Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
Puji syukur penyusun
panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa ta’ala, karena berkat rahmat-Nya kami
bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Larangan Curang dan Mengicuh.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Hadits Ahkam.
Kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini
memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan
dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Wassalam
Penulis,
KELOMPOK 5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................................................. .... 1
B.
Rumusan Masalah........................................................................ .... 1
C.
Tujuan
penulisan .............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Hadits tentang larangan curang ..................................................... 3
B.
Status hadits ....................................................................................... 4
C.
Redaksi kata hadits ............................................................................ 5
D.
Peljaran dari hadits ............................................................................. 7
E.
Dialog terhadap hadits ....................................................................... 11
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.......................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... .... 14
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang
Melihat
perkembangan yang telah muncul dalam kehidupan ekonomi yang ada di dunia pada
umumnya dan di Indonesia pada khususnya, Suatu kenyataan yang tak terhindarkan
dalam sejarah telah terjadinya perubahan dari kehidupan tradisional ke
kehidupan modern, perubahan kehidupan pedesaan yang berbasis ekonomi pertanian
kepada kehidupan perekonomian perkotaan yang berbasis ekonomi industri dan
perdagangan, perubahan dari pola hubungan paguyuban dan gotong royong kepada
pola hubungan individu dan seterusnya.
Melihat semakin pesatnya berbagai kemajuan yang
telah terjadi dalam kehidupan perekonomian masyarakat saat ini tentunya
menuntut kita untuk lebih peka dan lebih hati dalam berbagi sistem yang kadang
mengecewakan salah satu pihak, hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan
sehari-hari yang dapat kita cermati dalam proses jual beli borongan. Untuk itu
dalam makalah ini, penulis mencoba untuk mengulas lebih spesifik mengenai larangan
curang dan mengicuh, serta apakah layak menurut sistem perekonomian yang
berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits?
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan curang dan
mengicuh dalam jual beli?
2.
Apa saja hadits tentang curang dan mengicuh
dalam jual beli?
3.
Bagaimana status hadits tentang curang dan
mengicuh dalam jual beli?
4. Apa saja inti sari dan hukum yang dapat di
ambil dari hadits tentang larangan curang dan mengicuh dalam jual beli?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Agar mahasiswa/i mampu memahami pengertian
curang dan mengicuh dalam jual beli
2.
Agar mahasiswa/i mampu mengidentifikasikan
hadits tentang larangan curang dan mengicuh
dalam jual beli
3.
Agar mahasiswa/i mampu mengetahui status
hadits tentang larangan curang dan mengicuh dalam jual beli
4.
Agar mahasiswa/i mampu mengambil intisari
dan hukum dari hadits tentang larangan curang dan mengicuh dalam jual beli
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits Tentang Larangan Curang dalam Jual Beli
و حَدَّثَنِي
يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَعِيلَ
بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ ابْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ قَالَ أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا
فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ
أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ
الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي (روه مسلم)
صحيح مسلم ,
كتاب الإيمان,باب قَوْلِ النَّبِىِّ - صلى الله تعالى عليه وسلم - « مَنْ غَشَّنَا
فَلَيْسَ مِنَّا ».
Artinya : Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah
serta Ibnu Hujr semuanya dari Ismail bin Ja'far, Ibnu Ayyub berkata, telah
menceritakan kepada kami Ismail dia berkata, telah mengabarkan kepadaku al-Ala'
dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah melewati setumpuk makanan,
lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh
sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya: "Apa ini wahai pemilik
makanan?" sang pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena air
hujan wahai Rasulullah." Beliau bersabda: ‘’ Mengapa engkau tidak
meletakkan bagian yang basah ini di atas hingga manusia dapat melihatnya? Siapa
yang menipu maka ia bukan dariku’.” (HR. Muslim).[1]
B. Status Hadits
1. Segi Kualitas
Hadits ini tergolong
hadits shahih, karena sanadnya marfu’ (bersambung sampai kepada Rasulullah) dan
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah. Hadis dengan matan yang sama
maksudnya, sekalipun berbeda lafalnya. Di riwayatkan pula oleh dalam Sunan-nya
no. 1315, Kitab Al-Buyu’, bab Ma Ja`a fi Karahiyatil Ghisy fil Buyu’, dan
selainnya.
Dalam riwayat Abu Dawud
dalam Sunan-nya no. 3452, Kitab Al-Buyu’, bab An-Nahyu ‘anil Ghisy disebutkan
dengan lafadz: “Rasulullah SAW melewati seseorang yang sedang berjualan makanan. Beliau
pun bertanya kepada penjual tersebut: ‘Bagai-mana engkau berjualan?’ Penjual
itu lalu mengabarkan kepada beliau. Lalu Allah mewahyukan kepada beliau:
‘Masukkanlah tanganmu ke dalam tumpukan makanan yang dijual pedagang tersebut.’
Ketika beliau melakukannya, ternyata beliau dapatkan bagian bawah/bagian dalam
makanan tersebut basah. Maka Rasulullah n bersabda: “Bukan termasuk golongan
kami orang yang menipu.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan
Abi Dawud, Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 1765).[2]
2. Segi kuantitas
Hadits serupa juga
diriwayatkan dari Umar, Abu Al Hamra`, Ibnu Abbas, Abu Burdah bin Niyar dan
Hudzaifah bin Al Yaman. Abu Isa berkata; Hadits Abu Hurairah adalah hadits
hasan shahih dan menjadi pedoman amal menurut para ulama. Syeh Albani juga
berkomentar bahwa hadist ini juga berstatus shahih.
Perawi-perawi nya ialah
Yahya bin Ayyub,Qutaibah Ibnu Hujr, Ismail bin Ja'far, Ibnu Ayyub, Ismail ,
al-Ala' , Abu Hurairahialah Abu Isa berkata dalam Sunan At-Tirmidzi:
"Hadits ini derajatnya hasan shahih, dan sebagian ahli ilmu beramal dengan
hadits ini.” Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abdullah bin Mas'ud, Ibnu
Abbas dan Watsilah bin Al Asqa'. Syekh Al-Albani dalam Sunan an-Nasa’i
memberikan status shahih pada hadits ini.
3. Dalam software mausu’at al hadits al sharif: al-Kutub al -Tis’ah, sanad
hadits di atas bersambung kepada Rasulullah dan perawi-perawinya memiliki
tingkatan ثقة atau ثبت (terpercaya/teguh).
1. غَشَّ: (Ghisy) berarti menipu atau curang. Kata
ini tentu bermakna sangat umum, sehingga meliputi segala bentuk penipuan atau
kecurangan dalam akad jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai atau
muamalah lainnya. Contoh konkretnya adalah apa yang terjadi di zaman Rasulullah
SAW sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Hurairah diatas.
2. مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي : ”Siapa yang
menipu maka ia bukan dariku”. Dalam lafadz lain disebutkan dengan
lafadz:
3. مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ
فِي النَّارِ : “Barangsiapa yang berbuat curang kepada kami maka dia bukan dari
golongan kami, dan makar serta penipuan itu di neraka.”
“Rasulullah
SAW, melewati seseorang yang sedang berjualan makanan. Beliau pun
bertanya kepada penjual tersebut: ‘Bagai-mana engkau berjualan?’ Penjual itu
lalu mengabarkan kepada beliau. Lalu Allah mewahyukan kepada beliau:
‘Masukkanlah tanganmu ke dalam tumpukan makanan yang dijual pedagang tersebut.’
Ketika beliau melakukannya, ternyata beliau dapatkan bagian bawah/bagian dalam
makanan tersebut basah. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Bukan termasuk golongan
kami orang yang menipu.” (Hasan Shahih, HR. At-Thabarani dalam kitab Mu’jam
Al-Kabir dan Ash-Shaghir dengan sanad yang bagus dan Ibnu Hibban dalam kitab
Shahih-nya. Lihat Shahih At-Targhib, 2/159 no. 1768)
Dari Abu Hurairah
radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: مَنْ حَمَلَ
عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا “Barangsiapa yang mengarah senjata kepada kami maka dia bukan dari golongan
kami. Dan barangsiapa yang menipu kami, maka dia bukan golongan kami.” (HR. Muslim no. 101)[4]
Dari Tamim bin Aus
Ad-Dari radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ
قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ
وَعَامَّتِهِمْ
Artinya : “Agama itu adalah
nasihat.” Kami bertanya, “Nasihat untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah,
kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta masyarakat umum di
antara mereka.” (HR. Muslim no. 55)
Dalam An-Nihayah fi
Gharibil Hadits disebutkan makna lafadz adalah bukan termasuk akhlak kami,
bukan pula sunnah kami. Al-Imam An-Nawawi t menyebutkan bahwa ada yang
memaknakan dengan makna orang yang berbuat demikian ia tidak berada di atas
perjalanan hidup kami yang sempurna dan petunjuk kami. Namun Sufyan bin ‘Uyainah t
membenci ucapan orang yang menafsirkannya dengan: “Tidak di atas petunjuk kami.”
Beliau memaksudkan hal ini agar kita menahan diri dari mentakwil/menafsirkan
lafadz tersebut, dan membiarkan apa adanya agar lebih masuk/menghunjam ke
dalam jiwa dan lebih tajam dalam memberikan cercaan atas perbuatan tersebut.
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 2/291)
Adapun Syaikhul Islam
Ibnu Tai-miyyah, beliau memiliki ucapan yang masyhur tentang hal ini: “Tidak
mengapa dijatuhkan padanya ancaman jika memang terkumpul syarat-syarat dan
tidak ada faktor-faktor yang menghalanginya.”[5]
D. Pelajaran Dari Hadits
1. Kita bisa tau bagaimana cara penyaluran barang dengan baik,tidak boleh ada
unsur penipuan di dalamnya.
2. Demikian pulahlah muncul kejujuran dalam proses jual beli.
3. Menciptakan rasa keadilan.
4. Mengetahui larangan dan perintah yang telah di syariatkan.
5. Akan timbul rasa Tangggung jawab di dalam jiwa para penjual dan pembeli.
6. Menjalangkan syariat islam.
7. Menciptakan persaingan yang sehat di dalam jual beli.
8. Bisa menjalankan sunahrasul.
9. Hadist di atas menunjukkan larangan jual beli yang mengandung penipuan dan
larangan tersebut menuntut hukum haram dari rusaknya akad.
Islam mengharamkan
penipuan dalam semua aktifitas manusia, termasuk dalam kegiatan bisnis dan jual
beli. Memberikan penjelasan dan informasi yang tidak benar, mencampur barang
yang baik dengan yang buruk, menunjukkan contoh barang yang baik dan
menyembunyikan yang tidak baik. Penipuan ini berakibat merugikan pihak pembeli.[6]
Maka Islam sangat
mengecam penipuan dalam bentuk apapun dalam berbisnis. Lebih jauh lagi barang
yang hendak dijual harus dijelaskan kekuarangan dan cacatnya. Jika
menyembunyikannya, maka itu adalah kezhaliman. Padahal, jika kejujuran dalam
bertransaksi di junjung tinggi dan dilaksanakan akan menciptakan kepercayaan
antara pembeli dan penjual, yang akhirnya menciptakan keharmonisan dalam
masyarakat.
Ingat! dalam hadits di
atas Rasulullah Muhammad Saw telah dengan tegas mengatakan, bahwa perdagangan
jujur akan mendapatkan keberkahan. Sedangkan, jika dalam bertransaksi dibumbui
dengan ketidakjujuran, maka Rasulullah Saw menegaskan bahwa transaksi tersebut
tidak akan berkah. Dalam hadits lain ia menyebutkan bahwa ‘Barang siapa yang
menipu kami, bukanlah dari golongan kami (Riwayat Muslim).
Ketidakjujuran dalam
bertransaksi saat ini memang sulit ditemui. Banyak kita menjumpai pedagang yang
hanya mengatakan barang yang dijualnya adalah barang yang sempurna, paling
bagus, yang membuat pembeli tergiur, tetapi tidak dikatakan atau dijelaskan
cacatnya barang tersebut. atau promosi (penawaran) yang terjadi saat ini baik
di media cetak atau elektronik (TV dan radio) hanya mengatakan
keunggulan-keunggulan produk tersebut, tapi tidak pernah mengatakan
kekuarangan-kekurangan dari produk tersebut.
Coba kita simak kisah
seorang Ibnu Sirin, ia pernah menjual seekor kambing, kemudian dia berkata
kepada si pembelinya: 'Saya akan menjelaskan kepadamu tentang ciri kambingku
ini, yaitu kakinya cacat.'
Begitu juga Al-Hassan
bin Shaleh pernah menjual seorang hamba perempuan (jariyah), kemudian ia
berkata kepada si pembelinya: "Dia pernah mengeluarkan darah dari
hidungnya satu kali."
Walaupun hanya sekali,
tetapi 'jiwa seorang mu'min seperti Ibnu Sirin dan Al-Hassan bin Shaleh merasa
tidak enak kalau tidak menyebutkan cacatnya itu, sekalipun berakibat menurunnya
harga.
Di dalam
Islam jual beli terdapat Khiyar, Khiyar dalam jual beli terdapat
tiga bagian yakni Khiyar alghabni, Khiyar Al-Aib dan Khiyar
At-Tadlis. Khiyar artinya mencari kebaikan dua perkara, yakni menjadiakan akad
atau tidak menjadikannya.
E. Dialog Terhadap Hadits
Ketika Rasulullah SAW
melewati sebuah pasar, beliau mendapatkan penjual makanan yang menumpuk bahan
makanan-nya. Bisa jadi seperti tumpukan biji-bijian, ada yang di atas ada yang
di bawah. Bahan makanan yang di atas tampak bagus, tidak ada cacat/rusaknya.
Namun ketika mema-sukkan jari-jemari beliau ke dalam tumpukan bahan makanan
tersebut, beliau dapatkan ada yang basah karena kehujanan (yang berarti bahan
makanan itu ada yang cacat/rusak). Penjualnya meletakkannya di bagian bawah
agar hanya bagian yang bagus yang dilihat pembeli. Rasulullah SAW. pun menegur
perbuatan tersebut dan mengecam demikian kerasnya. Karena hal ini berarti
menipu pembeli, yang akan menyangka bahwa seluruh bahan makanan itu bagus.
Sebagaimana Uqbah ibn
Amir berkata : Saya mendengar Rosulullah saw. bersabda : “Seorang muslim itu saudara bagi
muslim yang lain. Dan tidak halal bagi seorang muslim menjual suatu barang
kepada saudaranya sementara barang itu ada cacat/ rusaknya kecuali ia harus
menerang-kannya kepada saudaranya (yang akan membeli tersebut).” (HR. Ibnu
Majah no. 2246. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah dan
Irwa`ul Ghalil no. 1321)
Juga sebagaimana
Watsilah ra. Berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Tidak halal bagi seseorang menjual barang dagangan yang ia ketahui padanya
ada cacat/rusak kecuali ia beritahukan (kepada pembeli, -pent.).” (HR. Ahmad,
Ibnu Majah, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Hakim. Dishahihkan Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 1775).
Ketika dia tidak
menerangkannya, berarti dia telah melakukan ghisy (penipuan) seperti yang beliau peringatkan dan beliau kecam.
Abu Hurairah ra.
Menerangkan : Rasulullah berjalan melewati seorang laki-laki yang sedang menjual
makanan(gandum). Nabi memasukkan tangan nya kedalam tumpukan gandum, dan
ternyata gandum itu dalam keadaan basah. Karena itu Nabi berkata ; barangsiapa
mengicuh kami, maka dia bukan dari golongan kami”. (HR. Al-Jamaah, selain dari
Al-Bukhary, dan An-Nasa’i; Al- Muntaqa 2: 350).[7]
Al- Adda Ibn Khalid ibn
Haudzan ra. Berkata : “Rasulullah mengirimkan surat kepadaku yang berbunyi :
Barang inilah yang dibeli oleh Al–Adda ibn Khalid ibn Haudzan dari Rasulullah.
Dia membeli seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan, tak ada pada
tubuhnya penyakit yang disembunyikan, tidak ada padanya tipuan dan perangai
buruk, penjualan seorang muslim kepada seorang Muslim”. (HR. Ibnu Majah dan
At-Turmudzy ; Al-Muntaqa 2 : 350). Diriwayatkan juga oleh Ahmad, Ad-Daraquthny, Al-Hakim dan Ath – Thabarany
dari Abi Syammasah. Menurut Al-Hafidz sanadnya hasan.
Hadist ini menyatakan
bahwa menyembunyikan cacat barang, haram. Penjual wajib memberitahukannya
terlebihdahulu kepada pembeli. Hadist ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Al-Hakim. Di dalam
sanadnya terdapat seorang perawi yang diperselisihkan dan seorang perawi yang
tidak dikenal. Hadist ini menjelaskan menyembunyikan cacat barang yang kita jual, hukumnya
haram. Hadist ini diriwayatkan
juga oleh Ibnul Jarud. Al-Bukhari meriwayatkannya secara muallaq. Hadist ini
menyatakan bahwa memberitahukan bahwa benda yang kita jual ada cacatnya,
hukumnya wajib.
Kompromi:
Seharusnya seorang
mukmin menerangkan keadaan barang yang akan dijualnya, terlebih lagi apabila
barang tersebut memiliki cacat ataupun aib.
Seluruh ulama sepakat
menetapkan bahwa diantara kewajiban penjual, adalah memberitahukan secara jujur
kondisi barang yang akan dijualnya. Dan mereka juga sepakat mengharamkan
tipuhan dan kicuhan dalam berjual beli. Bahkan dalam satu hadist yang lain
disebutkan , bahwa kewajiban memberitahukan perihal cacat pada barang tidak
saja merupakan kewajiban penjual, namun juga merupakan kewajiban orang lain
yang mengetahui kondisi barang tersebut yang sebenarnya. Dia berdosa bila
mendiamkannya , karena sikapnya itu adalah haram hukumnya.[8]
Sedangkan Hadist diatas
menyatakan bahwa menyembunyikan cacat barang hukumnya haram dan wajib menerangkan
secara terus terang kepada pembeli.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Agama islam adalah agama yang toleran dan sangat komprehensif , selalu
memperhatikan berbagai maslahat dan kondisi, menjauhkan sesuatu yang
menyulitkan umat.
2. Hadits Tentang Larangan Curang dalam Jual Beli Artinya : Dan
telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah serta Ibnu Hujr
semuanya dari Ismail bin Ja'far, Ibnu Ayyub berkata, telah menceritakan kepada
kami Ismail dia berkata, telah mengabarkan kepadaku al-Ala' dari bapaknya dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan
tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah,
maka pun beliau bertanya: "Apa ini wahai pemilik makanan?" sang
pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai
Rasulullah." Beliau bersabda: ‘’ Mengapa engkau tidak meletakkan bagian
yang basah ini di atas hingga manusia dapat melihatnya? Siapa yang menipu maka
ia bukan dariku’.” (HR. Muslim).
3. Pelajaran Dari Hadits adalah Kita bisa tau bagaimana cara penyaluran barang dengan
baik, tidak boleh ada unsur
penipuan di dalamnya. Menciptakan persaingan yang sehat di dalam jual beli. Hadist di atas menunjukkan larangan jual beli yang mengandung penipuan dan
larangan tersebut menuntut hukum haram dari rusaknya akad.
4. Seluruh ulama sepakat menetapkan bahwa diantara kewajiban penjual, adalah
memberitahukan secara jujur kondisi barang yang akan dijualnya. Dan mereka juga
sepakat mengharamkan tipuhan dan kicuhan dalam berjual beli. Bahkan dalam satu
hadist yang lain disebutkan , bahwa kewajiban memberitahukan perihal cacat pada
barang tidak saja merupakan kewajiban penjual, namun juga merupakan kewajiban
orang lain yang mengetahui kondisi barang tersebut yang sebenarnya. Dia berdosa
bila mendiamkannya , karena sikapnya itu adalah haram hukumnya
DAFTAR PUSTAKA
Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadits-hadits Hukum 3,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011), 315-316
Yusuf
Al- Qaradhawi, Al-Halal wal Haram fil Islam (Halal Haram dalam Islam), Jakarta:
Akbar, 2004, hal. 319.
Sahih Muslim, Jakarta, Gaya Medika Pratama, Hal. 328.
Software hadist Mausuah Al
Hadist Al Sharif
Syaikh Dr. Shalih bin
Fauzan Al- Fauzan, Rinkasan fikih
lengkap 501-508
Faishal bin Abdul Aziz
al Mubarak, Terjemah Nailul Authar, ( Surabaya: Bina Ilmu, 1993),hlm.
1718.
[4] Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadits-hadits Hukum 3,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011), 315-316
[5] Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadits-hadits Hukum 3, (Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra, 2011), 317-318
[6] Yusuf Al-
Qaradhawi, Al-Halal wal Haram fil Islam (Halal Haram dalam Islam), Jakarta:
Akbar, 2004, hal. 319.
[7] Faishal bin Abdul Aziz
al Mubarak, Terjemah Nailul Authar, ( Surabaya: Bina Ilmu, 1993),hlm.
1718.
[8] Teungku Muhammad
Hasbi, Koleksi Hadits-hadits
Hukum 3, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011), 315-316
0 komentar:
Post a Comment