Makalah Ushul Fiqh tentang Mashlahah Mursalah
Disusun oleh Muazzin. S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 201


Makalah Mashlahah Mursalah



KATA PENGANTAR


            Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah USHUL FIQH MU’AMALAH pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini penulis mengangkat judul AL-MASHLAHAH MURSALAH”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalam
Penulis,


KELOMPOK 4





DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR..........................................................................................      i
DAFTAR ISI..........................................................................................................      ii

BAB I       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.................................................................................     1
B.    Rumusan Masalah............................................................................      1
C.    Tujuan penulisan .............................................................................      1

BAB II       PEMBAHASAN
A.    Pengertian mashlahah mursalah ......................................................      2
B.     Macam-macam mashlahah mursalah ...............................................      4
C.     Syarat-syarat mashlahah .................................................................      7
D.    Pendapat ulama tentang mashlahah mursalah .................................      9
E.     Kehujjahan mashlahah mursalah .....................................................    11

BAB III    PENUTUP
A.    Kesimpulan......................................................................................   14

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................   15







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kehidupan kita sehari-hari tidak bisa luput dari kebiasaan. Kebiasaan adalah yang dilakukan sehari-hari yang bersangkutan dengan norma dan etika. Banyak perdebatan dalam menyikapi sebuah kebiasaaan.
Disisi lain, dalam kehidupan sehari-hari kita juga terdapat berbagai maslahat/kebaikan yang terjadi. Namun, tidak semua kebaikan didukung oleh hukum syara. Hal ini disebabkan perbedaan pendapat yang terjadi. Ada kebaikan yang didukung serta yang tidak didukung.
Dalam makalah ini akan dijelaskan perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi akan kebiasaan dan kebaikan tersebut. Bagaimana keduanya bisa dijadikan hukum syara atau tidak. Banyak hal yang perlu dikaji dari keduanya.

B.     Rumusan Masalah
      1.      Apa pengertian Mashlahah mursalah?
      2.      Apa saja macam-macam Mashlahah mursalah?
      3.      Apa syarat-syarat Mashlahah mursalah?
      4.      Bagaimana pendapat para ulama tentang Mashlahah mursalah?
      5.      Bagaimana dasar hukum tentang Mashlahah mursalah?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa pengertian Mashlahah mursalah?
2.      untuk mengetahui apa saja macam-macam Mashlahah mursalah?
3.      Untuk mengetahui apa syarat-syarat Mashlahah mursalah?
4.      Untuk mengetahui bagaimana pendapat para ulama tentang Mashlahah mursalah?
5.      Untuk mengetahui bagaimana dasar hukum tentang Mashlahah mursalah?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mashlahah mursalah
Sebelum menjelaskan arti Mashlahah mursalah, terlebih dahulu perlu dibahas tentang Mashlahah, karena Mashlahah mursalah itu merupakan salah satu bentuk dari Mashlahah.
Mashlahah (  مصلحة) berasal dari kata shalaha ( صلح ) dengan penambahan “alif” diawalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalah, yaitu “manfaat” atau “terlepas daripadanya kerusakan”.
Pengertian Mashlahah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan dan kesenangan, atau dalam arti menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut Mashlahah. Dengan begitu Mashlahah itu mengandung dua sisi, yaitu menarik atau mendatangkan kemashlahatan dan menolak atau menghindarkan kemudharatan.[1]
Dalam mengartikan Mashlahah secara definitive terdapat perbedaan rumusan di kalangan ulama yang kalau di analisis ternyata hakikatnya adalah sama.
1.      Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya Mashlahah itu berarti semua yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan mudharat (kerusakan), namun hakikat dari Mashlahah adalah memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum).
2.      Al-Khawarizmi memberikan definisi yang hampir sama dengan diatas yaitu memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia.
3.      Al-Syaitibi mengartikan Mashlahah itu dari dua pandangan:
a.       Dari segi terjadinya Mashlahah dalam kenyataan, berarti sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya secara mutlak.
b.      Dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada kemashlahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syara’. Untuk menghasilkannya Allah menuntut manusia untuk berbuat.
Dari bebrapa definisi tentang Mashlahah dengan rumusan yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa Mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.[2]
Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya dalam bentuk sifat-mausuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari al-Mashlahah. Tentang arti Mashlahah telah dijelaskan diatas secara etimologis dan terminologis.[3]
Al-mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf), yaitu rasala, dengan penambahan huruf “alif” di pangkalnya, sehingga menjadi arsala. Secara etimologis (bahasa) artinya “terlepas”, atau dalam arti muthlaqah (bebas). Kata “terlepas” dan “bebas” disini bila dihubungkan dengan kata Mashlahah maksudnya adalah “terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.
Ada beberapa rumusan dari definisi yang berbeda tentang Mashlahah mursalah ini, namun masing-masing memiliki kesamaan dan berdekatan pengertiannya. Diantara definisi tersebut adalah:
1.      Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfa merumuskan Mashlahah mursalah sebagai berikut: apa-apa (Mashlahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memerhatikannya.
2.      Al-syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul memberikan definisi : Mashlahah yang tidak diketahui apakah syari’ menolaknya atau memerhatikannya.
3.      Ibnu Qudamah dari ulama Hanbali memberi rumusan: Mashlahah yang tidak ada bukti ptunjuk tertentu yang membetalkannyadan tidak pula yang memerhatikannya.
4.      Yusuf Hamid al-Alim memberikan rumusan: apa-apa (Mashlahah) yang tidak ada petunjuk syara’ tidak untuk membatalkannya, juga tidak untuk memerhatikannya.
5.      Muhammad Abu Zahrah memberi definisi: Mashlahah yang selaras dengan tujuan syari’at islam dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.
Selain definisi diatas, masih banyak definisi lainnya tentang Mashlahah mursalah, namun karena pengertiannya hampir bersamaan, tidak perlu dikemukakan semuanya. Memang terdapat rumusan yang berbeda, namun perbedaannya tidak sampai pada perbedaan hakikatnya.
Dari beberapa rumusan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari Mashlahah mursalah tersebut sebagai berikut:
1.      Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia.
2.      Apa yang baik menurut akal itu juga selaras dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum
3.      Apa yang baik menurut akal dan selaras dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya.
Mashlahah mursalah tersebut dalam beberapa literature disebut dengan Mashlahah muthlaqah, ada pula yang menyebutnya dengan manasib mursal, juga ada yang menamainya dengan al-istishlah. Perbedaan penamaan ini tidak membawa perbedaan pada hakikat pengertiannya.[4]

B.     Macam-macam Mashlahah
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa Mashlahah dalam artian syara’ bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, bukan pula karena dapat mendatangkan kenikmatan dan menghindarkan kerusakan, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu bahwa apa yang dianggap baik oleh akal juga harus sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, yaitu memelihara lima prinsip pokok kehidupan. Umpamanya larangan meminum minuman keras. Adanya larangan ini menurut akal sehat mengandung kebaikan atau Mashlahah karena dapat menghindarkan diri dari kerusakan akal dan mental. Hal ini telah sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan haramnya minum minuman keras, yaitu memelihara akal manusia sebagai salah satu dari lima prinsip pokok kehidupan manusia yang harus dipelihara.
Kekuatan Mashlahah dapat dilihat dari segi tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia. Yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Juga dapat dilihat dari segi tingkat kebutuhan dan tuntunan kehidupan manusia kepada lima hal tersebut.[5]
1.      Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, Mashlahah ada tiga macam, yaitu mashlahah dharuriyah, Mashlahah hajiyah, Mashlahah tahsiniyah.
a.       Mashlahah dharuriyah adalah kemashlahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia, artinya kehidupan manusia tiadak punya arti apa-apa bila satu saja dari prinsip yang lima itu tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau Mashlahah dalam tingkat dharuri. Karena itu Allah memerintahkan manusia melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan pokok tersebut.. segala usaha atau tindakan yang secara langsung menuju pada atau menyebabkan lenyap atau rusaknya satu diantara lima unsur pokok tersebut adalah buruk, karena itu Allah melarangnya. Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah tersebut adalah baik atau Mashlahah dalam tingkat dharuri.
b.      Mashlahah hajiyah adalah kemashlahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepada tidak berada pada tingkat dharuri. Bentuk kemashlahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (dharuri), tetapi secara tidak langsung menuju ke arah sana seperti dalam hal memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Mashlahah hajiyah juga jika tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak sampai secara langsung menyebabkan rusaknya lima unsur pokok tersebut, tetapi secara tidak langsung memang bisa mengakibatkan perusakan.
               Contoh Mashlahah hajiyah adalah menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama, makan untuk kelangsungan hidup, mengasah otak untuk kelangsungan akal, mengadakan jual beli untuk mendapatkan harta.
c.       Mashlahah tahsiniyah adalah Mashlahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai pada tingkat hajiyah, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan hidup manusia.
        Tiga bentuk Mashlahah tersebut, secara berurutan menggambarkan tingkatan peringkat kekuatannya. Yang kuat adalah Mashlahah dharuriyah, kemudian Mashlahah hajiyah dan berikutnya Mashlahah tahsiniyah.
2.      Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal itu dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan hukum, Mashlahah itu disebut juga dengan manasib atau keserasian Mashlahah dengan tujuan hukum. Ditinjau dari pembuat hukum (syari’) memerhatikannya atau tidak, Mashlahah terbagi kepada tiga macam:[6]
a.       Al-Mashlahah mu’tabarah, yaitu Mashlahah yang secara tegas diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya. Misalnya diperintahkan berjihad untuk memelihara agama dari rongrongan musuhnya, diwajibkan hukum qishash untuk menjaga kelestarian jiwa, ancaman hukuman atas peminum khamar untuk memelihara akal, ancaman hukuman zina untuk memelihara kehormatan dan keturunan, serta ancaman hukuman mencuri untuk menjaga harta.[7]
b.      Al-Mashlahah al-Mulghah, yaitu sesuatu yang dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan ketentuan syari’at. Misalnya ada anggapan bahwa menyamakan pembagian warisan antara anak laki-laki dan anak wanita adalah Mashlahah. Akan tetapi kesimpulan seperti itu bertentangan dengan ketentuan syari’at, yaitu ayat 11 surat an-nisa yang menegaskan bahwa pembagian anak laki-laki dua kali pembagian anak perempuan. Adanya pertentangan itu menunjukkan bahwa apa yang dianggap mashlahat itu bukan Mashlahah disisi Allah.
c.       Al-Mashlahah al-Mursalah, dan Mashlahah macam inilah yang dimaksud dalam pembahasan ini, yang pengertiannya adalah seperti dalam definisi yang disebutkan diatas. Mashlahah macam ini terdapat dalam masalah-masalah mu’amalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dan tidak pula ada bandingannya dalam Al-quran dan Sunnah untuk dapat dilakukan analogi. Contohnya peraturan lalu lintas dengan segala rambu-rambunya. Peraturan seperti itu tidak  ada dalil khusus yang mengaturnya, baik dalam Al-quran maupun Sunnah Rasulullah. Namun, peraturan seperti itu sejalan dengan tujuan syari’at yaitu dalam hal ini adalah untuk memelihara jiwa dan harta.
Menurut Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A dalam bukunya menyebutkan mashlahah mursalah terbagi tiga macam, yaitu:[8]
1.      Al-Mashlahah yang terdapat kesaksian syara’ dalam mengakui keberadaannya ( ma syahid asy-syar’I lii tibariha).
2.      Al-Mashlahah yang terdapat kesaksian syara’ yang membatalkannya/menolaknya (ma syahid asy-syar’I lii buthlaniha).
3.      Al-Mashlahah yang tidak terdapat kesaksian syara’, baik yang mengakuinya meupun yang yang menolaknya dalam bentuk nash tertentu ( ma lam yasyhad asy-syar’I la libuthlaniha nash mu’ayyan).
Al-Mashlahah bentuk ketiga ini kemudian dibagi lagi kepada dua macam, yaitu sebagai berikut:
a.       Al-Mashlahah al gharibah, yaitu mashlahah yang sama sekali tidak terdapat kesaksian syara’ terhadapnya, baik yang mengakui maupun yang menolaknya dalam bentuk ataupun jenis tindakan syara’.
b.      Al-Mashlahah al-mula’imah, yaitu mashlahah yang meskipun tidak terdapat nash tertentu yang mengakuinya, tetapi ia sesuai dengan tujuan syara’ dalam lingkup yang umum.

C.    Syarat-syarat Mashlahah
Mashlahah mursalah atau istishlah ialah Mashlahah-Mashlahah yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan syari’at islam, dan tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus, baik bersifat melegitimasi atau membatalkan Mashlahah tersebut. Jika Mashlahah didukung oleh sumber dalil yang khusus, maka termasuk kedalam qiyas dalam arti umum. Dan jika terdapat ashl khas (sumber dalil yang khusus) yang bersifat membatalkan, maka Mashlahah tersebut batal. Mengambil Mashlahah dalam pengertian yang terakhir ini bertentangan dengan tujuan-tujuan syari’.
Imam Malik adalah Imam Mazhab yang menggunakan dalil Mashlahah mursalah. Untuk menerapkan dalil ini, ia menganjurkan syarat yang dapat dipahami melalui definisi diatas, yaitu :[9]
1.      Adanya persesuaian antara Mashlahah yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at (maqasid syari’ah). Dengan adanya persyaratan ini, berarti Mashlahah tidak boleh menegasikan sumber dalil yang lain, atau bertentangan dengan dalil yang qath’i. akan tetapi harus sesuai dengan Mashlahah-Mashlahah yang memang ingin diwujudkan oleh Syari’. Misalnya jenis itu tidak asing, meskipun tidak deiperkuat dengan adanya dalil khas.
2.      Mashlahah itu harus masuk akal (rationable), mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, dimana seandainya diajukan kepada kelompok rasionalis akan dapat diterima.
3.      Penggunaan dalil Mashlahah ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang mesti terjadi (raf’u haraj lazim). Dalam pengertian senandainya Mashlahah yang dapat diterima akal itu tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan. Allah  SWT berfirman:
($tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4
Artinya : “Dan Dia tidak sekali-kali menjadika untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj : 78).
Syarat-syarat diatas adalah syarat-syarat yang masuk akal yang dapat mencegah penggunaan sumber dalil ini (Mashlahah mursalah) tercerabut dari akarnya (menyimpang dari esensinya) serta mencegah dari menjadikan nash-nash tunduk kepada hukum-hukum yang dipengaruhi hawa nafsu dan syahwat dengan Mashlahah mursalah.
Sumber hukum ini (Mashlahah mursalah) termasuk sumber hukum yang masih dipertentangkan diantara ulama ahli fiqh. Golongan Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’I tidak menganggap Mashlahah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dan memasukkannya kedalam bab (kategori) qiyas, jika didalam suatu Mashlahah tidak ditemukan nash yang bisa dijadikan acuan qiyas, maka Mashlahah tersebut dianggap batal, tidak diterima. Imam Malik dan golongan Hanbali berpendapat bahwa Mashlahah dapat diterima dan dijadikan sumber hukum selama memenuhi semua syarat-syarat diatas. Sebab pada hakikatnya, keberadaan Mashlahah adalah dalam rangka merealisasikan maqasid syar’i (tujuan-tujuan syari’) meskipun secara langsung tidak terdapat nash yang menguatkannya.[10]
Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan beberapa persyaratan dan memfungsikan Mashlahah mursalah, yaitu:[11]
1.      Sesuatu yang dianggap Mashlahah itu haruslah berupa Mashlahah hakiki yaitu benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemudharatan, bukan berupa dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negative yang ditimbulkannya. Misalnya yang disebut terakhir ini adalah anggapan bahwa hak untuk menjatuhkan thalak itu berada ditangan wanita bukan lagi di tangan pria dalah Mashlahah palsu, karena bertentangan dengan ketentuan syari’at yang menegaskan bahwa hak untuk mejatuhkan thalak berada di tangan suami sebagaimana disebut dalam hadits: Dari Ibnu Umar sesungguhnya dia pernah menalak istrinya padahal dia sedang dalam keadaan haid, hal itu diceritakan kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda: Suruh Ibnu Umar untuk merujuknya lagi, kemudian menalaknya dalam keadaan suci atau hamil. (HR. Ibnu Majah)
Secara tidak langsung hadits tersebut memberikan informasi bahwa pihak yang paling berhak untuk menalak istri adalah suami, yang dalam kasus ini adalah Ibnu Umar.
2.      Sesuatu yang dianggap Mashlahah itu hendaklah berupa kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi.
3.      Sesuatu yang dianggap Mashlahah itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada ketegasan dalam Al-quran atau Sunnah, atau bertentangan dengan Ijma’.

D.    Perbedaan Pendapat Ulama tentang Mashlahah
Para ulama fiqh sepakat bahwa Mashlahah mursalah tidak sah menjadi landasan hukum dalam bidang ibadah, karena bidang ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya diwariskan oleh Rasulullah, dan oleh karena itu bisang ibadah tidak berkembang.
Mereka berbeda pendapat dalam bidang muamalah. Kalangan Zahiriyah, sebagian dari kalangan Syafi’iyah dan Hanafiah tidak mengakui Mashlahah mursalah sebagai landasan pembentukan hukum, dengan asalasn seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, antara lain:[12]
1.      Allah dan Rasul-Nya telah merumuskan ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin segala bentuk kemashlahatan umat manusia. Menetapkan hukum berlandaskan Mashlahah mursalah berarti menganggap syariat islam tidak lengkap karena menganggap masih ada masalah yang belum tertampung oleh hukum-hukumnya. Hal seperti itu bertentangan dengan ayat 36 surat al-Qiyamah:
Ü=|¡øtsr& ß`»|¡RM}$# br& x8uŽøIム´ß
Artinya : apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban?. (QS. Al-Qiyamah: 36)
2.      Membenarkan Mashlahah mursalah sebagai landasan hukum berarti membuka pintu bagi berbagai pihak seperti hakim di pengadilan atau pihak penguasa untuk menetapkan hukum menurut seleranya dengan alasan untuk meraih kemashlahatan. Praktik seperti itu akan merusak citra agama.
Dengan alasan-alasan tersebut mereka menolak Mashlahah mursalah sebagai landasan penetapan hukum. Berbeda dengan itu, kalangan Malikiyah dan Hanabilah, serta sebagian dari kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa Mashlahah mursalah secara sah dapat dijadikan landasan penetapan hukum. Diantara alasan-alasan yang mereka ajukan adalah:[13]
1.      Syariat islam diturunkan seperti disimpulakan para ulama berdasarkan petunjuk-petunjuk Al-quran dan sunnah, bertujuan untuk merealisasikan kemashlahatan dan kebutuhan manusia. Kebutuha umat manusia itu selalu berkembang, yang tidak mungkin semuanya dirinci dalam Al-quran dan Sunnah Rasulullah. Namun secara umum syariat islam telah memberi petunjuk bahwa tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan umat manusia. Oleh sebab itu, apa-apa yang dianggap Mashlahah, selama tidak bertentangan dengan Al-quran dan Sunnah Rasulullah, sah dijadukan landasan hukum.
2.      Para sahabat dalam berijtihad menganggap sah Mashlahah mursalah sebagai landasan hukum tanpa ada seorang pun yang membantahnya. Contohnya, Umar bin Khattab pernah menyita sebagian harta para pejabat di masanya yang diperoleh dengan cara menyalahgunakan jabatannya. Praktik seperti ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, akan tetapi hal itu perlu dilakukan demi menjaga harta Negara dari rongrongan para pejabatnya.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut da beberapa alasan lain yang tidak dapat disebut semua dalam tulisan ini, kalangan Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian kalangan Syafi’iyah menganggap sah Mashlahah mursalah sebagai landasan hukum. Adapun alasan-alasan yang dikemukakan oleh pihak yang menolak Mashlahah mursalah sebagai dalil hukum, menurut pihak kedua ini adalah lemah. Karena kenyataannya berlawanan dengan dalil tersebut, dimana tidak semua kebutuhan manusia ada rinciannya dalam Al-quran dan Sunnah. Di samping itu, untuk menetapkan bahwa suatu Mashlahah mursalah itu secara sah dapat difungsikan, membutuhkan persyaratan yang ekstra ketat. Dengan persyaratan-persyaratan itu, adanya kemungkinan bahwa Mashlahah mursalah akan disalahgunakan oleh berbagai pihak, dapat dihindarkan.

E.     Kehujjahan Mashlahah mursalah
Golongan Maliky sebagai pembawa bendera Mashlahah mursalah sebagaimana telah disebutkan, mengemukakan tiga alasan sebagai berikut:[14]
1.      Praktek para sahabat yang telah menggunakan Mashlahah mursalah, diantaranya:
a.       Sahabat mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah SAW. Alasan yang mendorong mereka melakukan pengumpulan itu tidak lain kecuali semata-mata karena mashlahat, yaitu menjaga al-Quran dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirnya kerena meninggalkannya sejumlah besar hafidh dari generasi sahabat. Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah SWT:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menutunkan al-Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr: 9)
       b.      Khulafaur Rasyidin menetapkan keharusan menaggung ganti rugi kepada tukang. Padahal menurut hukum asal, bahwasanya kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan (amanah). Alkan tetapi ternyata seandainya mereka tidak dibebani tanggung jawab mengganti rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya untuk menjaga harta benda orang lain yang berada dibawah tanggung jawabnya. Sahabat Ali RA menjelaskan bahwa asas diberlakukannya ganti rugi (memberi jaminan) disini adalah Mashlahah. Ia berkata: Masyarakat tidak akan menjadi baik kecuali dengan jalan diterapkannya ketentuan tentang ganti rugi (jaminan).
          c.       Umar bin Khattab RA memerintahkan para penguasa (pegawai negeri) agar memisahkan antara harta kekayaan pribadi dengan harta yang diperoleh dari kekuasaannya. Karena Umar melihat bahwa dengan cara itu pegawai/penguasa dapat menunaikan tugasnya dengan baik, tercegah dari melakukan manipulasi dan mengambil harta ghanimah (rampasan) dengan cara tidak halal. Jadi kemashlahatan umumlah yang mendorong Khalifah Umar mengeluarkan kebijaksanaan itu.
         d.      Umar bin Khattab RA sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna memberi pelajaran kepada mereka yang berbuat mencampur susu dengan air. Sikap umar tergolong dalam kategori Mashlahah, agar mereka tidak mengulangi perbuatannya lagi yaitu mencampur susu.[15]
         e.       Para sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok (jama’ah) lantaran membunuh satu orang jika mereka secara bersama-sama melakukan pembunuhan tersebut, karena memang kemashlahatan menghendakinya. Alasannya, orang yang dibunuh adalah ma’sum (terpelihara) darahnya, sementara ia teleh dibunuh dengan sengaja. Seandainya kita berpendapat bahwa sekelompok orang (jama’ah) tidak dikenakan hukuman mati dengan membunuh satu orang, maka dalam kasus semacam itu menumpahkan darah seseorang oleh orang banyak sama artinya dengan menghindarkan dari hukuman qiyas. Sebab untuk melakukan pembunuhan terhadap satu orang, cukup bisa dilakukan oleh dua orang. Maka setiap orang yang ingin selamat dari sanksi hukuman qiyas, ia bisa melakukan pembunuhan bersama orang lain (cukup berdua), dan keduanya terbatas dari sanksi hukuman tersebut, sementara lawannya mati terbunuh. Oleh karena itu kemashlahatan mendorong untuk diterapkannya hukuman mati terhadap seluruh anggota kelompok (jama’ah) hanya karena membunuh satu orang di daerah Shan’a,  kemudian Umar membunuh mereka semuanya, dan berkata: “Seandainya seluruh penduduk Shan’a bersama-sama membunuhnya, niscaya aku bunuh semuanya”. (Lihat al-I’tisham, Juz 2, hal 287-302).
2.      Adanya Mashlahah sesuai dengan maqasid syari’ (tujuan-tujuan Syari’), artinya dengan mengambil Mashlahah berarti sama dengan merealisasikan maqasid syari’. Sebaliknya mengesampingkan Mashlahah berarti mengesampingkan maqasid syari’, sedang mengesampingkan maqasid syari’ adalah batal. Oleh karena itu, adalah wajib menggunakan dalil Mashlahah atat dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber hukum ini tidak keluar dari ushul (sumber-sumber pokok), bahkan terjadi sinkronisasi antara Mashlahah dengan maqasid syari’.
3.      Seandainya Mashlahah tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung Mashlahah selama berada dalam konteks Mashlahah-Mashlahah syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan. Allah SWT berfirman:
($tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym
Artinya : “Dan Dia tidak sekali-kali menjadika untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj : 78).
Firman Allah SWT di ayat lain:
߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (Q.S. Al-Baqarah : 185)
Ummul mu’minin, Sayyidah Aisyah, meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
إِنَّهُ مَا خُيِّرَ بَيْنَ اَمْرَيْنِ اِلَّا اخْتَارَ اَيْسَرَهُمَا مَالَمْ يَكُنْ اِثْمًا
Artinya : “bahwasanya tidak sekali-kali Nabi dihadapkan pada dua pilihan, kecuali beliau memilih yang lebih mudah/ringan selama bukan merupakan perbuatan dosa.”[16]





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Mashlahah mursalah adalah apa-apa (Mashlahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memerhatikannya, atau Mashlahah yang tidak diketahui apakah syari’ menolaknya atau memerhatikannya.
Macam-macam mashlahah adalah:
1.      Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, Mashlahah ada tiga macam, yaitu mashlahah dharuriyah, Mashlahah hajiyah, Mashlahah tahsiniyah.
2.      Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal itu dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan hukum, Mashlahah itu disebut juga dengan manasib atau keserasian Mashlahah dengan tujuan hukum. Ditinjau dari pembuat hukum (syari’) memerhatikannya atau tidak, Mashlahah terbagi kepada tiga macam:
       a.       Al-Mashlahah mu’tabarah
       b.      Al-Mashlahah al-Mulghah
       c.       Al-Mashlahah al-Mursalah
Imam Malik adalah Imam Mazhab yang menggunakan dalil Mashlahah mursalah. Untuk menerapkan dalil ini, ia menganjurkan syarat adanya persesuaian antara Mashlahah yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at (maqasid syari’ah).

  
DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Bina Ilmu, 2010)
Mulky Rafsan, Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2009)
Dahlan Abd. Rahman, Ushul Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang. 2010)
Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqh, (Jakarta: Cipta Karya Ilmu. 2010)





[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Bina Ilmu, 2010). Hal. 142.
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Bina Ilmu, 2010). Hal. 144.
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Bina Ilmu, 2010). Hal. 152.
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Bina Ilmu, 2010). Hal. 154.
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Bina Ilmu, 2010). Hal. 145.
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Bina Ilmu, 2010). Hal. 148.
[7] Rafsan Mulky, Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Hal. 149.
[8] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang. 2010). Hal. 207.
[9] Abu Zahrah Muhammad, Ushul fiqh, (Jakarta: Cipta Karya Ilmu. 2010). Hal. 427.
[10] Abu Zahrah Muhammad, Ushul fiqh, (Jakarta: Cipta Karya Ilmu. 2010). Hal. 428.
[11] Rafsan Mulky, Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Hal. 152.
[12] Rafsan Mulky, Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Hal. 150.
[13] Rafsan Mulky, Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Hal. 151.
[14] Abu Zahrah Muhammad, Ushul fiqh, (Jakarta: Cipta Karya Ilmu. 2010). Hal. 428.
[15] Abu Zahrah Muhammad, Ushul fiqh, (Jakarta: Cipta Karya Ilmu. 2010). hal. 430.
[16] Abu Zahrah Muhammad, Ushul fiqh, (Jakarta: Cipta Karya Ilmu. 2010). hal. 430.

0 komentar:

Post a Comment

 
Top