Perikatan dan jenis perikatan



Contoh Makalah "Hukum Perdata" tentang "Hukum Perikatan dan Jenis Perikatan"
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015


KATA PENGANTAR

            Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah HUKUM PERDATA Syariah pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini penulis mengangkat judul “PERIKATAN DAN JENIS-JENIS PERIKATAN”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalam
Penulis,

KELOMPOK 8


DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR............................................................................................    i
DAFTAR ISI............................................................................................................    ii

BAB I       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...................................................................................   1
B.    Rumusan Masalah..............................................................................    1

BAB II       PEMBAHASAN
A.    Ketentuan umum perikatan................................................................   2
B.     Unsur-unsur perikatan........................................................................   4
C.     Jenis-jenis perikatan ..........................................................................    6

BAB III    PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 13







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia hidup dan berkembang dalam suatu susunan masyarakat sosial yang mana di dalamnya terdapat saling ketergantungan satu sama lain, seorang manusia tidak akan dapat hidup sendiri dan akan selalu membutuhkan orang yang lain untuk mendampingi hidupnya.
Berbicara mengenai kehidupan masyarakat tentu tidak terlepas dari yang namanya kehidupan sosial, dalam struktur kehidupan bermasyarakat tentu terdapat berbagai hal yang dianggap sebagai pengatur yang bersifat kekal, mengikat dan memiliki sanksi yang tegas  bagi para pelanggarnya. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai hukum. Hukum yang kini akan kita bahas merupakan hukum yang mengatur segala bentuk tindakan antar perseorangan atau antar sesama manusia, hukum ini dapat kita sebut sebagai hukum perdata.
Dalam hukum perdata ini banyak sekali hal yang dapat menjadi cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Dalam perikatan terdapat beberapa pokok bahasan diantaranya: Ketentuan Umum Perikatan, Prestasi dan Wanprestasi, Jenis-Jenis Perikatan, Perbuatan Melawan Hukum, Perwakilan Sukarela, Pembayaran Tanpa Utang dan Hapusnya Perikatan.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang menjadi dasar pembahasan materi kami, diantaranya :
1.      Apa yang dimaksud dengan ketentuan umum dalam perikatan ?
2.      Apa saja jenis-jenis dari perikatan itu  ?
3.      Apa saja unsur-unsur perikatan ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perikatan,
2.      Untuk mengetahui unsur-unsur perikatan
3.      Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai jenis-jenis perikatan,




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ketentuan Umum Perikatan
Perikatan adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda verbintenis. Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa :
1.      Perbuatan, misalnya jual beli, utang-piutang, hibah.
2.      Kejadian, misalnya kelahiran, kematian,
3.      Keadaan, misalnya rumah susun
Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Dalam hubungan tersebut, setiap pihak memiliki hak dan kewajiban timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu terhadap pihak lainnya dan pihak lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, juga sebaliknya. Dalam hubungan utang-piutang, pihak berutang disebut debitor, sedangkan pihak yang memberi utang disebut kreditor. Dalam hubungan jual-beli, pihak pembeli berposisi sebagai debitor, sedangkan pihak penjual sebagai kreditor. Dalam perjanjian hibah, pihak pemberi hibah berposisi sebagai debitor, sedangkan pihak penerima hibah sebagai kreditor.

Pengaturan Perikatan
Perikatan diatur dalam Buku KUH Perdata. Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi karena perjanjian dan Undang-Undang. Aturan mengenai perikatan meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi aturan yang tercantum dalam Bab I, Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), dan Bab IV KUH Perdata yang belaku bagi perikatan umum. Adapun bagian khusus meliputi Bab III (kecuali Pasal 1352 dan 1353) dan Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya dalam bab-bab bersangkutan.
Pengaturan nama didasarkan pada “sistem terbuka”, maksudnya setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja, baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang belum ditentukan namanya dalam Undang-Undang. Sistem terbuka dibatasi oleh tiga hal, yaitu :
a.       Tidak dilarang Undang-Undang
b.      Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
c.       Tidak bertentangan dengan kesusilaan
Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUH Perdata menetukan bahwa perikatan dapat terjadi, baik karena perjanijian maupun karena Undang-Undang. Dengan kata lain, sumber peikatan adalah Undang-Undang dan perikatan. Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang terjadi karena Undang-Undang dirinci menjadi dua, yaitu perikatan yang terjadi semata-mata karena ditentukan dalam Undang-Undang dan perikatan yang terjadi karena perbuatana orang. Perikatan yang terjadi karena perbuatan orang, dalam pasal 1353 KUH Perdata dirinci lagi menjadi perbuatan menurut hukum (rechmatig daad) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).

B.     Unsur-Unsur Perikatan
1.      Subjek perikatan
Subjek perikatan disebut juga pelaku perikatan. Perikatan yang dimaksud meliputi perikatan yang terjadi karena perjanjian dan karena ketentuan Undang-Undang. Pelaku perikatan terdiri atas manusia pribadi dan dapat juga badan hukum atau persekutuan. Setiap pelaku perikatan yang mengadakan perikatan harus:
a.       Ada kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri
b.       Tidak ada paksaan dari pihak manapun
c.       Tidak ada penipuan dari salah satu pihak, dan
d.      Tidak ada kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan
2.      Wenang berbuat
          Setiap pihak dalam dalam perikatan harus wenang berbuat menurut hukum dalam mencapai persetujuan kehendak (ijab kabul). Persetujuan kehendak adalah pernyataan saling memberi dan menerima secara riil dalam bentuk tindakan nyata, pihak yang satu menyatakan memberi sesuatau kepada yang dan menerima seseuatu dari pihak lain. Dengan kata lain, persetujuan kehendak (ijab kabul) adalah pernyataan saling memberi dan menerima secara riil yang mengikat kedua pihak. Setiap hak dalam perikatan harus memenuhi syarat-syarat wenang berbuat menurut hukum yang ditentukan oleh undang-undang sebagai berikut:
a.       Sudah dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun penuh
b.      Walaupun belum dewasa, tetapi sudah pernah menikah
c.       Dalam keadaan sehat akal (tidak gila)
d.      Tidak berada dibawah pengampuan
e.       Memiliki surat kuasa jika mewakili pihak lain
           Perstujuan pihak merupakan perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak untuk saling memenuhi kewajiban dan saling memperoleh hak dalam setiap perikatan. Persetujuan kehendak juga menetukan saat kedua pihak mengakhiri perikatan karena tujuan pihak sudah tercapai. Oleh sebab itu, dapat dinyatakan bahwa perikatan menurut sistem hukum prdata, baru dalam taraf menimbulkan kewajiban dan hak pihak-pihak, sedangkan persetujuan kehendak adalah pelaksanaan atau realisasi kewajiban dan pihak-pihak sehingga kedua belah pihak memperoleh hak masing-masing.
             Bagaimana jika halnya salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sehingga pihak lainnya tidak memperoleh hak dalam perikatan ? dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pihak yang tidak memenuhi kewajibannya itu telah melakukan wanprestasi yang merugikan pihak lain. Dengan kata lain, perjanjian tersebut dilanggar oleh salah satu pihak.
3.      Objek perikatan
          Objek perikatan dalam hukum perdata selalu berupa benda. Benda adalah setiap barang dan hak halal yang dapat dimiliki dan dinikmati orang. Dapat dimilik dan dinikmati orang maksudnya memberi manfaat atau mendatangkan keuntungan secara halal bagi orang yang memilikinya.
          Benda objek perikatan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah benda yang dapat diangkat dan dipindahkan, seperti motor, mobil, hewan ternak. Sedangkan benda tidak bergerak adalah benda yang tidak dapat dipindahkan dan diangkat, seperti rumah, gedung. Apabila benda dijadikan objek perikatan, benda tersebut harus memenuhi syarat seperti yang ditetapkan oleh undang-undang. Syarat-syarat tersebut adalah :
a.       Benda dalam perdagangan
b.      Benda tertentu atau tidak dapat ditentukan
c.       Benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud
d.      Benda tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang atau benda halal
e.       Benda tersebut ada pemiliknya dan dalam pengawasan pemiliknya
f.       Benda tersebut dapat diserahkan oleh pemiliknya
g.      Benda itu dalam penguasaan pihak lain berdasar alas hak sah
4.      Tujuan perikatan
 Tujuan pihak-pihak mengadakan perikatan adalah terpenuhinya prestasi bagi kedua belah pihak. Prestasi yang dimaksud harus halal, artinya tidak dilarang Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat. Prestasi tersebut dapat berbentuk kewajiban memberikan sesuatu, kewajiban melakukan sesuatu (jasa), atau kewajiban tidak melakukan sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).

C.    Jenis-jenis Perikatan
1.      Perikatan Bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi peristiwa (Pasal 1253 KUHP dt). Perikatan bersyarat di bagi tiga yaitu :

a.        Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila syarat peristiwa itu terjadi, maka perikatan di laksanakan (Pasal 1263 KUHP dt). Misalnya  Oki setuju apabila Ramdan adiknya mendiami pavilium rumahnya setelah menikah. Nah, nikah adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan. Jika ramdan menikah, maka Oki wajib menyerahkan pavilium rumahnya untuk didiami oleh Ramdan.
b.        Perikatan dengan syarat batal
Disini justru perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi (Pasal 1265 KUHP dt). Misalnya, Arlita setuju apabila Regi kakaknya mendiami rumah Arlita  selama dia tugas di Perancis dengan syarat bahwa Regi harus mengosongkan rumah tersebut apabila Arlita selesai studi dan kembali ke tanah air. Di sini syarat  “ selesai dan kembali ke tanah air ” masih akan terjadi dan belom pasti terjadi. Akan tetapi, jika syarat tersebut terjadim perikatan akan berakhir dalam arti batal.
c.        Perikatan dengan ketetapan waktu
Syarat ketetapan waktu adalah pelaksaan perikatan itu digantungkan pada waktu yang di tetapkan. Misalnya Anis berjanji kepada Yesi bahwa ia akan membayar utangnya dengan hasil panen sawahnya yang sedang menguning pada tanggal 1 agustus 2014. Dalam hal ini hasil panen yang sedang menguning sudah pasti karena dalam waktu dekat, Anis akan panen sawah sehingga pembayaran utang pada tanggal 1 agustus 2014 sudah dipastikan.
2.      Perikatan Manasuka ( Boleh Pilih)
Pada perikatan manasuka, objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan perikatan mansuka karena, debitor boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Namun, debitor tidak dapat memaksa kreditor untuk menerima sebagian benda yang satu dan benda sebagian benda yang lainnya. Jika debitor telah memenuhi salah satu dari dua benda yang ditentukan dalam perikatan, dia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada debitor jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditor (Pasal 1272 dan 1273 KUHP dt).
Misalnya, Rima memesan barang elektronik berupa radio tape recorder ataustereo tape recorder di sebuah toko barang elektronik dengan harga yang sama, yakni Rp 2.500.000,00. Dalam hal ini, pedagang tersebut dapat memilih yaitu menyerahkanradio tape recorder atau stereo tape recorder. Akan tetapi, jika diperjanjikan bahwa Rima  (Pemesan) yang menentukan pilihan, pedagang memberitahukan kepada Rima bahwa barang pesanan sudah tiba, silahkan memilih salah satu dari benda objek perikatan tersebut. Jika Rima telah memilih dan menerima satu dari dua benda itu, peerikatan berakhir.
3.      Perikatan Fakultatif
Perikatan Fakultatif yaitu perikatan dimana debitor wajib memenuhi suatu prestasi tertentu atau prestasi lain yang tertentu pula. Dalam perikatan ini hanya ada satu objek. Apabila debitor tidak memenuhi prestasi itu, dia dapat mengganti prestasi lain. Misalnya, Agung berjanji kepada Rian untuk meminjamkan mobilnya guna melaksanakan penelitian. Jika Agung tidak meminjamkan Karena rusak, dia dapat mengganti dengan sejumlah uang transport untuk melaksanakan penelitiannya.
4.      Perikatan Tanggung-Menanggung
Pada perikatan tanggung-menanggung dapat terjadi seorang debitor berhadapan dengan beberapa orang kreditor atau seorang kreditor berhadapan dengan beberapa orang debitor. Apabila kredior terdiri atas beberapa orang, ini disebut tanggung-menanggung aktif. Dalam hal ini, setiap kreditor, berhak atas pemenuhan prestasi seluruh hutang. Jika prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitor dibebaskan dari utangnya dan perikatan hapus (Pasal 1278 KUHP dt).
Jika pihak debitor terdiri atas beberapa orang, ini disebut tanggung menanggung pasif, setiap debitor wajib memenuhi prestasi seluruh utang dan dan jika sudah dipenuhi oleh seorang debitor saja, membebaskan debitor –debitor lain dari tuntutan kreditor dan perikatannya hapus (Pasal 1280 KUHP dt)
Berdasarkan observasi, perikatan yang banyak terjadi dalam praktiknya adalah perikatan tanggung-menanggung pasif yaitu :

a)        Wasiat
Apabila pewaris memberikan tugas untuk melaksanakan hibah wasiat kepada ahli warisnya secara tanggung-menanggung.
b)       Ketentuan Undang-Undang
Dalam hal ini undang-undang menetapkan secara tegas perikatan tanggung menanggung dalam perjanjian khusus.
Perikatan tanggung menanggung secara tegas diatur dengan perjanjian khusus, yaitu sebagai berikut ;
a)      Persekutuan firma (Pasal 18 KUHD)
Setiap sekutu bertanggung jawab secara tanggung-menanggung untuk seluruhnya atas semua perikatan.
b)      Peminjaman benda (Pasal 1749 KUHPdt)
Jika bebereapa orang bersama-sama menerima benda karena peminjaman, meka masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab terhadap orang yang memberikan pinjaman benda itu.
c)      Pemberian kuasa (Pasal 1181 KUHPdt)
Seorang penerima kuasa diangkat oleh beberapa orang untuk mewakili dalam suatu urusan yang menjadi urusan mereka bersama. Mereka bertanggung jawab untuk seleruhnya terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat pemberian kekuasaan.
d)     Jaminan orang (borgtoch,pasal 1836 KUHPdt)
Jika beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penjamin sebagai seorang debitor yang sama untuk utang yang sama, mereka itu untuik masing-masing terikat untuk seluruh utang.
5.      Perikatan Dapat Dibagi Dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dikatakan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi, sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu berdasarkan pada :

a.        Sifat benda yang menjadi objek perikatan.
b.        Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Perikatan dapat atau tidak dapat dibagi bisa terjadi jika salah satu pihak meninggal dunia sehingga akan timbul maslah apakah pemenuhan prestasi dapat dibagi atau tidak antara para ahli waris almahrum itu. Hal tersebut bergantung pada benda yang menjadi objek perikatan yang penyerahannya atau pelaksanaannya dapat dibagi atau tidak, baik secara nyata maupun secara perhitungan ( Pasal 1296 KUHPdt).
Akibat hukum perikatan dapat atau tidak dapat dibagi adalah bahwa perikatan yang tidak dapat dibagi, setiap kreditor berhak menuntut seluruh  prestasi kepada setiap debitor dan setiap debitor wajib memenuhi prestasi tersebut seluruhnya. Dengan dipenuhinya prestasi oleh seorang debitor , membebaskan debitor lainnya dan perikatan menjadi hapus. Pada perikatan yang dapat dibagi, setiap kreditor hanya dapat menuntut suatu bagian prestasi menurut perimbangannya, sedangkan setiap debitor hanya wajib memenuhi prestasi untuk bagiananya saja menurut perimbangan.
6.      Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan ini memuat suatu ancaman hukuman terhadap debitor apabila dia lalai memenihi prestasinya. Ancaman hukuman ini bermaksut untuk memberikan suatu kepastian atas pelaksanaan isi perikatan, seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak. Disamping itu, juga sebagai upaya untuk menetapkan jumlah ganti keruguan jika memang terjadi wanprestasi. Hukuman itu merupakan pendorong debitor untuk memenuhi kewajiban berprestasi dan untuk membebaskan kreditor dari pembuktian tentang besarnya ganti kerugian yang telah di deritanya.
Misalnya, dalam perjanjian dengan ancaman hukuman, apabila seorang pemborong harus menyelesaikan pekerjaan bangunan dalam waktu tiga puluh hari tidak menyelesaikan pekerjaannya, dia dikenakan denda satu juta rupiah setiap hari terkampat itu. Dalam hal ini, jika pemborong itu melalaikan kewajibannya, berarti dia wajib membayar denda satu juta rupiah sebagai ganti kerugian untuk setiap hari terlambat.

7.      Perikatan Wajar
Undang-undang tidak menentukan apa yang dimaksud dengan perikatan wajar (natuurlijke verbintenis, natural obligation). Dalam undang-undang hanya dijumpai Pasal 1359 ayat (2) KUHPdt. Karena itu, tidak ada kesepakatan antara para penulis hukum mengenai sifat dan akibat hukum dari perikatan wajar, kecuali mengenai satu hal, yaitu sifat tidak ada gugatan hukum guna memaksa pemenuhannya. Kata wajar adalah terjemaahan dari kata aslinya dalam bahasa Belanda “natuurlijk” oleh Prof. Koesoemadi Poedjosewojo dalam kuliah hukum perdata pada  Fakultas Hukum Universitas  Gadjah Mada Yogyakarta.
Perikatan wajar bersumber dari Undang-Undang dan kesusilaan seta kepatutan (Moral and equity). Bersumber pada Undang-Undang, artinya keberadaan perikatan wajar karena ditentukasn oleh Undang-Undang. Jika Undang-Undang tidak menentukan, tidak ada perikatan wajar. Bersumber dari kesusilaan dan kepatutan, artinya keberadaan perikatan wajar karena adanya belas kasihan, rasa kemanusiaan, dan kerelaaan hati yang iklas  dari pihak debitor. Hal ini sesuai benar dengan sila kedua pancasila dan dasar Negara Republik Indonesia.
Ada contoh-contoh yang berasal dari ketentuan undang-undang adalah seperti berikut ini :
a.        Pinjaman yang tidak diminta bunganya. Jika bunganya dibayar, tidak dapat dituntut pengembaliannya (Pasal 1766 KUHPdt)
b.        Perjudian dan pertaruhan. Undang-Undang tidak memberikan tuntutan hukum atas suatu utang yang terjadi karena perjudian karena perjudian pertaruhan ( Pasal 1788 KUHPdt).
c.        Lampau waktu. Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun perorangan hapus karena kadaluarsa (lampau waktu) dengan lewatnya tenggang waktu tiga puluh hari tahun.
d.       Kepailitan yang di atur dalam undang-undang kepailitan.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Perikatan adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda verbintenis. Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa :
1.      Perbuatan, misalnya jual beli, utang-piutang, hibah.
2.      Kejadian, misalnya kelahiran, kematian,
3.      Keadaan, misalnya rumah susun
Perikatan diatur dalam Buku KUH Perdata. Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi karena perjanjian dan Undang-Undang. Aturan mengenai perikatan meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi aturan yang tercantum dalam Bab I, Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), dan Bab IV KUH Perdata yang belaku bagi perikatan umum. Adapun bagian khusus meliputi Bab III (kecuali Pasal 1352 dan 1353) dan Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya dalam bab-bab bersangkutan.










DAFTAR PUSTAKA

Djamali, Abdul. 1983. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada.
Setiawan. 1977. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta.
Tirtodiningrat. 1966. Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Jakarta: Gunung Sahari 84.
Abdul Kadir, Muhammad. 1990. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Subekti. 1954. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Interma

0 komentar:

Post a Comment

 
Top