Makalah Ulumul Quran tentang Qiraat Al-quran
Di susun oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015


KATA PENGANTAR

            Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Ulumul Quran pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini penulis mengangkat judul Qiraat al-quran”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.


Wassalam
Penulis,


KELOMPOK 12


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR............................................................................................             i
DAFTAR ISI............................................................................................................             ii

BAB I       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...................................................................................            1
B.    Rumusan Masalah..............................................................................             1
C.    Tujuan penulisan................................................................................             1

BAB II       PEMBAHASAN
A.    Pengertian..........................................................................................            2
B.     Latar belakang timbulnya perbedaan.................................................            4
C.     Urgensi mempelajari dan pengaruhnya dalam istinbat hukum..........             7

BAB III    PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................             11

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................            12




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
             Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak banyak orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu,  di antaranya adalah, ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari; tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya,yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
            Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus diketahui oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini; pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam qiraat dan para perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini. Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.

B.     Rumusan Masalah
      1.      Menjelaskan tentang pengertian qiraat al-quran
      2.      Menjelaskan latar belakang timbulnya perbedaan
      3.      Menjelaskan urgensi mempelajari dan pengaruhnya dalam istinbat hukum

C.    Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah disamping untuk memenuhi tugas dalam perkuliahan juga agar kami khususnya dan semua mahasiswa umumnya mampu memahami tentang qiraat alquran.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Qiraat Al-quran
             Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan.[1]
               Pengertian qira’at  menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan beberapa pengertian qira’at menurut istilah.[2]
1.      Menurut A-Zarqani
مَذْهَبٌ يَذْهَبُ إِلَيْهِ إِمَامٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْقُرَّاءِ مُخَالِفًا بِهِ غَيْرَهُ فِى النُّطْقِ بِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ مَعَ اتِّفَاقِ الرِّوَايَاتِ وَالطُّرُقِ عَنْهُ سَوَآءٌ  كَانَتْ هِذِهِ الْمُخَالَفَةُ فِى نُطْقِ الْحُرُوْفِ أَمْ فِىنُطْقٍ هَيْئَتِهَا.
“Suatu madzhab yang dianut oleh seorang imam qiraat  yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Quran al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaan.”

2.      Menurut Ibnu Al-Jaziri
عِلْمٌ بِكَيْفِيَاتِ أَدَاءِ كَلِمَاتِ الْقُرْآنِ وَاخْتِلاَفِهَا بِعَزْوِ النَّافِلَةِ
“Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Quran dan perbedaan-perbedaannya dengan cara mengisbatkan kepada penukilnya.”

3.      Menurut Al-Qasthalani
اِخْتِلاَفُ أَلْفَاظِ الْوَحْيِ الْمَذْكُوْرِ فِى كِتَابَةِ الْحُرُوْف ِ أَوْ كَيْفِيَتِهَا مِنْ تَخْفِيْفٍ وَتَثْقِيْلٍ وَغَيْرِهِهَما.
“Qiraat dalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz Al-Quran, baikm menyangkut huruf-hurufnya datau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan) dan tatsqil (memberatkan), dan yang lainnya.”
4.      Menurut Az-Zarkasyi
اِخْتِلاَفُ أَلْفَاظِ الْوَحْيِ الْمَذْكُوْرِفِىكِتَابَةِ الْحُرُوْفِ أَوْ كَيْفِيَّتِهَا مِنْ تَخْفِيْفٍ وَتَثْقِيْلٍ وَغَيْرِهَا
“Qiraat adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh Al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya tau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.”

5.      Menurut Ash-Shabuni
مَذْهَبٌ مِنْ مَذَاهِبِ النُّطْقِ فِى الْقُرْآنِ يَذْهَبُ إِلَيْهِ إِمَامٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ بِأَسَانِيْدِهَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“suatu madzhab cara pelafalan Al-Quran yang dianut oleh salah seorang iamam berdasarkan sanad-sanad  yang bersambung kepada Rasulullah s.a.w.”.
               Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Quran walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad. Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyangkut ruang lingkup perbedaan di antara beberapa qiraat yang ada. Dengan demikian ada tiga unsur qiraat yang dapat ditangkap dari definsi di atas, yaitu:[3]
1.      Qiraat berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam lainnya.
2.      Cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi, jadi bersifat taufiki, bukan tauhidi.
3.      Ruang lingkup perbedaan Qiro’at itu menyangkut persoalan Lughat, Hadzaf, I’rab, Itsbat, Fastil, dan Washl.
             Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut :
             Qira’at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain sebagainya.
Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘anNafi’ atau riwayat Warsy ‘an Nafi’.
             Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil qira’at dari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.

B.     Latar Belakang Timbulnya Perbedaan
1.      Latar Belakang Historis
        Qiraat sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi walaupun pada saat itu Qiraat bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu:[4]
a.       Suatu ketika Umar bin Al-khathab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca Al-Qur’an. Umar merasa tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca Surat Al-Furqon. Menurut Umar, bacaan Hisyam itu tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi untuk melaporkan peristiwa tersebut. Kemudian Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda :
هـكَذَا أُنْزِلَتْ إِنَّ هـذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Memang begitulah Al-Quran diturunkan. Sesungguhnya Al-Quran diturunkan atau tujuh huruf, maka bacalah yang mudah darinya.”
b.      Di dalam sebuah riwayatnya, Ubay pernah bercerita. “Aku masuk ke Mesjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang kemudian ia membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaanku. Setelah ia selesai, aku bertanya siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu? ia menjawab,”Rasulullah s.a.w.”, kemudian datanglah seorang lainnya mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaanku dan bacaan orang pertama, setelah shalatnya selesai aku bertanya “siapakah yang nenbacakan ayat itu kepadamu? Ia menjawab “Rasulullah s.a.w. “. Kedua itu lalu kuajak menghadap Nabi, beliau meminta salah satu dari dua orang itu membacakan lagi surat itu. Setelah bacaanya selesai, Nabi bersabda, “Baik” kemudian Nabi meminta pada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabipun menjawabnya. “baik”.
               Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran Qiraat dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada awal abad II H. tatkala para qari telah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan Qira’at gurunya dari pada mengikuti Qiraat Imam-imam lainnya.
             Qiraat-Qiraat tersebut diajarkan secara turun temurun dari guru ke murid, sehingga  sampai kepada para Imam Qiraat, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.
2.      Latar Belakang Cara Penyampaian (Kaifiyat Al-Ada)
              Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khalil, Perbedaan Qiraat itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qiraat itu kepada murid-muridnya.
Hal-hal yang mendorong beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-Qur’an itu sebagai berikut.
a.       Perbedaan dalam i’rab atau harokat, kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat, misalnya, pada firman Allah sebagai berikut :
اَلَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ....... {النساء : 37}
Artinya : ” …(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir …” (Q.S. An.Nisa (4) : 37)
            Kata Al-Bakhl yang berarti kikir di sini dapat dibaca Fathah pada huruf Ba’nya sehingga dibaca bi al-bakhli : dapat pula dibaca dhomah pada ba’nya sehingga menjadi bi al-bukhli.
b.      Perbedaan pada I’rab dan harokat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada firman Allah sebagai berikut.
رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا {النساء : 19}
Artinya : “ Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami “. (Q.S. Saba (34) : 19).
Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah di atas adalah Ba’id karena statusnya sebagai fi’il amar : boleh juga dibaca Ba’ada yang berarti keduanya menjadi fi’il madhi sehingga artinya telah jauh.
c.       Perbedaan pada perubahan huruf tanpa peraubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah Sebagai berikut.
وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا {البقرة : 259}
Artinya : “ … dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali”. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 259)
Kata Nunsyizuha (kami menyusun kembali) yang ditulis dengan menggunakan huruf Zay (ز) diganti dengan huruf Ra’ (ر) sehingga berubah bunyi menjadiNunsyiruha yang berarti kami hidupkan kembali.
d.      Perubahan pada kalimat dengan perubahan bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah. Misalnya, pada firman Allah berikut:
وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِ {القارعة : 5}
Artinya : “ … dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan “. ( Q.S. Al-Qori’ah (10) : 5).
               Beberapa Qiraat mengganti kata al-‘Ihn dengan kata ash-Shufi sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba. Perubahan seperti ini, berdasarkan ijma ulama tidak dibenarkan karena bertentangan dengan Mushaf Utsmani.
e.       Perbedaan pada kalimat menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya uangkapan Thal’in mandhud menjadi thalthin mandhud.
f.       Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirinya ; misalnya pada firman Allah yang berbunyi.[5]
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بَالْحَقِّ. {ق: 19}
Artinya : “ Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya “. (Q.S. Qof (50) : 19).
                Konon menurut suatu riwayat, Abu bakar pernah membacanya menjadi “Wa ja’at sakrat al-haqq bi al-maut”,ia menggeser kata al-Maut ke belakang, dan memasukan kata al-Haqq, setelah mengalami pergeseran, bila kalimat itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, berarti “dan datanglah sakarat yang benar-benar dengan kematian”. Qiraat semacam ini juga tidak dipakai karena menyalahi ketentuan yang berlaku.
g.      Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah sebagai berikut.
جَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْ تِهَا اْلأَنْهَارُ {البقرة : 25}
Artinya : “ … surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya”.
Kata Min pada ayat ini dibuang dan pada ayat serupa yang tanpa Min justru ditambah.

C.    Urgensi Mempelajari dan Pengaruhnya dalam Istinbat Hukum
      1.      Urgensi Mempelajari Qiraat[6]
a.       Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama, misalnya berdasarkan surat An-Nsia [4] ayat 12, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja.
Artinya : “jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta..” (Q.S. An-Nisa [4] : 12)
                Dengan demikian, qiraat Sa’ad bin Waqash dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati.
b.      Menarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat Al-Maidah [5] ayat 89, disebutkan bahwa qirat sumpah adalah berupa memerdekakan abid.
               Tambahan  kata mukminatin berfungsi menarjih pendapat para ulama antara lain As-Syafi’iy yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu bentuk alternatif kifaratnya.
c.       Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. misalnya, dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 222. Sementara qiraat yang membacanya dengan  يَطَّهِّرْنَ(sementara dalam mushaf Ustmani tertulis يَطْهُرْنَ), dapat difahami bahwa seoranng suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d.      Menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya, yang terdapat dalam surat Al-Maidah [5] ayat 6 ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu membaca أَرْجُلِكُمْ. Perbedaan qiraat ini tentu saja mengkonsekwensikan kesimpulan hukum yang berbeda.
e.       Dapat memberikan penjelasan  terhadap suatu kata di dalam Al-Quran yang mungkin sulit dipahami maknanya. Misalnya, di dalam Surat Al-Qariah [10] ayat 5, Allah berfirman:
وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِ
Dalam sebuah qiraat yang syadz dibaca:
وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالصُّوْفِ  الْمَنْفُوْشِ
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata الْعِهْنِadalah الصُّوفِ .
       2.      Pengaruh qiraat terhadap istinbat hukum[7]
            Dalam hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu menetapkan hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang  berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz  tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian, maka perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap istimbat hukum dan adakalanya tidak.
a.       Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbat Hukum
              Qira’at shahihah (Mutawatir dan Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas serta dasar penetapan hukum, misalnya qira’at  membantu penafsiran qira’at (لَامَسْتُمْ) dalam menetapkan hal-hal yang membatalkan wudu seperti dalam  Q.S Al-Nisa’  (4): 43 :
وَإِنْ كُنتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
"….. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya  Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun".
            Ada perbedaan cara membaca pada lafaz (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ). Ibn Katsir, Nafi', 'Ashim, Abu 'Amer dan Ibn 'Amir, membaca (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ), sedangkan Ham-zah dan al-Kisa'i, membaca (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ).
            Para ulama berbeda pendapat tentang makna dari qira’at (لَامَسْتُمْ), ada tiga versi pendapat ulama mengenai makna (َامَسْتُمْ), yaitu: bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh.
            Para ulama juga berbeda pendapat tentang maksud dari (َامَسْتُمْ). Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa maksudya adalah: bersetubuh. Sementara itu, Ibn Mas'ud, Ibn Abbas al-Nakha'i dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah: bersentuh kulit baik dalam bentuk persetubuhan atau dalam bentuk lainnya.
            Ada  sebuah  pendapat  yang  menyatakan,  bahwa  yang  dimaksud  dengan  (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) adalah sekedar menyentuh perempuan. Sedangkan  maksud  dari (امَسْتُمْ) adalah berjima’ dengan perempuan. Sementara ada hadis shahih yang menceritakan bahwa Nabi SAW pernah mencium istrinya sebelum berangkat  sholat  tanpa  berwudhu  lagi. Jadi  yang  dimaksud dengan   kata (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) di sini adalah berjima’, bukan sekedar menyentuh perempuan. Dari contoh di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa yang membatalkan wudhu adalah berjima’, bukan sekedar bersentuhan dengan perempuan.
            Pendapat lain menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah yang berarti bersentuhan kulit. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Razi yang menyatakan bahwa kata al-lums (اللمس) dalam qira’at (لمستم), makna hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan bahwa bahwa pada dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakikinya. Sementara itu, kata al-mulamasat (الملامسات) dalam qira’at  (لمَسْتُمْ), makna hakikinya adalah saling menyentuh, dan bukan berarti bersetubuh.  
b.      Perbedaan  Qiraat  yang  Tidak  Berpengaruh  terhadap  Istinbat Hukum
              Berikut ini adalah contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi tidak berpengaruh terhadap  istimbath hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab (33): 49.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمْ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
           "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya."
            Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yanng diceraiakn oleh suaminya dalam keadaan belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang wanita yang diceraikan suaminya, sebelum wanita tersebut dibolehkan kawin lagi dengan laki-laki lain.
               Berkenaan dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'I, membacanya dengan (مِنْقَبْلِ أَنْ تَمآسُّوهُنَّ), sementara Ibn Kasir, Abu 'Amer, Ibn 'Ashim, dan Nafi' membaca: (مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ). Perbedaan bacaan tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.
c.       Pemakaian Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum[8]
            Tidak hanya qira’at mutawatir dan  masyhur yang dapat dipergunakan untuk menggali hukum-hukum syar’iyah, bahkan qira’at Syaz juga boleh dipakai untuk membantu menetapkan hukum syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at Syaz itu sama kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir), dan mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama.
            Ulama mazhab Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan Qiraat  Syaz sebagai dasar penetapan hukum dengan alasan bahwa Qiraat Syaz tidak termasuk al-Qur’an. Pendapat ini dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak Qira’at Syaz sebagai al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qiraat Syaz sebagai Khabar (Hadis). Jadi, paling tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan Hadis Ahad.
Contoh penggunaan Qira’at Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut :
a)      Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 38, yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْمانيَهُمَا
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya…..
Dalam Qiraat yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
b)      Mazhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai kafarah sumpah, juga berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 89, yang berbunyi:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ متتلبعات
Artinya :………. Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kafaratnya  puasa selama tiga hari berturut-turut ….
Dalam qira’at yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
            Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pernyataan Abu ‘Ubaid, menyatakan bahwa tujuan sebenarnya dari Qiraat Syaz adalah merupakan Tafsir dari qiraat shahih (masyhur) dan penjelasan mengenai dirinya. Huruf-huruf tersebut harakatnya (lafaz Qira’at Syaz tersebut) menjadi tafsir bagi ayat al-Qur’an pada tempat tersebut. Hal yang demikian ini, yaitu tafsir mengenai ayat-ayat tersebut, pernah dikemukakan oleh para Tabi’in, dan ini merupakan hal  yang sangat baik.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
              Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan.
           Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah.
          Qiraat sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi walaupun pada saat itu Qiraat bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran Qiraat dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada awal abad II H. tatkala para qari telah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan Qira’at gurunya dari pada mengikuti Qiraat Imam-imam lainnya.
Urgensi Mempelajari Qiraat :
1.      Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama
2.      Menarjih hukum yang diperselisihkan para ulama.
                Dalam hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu menetapkan hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang  berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz  tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian, maka perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap istimbat hukum dan adakalanya tidak.







DAFTAR PUSTAKA

Nur, Muhammad Qadirun. 2001. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta. Pustaka Amani.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 2003. At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an. Jakarta. Darul Kutub Al-   Islamiyah.
Al-Qattan, Manna Khalil. 1973. Mabahis Fi Ulumil Qur’an. Surabaya. Al-hidayah.
Al-Qodi, Abdul Fattah Abdul Ghoni. 2009. Al-Wafi fi Syarhi Asy-Syathibiy. Mesir. Dar el-Islam         
Anwar, Rosihan, Drs., M.Ag., 2004, Ulumul Quran, Pustaka Setia, Bandung.
As-Shieddieqy, Hasbi, Muhammad, Teungku, 1972, Ilmu-Ilmu Al-Quran, PT. Bulan Bintang, Jakarta.
As-Subhi, Shalih, Dr., 2004, Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Syadzali, Ahmad, H., Drs., 2004, Ulumul Quran I, Pustaka Setia, Bandung.
Wahid, Ramli, Abdul, Drs., MA., 1993, Ulumul Quran, Edisi Revisi, PT. Raja Garfindo, Persada, Jakarta.




[1] As-Subhi, Shalih, Dr., 2004, Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran, Pustaka Firdaus, Jakarta.
[2] Nur, Muhammad Qadirun. 2001. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta. Pustaka Amani.
[3] Al-Qattan, Manna Khalil. 1973. Mabahis Fi Ulumil Qur’an. Surabaya. Al-hidayah.
[4] Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 2003. At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an. Jakarta. Darul Kutub Al-   Islamiyah.
[5] Wahid, Ramli, Abdul, Drs., MA., 1993, Ulumul Quran, Edisi Revisi, PT. Raja Garfindo, Persada, Jakarta.
[6] Anwar, Rosihan, Drs., M.Ag., 2004, Ulumul Quran, Pustaka Setia, Bandung.
[7] Syadzali, Ahmad, H., Drs., 2004, Ulumul Quran I, Pustaka Setia, Bandung.
[8] Al-Qodi, Abdul Fattah Abdul Ghoni. 2009. Al-Wafi fi Syarhi Asy-Syathibiy. Mesir. Dar el-Islam

2 komentar:

 
Top