
mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
c. Mereka
yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat
wasiatnya.
d. Mereka
yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.
C. Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum
Islam dengan sistem KUH Perdata (BW).
Sistem hukum kewarisan
menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan,
antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki
sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan
bagian anak.
Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH
Perdata menganut system keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu
menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya, artinya ahli waris
berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu
jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam.
Persamaanya apabila
dihubungkan antara sitem hukum waris menurut Islam dengan sistem kewarisan
menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum kewarisan
Islam sama-sama menganut system kewarisan individual, artinya sejak
terbukanya waris (meninggalnya pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi
pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan
yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah
sistem kewarisan individul bilateral (Subekti, 1953: 69), sedangkan perbedaannya
adalah terletak pada saat pewaris meninggal dunia, maka harta tersebut
harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaran antara lain apakah harta tersebut
sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau
merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris,
sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan
selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima para
ahli waris masing-masing, yang menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian
ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu
dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut hukum Islam dibedakan bagian
antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain.
Persamaan tersebut
disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama,
sedangkan perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang
barat adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka
adalah individulaistis dan materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar
belakangi oleh cara berfikir
yang logis, riil dan
konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada sistem
kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).
B A B III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang
telah penulis kemukakan dalam pembahasan makalah ini, maka penulis
dapat menarik bebarapa kesimpulan,antara lain:
1. Bahwa ternyata sistem
kewarisan baik menurut ketentuan KUH Perdata maupun menurut ketentuan hukum Islam
terdapat persamaan-persmaan dan perbedaan-perbedaan.
2. Persamaannya adalah bahwa
keduanya menganut sistem kewarisan individual bilateral, yakni setiap ahli
waris berhak memperoleh warisan baik harta warisan dari ibunya, maupun harta
warisan dari bapaknya, sedangkan perbedaannya adalah terletak pada besarnya
bagian masing-masing ahli waris. Dan setelah penulis membandingkan antara kedua
sistem tersebut penulis lebih cenderung memilih sistem hukum Islam, karena
lebih logis, proporsional dan lebih adil.
B. Saran
Para hakim Peradilan Agama
sebagai ujung tombak penegakan hukum Islam seharusnya menegakkan sistem
hukum kewarisan menurut Islam, sebab hukum kewarisan menurut Islam lebih logis,
proporsional dan lebih adil dibandingkan dengan sistem hukum kewarisan menurut
KUH Perdata, oleh karena itu seharusnuya Lembaga yang berwenang juga harus
membuat unifikasi hukum yang melindungi dan mengayomi kesadaran hukum kewarisan
Islam, sebab negara Indonesia adalah negara yang mayoritas berpenduduk muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Manan, H., 2000, Pokok-pokok Hukum Perdata dan
Wewenang Pengadilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Abdurrahman, H, 1995, Kompilasi Hukum Islam,
Akademika Pressidno, Jakarta.
Hazairin, 1964, Tujuh serangkai Tentang Hukum,
PT Bina Aksara, Jakarta.
Idris Ramulyo, 1994, Perbandingan Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW),
Sinar Grafika, Jakarta.
M. Isa Arief, dan. A. Pitlo, 1986, Hukum
waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), PT., intermasa,
Jakarta.
Moh. Rifa’i, H, 1978, Kumpulan Ilmu Fiqih Islam
Lengkap, CV. Toha Putra, Semarang.
Subekti, 1993, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT.
Intermasa, Jakarta.
0 komentar:
Post a Comment