disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT,
shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan
agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke
alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum warisan
pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan
ini penulis mengangkat judul “Warisan
dalam undang-undang no 7”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan
saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
AMBIA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ ......... i
DAFTAR
ISI..................................................................................................................... ii
BAB I :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah.......................................................................................... ......... 1
C. Tujuan
penulisan...................................................................................................... 1
BAB II :
PEMBAHASAN
A. Pengertian mawaris.................................................................................................. 2
B.
Sebab-sebab
adanya kewarisan dalam islam.................................................. ......... 3
C.
Sebab-sebab
yang menjadi penghalang kewarisan.................................................. 5
D. UU no 7 tahun 1989................................................................................................ 7
BAB III :
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................... ......... 9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. ......... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mawaris
atau pembagian harta warisan merupakan salah satu cabang ilmu islam yang cukup
kompleks. Hal ini mengingat betapa sensitifnya ilmu ini. Karena kekacauan
pembagian harta waris sering terjadi perselisihan antar keluarga. Untuk itulah
islam mengatur urusan ini secara mendetail.
Dalam
al-qur’an dasar-dasar ilmu ini dijelaskan secara gamblang dan spesifik, tidak
seperti kebanyakan ayat quran lainnya yang berbicara secara general. Hikmah
dibalik itu semua adalah adanya penekanan akan pentingnya ilmu ini. Oleh karena
itu, studislam kali ini akan membahas mengenai ilmu ini, ilmu fiqih mawaris
B.
Rumusan Masalah
1. Menjelaskan pengertian
mawaris
2. Menjelaskan sebab-sebab
adanya kewarisan dalam islam
3. Menjelaskan sebab-sebab yang
menjadi penghalang kewarisan
4. Menjelaskan warisan dalam uu
no 7 tahun 1989
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusunn makalah ini adalah disamping untuk
memenuhi tugas dalam perkuliahan juga agar saya sendiri mampu memahami tentang
ilmu mawaris.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mawaris
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata
miras (موارث), yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata :
warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ;
berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum
kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama
ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang),
tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i.
Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam
adalah pemindahan hak milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli
waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.
Sedangkan istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih
yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa
yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan warisan
sebagai berikut; soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia
akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh
faridhah, yang oleh ulama faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni
bagian yang telah dipastikan kadarnya.Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena
dalam pembagian harta warisan telah ditentukan siapa-siapa yang berhak menerima
warisan, siapa yang tidak berhak, dan jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh
ahli waris telah ditentukan
Adapun tujuan kewarisan dalam Islam dapat kita rumuskan
sebagai berikut :
1. Penetapan bagian-bagian
warisan dan yang berhak menerima secara rinci dan jelas, bertujuan agar tidak
terjadinya perselisihan dan pertikan antara ahli waris. Karena dengan
ketentuan-ketentuan tersebut, masing-masing ahli waris harus mengikuti
ketentuan syariat dan tidak bisa mengikuti kehendak dan keinginan
masing-masing.
2. Baik laki-laki maupun
perempuan mendapat bagian warisan (yang pada masa jahiliyah hanya laki-laki
yang berhak) sebagai upaya mewujudkan pembagian kewarisan yang berkeadilan
berimbang. Dalam artian masing-masing berhak menerima warisan sesuai dengan
porposi beban dan tanggung jawabnya.
B. Sebab-Sebab Adanya Kewarisan Menurut Islam
Dalam kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak kewarisan ada tiga,
yaitu; hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan dan hubungan karena sebab
al-wala’.
1. Hubungan kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan
nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan
oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak mewarisi yang
terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure causalitas adanya seseorang yang
tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan perkawinan, jika perkawinan telah
putus (cerai) maka dapat hilang.
Dasar hukum kekerabatan
sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah : Bagi laki-laki
ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan bagi wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’
: 7).
Demikian pula
dalam surat al-Anfal ayat 75 : …Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat) didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).
2. Hubungan perkawinan
Hubungan perkawinan yang
menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu
perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi. Dalam hal ini, terpenuhinya
rukun dan syarat secara agama. Tentang syarat administrative masih terdapat
perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di Indonesia, memberikan kelonggaran
dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan bukan secara
administrasi (hukum positif, Pen.) tetapi ketentuan agama.
Disebagian negara muslim,
seperti Pakistan, perkawinan yang tidak dicatat dapat dihukum penjara atau
denda atau bahkan kedua-duanya. Di Indonesia hendaknya ini menjadi perhatian,
karena perkawinan yang tidak terpenuhinya secara administrative (hukum positif)
akan dapat menimbulkan kemudlaratan, seperti penyangkalan terhadap suatu
perkawinan karena tidak adanya bukti tertulis (secara administratif).
Berkaitan dengan perkawinan
yang menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan yang masih utuh atau
dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan perkawinan yang dianggap masih utuh
ialah apabila perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama dan
kedua) dan masa iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan
tersebut dianggap masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh
merujuk isterinya tanpa memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin
baru dan tanpa menghadirkan dua orang saksi dan wali.
Sehingga isteri yang sedang
berada dalam masa iddah talak raj’i, apabila suaminya meninggal ia berhak
mewarisi harta suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami berhak mewarisi harta
isterinya.
3. Hubungan karena sebab al-wala’
Wala’ dalam pengertian
syariat adalah ;
·
Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak
emansipasi) budak.
·
Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong
menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain.
Wala’ yang pertama disebut
dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya sebab telah membebaskan budak)
Orang yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika laki-laki dan mu’tiqah jika
perempuan. Sedangkan wala’ yang kedua disebut dengan walaul-muwalah, yaitu
wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong menolong dengan yang lain
melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang berkata kepada orang lain; wahai
fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah mati dan dapat mengambil diyat
(denda) untukku bila aku dilukai seseorang, demikian pula aku dapat mewarisi
hartamu dan menagambil diyat karenamu. Kemudian orang lain tersebut menerima
perjanjian itu. Pihak pertama disebut al-mawali dan pihak kedua disebut
al-mawala.
Adapun bagian orang yang
memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam) dari harta
peninggalan. Terhadap wala al-muwalah menurut jumhur ulama demikian pula
Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah melaluisurat al-Anfal ayat
75 :
Orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang
bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.
C. Sebab-Sebab Yang Menjadi Penghalang Kewarisan
Hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang terhalang untuk mewarisi
( موانع الارث ) ada
tiga macam, yaitu : (Perbudakan, Pembunuhan, Berlainan)
1. PERBUDAKAN
Perbudakan menjadi
penghalang untuk mewarisi berdasarkan adanya petunjuk umum yang menyatakan
budak tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum. Hal ini
berdasarkan surat al-Anfal ayat 75 :
Allah membuat perumpamaan
dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap
sesutupun…(Q.S. Al-Anfal : 75).
Mafhum ayat tersebut
menjelaskan bahwa budak itu tidak cakap untuk mengurusi hak milik kebendaan
dengan jalan apa saja. Hak-hak kebendaannya sepenuhnya berada ditangan tuannya.
Dan status kekerabatan dengan keluarganya sudah putus. Sebagaimana dinyatakan
oleh Drs. Fatchur Rahman, bahwa budak tidak dapat mewarisi karena :
a. Ia dipandang tidak cakap
mengurusi harta milik;
b. Status kekeluargaannya
terhadap kerabat-kerabatnya sudah putus dan karenanya ia sudah menjadi keluarga
asing (bukan keluarganya).
Menurut Ali Ahmad
Al-Juejawy, budak itu tidak dapat mewarisi harta peninggalan tuannya bila
tuannya meninggal, disebabkan budak itu sendiri berstatus sebagai harta milik
bagi tuannya.
Kitab Undang-undang
Kewarisan Mesir tidak memuat pasal tentang penghalang mewarisi karena
perbudakan, karena di negara tersebut perbudakan dilarang oleh undang-undang.
Hal tersebut merupakan hal
yang sangat positif, karena pada hakikatnya Islam tidak menghendaki adanya
perbudakan. Hal tersebut dapat kita perhatikan dari gencarnya Islam
menghapuskan perbudakan dengan adanya hukuman yang diberikan kepada seseorang
berupa pembebasan budak. Budak adalah tetap manusia yang mempunyai harkat dan
martabat, hanya karena statusnya yang tidak memiliki kecakapan apapun. Hal
tersebut terjadi karena masa jahiliyah (sebelum Islam dating) budak diposisikan
dengan cara yang tidak terhormat, dapat diperlakukan apa saja dan dianggap
seperti barang/harta. Sehingga ajaran Islam yang sangat memperhatikan keadaan
dan kondisi suatu masyarakat, tidak dengan serta merta (secara totalitas)
menghapuskan tradisi tersebut. Proses tasyri’ yang sedemikian dapat juga kita
perhatikan dari proses pengharaman khamar (minuman keras) yang dilakukan dengan
bertahap.
2. PEMBUNUHAN
Pembunuhan yang dilakukan
oleh ahli waris terhadap al-muwarris menyebabkannya tidak dapat mewarisi
hartanya. Demikian kesepakatan mayoritas (jumhur) ulama. Hal tersebut merupakan
hal yang cukup beralasan, karena tidak menutup kemungkinan untuk menguasai
harta seseorang membunuh orang lain. Karena motivasi yang tidak baik tersebut,
maka terhadap orang yang membunuh tidak diperkenankan dan tidak berhak mewarisi
harta peninggalannya.
Terhadap masalah ini,
golongan khawarij, yang memisahkan diri dari Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah,
menentang pendapat ini. Alasan mereka, ayat-ayat al-Quran bersifat umum dan
tidak mengecualikan si pembunuh. Karena ayat-ayat kewarisan hanya memberi
petunjuk umum, sehingga keumuman ayat-ayat tersebut harus diamalkan.
Dalam hal ini mereka hanya
mengacu pada keumuman ayat-ayat kewarisan. Padahal dalam hadis nabi Muhammad
SAW. adanya pengecualian terhadap pembunuh. Adapun dasar hukum yang
dipergunakan oleh mayoritas (jumhur) ulama yang menyatakan pembunuh terhalang
untuk mewarisi adalah;
1. Riwayat Ahmad dari
Ibnu Abbas : Rasulullah SAW. bersabda : Barang siapa membunuh seseorang korban,
maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris
selain dirinya. (Begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau
anaknya sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan. (H.R.
Ahmad).
2. Riwayat An-Nasai : Tidak
ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi. (H.R. An-Nasai).
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, maka secara jelas
dinyatakan pembunuh terhalang untuk mewarisi harta orang yang dibunuhnya. Hal
tersebut, walaupun tidak ada ahli waris lain selain dirinya, ataupun yang
dibunuhnya orang tua atau anaknya. Yang menjadi permasalahan adalah, mengingat
banyaknya jenis dan macam pembunuhan. Apakah secara keseluruhan pembunuhan
menjadi penghalang untuk mewarisi. Dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu :
3.
BERLAINAN AGAMA
Terhadap orang yang
berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam menjadi penghalang mewarisi.
Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang
beragama non Islam.
Adapun dasar hukumnya adalah
hadis rasulullah SAW. : Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang
kafir tidak mewarisi harta orang Islam.
Kemudian hadis riwayat Ashab
Al-Sunan (Imam Abu daud, Al-Tirmizi, Al-Nasai, dan Ibnu majah) : Tidak dapat
saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda.
Dalam hal ini nabi Muhammad
SAW. ketika membagikan harta warisan paman beliau, Abu Thalib, orang yang cukup
berjasa dalam perjuangan nabi SAW. yang meninggal sebelum masuk Islam, oleh
nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafoir,
yaitu, ‘Uqail dan Talib. Sedangkan terhadap anak-anaknya yang sudah masuk
Islam, yaitu Ali dan Ja’far, tidak diberi bagian.
Dalam hal ini terdapat
permasalahan, yaitu apabila pewaris masuk Islam sesudah meninggalnya orang yang
mewarisi, dan harta peninggalan (ketika ia masuk Islam) belum
dibagikan. Ada beberapa pendapat sebagai berikut :
1. Jumhur ulama tetap
berpendapat terhalangnya orang tersebut untuk mewarisi hartanya. Karena yang
menyebabkan timbulnya hak mewarisi adalah sejak (karena) kematian orang yang
mewarisi, bukan saat dimulainya pembagian harta waris.
2. Imam Ahmad dalam
salah satu pendapatnya, menyatakan bahwa pewaris tersebut tidak terhalang,
dengan alas an predikat “berlainan agama’ sudah hilang sebelum pembagian harta
warisan.
3. Fuqaha aliran
Imamiyah berpendapat sama dengan Ahmad bin Hanbal, tidak terhalang, karena
harta peninggalan itu belum menjadi milik harta waris secara tetap, sebelum
dibagi-bagikan kepada ahli waris
D. Warisan dalam UU No 7 Tahun 1989
Hukum waris dalam Islam
ialah berasal dari wahyu Allah dan diperjelas oleh RasulNya. Hukum waris ini
diciptakan untuk dilaksanakan secara wajib oleh seluruh umat Islam. Semenjak
hukum itu diciptakan tidak pernah mengalami perubahan, karena perbuatan
mengubah hukum Allah ialah dosa. Semenjak dsahulu sampai sekarang umat Islam
senantiasa memegang teguh hukum waris yang diciptakan Allah yang bersumber pada
kitab suci Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah.
Dalam Undang undang no 7
Tahun 1989, hukum waris itu dicamtumkan secara sistematis dalam 5 bab yang
tersebar atas 37 fasal dengan perincian sebagai berikut:
Bab. I : Terdiri
atas 1 pasal , ketentuan umum.
Bab. II : Terdiri
atas 5 pasal, berisi tentang ahli waris
Bab.
III. : Terdiri atas 16 pasal, berisi tentang besarnya bagian ahli
waris
Bab. IV : Terdiri
atas 2 pasal, berisi tentang aul dan rad.
Bab. V : Terdiri
atas 13 pasal, berisi masalah wasiat
Demikianlah selayang pandang
tentang Undang-Undang no 7 tahun 1989, Prinsipnya sama dengan hukum yang
bersumber dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Cara Menghitung, Membagikan
Warisan
Contoh Kasus
Pertanyaan :
Seseorang Meninggal dunia meninggalkan harta warisan senilai
Rp 66.000.000.00. Ahli waris terdiri dari kakek, bapak, dan 2anak laki-laki.
Berapa bagian masing-masing?
Jawab :
Untuk dapat menjawab kasus ini mari kita buka materi yang terdapat pada
BAB VII, disana dikatakan bahwa Bapak mendapatkan bagian 1/6
penyelesainnya adalah 1 x Rp 66.000.000.00 / 6 = Rp 11.000.000.00 jadi bapak
mendapatkan bagian sejumlah Rp 11.000.000.00, sedangkan 2 Anak laki-laki adalah
asobah/sisa, maka Penyelesainnya Rp 66.000.000.00 - Rp 11.000.000.00 = Rp
55.000.000.00, seorang anak laki-laki adalah Rp 55.000.000.00 / 2 =
Rp 27.500.000.00
Bagiman adengan kakek, kakek
tidak memiliki hak waris karena terhalang oleh ayah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata
miras (موارث), yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata :
warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ;
berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum
kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama
ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang),
tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i.
Dalam kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak kewarisan ada tiga,
yaitu; hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan dan hubungan karena sebab
al-wala’.
Hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang terhalang untuk mewarisi
( موانع الارث ) ada
tiga macam, yaitu : (Perbudakan, Pembunuhan, Berlainan)
Dalam Undang undang no 7
Tahun 1989, hukum waris itu dicamtumkan secara sistematis dalam 5 bab yang
tersebar atas 37 fasal dengan perincian sebagai berikut:
Bab. I : Terdiri
atas 1 pasal , ketentuan umum.
Bab. II : Terdiri
atas 5 pasal, berisi tentang ahli waris
Bab.
III. : Terdiri atas 16 pasal, berisi tentang besarnya bagian ahli
waris
Bab. IV : Terdiri
atas 2 pasal, berisi tentang aul dan rad.
Bab. V : Terdiri
atas 13 pasal, berisi masalah wasiat
DAFTAR PUSTAKA
Fiqh islam, lengkap mazhab Syafi’i,
dib al bugha, musthafa,2009, media Zhikir solo
Fiqh mawaris pembagian waris
berdasarkan syariat islam Prof Dr Muhammad teungku hasbi ash- shiddieqy
Hukum waeis islam, tela’ah
terhadap hukum waris islam dan implementasinya di Indonesia, Dr. H. Kosim Rusdi
M.Ag
0 komentar:
Post a Comment