Makalah Tafsir tentang Ayat-Ayat yang berhubungan dengan manusia
Disusun oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015


tafsir tentang manusia




KATA PENGANTAR

            Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Tafsir pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini penulis mengangkat judul Ayat-ayat Tentang Manusia”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.


Wassalam
Penulis,


KELOMPOK 3



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR............................................................................................             i
DAFTAR ISI............................................................................................................             ii

BAB I       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...................................................................................            1
B.    Rumusan Masalah..............................................................................             1

BAB II       PEMBAHASAN
A.    Posisi Manusia sebagai Puncak Ciptaan Tuhan di antara
Makhluk-makhluk Lain......................................................................            2
B.     Struktur Potensi Manusia: jasadiyah dan ruhiyah.............................            6
C.     Misi Manusia sebagai Khalifah Allah di Muka Bumi........................             7
D.    Sikap Seorang Khalifah Allah di Muka Bumi...................................             8

BAB III    PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................             12

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................            13






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat kompleks sekali, terbukti dengan beratus bahkan beribu-ribu syaraf dan organ yang ada di dalam tubuh manusia. Manusia yang tercipta dari tanah itu pun yang kemudian menjadi pemimpin di bumi. Bahkan sebagai makhluk terbaik (dalam penciptaannya) dibanding makhluk yang lain seperti hewan, jin bahkan malaikat sekalipun. Apakah benar adanya?
Untuk itu dalam makalah ini akan kami kaji dan paparkan  dari berbagai tafsiran ayat-ayat Al-Quran mengenai masAlah-masAlah yang berhubungan dengan manusia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Menjelaskan penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan posisi manusia sebagai puncak ciptaan Tuhan di antara makhluk-makhluk sosial lain!
2.      Menjelaskan penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan struktur potensi manusia: jasadiyah dan ruhiyah!
3.      Menjelaskan penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan misi manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi!
4.      Menjelaskan penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan sikap seorang khalifah Allah di bumi!

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah agar kami mahasiswa/I mampu memahami ayat-ayat yang berhubungan dengan manusia.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Posisi Manusia sebagai Puncak Ciptaan Tuhan di antara Makhluk-makhluk Lain QS At-Tin: 4-5
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ   ¢OèO çm»tR÷ŠyŠu Ÿ@xÿór& tû,Î#Ïÿ»y ÇÎÈ  
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)[1]
Kata (خلقنا ) khalqna/ Kami telah menciptakan terdiri atas kata (خلق) khalaqa dan (نا) yang berfungsi sebagai kata ganti nama. Karena na (Kami) yang menjadi kata ganti nama itu bisa juga digunakan untuk menunjuk satu pelaku saja dengan maksud mengagunggkan pelaku tersebut. Para raja biasa menunjuk dirinya dengan menggunakan kata “kami”. Allah juga sering kali menggunakan kata tersebut untuk menunjuk diri-Nya. Dari sisi lain, penggunaan kata ganti jamak itu (Kami) yang menunjuk kepada Allah mengisyaratkan adanya keterlibatan selain-Nya dalam perbuatan yang ditunjuk oleh kata yang dirangkaikan dengan kata tersebut. Jadi, kata khalaqna mengisyaratkan keterlibatan selain Allah dalam penciptaan manusia. Dalam hal ini adalah ibu bapak manusia. Di tempat lain Allah menegaskan bahwa Dia adalah ahsan Al Khaliqin/sebaik-baik Pencipta (QS. Al- Mu’minun [23]:14). Ini menunjukkan bahwa ada pencipta lain, namun tidak sebaik Allah. Peranan yang lain itu sebagai “pencipta” sama sekali tidak seperti Allah, melainkan sebagai alat atau perantara.
Kata (الانسان) Al-insan/manusia yang dimaksud oleh ayat ini, menurut Al-Qurthubi adalah banyak manusia-manusia yang durhaka pada Allah. Pendapat ini ditolak oleh banyak pakar tafsir dengan alasan antara lain adanya pengecualian yang ditegaskan oleh ayat berikut yaitu, kecuali orang-orang yang beriman. Ini menunjukkan bahwa “manusia” yang dimaksud oleh ayat ini adalah jenis manusia secara umum, mencakup yang mukmin maupun yang kafir. Bahkan Bint asy-Syathi’ merumuskan bahwa semua kata Al-insan dalam Al-Qur’an yang berbentuk definit yaitu dengan menggunakan kata sandang Al berarti menegaskan jenis manusia secara umum, mencakup siapa saja.
Kata ( تقويم) taqwiim  barakar dari kata ( قوم) qawama, yang darinya terbentuk kata qaa’imah, istiqomah, aqimu dan sebagainya, yang keseluruhannya menggambarkan kesempurnaan sesuatu sesuai dengan objeknya. Kata ( اقيموا) aqimu yang digunakan untuk perintah melakasanakan shalat, berarti bahwa shalat harus dilaksanakan secara sempurna sesuai dengan syarat, rukun, dan sunnah-sunnahnya.
Kata taqwim diartikan sebagai menjadikan sesuatu memiliki (qowama) qiwam yakni bentuk fisik yang pas dengan fungsinya. Ar Raghib Al-Ashfahani, pakar bahasa Al-Qur’an, memandang kata taqwim di sini sebagai isyarat keistimewaaan manusia disbanding binatang, yaitu akal, pemahaman, dan bentuk fisiknya yang tegak dan lurus. Jadi, kalimat ahsan taqwim berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang menyebabkan manusia dapat melaksanakan fungsinya sebaik mungkin. Jika demikian, tidaklah tepat memahami ungkapan sebaik-baik bentuk terbatas dalam pengertian fisik semata-mata. Ayat ini dikemukakan dalam konteks penggambaran anugerah Allah kepada manusia, dan tentu tidak mungkin anugerah tersebut terbatas pada bentuk fisik. Apalagi secara tegas Allah mengecam orang-orang yang bentuk fisiknya baik, namun jiwa dan akalnya kosong dari nilai-nilai agama, etika, dan pengetahuan.
Kata   رددنهradadnahu terdiri atas kata  ردد radada yang dirangkaikan dengan kata ganti dlam bentuk jamak na serta kata ganti yang berkedudukan sebagai objek hu. Rodada antara lain berarti mengalihkan, memalingkan, atau mengembalikan. Keseluruhan makna tersebut dapat disimpulkan sebagai “perubahan keadaan sesuatu seperti keadaan sebelumnya.” Atas dasar ini, kata tersebut dapat pula diartikan “menjadikannya kembali.”
Manusia yang telah diciptakan Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya karena satu dan lain hal sehingga kemudian kami Allah bersama dengan manusia itu sendiri mengembalikannya ke tingkat yang serendah-rendahnya.
Mengenai makna dari kalimat (اسفل سفلين ) asfala safilin, para ahli tafsir mengemukakan dalam tiga pendapat, yaitu:
Pertama, keadaan kelemahan fisik dan psikis di saat tuanya, seperti di kala ia masih bayi. Pendapat ini ditolak oleh sementara pakar berhubung adanya pengecualian pada ayat berikut: karena orang beriman pun dapat mengalami keadaan serupa. Makna ini dapat diterima jika kata   الاilla diterjemahkan tetapi bukan kecuali.
Kedua, neraka dan kesengsaraan. Pendapat ini pun disoroti dengan suatu pertanyaan, yaitu, apakah sebelum ini manusia pernah berada di sana? Kalau tidak - dan memang tidak, maka mengapa dikatakan “Kami mengembalikannya?” pendapat ini dapat diterima jika kata radadnahu dipahami dalam arti mengalihkannya atau menjadikannya.
Ketiga, keadaan ketika ruh Ilahi belum lagi menyatu dengan diri manusia. Pendapat inilah yang dianggap lebih tepat.
Manusia mencapai tingkat yang setinggi-tingginya (ahsan taqwim) apabila terjadi perpaduan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, antara kebutuhan fisik dan jiwa. Tetapi, apabila ia hanya memperhatikan dan melayani kebutuhan-kebutuhan jasmaninya saja, maka ia akan kembali atau dikembalikan kepada proses awal kejadiannya, sebelum ruh Ilahi itu menyentuh fisiknya, ia kembali ke asfala safilin.[2]

Munasabah ayat di atas (antar ayat)  adalah:
QS. Al-Tin: 6
žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßgn=sù íô_r& çŽöxî 5bqãYøÿxE ÇÏÈ  
Artinya: “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Setelah Allah bersumpah dengan menyebut empat hal –sebagaimana terbaca pada ayat-ayat yang lalu, ayat-ayat di atas menjelaskan untuk sumpah itu. Di sini Allah berfirman bahwa: “Demi keempat hal di atas, sungguh Kami telah menciptakan manusia dAlam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Firman-Nya bahwa manusia diciptakan dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, tidak harus dipahami bahwa manusia adalah semulia-mulia makhluk Allah. Ini bukan saja karena di tempat lain manusia hanya dilukiskan:
QS. Al-Isra 70
* ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs? ÇÐÉÈ  
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Dengan bersumpah sambil mengukuhkan pernyataannya-Nya dengan kata (قد) qad, ayat ini menyatakan bahwa dan Kami, yakni Allah bersumpah bahwa sesungguhnya telah kami muliakan anak cucu Adam, dengan bentuk tubuh yang bagus, kemampuan berbicara dan berpikir, serta berpengetahuan dan Kami beri juga mereka kebebasan memilah dan memilih.
Dan kami angkut mereka dari daratan dan di lautan dengan aneka alat transportasi yang Kami ciptakan dan tundukkan bagi mereka, atau yang Kami ilhami mereka pembuatannya, agar mereka dapat menjelajahi bumi dan angkasa yang kesemuanya Kami ciptakan untuk mereka.
Dan Kami beri juga mereka rezeki dari yang baik-baik sesuai kebutuhan mereka, lagi lezat dan bermanfaat untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa mereka dan Kami lebihkan mereka atas banyak makhluk dari siapa yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. Kami lebihkan mereka dari hewan, dengan alat dan daya cipta sehingga menjadi makhluk yang bertanggung jawab. Kami lebihkan yang taat dari mereka atas  malaikat atas ketaatan manusia melalui perjuangan melawan setan dan nafsu, sedang ketaatan malaikat tanpa tantangan.  
Kata (كرّمنا) terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf kaf, ra’, dan mim, yang mengandung makna kemuliaan, serta keistimewaan sesuai objeknya.
Terdapat perbedaan antara  (فضّلنا) dan (كرّمنا). Yang pertama terambil dari kata (فضل) yakni kelebihan, dan ini mengacu pada penambahan dari apa yang sebelumnya telah dimiliki secara sama oleh orang-orang lain. Yang kedua yaitu كرّمنا maka seperti dikemukakan di atas ia adalah anugerah yang bersifat internal dalam konteks ayat ini, manusia dianugerahi Allah keistimewaan yang tidak dianugerahkan-Nya kepada selainnya dan itulah yang menjadikan manusia mulia serta harus dihormati dalam kedudukannya sebagai manusia.
 فضلناهم على كثيرممن خلقنا (Faddalnaa hum ‘Ala katsiriin mimman kholaqna).
            Pertama, penggalan ayat ini tidak menyatakan bahwa Allah melebihkan manusia atas semua ciptaan atau kebanyakan ciptaan-Nya, tetapi banyak di antara ciptaan-Nya. Atas dasar itu sungguh ayat ini tidak dapat dijadikan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia.
Kedua, ayat di atas mengisyaratkan bahwa kelebihan itu dibanding dengan ciptaan Allah dari siapa yang telah diciptakan-Nya. Kata dari siapa  merupakan terjemahan dari lafad mimman yang terdiri dari kata min dan man. Kata man  biasanya ditujukan untuk makhluk yang berakal. Di satu sisi kita dapat berkata bahwa jika Allah melebihkan manusia atas banyak makhluk berakal, maka tentu saja lebih-lebih lagi makhluk tidak berakal. 
Di sisi lain kita juga dapat berkata bahwa paling tidak ada dua makhluk berakal yang diperkenalkan Al-Quran yaitu jin dan malaikat. Ini berarti manusia berpotensi untuk mempunyai kelebihan dibanding dengan banyak -bukan semua- jin dan malaikat . Tentu saja manusia-manusia yang taat.

B.     Struktur Potensi Manusia: jasadiyah dan ruhiyah[3]
QS. Asy-syams: 7
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ  
Artinya: “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),

QS. Asy-syams 8-10
$ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ   ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ   ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ  
Artinya: “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Keempat ayat ini, ditambah dengan ayat surah Al-Balad ayat 10, “Dan Kami telah menunjukkannya dua jalan”, dan surat Al-Insaan ayat 3, “Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir….”, semuanya melukiskan kaidah teori kejiwaan dalam Islam. Ayat ini berhubungan dan melengkapi ayat-ayat yang mengisyaratkan kompleksitas tabiat manusia, seperti firman Allah dalam surat Shaad ayat 71-72, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.’”
Sesungguhnya manusia ini adalah makhluk yang memiliki tabiat, potensi, dan arah yang kompleks. Dan yang kami maksudkan dengan kata “kompleks” itu adalah dalam batasan bahwa dengan tabiat penciptaannya (yang merupakan campuran antara tanah dari bumi dan peniupan ruh ciptaan Allah padanya), maka ia dibekali dengan potensi-potensi yang sama untuk berbuat baik atau buruk, mengikuti petunjuk atau kesesatan. Ia mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, sebagaimana ia juga mampu untuk mengarahkan jiwanya kepada kebaikan atau keburukan. Kemampuan ini terkandung dan tersembunyi di dalam wujudnya, yang sekali waktu diungkapkan oleh Al Qur’an dengan ilham,
Di samping potensi-potensi fitrah yang tersembunyi ini, terdapat kekuatan pemikir dan pengarah di dalam diri manusia. Kekuatan inilah yang menjadi titik tekan pertanggungjawaban. Maka, barang siapa mempergunakan kekuatan ini untuk menyucikan dan membersihkan dirinya serta mengembangkan potensi kebaikannya dan mengalahkan potensi kejelekannya, niscaya dia akan beruntung. Barang siapa yang menganiaya kekuatan ini dan menyembunyikannya serta melemahkannya, niscaya dia akan merugi.
Dengan demikian, di sana terdapat pertanggungjawaban atas diberinya manusia kekuatan pemikir yang mampu untuk memilih dan mengarahkan potensi-potensi fitrah yang dapat berkembang di ladang kebaikan dan ladang keburukan ini. Karena itu, jiwa manusia bebas tetapi bertanggung jawab. Ia adalah kekuatan yang dibebani tugas, dan ia adalah karunia yang dibebani kewajiban.
Demikianlah yang dikehendaki Allah secara garis besar terhadap manusia. Segala sesuatu yang sempurna dalam menjalankan peranannya, maka itu adalah implementasi kehendak Allah dan qadar-Nya yang umum.

C.    Misi Manusia sebagai Khalifah Allah di Muka Bumi
QS. Al-Baqarah: 29
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ  
Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.[4]

QS. Al-Baqarah 30
øŒÎ)ur tA$s% šu Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ  
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."[5]

pxÿÎ=yz - Khalifah         : Artinya jenis lain dari makhluk sebelumnya. Bisa juga diartikan sebagai pengganti Allah untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya terhadap umat manusia.
Kandungan ayat ini sama dengan ayat sebelumnya, yakni menjelaskan nikmat-nikmat Allah, yang dengan nikmat itu dapat menjauhkan dari maksiat dan kufur, dan dapat memotivasi seseorang untuk beriman kepada Allah. Diciptakannya Nabi Adam dalam bentuk sedemikian rupa di samping kenikmatan memiliki ilmu dan berkuasa penuh untuk mengatur Alam semesta serta berfungsi sebagai khalifah Allah di bumi, hal tersebut merupakan nikmat yang paling agung dan harus disyukuri oleh keturunannya dengan cara taat kepada Allah dan tidak ingkar kepada-Nya, termasuk menjauhi kemaksiatan yang dilarang oleh Allah.
Pada ayat ini dan sebelumnya juga menceritakan kisah-kisah tentang kejadian umat manusia. Dalam penciptaan manusia itu mengandung hikmah dan rahasia yang diungkapkan dalam bentuk dialog dan musyawarah sebelum melakukan penciptaan. Ayat ini termasuk ayat mutasyabih (tidak mungkin hanya ditafsirkan dengan makna zahir-nya saja). Sebab, jika kita artikan Allah mengadakan musyawarah dengan hamba-Nya, diartikan pemberitahuan Allah kepada para Malaikat, yang kemudian Malaikat mengadakan sanggahan (bantahan). Pengertian seperti ini pun tidak bisa dinisbatkan kepada Allah maupun Malaikat.
      
D.    Sikap Seorang Khalifah Allah di Muka Bumi
Dari cara manusia untuk dilahirkan di bumi sehingga berkesempatan memiliki Alat berpikir dan bernalar serta peluang mendapat pendidikan, tampaklah betapa pentingnya ada sistem kekeluargaan bagi manusia agar bayi yang dihasilkan dari sel telur wanita dan nutfah pria dapat berkembang menjadi manusia dewasa yang cerdas dan dapat bermasyarakat dengan baik. Hanya manusia cerdas yang dapat bermasyarakat dengan baiklah yang mampu menjadi pewaris tuhan Yang maha Kuasa di bumi.
QS. Huud: 61
* 4n<Î)ur yŠqßJrO öNèd%s{r& $[sÎ=»|¹ 4 tA$s% ÉQöqs)»tƒ (#rßç6ôã$# ©!$# $tB ä3s9 ô`ÏiB >m»s9Î) ¼çnçŽöxî ( uqèd Nä.r't±Rr& z`ÏiB ÇÚöF{$# óOä.tyJ÷ètGó$#ur $pkŽÏù çnrãÏÿøótFó$$sù ¢OèO (#þqçqè? Ïmøs9Î) 4 ¨bÎ) În1u Ò=ƒÌs% Ò=ÅgC ÇÏÊÈ  
Artinya: “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekAli-kAli tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."

·           هوانشاكم من الارض واستعمركم فيها(Huwa an-sya-a kum minal ar-dhi was ta’marokum fihaa).
            Allah menjadikan kamu sebagai orang-orang yang memakmurkan bumi dengan cocok tanam, membangun dan membina hingga terdapatlah di bumi itu rumah-rumah yang tinggi, yang dibuat oleh tukang yang pandai-pandai. Allah menjadikan bumi dan pohon-pohon yang rindang dan buah-buahan yang sedap dan lezat rasanya.
·           فاستغفروه ثم توبوا اليه(Fastagh-firuuhu tsumma tuubu ilaihi).
                          Maka mohonlah kepada Allah supaya Dia mengampuni dosa-dosamu, kemudian bertobatlah kepada-Nya, ketika tiap-tiap dari kamu mengerjakan sesuatu dosa dan beramallah dengan amalan yang saleh.
·           اناربى قريب مجيب(Inna rabbi qariibum mujiib).
                          Tuhanku itu Maha Dekat kepada makhluk-Nya. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya dan Maha Memperkenankan doa.

Huud Ayat 62
(#qä9$s% ßxÎ=»|Á»tƒ ôs% |MYä. $uZŠÏù #vqã_ötB Ÿ@ö6s% !#x»yd ( !$uZ9yg÷Ys?r& br& yç7÷è¯R $tB ßç7÷ètƒ $tRät!$t#uä $uZ¯RÎ)ur Å"s9 7e7x© $£JÏiB !$tRqããôs? Ïmøs9Î) 5=ƒÍßD ÇÏËÈ  
Artinya: “Kaum Tsamud berkata: "Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami ? dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami."
·           قالواياصالح قدكنت فينا مرجواقبل هذا(qaalu yaa shaAlihu qad kunta fiina marjuwwan qabla haa-dzaa).
Kamu (Shaleh) adAlah orang yang kami harapkan dapat menyelesaikan urusan-urusan kami yang penting. Kamu adalah seorang yang berakal kuat, berpikiran cerdas, dan karena kau keturunan tinggi. Sekarang telah putus harapan kami padamu.
·                اتنهىنا ان نعبد ما يعبد ءاباءنا(A tanhaanaa an na’buda maa ya’budu aabaa-unaa).
Sungguh mengherankan kamu mencegah kami menyembah apa yang telah disembah oleh orang-orang tua kami dahulu. Kami hanya mengikuti langkah mereka.
·                واما لفى شك مما تدعونا اليه مريب(Wa innanaa lafii syakkim mim maa tad’uunaa ilaihi muriib).[6]
Sungguh kami ragu-ragu dan curiga terhadap apa yang kau seru.

Huud Ayat 63
tA$s% ÉQöqs)»tƒ óOçF÷ƒuäur& bÎ) àMZà2 4n?tã 7poYÉit `ÏiB În1§ ÓÍ_8s?#uäur çm÷ZÏB ZptHôqy `yJsù ÎTãÝÁZtƒ šÆÏB «!$# ÷bÎ) ¼çmçFøŠ|Átã ( $yJsù ÓÍ_tRr߃Ìs? uŽöxî 9ŽÅ¡øƒrB ÇÏÌÈ  
Artinya: “Shaleh berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.

·                قال يا قوم ارءيتم ان كنت على بينة من رب وءاتىنى منه رحمة(Qaala yaa qaumi a ra-aitum in kuntu ‘alaa bayyinatim mir rabbi wa aataanii minhu rahmatan)
Jelaskan padaku apa yang harus aku lakukan, wahai kaumku, jika aku benar-benar mempunyai hujjah dari Tuhanku bahwa apa yang aku dakwahkan kepadamu Alah benar-benar dari Allah. Dan Allah memang  telah memberikan suatu rahmat yang istimewa kepadaku, yakni Dia jadikan aku seorang nabi yang diutus kepadamu

·                فمن ينصرنى من الله ان عصيته(Fa may yan- shurunii minallahi in ‘a-shaituhuu).
Siapakah yang menghindarkan aku dari azab Allah, jika aku menyembunyikan wahyu-Nya atau aku menyembunyikan sesuatu yang tidak menyenangkan hatimu. Tak ada orang yang menolak azab dari aku. Oleh karenanya, aku tidak memedulikan tindakan-tindakanmu.
·                فماتزيدوننى غير تخسير (Fa maa taziiduunanii ghairu takh-siir).
Jika kamu tidak menambah sesuatu kepadaku jika kau memenuhi harapanmu dan jika aku takut kepada berburuk sangka, selain kau menjatuhkan aku ke dalam kebinasaan.[7]




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Manusia mencapai tingkat yang setinggi-tingginya (ahsan taqwim) apabila terjadi perpaduan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, antara kebutuhan fisik dan jiwa. Tetapi, apabila ia hanya memperhatikan dan melayani kebutuhan-kebutuhan jasmaninya saja, maka ia akan kembali atau dikembalikan kepada proses awal kejadiannya, sebelum ruh Ilahi itu menyentuh fisiknya, ia kembali ke asfala safilin.
Di samping potensi-potensi fitrah yang tersembunyi ini, terdapat kekuatan pemikir dan pengarah di dalam diri manusia. Kekuatan inilah yang menjadi titik tekan pertanggungjawaban. Maka, barang siapa mempergunakan kekuatan ini untuk menyucikan dan membersihkan dirinya serta mengembangkan potensi kebaikannya dan mengalahkan potensi kejelekannya, niscaya dia akan beruntung. Barang siapa yang menganiaya kekuatan ini dan menyembunyikannya serta melemahkannya, niscaya dia akan merugi.
Dari cara manusia untuk dilahirkan di bumi sehingga berkesempatan memiliki Alat berpikir dan bernalar serta peluang mendapat pendidikan, tampaklah betapa pentingnya ada sistem kekeluargaan bagi manusia agar bayi yang dihasilkan dari sel telur wanita dan nutfah pria dapat berkembang menjadi manusia dewasa yang cerdas dan dapat bermasyarakat dengan baik. Hanya manusia cerdas yang dapat bermasyarakat dengan baiklah yang mampu menjadi pewaris tuhan Yang maha Kuasa di bumi.

  

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Mushtafa, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992.
Al-Qarni, ‘Aidh, Tafsir Muyassar, Jakarta Timur: Qisthi Press, 2008.
Departemen Agama, Al-Quran dan terjemahannya, Bandung: CV. Penerbit AJ-ART, 2004.
Isawi, Muhammad Ahmad, Tafsir Ibnu Mas’ud, Jakarta selatan: Pustaka Azzam, 2009.
Syihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2007.






[1] Departemen Agama, Al--Quran dan terjemahannya, (Bandung: CV. Penerbit AJ-ART, 2004).
[2] Quraish Syihab, Tafsir Al--Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet X, hAl-. 377-382.
[3] Sayyid Quthb. Tafsir Fi zhilalil qur’an. (Jakarta: Gema Insani. 2001). Hal. 281-282 M.
[4] Departemen Agama, Al-Quran dan terjemahannya, (Bandung: CV. Penerbit AJ-ART, 2004).
[5] Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas’ud, (Jakarta selatan: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Hal. 181.
[6] Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992), Cet. II, Hal. 130-131.
[7] ‘Aidh Al-Qarni, Tafsir Muyassar, (Jakarta Timur: Qisthi Press, 2008), Cet. I, Hal. 253.

0 komentar:

Post a Comment

 
Top