Makalah Hadits tentang Larangan Curang dan Mengicuh
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015


Larangan curang dan mengicuh



KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa ta’ala, karena berkat rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Larangan Curang dan Mengicuh. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Hadits Ahkam.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini. 
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Wassalam
Penulis,


KELOMPOK 5



DAFTAR ISI

 


KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii

BAB I       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................. .... 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................ .... 1
C.     Tujuan penulisan .............................................................................. 1

BAB II       PEMBAHASAN
A.    Hadits tentang larangan curang .....................................................      3
B.     Status hadits ....................................................................................... 4
C.     Redaksi kata hadits ............................................................................ 5
D.    Peljaran dari hadits ............................................................................. 7
E.     Dialog terhadap hadits ....................................................................... 11

BAB III    PENUTUP
A.    Kesimpulan.......................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... .... 14






BAB I
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang
Melihat perkembangan yang telah muncul dalam kehidupan ekonomi yang ada di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, Suatu kenyataan yang tak terhindarkan dalam sejarah telah terjadinya perubahan dari kehidupan tradisional ke kehidupan modern, perubahan kehidupan pedesaan yang berbasis ekonomi pertanian kepada kehidupan perekonomian perkotaan yang berbasis ekonomi industri dan perdagangan, perubahan dari pola hubungan paguyuban dan gotong royong kepada pola hubungan individu dan seterusnya.
Melihat semakin pesatnya berbagai kemajuan yang telah terjadi dalam kehidupan perekonomian masyarakat saat ini tentunya menuntut kita untuk lebih peka dan lebih hati dalam berbagi sistem yang kadang mengecewakan salah satu pihak, hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari yang dapat kita cermati dalam proses jual beli borongan. Untuk itu dalam makalah ini, penulis mencoba untuk mengulas lebih spesifik mengenai larangan curang dan mengicuh, serta apakah layak menurut sistem perekonomian yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits?
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan curang dan mengicuh dalam jual beli?
2.      Apa saja hadits tentang curang dan mengicuh dalam jual beli?
3.      Bagaimana status hadits tentang curang dan mengicuh dalam jual beli?
4.  Apa saja inti sari dan hukum yang dapat di ambil dari hadits tentang larangan curang dan mengicuh dalam jual beli?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Agar mahasiswa/i mampu memahami pengertian curang dan mengicuh dalam jual beli
2.      Agar mahasiswa/i mampu mengidentifikasikan hadits tentang larangan curang dan mengicuh
dalam jual beli
3.      Agar mahasiswa/i mampu mengetahui status hadits tentang larangan curang dan mengicuh dalam jual beli
4.      Agar mahasiswa/i mampu mengambil intisari dan hukum dari hadits tentang larangan curang dan mengicuh dalam jual beli




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadits Tentang Larangan Curang dalam Jual Beli
و حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ ابْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ قَالَ أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي (روه مسلم)
صحيح مسلم , كتاب الإيمان,باب قَوْلِ النَّبِىِّ - صلى الله تعالى عليه وسلم - « مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ».
Artinya : Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah serta Ibnu Hujr semuanya dari Ismail bin Ja'far, Ibnu Ayyub berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail dia berkata, telah mengabarkan kepadaku al-Ala' dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya: "Apa ini wahai pemilik makanan?" sang pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah." Beliau bersabda: ‘’ Mengapa engkau tidak meletakkan bagian yang basah ini di atas hingga manusia dapat melihatnya? Siapa yang menipu maka ia bukan dariku’.” (HR. Muslim).[1]

B.     Status Hadits
1.      Segi Kualitas
Hadits ini tergolong hadits shahih, karena sanadnya marfu’ (bersambung sampai kepada Rasulullah) dan diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah. Hadis dengan matan yang sama maksudnya, sekalipun berbeda lafalnya. Di riwayatkan pula oleh dalam Sunan-nya no. 1315, Kitab Al-Buyu’, bab Ma Ja`a fi Karahiyatil Ghisy fil Buyu’, dan selainnya.
Dalam riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 3452, Kitab Al-Buyu’, bab An-Nahyu ‘anil Ghisy disebutkan dengan lafadz: “Rasulullah SAW melewati seseorang yang sedang berjualan makanan. Beliau pun bertanya kepada penjual tersebut: ‘Bagai-mana engkau berjualan?’ Penjual itu lalu mengabarkan kepada beliau. Lalu Allah mewahyukan kepada beliau: ‘Masukkanlah tanganmu ke dalam tumpukan makanan yang dijual pedagang tersebut.’ Ketika beliau melakukannya, ternyata beliau dapatkan bagian bawah/bagian dalam makanan tersebut basah. Maka Rasulullah n bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menipu.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud, Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 1765).[2]
2.      Segi kuantitas
Hadits serupa juga diriwayatkan dari Umar, Abu Al Hamra`, Ibnu Abbas, Abu Burdah bin Niyar dan Hudzaifah bin Al Yaman. Abu Isa berkata; Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih dan menjadi pedoman amal menurut para ulama. Syeh Albani juga berkomentar bahwa hadist ini juga berstatus shahih.
Perawi-perawi nya ialah Yahya bin Ayyub,Qutaibah Ibnu Hujr, Ismail bin Ja'far, Ibnu Ayyub, Ismail , al-Ala' , Abu Hurairahialah Abu Isa berkata dalam Sunan At-Tirmidzi: "Hadits ini derajatnya hasan shahih, dan sebagian ahli ilmu beramal dengan hadits ini.” Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abdullah bin Mas'ud, Ibnu Abbas dan Watsilah bin Al Asqa'. Syekh Al-Albani dalam Sunan an-Nasa’i memberikan status shahih pada hadits ini.
3.      Dalam software mausu’at al hadits al sharif: al-Kutub al -Tis’ah, sanad hadits di atas bersambung kepada Rasulullah dan perawi-perawinya memiliki tingkatan ثقة atau   ثبت (terpercaya/teguh).

C.    Redaksi Kata Hadits[3]
1.      غَشَّ: (Ghisy) berarti menipu atau curang. Kata ini tentu bermakna sangat umum, sehingga meliputi segala bentuk penipuan atau kecurangan dalam akad jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai atau muamalah lainnya. Contoh konkretnya adalah apa yang terjadi di zaman Rasulullah SAW sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Hurairah diatas.
2.      مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي ”Siapa yang menipu maka ia bukan dariku”. Dalam lafadz lain disebutkan dengan lafadz:
3.      مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ : “Barangsiapa yang berbuat curang kepada kami maka dia bukan dari golongan kami, dan makar serta penipuan itu di neraka.”
“Rasulullah SAW,  melewati seseorang yang sedang berjualan makanan. Beliau pun bertanya kepada penjual tersebut: ‘Bagai-mana engkau berjualan?’ Penjual itu lalu mengabarkan kepada beliau. Lalu Allah mewahyukan kepada beliau: ‘Masukkanlah tanganmu ke dalam tumpukan makanan yang dijual pedagang tersebut.’ Ketika beliau melakukannya, ternyata beliau dapatkan bagian bawah/bagian dalam makanan tersebut basah. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menipu.” (Hasan Shahih, HR. At-Thabarani dalam kitab Mu’jam Al-Kabir dan Ash-Shaghir dengan sanad yang bagus dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya. Lihat Shahih At-Targhib, 2/159 no. 1768)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا “Barangsiapa yang mengarah senjata kepada kami maka dia bukan dari golongan kami. Dan barangsiapa yang menipu kami, maka dia bukan golongan kami.” (HR. Muslim no. 101)[4]
Dari Tamim bin Aus Ad-Dari radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
Artinya : “Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya, “Nasihat untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta masyarakat umum di antara mereka.” (HR. Muslim no. 55)
Dalam An-Nihayah fi Gharibil Hadits disebutkan makna lafadz adalah bukan termasuk akhlak kami, bukan pula sunnah kami. Al-Imam An-Nawawi t menyebutkan bahwa ada yang memaknakan dengan makna orang yang berbuat demikian ia tidak berada di atas perjalanan hidup kami yang sempurna dan petunjuk kami. Namun Sufyan bin ‘Uyainah t membenci ucapan orang yang menafsirkannya dengan: “Tidak di atas petunjuk kami.” Beliau memaksudkan hal ini agar kita menahan diri dari mentakwil/menafsirkan lafadz tersebut, dan membiarkan apa adanya agar lebih masuk/menghunjam ke dalam jiwa dan lebih tajam dalam memberikan cercaan atas perbuatan tersebut. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 2/291)
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Tai-miyyah, beliau memiliki ucapan yang masyhur tentang hal ini: “Tidak mengapa dijatuhkan padanya ancaman jika memang terkumpul syarat-syarat dan tidak ada faktor-faktor yang menghalanginya.”[5]

D.    Pelajaran Dari Hadits
1.      Kita bisa tau bagaimana cara penyaluran barang dengan baik,tidak boleh ada unsur penipuan di dalamnya. 
2.      Demikian pulahlah muncul kejujuran dalam proses jual beli.
3.      Menciptakan rasa keadilan.
4.      Mengetahui larangan dan perintah yang telah di syariatkan.
5.      Akan timbul rasa Tangggung jawab di dalam jiwa para penjual dan pembeli.
6.      Menjalangkan syariat islam.
7.      Menciptakan persaingan yang sehat di dalam jual beli.
8.      Bisa menjalankan sunahrasul.
9.      Hadist di atas menunjukkan larangan jual beli yang mengandung penipuan dan larangan tersebut menuntut hukum haram dari rusaknya akad.
Islam mengharamkan penipuan dalam semua aktifitas manusia, termasuk dalam kegiatan bisnis dan jual beli. Memberikan penjelasan dan informasi yang tidak benar, mencampur barang yang baik dengan yang buruk, menunjukkan contoh barang yang baik dan menyembunyikan yang tidak baik. Penipuan ini berakibat merugikan pihak pembeli.[6]
Maka Islam sangat mengecam penipuan dalam bentuk apapun dalam berbisnis. Lebih jauh lagi barang yang hendak dijual harus dijelaskan kekuarangan dan cacatnya. Jika menyembunyikannya, maka itu adalah kezhaliman. Padahal, jika kejujuran dalam bertransaksi di junjung tinggi dan dilaksanakan akan menciptakan kepercayaan antara pembeli dan penjual, yang akhirnya menciptakan keharmonisan dalam masyarakat.
Ingat! dalam hadits di atas Rasulullah Muhammad Saw telah dengan tegas mengatakan, bahwa perdagangan jujur akan mendapatkan keberkahan. Sedangkan, jika dalam bertransaksi dibumbui dengan ketidakjujuran, maka Rasulullah Saw menegaskan bahwa transaksi tersebut tidak akan berkah. Dalam hadits lain ia menyebutkan bahwa ‘Barang siapa yang menipu kami, bukanlah dari golongan kami (Riwayat Muslim).
Ketidakjujuran dalam bertransaksi saat ini memang sulit ditemui. Banyak kita menjumpai pedagang yang hanya mengatakan barang yang dijualnya adalah barang yang sempurna, paling bagus, yang membuat pembeli tergiur, tetapi tidak dikatakan atau dijelaskan cacatnya barang tersebut. atau promosi (penawaran) yang terjadi saat ini baik di media cetak atau elektronik (TV dan radio) hanya mengatakan keunggulan-keunggulan produk tersebut, tapi tidak pernah mengatakan kekuarangan-kekurangan dari produk tersebut.
Coba kita simak kisah seorang Ibnu Sirin, ia pernah menjual seekor kambing, kemudian dia berkata kepada si pembelinya: 'Saya akan menjelaskan kepadamu tentang ciri kambingku ini, yaitu kakinya cacat.'
Begitu juga Al-Hassan bin Shaleh pernah menjual seorang hamba perempuan (jariyah), kemudian ia berkata kepada si pembelinya: "Dia pernah mengeluarkan darah dari hidungnya satu kali."
Walaupun hanya sekali, tetapi 'jiwa seorang mu'min seperti Ibnu Sirin dan Al-Hassan bin Shaleh merasa tidak enak kalau tidak menyebutkan cacatnya itu, sekalipun berakibat menurunnya harga.
Di dalam Islam  jual beli terdapat Khiyar, Khiyar dalam jual beli terdapat tiga  bagian yakni Khiyar alghabni, Khiyar Al-Aib dan Khiyar At-Tadlis. Khiyar artinya mencari kebaikan dua perkara, yakni menjadiakan akad atau tidak menjadikannya.
E.     Dialog Terhadap Hadits
Ketika Rasulullah SAW melewati sebuah pasar, beliau mendapatkan penjual makanan yang menumpuk bahan makanan-nya. Bisa jadi seperti tumpukan biji-bijian, ada yang di atas ada yang di bawah. Bahan makanan yang di atas tampak bagus, tidak ada cacat/rusaknya. Namun ketika mema-sukkan jari-jemari beliau ke dalam tumpukan bahan makanan tersebut, beliau dapatkan ada yang basah karena kehujanan (yang berarti bahan makanan itu ada yang cacat/rusak). Penjualnya meletakkannya di bagian bawah agar hanya bagian yang bagus yang dilihat pembeli. Rasulullah SAW. pun menegur perbuatan tersebut dan mengecam demikian kerasnya. Karena hal ini berarti menipu pembeli, yang akan menyangka bahwa seluruh bahan makanan itu bagus.
Sebagaimana Uqbah ibn Amir berkata : Saya mendengar Rosulullah saw. bersabda : “Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lain. Dan tidak halal bagi seorang muslim menjual suatu barang kepada saudaranya sementara barang itu ada cacat/ rusaknya kecuali ia harus menerang-kannya kepada saudaranya (yang akan membeli tersebut).” (HR. Ibnu Majah no. 2246. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah dan Irwa`ul Ghalil no. 1321)
Juga sebagaimana Watsilah ra. Berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Tidak halal bagi seseorang menjual barang dagangan yang ia ketahui padanya ada cacat/rusak kecuali ia beritahukan (kepada pembeli, -pent.).” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Hakim. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 1775).
Ketika dia tidak menerangkannya, berarti dia telah melakukan ghisy (penipuan) seperti yang beliau peringatkan dan beliau kecam.
Abu Hurairah ra. Menerangkan : Rasulullah berjalan melewati seorang laki-laki yang sedang menjual makanan(gandum). Nabi memasukkan tangan nya kedalam tumpukan gandum, dan ternyata gandum itu dalam keadaan basah. Karena itu Nabi berkata ; barangsiapa mengicuh kami, maka dia bukan dari golongan kami”. (HR. Al-Jamaah, selain dari Al-Bukhary, dan An-Nasa’i; Al- Muntaqa 2: 350).[7]
Al- Adda Ibn Khalid ibn Haudzan ra. Berkata : “Rasulullah mengirimkan surat kepadaku yang berbunyi : Barang inilah yang dibeli oleh Al–Adda ibn Khalid ibn Haudzan dari Rasulullah. Dia membeli seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan, tak ada pada tubuhnya penyakit yang disembunyikan, tidak ada padanya tipuan dan perangai buruk, penjualan seorang muslim kepada seorang Muslim”. (HR. Ibnu Majah dan At-Turmudzy ; Al-Muntaqa 2 : 350). Diriwayatkan juga oleh Ahmad, Ad-Daraquthny, Al-Hakim dan Ath – Thabarany dari Abi Syammasah. Menurut Al-Hafidz sanadnya hasan.
Hadist ini menyatakan bahwa menyembunyikan cacat barang, haram. Penjual wajib memberitahukannya terlebihdahulu kepada pembeli. Hadist ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Al-Hakim. Di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang diperselisihkan dan seorang perawi yang tidak dikenal. Hadist ini menjelaskan menyembunyikan cacat barang yang kita jual, hukumnya haram. Hadist ini diriwayatkan juga oleh Ibnul Jarud. Al-Bukhari meriwayatkannya secara muallaq. Hadist ini menyatakan bahwa memberitahukan bahwa benda yang kita jual ada cacatnya, hukumnya wajib.

Kompromi:
Seharusnya seorang mukmin menerangkan keadaan barang yang akan dijualnya, terlebih lagi apabila barang tersebut memiliki cacat ataupun aib.
Seluruh ulama sepakat menetapkan bahwa diantara kewajiban penjual, adalah memberitahukan secara jujur kondisi barang yang akan dijualnya. Dan mereka juga sepakat mengharamkan tipuhan dan kicuhan dalam berjual beli. Bahkan dalam satu hadist yang lain disebutkan , bahwa kewajiban memberitahukan perihal cacat pada barang tidak saja merupakan kewajiban penjual, namun juga merupakan kewajiban orang lain yang mengetahui kondisi barang tersebut yang sebenarnya. Dia berdosa bila mendiamkannya , karena sikapnya itu adalah haram hukumnya.[8]
Sedangkan Hadist diatas menyatakan bahwa menyembunyikan cacat barang hukumnya haram dan wajib menerangkan secara terus terang kepada pembeli.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Agama islam adalah agama yang toleran dan sangat komprehensif , selalu memperhatikan berbagai maslahat dan kondisi, menjauhkan sesuatu yang menyulitkan umat.
2.      Hadits Tentang Larangan Curang dalam Jual Beli Artinya : Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah serta Ibnu Hujr semuanya dari Ismail bin Ja'far, Ibnu Ayyub berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail dia berkata, telah mengabarkan kepadaku al-Ala' dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya: "Apa ini wahai pemilik makanan?" sang pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah." Beliau bersabda: ‘’ Mengapa engkau tidak meletakkan bagian yang basah ini di atas hingga manusia dapat melihatnya? Siapa yang menipu maka ia bukan dariku’.” (HR. Muslim).
3.      Pelajaran Dari Hadits adalah Kita bisa tau bagaimana cara penyaluran barang dengan baik, tidak boleh ada unsur penipuan di dalamnya. Menciptakan persaingan yang sehat di dalam jual beli. Hadist di atas menunjukkan larangan jual beli yang mengandung penipuan dan larangan tersebut menuntut hukum haram dari rusaknya akad.
4.      Seluruh ulama sepakat menetapkan bahwa diantara kewajiban penjual, adalah memberitahukan secara jujur kondisi barang yang akan dijualnya. Dan mereka juga sepakat mengharamkan tipuhan dan kicuhan dalam berjual beli. Bahkan dalam satu hadist yang lain disebutkan , bahwa kewajiban memberitahukan perihal cacat pada barang tidak saja merupakan kewajiban penjual, namun juga merupakan kewajiban orang lain yang mengetahui kondisi barang tersebut yang sebenarnya. Dia berdosa bila mendiamkannya , karena sikapnya itu adalah haram hukumnya



DAFTAR PUSTAKA

Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadits-hadits Hukum 3, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011), 315-316
Yusuf Al- Qaradhawi, Al-Halal wal Haram fil Islam (Halal Haram dalam Islam), Jakarta: Akbar, 2004, hal. 319.
Sahih Muslim, Jakarta, Gaya Medika Pratama, Hal. 328.
Software hadist Mausuah Al Hadist Al Sharif
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al- Fauzan, Rinkasan fikih lengkap 501-508
Faishal bin Abdul Aziz al Mubarak, Terjemah Nailul Authar, ( Surabaya: Bina Ilmu, 1993),hlm. 1718.




[1] Sahih Muslim, Jakarta, Gaya Medika Pratama, Hal. 328.
[2] Software hadist Mausuah Al Hadist Al Sharif
[3] Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al- Fauzan, Rinkasan fikih lengkap 501-508
[4] Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadits-hadits Hukum 3, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011), 315-316
[5] Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadits-hadits Hukum 3, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011), 317-318
[6] Yusuf Al- Qaradhawi, Al-Halal wal Haram fil Islam (Halal Haram dalam Islam), Jakarta: Akbar, 2004, hal. 319.
[7] Faishal bin Abdul Aziz al Mubarak, Terjemah Nailul Authar, ( Surabaya: Bina Ilmu, 1993),hlm. 1718.
[8] Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadits-hadits Hukum 3, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011), 315-316

0 komentar:

Post a Comment

 
Top