Makalah Hukum Waris tentang Azas-azas Kewarisan dalam Islam
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT,
shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan
agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke
alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Fiqh Mawaris
pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan
ini penulis mengangkat judul “Azas-azas
Kewarisan dalam Islam”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan
saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
ZAINUDDIN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... ......... 1
C. Tujuan
penulisan...................................................................................................... 1
BAB II :
PEMBAHASAN
A. Pengertian
mawaris........................................................................................ ......... 2
B. Hukum mawaris............................................................................................. ......... 3
C. Sumber hukum
mawaris.......................................................................................... 4
D. Azas-azas
kewarisan islam............................................................................. ......... 7
BAB III :
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................... ......... 10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. ......... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mawaris
atau pembagian harta warisan merupakan salah satu cabang ilmu islam yang cukup
kompleks. Hal ini mengingat betapa sensitifnya ilmu ini. Karena kekacauan
pembagian harta waris sering terjadi perselisihan antar keluarga. Untuk itulah
islam mengatur urusan ini secara mendetail.
Dalam
al-qur’an dasar-dasar ilmu ini dijelaskan secara gamblang dan spesifik, tidak
seperti kebanyakan ayat quran lainnya yang berbicara secara general. Hikmah
dibalik itu semua adalah adanya penekanan akan pentingnya ilmu ini. Oleh karena
itu, studislam kali ini akan membahas mengenai ilmu ini, ilmu fiqih mawaris
B.
Rumusan Masalah
1. Menjelaskan pengertian
mawaris
2. Menjelaskan hukum mawaris
3. Menjelaskan dasar hukum
mawaris
4. Menjelaskan azas-azas kewarisan
islam
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusunn makalah ini adalah disamping untuk
memenuhi tugas dalam perkuliahan juga agar saya sendiri mampu memahami tentang
ilmu mawaris.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mawaris
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata
miras (موارث), yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata :
warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ;
berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada
kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama
ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang),
tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i.
Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam
adalah pemindahan hak milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli
waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.
Sedangkanm istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih
yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa
yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan warisan
sebagai berikut; soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia
akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh
faridhah, yang oleh ulama faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni
bagian yang telah dipastikan kadarnya.Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena
dalam pembagian harta warisan telah ditentukan siapa-siapa yang berhak menerima
warisan, siapa yang tidak berhak, dan jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh
ahli waris telah ditentukan
Adapun tujuan kewarisan dalam Islam dapat kita rumuskan
sebagai berikut :
1. Penetapan bagian-bagian
warisan dan yang berhak menerima secara rinci dan jelas, bertujuan agar tidak terjadinya
perselisihan dan pertikan antara ahli waris. Karena dengan ketentuan-ketentuan
tersebut, masing-masing ahli waris harus mengikuti ketentuan syariat dan tidak
bisa mengikuti kehendak dan keinginan masing-masing.
2. Baik laki-laki maupun
perempuan mendapat bagian warisan (yang pada masa jahiliyah hanya laki-laki
yang berhak) sebagai upaya mewujudkan pembagian kewarisan yang berkeadilan
berimbang. Dalam artian masing-masing berhak menerima warisan sesuai dengan
porposi beban dan tanggung jawabnya.
B. Hukum Kewarisan
Dalam hukum kewarisan terdapat dua hal, yaitu, hukum membagi harta
warisan menurut ketentuan syari’at Islam dan hukum mempelajari dan
mengajarkannya.
1. Hukum membagi harta warisan
menurut ketentuan syari’at Islam
Bagi umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syari’at
yang telah ditentukan nash yang sharih adalah suatu keharusan, selama peraturan
tersebut tidak ditunjuk oleh dalil nash yang lain yang menunjukkan
ketidak-wajibannya.
Dalam hal ini kita dapat merujuk nash al-Quran maupun
al-Hadis yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu :
·
Surat an-Nisa’ ayat 13 dan 14 :
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari
Allah. Barang siapa ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang
mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa’ : 13).
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Allah bakal memasukkannya ke dalam neraka
sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. An-Nisa’
: 13-14).
·
Hadis Rasulullah SAW.
Bagilah harta (warisan) antara ahli-ahli waris menurut
kitabullah (al-Quran). (H.R. Muslim dan Abu Dawud).
Berdasarkan nash al-Quran dan al-Hadis tersebut, maka
diisyaratkan keharusan (kewajiban) membagi harta warisan menurut ketentuan
al-Quran dan al-Hadis. Tetapi selain pemindahan hak kepemilikan melalui
kewarisan, adanya ketentuan wasiat dan hibah. Sehingga terhadap orang lain yang
tidak mendapatkan harta melalui kewarisan dapat diberikan melalui wasiat atau
hibah. Demikian pula bagi ahli waris yang merasa tidak membutuhkan dan tidak
mau menerima pembagian harta warisan, dapat memberikan kepada orang lain yang
lebih membutuhkan melalui hibah.
Dalam Undang-undang Kewarisan Mesir adanya ketentuan wasiat wajibah
bagi cucu perempuan dari garis perempuan yang tidak memperoleh harta warisan
karena sebagai zawil arham. Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam ditemukan pula
ketentuan wasiat wajibah bagi orang tua angkat atau anak angkat. Hal tersebut
menurut penulis langkah yang tepat demi mewujudkan keadilan dengan tanpa
menyalahi ketentuan syari’at.
2. Hukum mempelajari dan
mengajarkannya.
Islam mengatur ketentuan pembagian harta waris secara rinci
agar tidak terjadinya perselisihan dan pertikaian antara ahli waris. Hal
tersebut seringkali terjadi jika seseorang meninggal dunia, menimbulkan
perselisihan bagi ahli warisnya dalam pembagian harta, bahkan tidak jarang
terjadi pertikaian. Seabagai antisipasi hal tersebut, maka ditentukan secara
rinci tentang pembagian harta warisan sebagai pedoman.
Dengan telah ditetapkannya pembagian harta warisan dalam
Islam, maka harus ada orang yang mempelajari dan mengajarkannya. Sehingga
orang-orang yang telah mempelajarinya dapat merealisasikan didalam pembagian
harta warisan bagi umat Islam.
Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan
mengajarkan fiqih mawaris adalah wajib kifayah. Dalam artian apabila telah ada
sebagian orang yang melakukannya (memenuhinya) maka dapat menggugurkan kewajiban
semua orang. Tetapi apabila tidak ada seorang pun yang melaksanakan kewajiban
tersebut, maka semua orang menanggung dosa.
Dalam hadis Nabi dinyatakan ; Pelajari oleh kalian al-Quran
dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah
kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang bakal terengut (mati) sedang
ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian
warisan tidak mendapatkan seorang pun yang dapat memberikan fatwa kepada
mereka. (H.R. Ahmad, Nasai dan al-Daruqutny).
Berdasarkan hadis tersebut, ditempatkan perintah
mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh dengan perintah mempelajari dan
mengajarkan al-Quran, menandakan betapa pentingnya ilmu faraidh tersebut. Hal
tersebut sebagai upaya mewujudkan pembagian warisan yang berkeadilan dan
menurut ketentuan syariat Islam. Terlebih kecenderungan manusia yang
materialistik, maka ketentuan pembagian warisan tersebut sangat penting agar
terhindarnya konflik dan perselisihan.
C. Sumber Hukum Kewarisan
Hukum kewarisan bersumber pada al-Quran dan al-Hadis yang
menjelaskan ketentuan hukum kewarisan.
1. Al-Quran
·
Surat an-Nisa’ ayat 7 :
Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan. (An-Nisa’ : 7).
Menurut ayat kewarisan tersebut baik laki-laki maupun
perempuan berhak mewarisi harta yang ditinggalkan ibu-bapa maupun kerabatnya.
Hal tersebut menghapuskan tradisi yang berlaku pada masa jahiliyah, yang berhak
menerima warisan hanya laki-laki yang dewasa saja.
·
Surat al-Ahzab ayat 6 :
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin
dari mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang
yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di
dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin kecuali
kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama), adalah yang
demikian itu telah tertulis dalam kitab (Allah).
Berdasarkan ayat tersebut, orang-orang yang mempunyai
hubungan kekerabatan lebih berhak mewarisi harta seseorang yang meninggal dunia
daripada orang lain. Tetapi tidak menutup kemungkinan, jika mau berbuat baik
kepada orang lain (seagama) dengan melalui hibah atau wasiat.
·
Surat an-Nisa’ ayat 11 dan 12 :
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua
orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha bijaksana. (An-Nisa’ : 11).
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
isteri-isterimu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai naka, maka para
isteri meperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara
itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang
maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang
dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
(An-Nisa’ : 12).
Kedua ayat tersebut menjelaskan secara rinci bagian-bagian ahli waris
baik yang termasuk ashabul furudl maupun ashabah.Ayat-ayat lain yang
berhubungan dengan kewarisan adalah al-Baqarah 180, An-nisa’ 8,9,176 dan
al-Anfal 75.
2. Al-Hadis
·
Riwayat Bukhari dan Muslim.
Nabi SAW. bersabda; Berikanlah bagian-bagian tertentu
kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang
lebih utama (dekat kekerabatannya). (H.R. Bukhari dan Muslim).
·
Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
Orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang
kafir tidak berhak mewarisi orang muslim. (H.R. Bukhari dan Muslim).
·
Riwayat Bukhari dan Muslim dari Sa’ad ibn Abi Waqqas tentang batas
maksimal pelaksanaan wasiat.
Rasulullah SAW. datang menjengukku pada tahun haji wada’
diwaktu aku menderita sakit keras. Lalu aku bertanya kepada beliau,” wahai
Rasulullah, aku sedang menderita sakit keras, bagaimana pendapatmu, aku ini
orang berada sementara tidak ada yang akan mewarisi hartaku selain seorang anak
perempuan, apakah aku sedekah (wasiat) kan dua peretiga hartaku?
“Jangan” jawab Rasul. Aku bertanya “setengah”? “jangan” jawab Rasul. Aku
bertanya “sepertiga”? Rasul menjawab “sepertiga” sepertiga adalah banyak atau
besar, sungguh kamu jika meninggalkan ahli warismu dalam keadaan yang cukup
adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang
meminta-minta kepada orang. (H.R. Bukhari dan Muslim).
D. Asas Kewarisan Islam
Berdasarkan nash baik al-Quran maupun al-Hadis, maka kita dapat
merumuskan asas-asas kewarisan Islam sebagai berikut :
1. Asas ijbari
Dalam hukum Islam peralihan harta seseorang yang telah
meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam
pengertian hukum Islam berlaku secara ijbari. Kata ijbari secara etimologis
mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak
sendiri.
Hal tersebut berarti bahwa peralihan harta dari seseorang
yang meninggal kepada ahli warisnya berlangsung dengan sendirinya berdasarkan
ketetapan Allah, tanpa bergantung kepada kepada ahli waris atau pewaris.
2. ASAS BILATERAL
Asas bilateral dalam kewarisan Islam, berarti bahwa
seseorang menerima warisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari kerabat
garis keturunan laki-laki maupun perempuan. Asas ini dapat dilihat
dalam surat an-Nisa’ ayat 7.
Amir syarifuddin menyatakan, bahwa seorang laki-laki berhak
menerima warisan dari pihak ayahnya juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang
perempuan berhak mendapat warisan dari kedua pihak orang tuanya.
Demikian pula dapat dilihat dari surat an-nisa’
ayat 12, bahwa baik duda maupun janda saling mewarisi, saudara laki-laki
mewarisi dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya. Kemudian sebagaimana
termuat dalam surat an-Nisa’ ayat 33, menurut Hazairin bahwa, cucu
baik laki-laki maupun perempuan mewarisi menggantikan ibu atau bapaknya.
3. ASAS INDIVIDUAL
Asas individual artinya ialah, dalam system hukum kewarisan
Islam, harta peninggalan yang ditinggalkan dibagi secara individual secara
pribadi langsung kepada masing-masing.
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat
pada surat an-nisa’ ayat 11, yaitu ;
a. Bahwa anak laki-laki
mendapat bagian dua kali dari bagian anak perempuan
b. Bila anak perempuan itu dua
orang atau lebih baginya dua pertiga dari harta peninggalan
c. Dan jika perempuan itu hanya
seorang saja maka baginya seperdua harta peninggalan.
Pembagian secara individual ini didasarkan kepada ketentuan
bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan
manjalankan kewajiban, yang dalam istilah ushul fiqih disebut “ahliyat
al-wujub”. Akan tetapi berlaku pula ketentuan lain yaitu kecakapan untuk
bertindak yang dalam ushul fiqih disebut “ahliyatul ada”. Dalam artian pembagian
harta tersebut diberikan kepada seseorang secara individual, dengan catatan
adanya kecakapan orang tersebut.
4. Asas keadilan berimbang
Hak waris yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya
merupakan pelanjutan tanggung jawab pewaris kepada keluarganya (ahli waris),
sehingga kadar yang diterima oleh ahli waris berimbang dengan perbedaan
tanggung jawab seseorang.
Seorang laki-laki memikul tanggung jawab yang lebih berat
dari perempuan, sehingga suatu hal yang wajar jika bagiannya dua kali bagian
perempuan. Tanggung jawab tersebut dari ayat al-Quran :
1) Al-Baqarah 23 :
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara yang ma’ruf. (Q.S. Al-Baqarah : 23).
2) An-Nisa’ 34 :
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihi sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena itu mereka telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka….(Q.S. An-Nisa’ : 34).
3) Ath-Thalaq 6 :
Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmua….(Ath-Thalaq : 6).
5. ASAS KEWARISAN SEMATA AKIBAT KEMATIAN
Hukum kewarisan Islam menetapkan bahwa peralihan harta
melalui cara kewarisan, dilakukan setelah orang yang mempunyai harta meninggal.
Hal tersebut dapat dikaji dari penggunaan kata-kata warasa.
Hubungan kewarisan Islam dengan kewarisan Nasional di
Indonesia sampai saat ini belum terdapat suatu kesatuan hukum kewarisan yang
dapat diterapkan secara universal bagi seluruh warga negara Indonesia.
Oleh karenanya hukum kewarisan yang diterapkan bagi warga
negara Indonesia berbeda-beda mengingat penggolongan dari warga
negara.
1) Bagi warga negara Indonesia asli
Bagi warga negara Indonesia asli pada prinsipnya
berlaku Hukum Adat. Yang dalam hal ini sudah barang tentu terdapat perbedaan
antara satu daerah dengan daerah yang lain. Perbedaan tersebut karena adanya
perbedaan sifat kekeluargaan mereka masing-masing.
Sifat kekeluargaan (keturunan) dapat dibedakan dalam tiga
macam, yaitu ;
a. Sistem Patrilinial, yaitu
ditarik menurut garis bapak
b. Sistem Matrilinial, yang
ditarik menurut garis ibu.
c. Sistem Parental, yang
ditarik menurut garis ibu-bapak.
2) Bagi warga negara golongan Indonesia asli yang
beragama Islam
Bagi warga negara Indonesia asli yang beragama
Islam, selain dipengaruhi hukum kewarisan adat, juga banyak dipengaruhi oleh
kewarisan Islam.
Berkaitan dengan hal tersbut, hendaknya hukum kewarisan
yang berlaku di masing-masing daerah (hukum kewarisan adat) harus disesuaikan
dan berpedoman pada kewarisan Islam. Sebab umat Islam mengatur segala aspek
kehidupan bagi umatnya.
3) Bagi orang-orang Arab
Pada umumnya seluruh hukum kewarisan Islam berlaku bagi
orang-orang Arab di Indonesia.
4) Bagi orang Tionghoa da Eropa
5) Bagi orang Tionghoa dan Eropa, bagi mereka berlaku hukum warisan
yang termuat dalam Burgelijk Wetboek (BW) buku II pasal 830 sampai dengan pasal
1130.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata
miras (موارث), yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata :
warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ;
berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum
kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama
ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang),
tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i.
Dalam hukum kewarisan terdapat dua hal, yaitu, hukum membagi harta
warisan menurut ketentuan syari’at Islam dan hukum mempelajari dan
mengajarkannya.
Adapun tujuan kewarisan dalam Islam dapat kita rumuskan
sebagai berikut :
1. Penetapan bagian-bagian
warisan dan yang berhak menerima secara rinci dan jelas, bertujuan agar tidak
terjadinya perselisihan dan pertikan antara ahli waris. Karena dengan
ketentuan-ketentuan tersebut, masing-masing ahli waris harus mengikuti
ketentuan syariat dan tidak bisa mengikuti kehendak dan keinginan
masing-masing.
2. Baik laki-laki maupun
perempuan mendapat bagian warisan (yang pada masa jahiliyah hanya laki-laki
yang berhak) sebagai upaya mewujudkan pembagian kewarisan yang berkeadilan
berimbang. Dalam artian masing-masing berhak menerima warisan sesuai dengan
porposi beban dan tanggung jawabnya.
DAFTAR PUSTAKA
H. Muh.
Rifa’I,1996,Fiqh Mawaris,semarang : sayid sabiq,fiqih sunnah,Beirut: Darut fikr
Al-Quran
QS.An-Nisa ‘:7 dan 11
Al Hadist :
HR Jamaah, HR.Ahmad dan Abu Daud
0 komentar:
Post a Comment