prestasi dan wanprestasi




Contoh Makalah "Hukum Perdata" tentang "Prestasi dan Wanprestasi"
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015


KATA  PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penyusun ucapkan kehadirat  Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul "PRESTASI DAN WANPRESTASI" tepat pada waktunya. Dan tidak lupa pula kita sanjung pujikan kepada Nabi Besar Muhamad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita ke alam yang terang benderang ini.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Terima kasih yang sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Makalah ini. Wassalam.


Sigli, 10 April 2015
Pemakalah


KELOMPOK 9




DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR............................................................................................             i
DAFTAR ISI............................................................................................................             ii

BAB I        PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...................................................................................            1
B.    Rumusan Masalah..............................................................................             2

BAB II       PEMBAHASAN
A.    Prestasi...............................................................................................            2
B.     Wanprestasi  ......................................................................................             5
C.     Ganti kerugian ..................................................................................             9

BAB III    PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................             11

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................            12







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang-orang yang tidak sadar bahwa setiap harinya mereka melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli suatu barang atau menggunakan jasa angkutan umum, perjanjian sewa-menyewa hal-hal tersebut merupakan suatu perikatan. Perikatan di Indonesia diatur pada buku ke III KUHPerdata(BW). Pengertian perikatan sendiri tidak diatur secara yuridis dalam KUHPerdata tapi dapat dipahami melalui pendapat-pendapat para Sarjana Hukum dan Ahli Hukum, yang kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa perikatan itu adalah hubungan hukum antara subjek hukum (debitur dan kreditur) yang menimbulkan prestasi (hak dan kewajiban) yang merupakan kepentingan di bidang kekayaan (sesuatu yang dinilai dari nilai ekonomis). Perikatan sendiri memiliki berbagai macam atau jenis berdasarkan KUHPerdata.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan prestasi ?
2.      Apa yang dimaksud dengan wanprestasi ?
3.      Bagaimana yang dimaksud dengan ganti rugi ?










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Prestasi
Prestasi adalah yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitur. Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditur. Tetapi jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan pasal 1234 KUH Perdata ada tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu (a) memberikan sesuatu, (b) berbuat sesuatu, (c) tidak berbuat sesuatu. Dalam pasal 1235 ayat 1 KUH Perdata pengertian memberikan sesuatu adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur, misalnya dalam jual beli , sewa-menyewa, hibah, perjanjian gadai, hutang-piutang.
Dalam perikatan yang objeknya “berbuat sesuatu”, debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditentukan dalam perikatan, misalnya melakukan perbuatan membongkar tembok, mengosongkan rumah, membangun gedung. Dalam melakukan perbuatan itu debitur harus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan. Debitur bertanggung jawab atas perbuatnnya yang tidak sesuai dengan ketentuan perikatan.
Dalam perikatan yang objekbnya “tidak berbuat sesuatu”, debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya tisdak melakukan persaingan yang telah diperjanjikan, tidak membuat tembok yang tingginya yang menghalangi pemandangan tetangganya. Apabila debitur berlawanan dengan periktan ini, ia bertanggung jawab karena   melanggar perjanjian.
Salah satu unsur dari suatu perikatan adalah adanya suatu isi atau tujuan perikatan, yakni suatu prestasi yang terdiri dari 3 (tiga) macam :
1.      Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.
Contoh: jual beli, sewa menyewa
2.      Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu lukisan untuk pemesan
3.      Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu bangunan, perjanjian untuk tidak menggunakan merk dagang tertentu.
Prestasi dalam suatu perikatan tersebut harus memenuhi syarat-syarat:
1.      Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat ditentukan jenisnya. Misalnya: A melever beras Jawa 1 kwintal.
Tanpa adanya ketentuan sulit untuk menentukan apakah debetur telah memenuhi prestasi atau belum.
2.      Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan
Tanpa suatu kepentingan orang tidak dapat mengadakan tuntutan. Misalnya : concurrentie Beding (syarat untuk tidak bersaingan). Contoh: A membeli pabrik sepatu dari B dengan syarat bahwa B tidak boleh mendirikan pabrik yang memproduksi sepatu pula. Karena A menderita kerugian, maka pabrik sepatu diganti dengan produk lain. Dalam hal ini B boleh mendirikan pabrik sepatu lagi, karena antara A dan B sekarang tidak ada kepentingan lagi.
3.      Prestasi harus diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
4.      Prestasi harus mungkin dilaksanakan
Contoh: A akan melever beras 2 ton satu bulan lagi kepada B. apabila debitur tidak dapat memenuhi prestasi, maka dikatakan bahwa debetur tersebut melakukan wanprestasi. Wanprestasi adalah keadaan dimana seseorang telah lalai untuk memenuhi kewajiban yang diharuskan oleh Undang-undang. Jadi wanprestasi merupakan akibat daripada tidak dipenuhinya perikatan hukum. Jika tidak ditentukan lain daripada isi kontrak tersebut, maka seseorang debitur harus segera memenuhi prestasi (harus segera mempresteerd).
Namun seseorang itu tidak dengan sendirinya dalam keadaan wanprestasi, apabila ia tidak mempresteerd. Ia (debitur) harus ditegur atau diberitahu terlebih dahulu oleh kreditur, teguran itu disebut “sommatie” atau “aamaning”, yakni teguran atau pemberitahuan yang dilakukan oleh kreditur kepada debetur bahwa perikatan itu harus ditepati sesuai dengan apa yang tercantum dalam pemberitahuan tersebut. Jadi debetur dalam keadaan wanprestasi apabila ia tidak mempresteerd dan telah ditegur atau disommert.
Sommatie dapat dilakukan dengan bebas, misalnya dengan lisan, tertulis, atau melalui telepon. Jadi sommatie tidak terikat dalam bentuk tertentu. Sommatie harus berisi:
1.      Jangka waktu mempresteerd
Sommatie harus berisi jangka waktu yang cukup pantas dengan melihat berat ringannya prestasi yang harus dilaksanakan itu.
2.      Apa yang harus dilakukan
3.      Tuntutan prestasi itu disasarkan atas hal apa
Tidak setiap wanprestasi memerlukan suatu sommatie. Sommatie tidak diperlukan dalam hal:
1.      Jika didalam perjanjian telah disyaratkan bahwa debetur tanpa sommatie sudah dianggap dalam keadaan wanprestasi.
2.      Jika prestasi hanya dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau jika dengan lampaunya jangka waktu tertentu prestasi tidak berlaku lagi.
Contoh: A harus melever baju termanten 21 Juli 2011. Setelah tanggal yang ditentukan tersebut baju temanten tidak berguna lagi.
3.      Jika sifat perjanjian dengan sendirinya telah mengatakan adanya wanprestasi apabila batas waktunya telah lampau.
Contoh: A harus membuat rumah yang selesai tanggal 21 Juli 2011. Akan tetapi setelah tiba saatnya, rumah itu belum selesai.
4.      Jika debetur melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban atau isi perikatan.
5.      Jika debetur dengan terang-terangan mengatakan bahwa ia tidak mam mempersteerd.
6.      Jika debetur mempresteerd akan tetapi tidak sempurna (kurang nilainya).

B.     Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu:
1.      Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban maupun karena kelalaian.
2.      Karena keadaan memaksa (overmacht), force mejeure, jadi di luar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.
Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sangaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:
1.      debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,
2.      debitur memenuhi prestasi, tetapi tetapi tidak baik atau keliru,
3.      debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Ada 4 macam bentuk wanprestasi, yaitu:
1.      Tidak memenuhi prestasi sama sekali
2.      Terlambat memenuhi prestasi
3.      Memenuhi prestasi tetapi tidak sempurna
4.      Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban atau isi perikatan.
Apabila debitur melakukan wanprestasi, maka debetur dapat dikenai sanksi-sanksi atau hukuman-hukuman.
1.      Dipaksa untuk memenuhi perikatan
2.      Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur
3.      Pembatalan/pemecahan perikatan
4.      Peralihan resiko
5.      Membayar biaya perkara kalau sampai diperkarakan ke Pengadilan.
Terhadap debetur yang melakukan wanprestasi, kreditur dapat memilih tuntutan-tuntutan sebagai berikut:
1.      Pemenuhan perjanjian.
2.      Pemenuhan perjanjian disertai dengan ganti rugi.
3.      Ganti rugi saja.
4.      Pembatalan perjanjian.
5.      Pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi.
Menurut pasal 1246 KUH Pdt, ganti rugi yang dapat dibebankan pada debetur yang wanprestasi adalah:
1.      Kerugian yang nyata-nyata diderita oleh kreditur yang disebut dengan Damnun Emergens.
Contoh: Barang yang dititipkan rusak atau musnah
2.      Keuntungan yang seharusnya diperoleh yang disebut LUCRUM CESANS.
Contoh: A berjanji menjual sebuah mobil dengan harga Rp. 100 juta kepada B. tetapi pada saat yang dujanjikan A tidak dapat melever sehingga B terpaksa membeli mobil dengan  merk dan kwalitas yang sama dengan yang dijanjikan A seharga Rp 125 juta. Dalam hal ini kalau B membeli mobil A ia akan mendapat keuntungan Rp 25 juta, tetapi sebaliknya B malah menerima kerugian sebesar Rp 25 juta. Inilah keuntungan yang dialihkan pada orang lain.
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau saksi hukum berikut ini:
1.      Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH Perdata);
2.      Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan/pembatalan perikatan melalui Hakim (pasal 1266 KUH Perdata);
3.      Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko berlaih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi (pasal 1237  ayat 2);
4.      Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUH Perdata);
5.      Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah;
6.      Keadaan Mamaksa (overmacht).
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitur karena peristiwa yang yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa, debitur tidak dapat dipersalahkan, karena keadaan ini timbul diluar kemauan dan kemampuan debitur. Unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
1.      Tidak  dipenuhinya  prestasi   karena   terjadi   peristiwa    yang membinasakan / memutuskan benda objek perikatan; atau
2.      Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprstasi;
3.      Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.
Dalam hal ini keadaan memaksa yang memenuhi unsur satu dan tiga, maka keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa objektif”. Vollmar menyebutnya dengan absolute overmacht. Dasarnya ialah ketidakmungkinan (impossibility) memenuhi prestasi, karena bendanya lenyap/musnah. Misalnya jual beli lukisan karapan sapi karya Afandi, ketika akan diserahkan kepada pembeli di sebuah hotel, lukisan tersebut terbakar habis bersama-sama mobil yang membawanya karena kecelakaan lalu lintas. Peristiwwa ini mengakhiri perikatan karena tidak mungkin dapat dipenuhi oleh debitur.
Dalam hal terjadinya keadaan memaksa yang memenuhi unsur dua dan tiga, keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa yang subjektif”. Vollmar menyebutnya dengan relative overmacht. Dasarnya ialah kesulitan memenuhi prestasi, karena ada peristiwa yang menghalagi debitur untuk berbuat. Misalnya seorang mahasiswa membeli sebuah mesin tik dari seorang pedagang, yang disanggupi untuk dikirimkan dalam waktu satu minggu. Kemungkinan kapal yang mengangkut benda itu membentur karang, sehingga harus masuk dok untuk   perbaikan. Di sini debitur mengalami kesulitan memenuhi prestasi.
Dalam peristiwa ini debitur bukannya tidak mungkin memenuhi prestasi, tetapi sulit memenuhi prestasi, bahkan kalau dipenuhi juga memerlukan waktu dan biaya yang banyak. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara. Perikatan tidak berhenti (tidak batal) hanya pemenuhan prestasinya tertunda. Jika kesulitan sudah tidak ada lagi pemenuhan prestasi diteruskan. Tetapi jika prestasi itu sudah tidak berarti lagi bagi kreditur karena sudah tidak diperlukan lagi, maka perikatan “gugur” (verbal).
Perbedaan antara perikatan batal dengan perikatan gugur terletak pada ada tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi. Pada perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah, sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh debitur (sifat prestasi). Sedangkan pada perikatan gugur, objek perikatan ada, sehingga mungkin dipenuhidengan segala macam usaha debitur, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur. Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh debitur, tetapi kreditur tidak menerima karena tidak ada arti     (manfaat) lagi, perikatan “dapat  dibatalkan” (vernietigbaar). Persamaannya ialah pada perikatan batal, gugur, keduanya itu tidak memcapai tujuan.
Dalam KUH Perdata keadaan mamaksa tidak diatur secara umum, melainkan secara khusus pada perjanjian-perjanjian tertentu saja, misalnya pasal 1237 KUH Perdata perjanjian sepihak, pasal 1460 KUH Perdata perjanjian jual beli, pasal 1545 KUH Perdata perjanjian tukar menukar, pasal 1553 KUH Perdata perjanjian sewa-meyewa, Karena itu, pihak-pihak bebas memperjanjikan tanggung jawab itu dalam perjanjian yang mereka buat, apabila terjadi keadaan memaksa.
Dalam keadaan memaksa pada perjanjian hibah, resiko ditanggung oleh kreditur (pasal 1237 KUH Perdata). Pada perjanjian jula beli, resiko ditanggung oleh kedua belah pihak (SEMA. No. 3 tahun 1963 mengenai pasal 1460 KUH Perdata). Pada perjanjian tukar menukar, resiko ditanggung oleh pemiliknya (pasal 1545 KUH Perdata). Pada perjanjian sewa-meyewa, resiko ditanggung oleh pemilik benda (pasal 1553 KUH Perdata).

C.    Ganti Kerugian
Menurut ketentuan pasal 1243 KUH Perdata, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetapi melalaikan, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Maksud  “kerugian” dalam pasal di atas ialah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi (lalai atau sengaja untuk memenuhi prestasi). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyakan lalai. Ganti rugi itu terdiri dari tiga unsur, yaitu:
1.      Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkos cetak, biaya materai, biaya iklan;
2.      Kerugian sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur, misalnya busuknya buah-buahan karena kelambatan penyerahan,     ambruknya rumah karena kesalahan konstruksi, sehingga merusak perabot rumah tangga;
3.      Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang terlambat diserahkan (dilunasi), keuntungan yang tidak diperoleh karena kelambatan penyerahan bendanya.
Ganti kerugian harus berupa uang, bukan barang, kecuali jika diperjanjian lain. Dalam ganti keruagian itu tidak selalu ketiga unsur itu harus ada. Yang ada itu mungkin hanya kerugian yang sesungguhnya, atau mungkin hanya ongkos-ongkos atau biaya, atau mungkin keugian sesungguhnya ditambah dengan ongkos atau biaya.
Untuk melindungi debitur dari tuntutan sewenang-wenang pihak kreditur, undang-undang memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian yang harus dibayar oleh debitur sebagi akibat dari kelalaiannya (wanprestasi). Kerugian yang harus dibayar oleh debitur hanya meliputi :
1.      Kerugian yang dapat diduga ketika membuat periktan. Dapat diduga itu tidak hanya mengenai kemungkinan timbulnya kerugian, melainkan juga meliputi besarnya jumlah kerugian. Jika jumlah kerugian melampaui batas yang dapat diduga, kelebihan yang melampaui batas batas yang diduga itu tidak boleh dibebankan jkepada debitur, kecuali jika debitur ternyata melakukan tipu daya (pasal 1247 KUH Perdata).
2.      Kerugian sebgai akibat langsung dari wanprestasi  (kelalaian) debitur, seperti yang ditentukan dalam pasal 1248 KUH Perdata. Untuk menentukan syarat “akibat langsung” dapat dipakai teori adequate. Menurut teori ini, akibat langsung ialah akibat yang menurut pengalaman manusia normal dapat diharapkan atau dapat diduga akan terjadi. Dengan timbulnya wanprestasi, debitur selalu manusia normal dapat menduga akan merugikan kreditur. Teori adequte ini diikuti dalam praktek peradilan.
3.      Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (pasal 1250 KUH Perdata). Besarnya bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Menurut yurisprodensi, pasal 1250 KUH Perdata tidak dapat diberikan terhadap periktan yang timbul karena perbuatan melawan hukum (Sri Soedewi, 1974: 36).

  

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Prestasi adalah yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitur. Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditur. Tetapi jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu:
1.      Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban maupun karena kelalaian.
2.      Karena keadaan memaksa (overmacht), force mejeure, jadi di luar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.
Menurut ketentuan pasal 1243 KUH Perdata, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetapi melalaikan, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.





DAFTAR PUSTAKA

Komariah SH.SMI. Hukum Perdata, Edisi Revisi, (Malang: Liberty, 2001)
Djamali, Abdul. 1983. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada.
Setiawan. 1977. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta.
Tirtodiningrat. 1966. Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Jakarta: Gunung Sahari 84.
Abdul Kadir, Muhammad. 1990. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Subekti. 1954. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Interma


1 komentar:

 
Top