Makalah Hukum Waris tentang Hukum Waris Menurut Hukum Islam
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015


Hukum waris menurut hukum islam


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum warisan pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini penulis mengangkat judul Hukum Waris Menurut Hukum Islam”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.


Wassalam
Penulis,


NURLIZA



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ ......... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
BAB I             : PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang........................................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah.......................................................................................... ......... 1
C.     Tujuan penulisan...................................................................................................... 1
BAB II            : PEMBAHASAN
A.    Kewarisan menurut hukum islam................................................................... ......... 2
B.     System hukum warisan menurut hukum perdata........................................... ......... 5
C.     Perbedaan dan persamaan....................................................................................... 6
BAB III          : PENUTUP
A.    Kesimpulan.................................................................................................... ......... 9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. ......... 10





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai salah satu negara bekas jajahan  Hindia Belanda yang beraneka ragam suku, bahasa dan budaya serta agama, mempunyai ciri khas tersendiri, yang tida dipunyai oleh negara-negara lain, karena beraneka ragam suku, adat istiadat inilah maka mengenai sitem hukum  yang berlaku berbeda-beda, hal ini disebabkan karena adanya sifat kekeluargaan, golongan-golongan yang masih dipengaruhi dan  ditentukan oleh corak  warisan dari kolonial Hindia Belanda, sehingga hukum warisan yang berlaku di Indonesia juga masih beraneka ragam berdasarkan golongan warga negara, yaitu:
1.      untuk orang Indonesia asli, dibeberapa daerah berlaku hukum adat, hukum adat kewarisan di Indonesia mengenal 3 (tiga) macam sistem susunan kekeluargaan yang sangat mempengaruhi lingkungan adat yang satu dengan lingkungan hukum adat lainnya, yakni:
a.       Golongan yang bersifat kebapakan, maka seorang isteri oleh karena perkawinan dilepaskan dari hubungan kekeluargaan dengan orang tuanya, leluhurnya serta sanak keluarganya yang lain. Sejak perkawinannya jika isteri masuk kedalam rumpun keluarga suaminya. Demikian pula dengan anak dan turunannya dari perkawinan itu kecuali dalam hal anak itu perempuan yang telah pernah kawin juga masuk dalam lingkungan suaminya. Corak dari perkawinan yang bersifat kebapakan, dikenal dengan perkawinan jujuran, yaitu si isteri dibeli oleh keluarga suaminya dari keluarga isteri itu dengan jumlah uang yang disepakati dari pembelian tanah Batak, dan inilah yang disebut jujuran atau perujuk atau Tuhor Boli, dan di tanah Gayo dinamakan Onjong, kekeluargaan yang bersifat kebapakan di Indonesia ini juga terdapat di daerah Ambon, Irian Jaya dan Bali.
b.      Golongan yang bersifat keibuan, di Indonesia terdapat di tanah Minangkabau. Sejak perkawinan itu dilakukan maka suami berdiam di rumah isterinya atau keluarganya, suami tidak masuk keluarga isteri, tetapi apabila ada anak keturunannya dianggap kepunyaan ibu saja, dan si ayah/bapak pada hakekatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak yang lahir, dan si suami mendapat penghibaan dari isterinya baik berupa uang ataupun barang atau ongkos-ongkos untuk keperluan rumah tangga suami isteri bersama turunannya yang biasanya diambil oleh keluarga isteri dan milik ini dikuasai oleh seorang yang  dinamakan mamak kepala waris, yaitu seseorang yang paling dituakan atau tertua dari  keluarga si isteri.
c.       Golongan kebapak-ibuan, di Indonesia adalah yang  paling  merata yaitu golongan yang bersifat parental yang meliputi daerah Jawa, Madura, Sumatera, Riau, Aceh dan lain-lain yang menonjol kekeluargaannya yang bersifat parental, dan pada hakekatnya tidak perbedaan antara suami dengan isteri dalam kedudukannya, dari akibat perkawinannya  sisuami menjadi anggota keluarga si isteri dan sebaliknya pula sisuami menjadi anggota keluarga siisteri.
2.      Untuk orang Indonesia asli yang beragama Islam diberbagai daerah,  maka hukum Kewarisan Islam sangat berpengaruh.
3.      Untuk warga negara Indonesia yang keturunan Tionghoa dan Eropah berlaku hukum kewarisan perdata BW.

B.     Rumusan Masalah.
         Dari uraian di atas, penulis mencoba membahas hukum waris menurut Hukum Islam dan menurut Hukum Perdata (BW), dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1.       Apakah ada perbedaan dan persamaan  sistem pembagian  harta waris menurut hukum  Islam dan menurut hukum Perdata (BW)?.
2.       Sejauh mana perbedaan dan persamaan antara kedua sistem hukum kewarisan tersebut?.  









  
B A B  II
PEMBAHASAN

A.    Kewarisan Menurut hukum Islam
            Hukum Kewarisan menurut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (Al ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam  maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat terhindar dari dosa yakni  tidak memakan harta orang yang bukan haknya, karena tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan. Hal ini lebih jauh ditegaskan oleh rasulullah Saw. Yang artinya “Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya (HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I”.
             Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka ilmu kewarisan menururt Islam adalah sangat penting, apalagi bagi para penegak hukum Islam adalah mutlak adanya, sehingga bisa memenuhi harapan  yang tersurat dalam hadits rasulullah di atas.
            Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini, yaitu:
a.       hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
b.      Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,  meninggalkan ahli awaris dan harta peninggalan.
c.       Ahli waris adalah orang yang  pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris.
d.      Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.
e.       Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah,  pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
f.       Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
g.      Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
h.      Baitul Maal adalah balai harta keagamaan.

Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut ketentuan pasal 175 KHI adalah:
a.       Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
b.      Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
c.       Menyelesaiakan wasiat pewaris.
d.      Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu,  maka yang bersangkutan  dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188 KHI).
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).
Bagi pewaris yang beristeri dari seorang,  maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190 KHI). Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179 KHI). Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian (Pasal 180 KHI).
Masalah waris malwaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus  dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
a.       Perkawinan.
b.      Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
c.       Wakaf dan sedekah.
Menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja). Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan.
Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼ bagian apabila sipewaris mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian 1/8 apabila sipewaris mempunyai anak atau cucu, dan isteri tidak pernah terhijab dari ahli waris. Adapun yang menjadi dasar hukum bagian isteri adalah firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 12, yang artinya: “Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak, dan jika kamu mempunyai anak, maka isteri-isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat atau setelah dibayar hutang-hutangmu”.
Suami mendapat ½ bagian apabila pewaris tidak mempunyai anak dan mendapat ¼ bagian apabila pewaris mempunyai anak, berdasarkan firman Allah surat an Nisa’ ayat 12, yang artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua bagian dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika tidak mempunyai anak, dan jika ada anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar hutang-hutangnya”.
Sedangkan bagian anak perempuan adalah:
a.       Seorang anak perempauan mendapat ½ bagian, apabila pewaris mempunyai anak laki-laki.
b.      Dua anak perempauan atau lebih, mendapat 2/3 bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.
c.       Seorang anak perempuan atau lebih, apabila bersama dengan anak laki-laki, maka pembagiannya dua berbanding satu (anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian),
hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat An Nisa’ Ayat 11 yang artinya: “Jika anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.



Bagian anak laki-laki adalah:
a.              Apabila hanya seorang anak laki-laki saja, maka dia mengambil semua warisan sebagai ashabah, jika tidak ada ahli waris dzawil furudz, namun jika ada ahli waris dzawil furudz maka ia hanya memperoleh ashabah (sisa) setelah dibagikan kepada ahli waris dzwil furudz tersebut (ashabah bin nafsih).
b.              Apabila anak laki-laki dua orang atau lebih, dan tidak ada anak perempauan, serta ahli waris dzwil furudz yang lain, maka ia membagi rata harta warisan itu, namun jika ada anak perempuan, maka dibagi dua banding satu (ashabah bil ghair), berdasarkan surat Anisa’ ayat 11 dan 12 tersebut.
Ibu dalam menerima pusaka/bagian  harta waris adalah sebagai berikut:
1.    Ibu mendapat seperenam, apabila pewaris meninggalkan anak.
2.      Ibu mendapat sepertiga bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak.
Dan diantara ahli waris yang ada, apabila ada ibu maka yang dihijab ibu adalah nenek dari pihak ibu, yaitu ibu dari ibu dan seterusnya keatas. Nenek dari pihak bapak yaitu ibu dari bapak dan seterusnya keatas. Hal ini berdasarkan surat An Nisa’ ayat 11 yang artinya:”Dan untuk dua orang ibu bapak, baginya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika pewaris itu  mempunyai anak”.
Bagian Bapak adalah:
a.       Apabila sipewaris mempunyai anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki, maka bapak mendapat 1/6 dari harta peninggalan dan sisanya jatuh kepada anak laki-laki.
b.      Apabila pewaris hanya meninggalkan bapak saja, maka bapak mengambil semua harta peninggalan dengan jalan ashabah.
c.       Apabila pewaris meninggalkan ibu dan bapak, maka ibu mendapat 1/3 dan bapak mengambil 2/3 bagian.
Sedangkan bagian nenek adalah:
a.       Apabila seorang pewaris meninggalkan seorang nenek saja, dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek mendapat bagian 1/6.
b.      Apabila seorang pewaris meninggalkan nenek lebih dari seorang dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek mendapat 1/6 dibagi rata diantara nenek tersebut.
Menurut hukum waris Islam, oarng yang tidak berhak mewaris adalah:
a.       Pembunuh pewaris, berdasrkan hadtis yang diriwayatkan oleh At tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Daud dan An Nasa’i.
b.      Orang murtad, yaitu keluar dari agama Islam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bardah.
c.       Orang yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang yang tidak menganut agama Islam atau kafir.
d. Anak zina, yaitu anak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi (Hazairin, 1964: 57).
Perlu diketahui bahwa jika pewaris meninggalkan ibu, maka semua nenek terhalang, baik nenek dari pihak ibu sendiri maupun nenek dari pihak ayah (mahjub hirman). Dan jika semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan adalah  hanya anak (baik laki-laki  maupun perempuan),  ayah, ibu, dan janda atau duda sedangkan ahli waris yang lain terhalang (mahjub) (Pasal 174  Ayat (2) KHI).

B.     Sistem Hukum kewarisan menurut KUH Perdata (BW).
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
1.      Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
2.      Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab intestato” dan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95).
Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:
a. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing-masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
b.      Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di dtas, maka yang kemudian berhak mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
c.       Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).
            Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan yang tidak terurus yaitu jika seorang meninggal dunia lalu mempunyai harta, tetapi tidak ada ahli warisnya, maka harta warisan itu dianggap sebagai tidak terurus. Dalam hal yang demikian itu maka Balai Harta peninggalan (Wesskamer) dengan tidak usah menuggu perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu namun harus memberitahukan kepada pihak Pengadilan. Dalam hal ada perselisihan apakah suatu harta warisan dapat dianggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal ini akan diputuskan oleh Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan tentang keadaan harta tersebut dan jika dianggap perlu didahului dengan penyegelan barang-barang, dan selanjutnya membereskan segala sangkutan sipewaris berupa hutang-hutang dan lain-lain. Wesskamer harus membuat pertanggungjawaban, dan juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan panggilan-panggilan umum, seperti melalui RRI, surat-surat kabar dan lain-lain cara yang dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada seorang ahli waris yang tampil atau melaporkan diri, maka weeskamer akan melakukan pertanggungjawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada negara, dan selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara.
Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:
a.       Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
b.      Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
c.       Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiatnya.
d.      Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.

C.  Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan sistem KUH Perdata (BW).
Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak.
Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata menganut system keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya, artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal  dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam.
Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut  system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan individul bilateral (Subekti, 1953: 69), sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris meninggal dunia,  maka harta tersebut harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaran antara lain apakah harta tersebut sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima para ahli waris masing-masing, yang  menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain.
Persamaan  tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama, sedangkan perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan materialistis, sedangkan  hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir
yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).







B A B  III
P E N U T U P

A.     Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah penulis kemukakan dalam pembahasan  makalah ini,  maka penulis dapat menarik bebarapa kesimpulan,antara lain:
1.      Bahwa ternyata sistem kewarisan baik menurut ketentuan KUH Perdata maupun menurut ketentuan hukum Islam terdapat persamaan-persmaan dan perbedaan-perbedaan.
2.      Persamaannya adalah bahwa keduanya menganut sistem kewarisan individual bilateral, yakni setiap ahli waris berhak memperoleh warisan baik harta warisan dari ibunya, maupun harta warisan dari bapaknya, sedangkan perbedaannya adalah terletak pada besarnya bagian masing-masing ahli waris. Dan setelah penulis membandingkan antara kedua sistem tersebut penulis lebih cenderung memilih sistem hukum Islam, karena lebih logis, proporsional dan lebih adil.

B.  Saran

Para hakim Peradilan Agama sebagai ujung tombak penegakan hukum Islam seharusnya menegakkan  sistem hukum kewarisan menurut Islam, sebab hukum kewarisan menurut Islam lebih logis, proporsional dan lebih adil dibandingkan dengan sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata, oleh karena itu seharusnuya Lembaga yang berwenang juga harus membuat unifikasi hukum yang melindungi dan mengayomi kesadaran hukum kewarisan Islam, sebab negara Indonesia adalah negara yang mayoritas berpenduduk muslim.











DAFTAR PUSTAKA


Abd. Manan, H., 2000, Pokok-pokok Hukum Perdata dan Wewenang Pengadilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Abdurrahman, H,  1995, Kompilasi Hukum Islam, Akademika Pressidno, Jakarta.
Hazairin, 1964, Tujuh serangkai Tentang Hukum, PT Bina Aksara, Jakarta.
Idris Ramulyo, 1994, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), Sinar Grafika, Jakarta.
M. Isa Arief,  dan. A. Pitlo, 1986, Hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), PT., intermasa, Jakarta.
Moh. Rifa’i, H, 1978, Kumpulan Ilmu Fiqih Islam Lengkap, CV. Toha Putra, Semarang.
Subekti, 1993, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta.


0 komentar:

Post a Comment

 
Top