Makalah Hukum Waris tentang Kedudukan Wanita dalam Warisan
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT,
shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan
agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke
alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum warisan
pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan
ini penulis mengangkat judul “Kedudukan
wanita dalam Warisan”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan
saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
MUHAMMAD YAHYA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ ......... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah.......................................................................................... ......... 2
C. Tujuan
penulisan...................................................................................................... 2
BAB II :
PEMBAHASAN
A. Definisi warisan....................................................................................................... 2
B. Hak waris wanita sebelum islam.................................................................... ......... 6
BAB III :
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................... ......... 9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. ......... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syariat islam menetapkan
aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan
hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan
dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan
kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari
seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan,
besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci
secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan
hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai
kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami,
kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan
acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang
kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat
sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali
ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum
waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta
merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di
atas, maka rumusan masalah dalam pembuatan tugas makalah ini adalah
“tentang Warisan dalam Hukum Islam”. Dari rumusan masalah tersebut dapat kami
uraikan menjadi sebagai berikut:
a. Bagaimanakah
pengertian warisan dalam hukum islam.
b. Apa
saja bentuk, rukun dan syarat warisan.
c. apa
saja yang harus di laksanakan sebelum pembagian warisan.
d. apa
saja faktor-faktor yang menyebabkan mendapatkan warisan.
e. Bagaimanakah
pembagian warisan dalam hukum islam.
f. Apa
saja golongan dalam ahli waris.
g. Apa
saja faktor-faktor yang menghalangi mendapatkan warisan.
h. Bagaimana
ketentuan warisan untuk waria dan ibu hamil.
Berdasarkan rumusan di atas, maka kami
angkat kedalam makalah studi fiqih yang hal ini kami mengangkat judul “Warisan”
C. Tujuan Penulisan
Tujuan pembuatan makalah ini pada
hakekatnya merupakan sesuatu yang hendak dicapai dan dapat memberikan arahan
dan penjelasan yang akan dilakukan. Berpijak pada rumusan penelitian
diatas, maka tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini adalah untuk
mengetahui bagaimana pelaksanaan warisan yang sesuai dengan ketentuan
hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah
bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan.
Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian
menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan
harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an
banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya
Allah berfirman:
y^Íurur ß`»yJøn=ß y¼ãr#y
"Dan Sulaiman telah mewarisi
Daud ..." (an-Naml: 16)
( $¨Zà2ur ß`øtwU úüÏOͺuqø9$# ÇÎÑÈ
"... Dan Kami adalah
pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Selain
itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
'Ulama
adalah ahli waris para nabi'.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang
dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal
kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta
(uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
· Pengertian
Peninggalan
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan
fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang)
atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang
yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya
bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan
pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang
berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran
kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).Hak-hak yang Berkaitan
dengan Harta Peninggalan.
Dari sederetan hak yang harus
ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1. Semua
keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta
miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman
tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga
pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya
pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang
terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui
dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda
tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari
jenis kelaminnya.
2. Hendaklah
utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu.
Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada
ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw.: "Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung
pada utangnya hingga ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang piutang yang
bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan
Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau
belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit perbedaan
pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya
tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat
wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta
peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.
3. Wajib
menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari
seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan
bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau
bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah
sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya,
termasuk diambil untuk membayar utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris melebihi
sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib
ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan
sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. pada
waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke
baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.
Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu
lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta
kepada orang."
4. Setelah
itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya
sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma').
Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli
waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami,
dan lainnya), kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima
sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
Catatan:
Pada ayat waris yaitu “Sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS
an-Nisaa’: 11).
Wasiat memang lebih dahulu disebutkan
daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang
hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh
karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah,
diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-benarmelaksanakannya. Sebab
wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan
menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya
wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.
B.
Hak Waris Kaum Wanita sebelum Islam
Sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali
tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua
ataupun kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang
membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan,
"Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada
orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul
senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh." Mereka mengharamkan
kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada
anak-anak kecil.
Sangat jelas bagi kita bahwa sebelum Islam
datang bangsa Arab memperlakukan kaum wanita secara zalim. Mereka tidak
memberikan hak waris kepada kaum wanita dan anak-anak, baik dari harta
peninggalan ayah, suami, maupun kerabat mereka. Barulah setelah Islam datang
ada ketetapan syariat yang memberi mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan
kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan.
Islam memberi mereka hak waris, tanpa boleh siapa pun mengusik dan
menentangnya. Inilah ketetapan yang telah Allah pastikan dalam syariat-Nya
sebagai keharusan yang tidak dapat diubah.
Ketika turun wahyu kepada Rasulullah saw.
--berupa ayat-ayat tentang waris-- kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa
tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau saja hukum yang
tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus (mansukh). Sebab menurut anggapan
mereka, memberi warisan kepada kaum wanita dan anak-anak sangat bertentangan
dengan kebiasaan dan adat yang telah lama mereka amalkan sebagai ajaran dari
nenek moyang.
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah
kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbas r.a.. Ia berkata: "Ketika
ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan diturunkan Allah kepada RasulNya
--yang mewajibkan agar memberikan hak waris kepada laki-laki, wanita,
anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri-- sebagian bangsa Arab merasa
kurang senang terhadap ketetapan tersebut. Dengan nada keheranan sambil
mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian kepada kaum
wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan setengah bagian
harta peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada anak-anak ingusan?
Padahal mereka tidak ada yang dapat memanggul senjata untuk berperang melawan
musuh, dan tidak pula dapat andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak
perlu membicarakan hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan dan
mengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar berkenan untuk
mengubahnya.' Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah: 'Wahai
Rasulullah, haruskah kami memberikan warisan kepada anak kecil yang masih
ingusan? Padahal kami tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah
kami memberikan hak waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak
dapat menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan
musuh?'"
Inilah salah satu bentuk nyata ajaran syariat
Islam dalam menyantuni kaum wanita; Islam telah mampu melepaskan kaum wanita
dari kungkungan kezaliman zaman. Islam memberikan hak waris kepada kaum wanita
yang sebelumnya tidak memiliki hak seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka
sebagai ashhabul furudh (kewajiban yang telah Allah tetapkan bagian
warisannya). Kendatipun demikian, dewasa ini masih saja kita jumpai pemikiran
yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang yang berhati buruk.
Mereka beranggapan bahwa Islam telah menzalimi kaum wanita dalam hal hak waris,
karena hanya memberikan separo dari hak kaum laki-laki.
Anggapan mereka semata-mata dimaksudkan untuk
memperdaya kaum wanita tentang hak yang mereka terima. Mereka berpura-pura akan
menghilangkan kezaliman yang menimpa kaum wanita dengan cara menyamakan hak
kaum wanita dengan hak kaum laki-laki dalam hal penerimaan warisan.
Mereka yang memiliki anggapan demikian sama
halnya menghasut kaum wanita agar mereka menjadi pembangkang dan pemberontak
dengan menolak ajaran dan aturan hukum dalam syariat Islam. Sehingga pada
akhirnya kaum wanita akan menuntut persamaan hak penerimaan warisan yang sama
dan seimbang dengan kaum laki-laki.
Yang sangat mengherankan dan sulit dicerna akal
sehat ialah bahwa mereka yang berpura-pura prihatin tentang hak waris kaum
wanita, justru mereka sendiri sangat bakhil terhadap kaum wanita dalam hal
memberi nafkah. Subhanallah! Sebagai bukti, mereka bahkan menyuruh kaum wanita
untuk bekerja demi menghidupi diri mereka, di antara mereka bekerja di ladang,
di kantor, di tempat hiburan, bar, kelab malam, dan sebagainya.
Corak pemikiran seperti ini dapat dipastikan
merupakan hembusan dari Barat yang banyak diikuti oleh orang-orang yang
teperdaya oleh kedustaan mereka. Kultur seperti itu tidak menghormati kaum
wanita, bahkan tidak menempatkan mereka pada timbangan yang adil. Budaya mereka
memandang kaum wanita tidak lebih sebagai pemuas syahwat. Mereka sangat bakhil
dalam memberikan nafkah kepada kaum wanita, dan mengharamkan wanita untuk
mengatur harta miliknya sendiri, kecuali dengan seizin kaum laki-laki
(suaminya). Lebih dari itu, budaya mereka mengharuskan kaum wanita bekerja guna
membiayai hidupnya. Kendatipun telah nyata demikian, mereka masih menuduh bahwa
Islam telah menzalimi dan membekukan hak wanita.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Harta warisan adalah harta yang dalam
istilah fara’id dinamakan Tirkah (peninggalan) merupakan sesuatu atau harta
kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang
dibenarkan oleh syariat islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam
pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal harus
diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada bagianya.
Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan. hak-hak kebendaan
dan hak-hak yang bukan kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan dengan hak
orang lain.
Pentingnya pembagian warisan untuk
orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam,
mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan ukhuwah
persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup. Pembagian tersebut
sudah di atur dalam al-quran dan al hadist Namun ada beberapa ketentuan yang di
sepakati dengan ijma’ dengan seadil-adilnya.
DAFTAR PUSTAKA
Fiqh islam, lengkap mazhab Syafi’i,
dib al bugha, musthafa,2009, media Zhikir solo
Fiqh mawaris pembagian waris
berdasarkan syariat islam Prof Dr Muhammad teungku hasbi ash- shiddieqy
Hukum waeis islam, tela’ah
terhadap hukum waris islam dan implementasinya di Indonesia, Dr. H. Kosim Rusdi
M.Ag
0 komentar:
Post a Comment