Makalah Hadits tentang 'Ariyah atau disebut juga dengan pinjaman
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015

pinjaman


KATA PENGANTAR

            Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hadits Ahkam Muamalah II pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini penulis mengangkat judul Hadits Tentang ‘Ariyah”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.


Wassalam
Penulis,


KELOMPOK 8


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR............................................................................................             i
DAFTAR ISI............................................................................................................             ii

BAB I       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...................................................................................            1
B.    Rumusan Masalah..............................................................................             1
C.    Tujuan penulisan................................................................................             1

BAB II       PEMBAHASAN
A.    Pengertian ariyah...............................................................................            2
B.     Dasar Hukum ‘ariyah.........................................................................            3
C.     Rukun dan syarat ‘ariyah...................................................................             6
D.    Jenis ‘ariyah.......................................................................................             8
E.     Status dan sifat aqad ‘ariyah.............................................................             9

BAB III    PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................             12

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................            13






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
          Maraknya pertikaian yang terjadi di masyarakat salah satu penyebabnya adalah tentang pinjam-meminjam. Tidak heran jika sampai di bawa ke persidangan hanya berlatarbelakang hal-hal yang sepele. Tapi, hal tersebut terjadi bias dikarenakan factor intern dan factor ekstern. Faktor intern terjadi karena ketidakfahaman kita akan hak-hak dan kewajiban kita terhadap barang-barang yang di pinjamkan.
            Dengan bertumpu pada masalah diatas, penulis akan memaparkan secara singkat mengenai hal-hal yang masih di anggap rancu dalam masalah pinjam-meminjam atau yang dalam kitab-kitab agama islam sering dikenal dengan sebutan ‘ariyah dengan tujuan meminimalisir hal-hal yang tidak di inginkan oleh semua pihak pada umumnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Menjelaskan pengertian ‘ariyah
2.      Menjelaskan dasar hukum ‘ariyah
3.      Menjelaskan rukun dan syarat ‘ariyah
4.      Menjelaskan jenis ‘ariyah
5.      Menjelaskan status dan sifat aqad ‘ariyah

C.    Tujuan Penulisan
           Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah disamping untuk memenuhi tugas dalam perkuliahan juga agar kami khususnya dan semua mahasiswa/i pada umumnya mampu memahami hadits-hadits tentang ‘ariyah ( pinjaman )



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian ‘Ariyah
          Menurut etimologi bahasa arab, al-‘ariyah berarti suatu yang dipinjamkan, pergi dan kembali atau beredar. Sedangkan menurut terminology fiqih ada beberapa definisi al-‘ariyah yang dikemukakan oleh para ulama’ fiqih.
·         Ulama’ Malikiyah dan Imam As-Syarakhsi (w. 483 H / 1090 M), tokoh fiqih Hanafi mendefinisikann dengan ;
تملك المنفعة بغير عوض
“pemilikan manfaat sesuatu tanpa ganti rugi”
·         Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah
اباحة المنفعة بلا عوض
“kebolehan memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti rugi”
           Diantara kedua definisi di atas terdapat perbedaan kandungan yang membawaa akibat hukum yang berbeda pula. Misalnya, Raka meminjam kereta Sarjan, apakah Sarjan dibolehkan meminjamkan kereta itu kepada pihak ketiga (Imron) ?. menurut definisi pertama, orang yang meminjam kereta itu boleh meminjamkannya kepada pihak ketiga karena ungkapan, “kebebasan memanfaatkan” dalam definisi itu, mengacu pada barang yang dipinjam bebas dipergunakan peminjan, termasuk meminjamkannya kepada pihak ketiga tanpa ganti rugi. Sedangkan menurut definisi kedua, orang yang meminjam kereta itu tidak boleh meminjamkannya kepada pihak ketiga, karena ungkapan, “kebolehan memanfaatkan barang orang lain”, menunjukkan bahwa yang memanfaatkan barang itu hanya pihak peminjam.
Dalam Ensiklopedia Fiqih Umar bin Khattab RA,                               
العارية هى عين الماءخوذة للانتفاء بها مع بقاء عينها بلا عوض
           ‘Ariyah adalah suatu yang bias diambil manfaat oleh orng lain dengan syarat barang itu masih utuh dan tanpa imbalan.
           ‘Ariyah adalah amanat yang deberikan kepada musta’ir (orang yang meminjam), untuk itu kalau barang itu rusak, dia tidak perlu menggantinya kecuali dia berbuat teledor sehingga menjadi rusak sebagai mana perkataan sahabat Umar ra, “ ‘Ariyah itu seperti titipan. Maka jika rusak, tidak perlu diganti kecuali orang yang bersangkutan teledor.
           Sebagai salah satu bentuk transaksi, ‘ariyah bisa berlaku pada seluruh jenis tingkatan masyarakat manusia. ‘Ariyah juga bisa berlaku pada masyarakat tradisional ataupun masyarakat modern, dan oleh sebab itu dapat diperkirakan bahwa jenis transaksi ini sudah ada dan dikenal manusia sejak manusia ada di bumi ini ketika mereka mulai berhubungan satu sama lain.
        ‘Ariyah sudah menjadi istilah teknis dalam ilmu fiqih untuk menyebutkan perbuatan pinjam meminjam, dan sebagai salah satu aktifitas antar manusia. Dalam pelaksanaannya, ariyah diartikan sebagai perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu kepada pihak lain, pihak yang menerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus membayar imbalan, dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang diterimanya itu kepada pihak pemberi. Inilah gambaran dari perbuatan pinjam - meninjam (‘ariyah). Oleh sebab itu, para ulama’ biasanya mendefinisikan ‘ariyah sebagai pembolehan oleh seorang untuk dimanfaatkan harta miliknya oleh orang lain tanpa diharuskan member imbalan.
           Para ulama’ fiqih juga membedakan antara ‘ariyah dengan hibah, meskipun keduanya sama-sama mengandung kebebasan memanfaatkan barang. Menurut mereka, dalam ‘ariyah  unsur yang dipinjam hanyalah manfaatnya dan peminjaman itu dalam waktu yang terbatas, sedangkan hibah terkait dengan materi barang yang diserahkan dalam waktu yang tak terbatas.

B.     Dasar Hukum ‘Ariyah
1.      Al-Qur’an
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4
Artinya : “Dan tolong menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan”. (Q.S. Al-Maidah 2)
2.      As-Sunnah
         Dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas ra dinyatakan bahwa Rasulullah Saw telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.
           Dalam hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad yang jayyiddari Shafwan bin Umayyah dinyatakan bahwa Rasulullah Sawpernah meminjam perisai dari Shafwan bin Umayyah pada waktuperang Hunain. Shafwan bertanya, “Apakah engkau mengambilnya, wahai Rasulullah?”. Nabi menjawab, “Hanyameminjam dan aku bertanggung jawab”.
          Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Setiap dua pinjaman yang diberikan oleh seorang muslim ke muslim lainnya bernilai satu sedekah”. (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban & Baihaqi)
         Diriwayatkan dari Anas ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Pada saat aku mi’raj, aku melihat tulisan di pintu surga yang berbunyi, ‘Setiap sedekah dibalas 10 kali dan pinjaman dibalas 18 kali’. Aku bertanya, ‘Wahai Jibril, mengapa pinjaman diberi balasan yang lebih dari sedekah?’. Jibril berkata, ‘Karena seseorang bisa minta sedekah pada saat dia tidak memerlukannya tetapi peminjam hanya meminjam karena memang benar-benar butuh”. (HR. Ibnu Majah & Baihaqi)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa melepaskan kesulitan dari seorang muslim dalam kehidupan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan-kesulitannya pada hari pembalasan. Barangsiapa memudahkan kesulitan keuangan seorang muslim, Allah akan melepaskan kesulitan-kesulitannya di dunia dan di akhirat. Dan Allah akan selalu membantu seorang muslim sepanjang dia membantu saudaranya”. (HR. Muslim)
         Rasulullah Saw bersabda, “Barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”. (HR. Abu Dawud)
       Rasulullah Saw bersabda, “Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerugian dan orang yang menerima titipan yang tidak khianat tidak berkewajiban mengganti kerugian”. (HR. Daruquthni)
       Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya maka Allah akan membayarnya, barang siapa yang meminjam hendak melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (HR. Bukhari)
Hukum ‘Ariyah
          Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘ariyah) atau memberi pinjaman adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din bahwa ‘ariyah hukumnya wajibketika awal Islam.
        Allah Swt berfirman, “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak”. (Q.S Al-Hadid 11)
       Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa menghilangkansalah satu kesulitan dunia dari saudaranya maka Allahmenghilangkan darinya salah satu kesulitan pada hari kiamat” (HR. Muslim).
           Memberi hutang itu sunnah tapi bisa berubah menjadi wajib bila ia bertujuan memenuhi keperluan yang begitu mendesak, seperti membantu orang yang sangat memerlukan, menghadapi musibahatau terkena bencana alam. Sedangkan meminjam hukumnya mubah (boleh), karena Rasulullah Saw meminjam unta kepada Abu Bakar r.a dan mengembalikannya dengan unta yang lebih baik. Beliau saw bersabda yang artinya “Sesungguhnya manusia yang paling baik ialah orang yang paling baik pengembalian (hutangnya)” (HR. Bukhari).
         Pada dasarnya, Islam tidak menggalakkan umatnya berhutang. Perkara ini dijelaskan dalam hadis dari Uqbah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kalian membuat takut jiwa selepas ketenangannya”. Mereka berkata: “Apa itu wahai Rasulullah SAW?”. Beliau Saw bersabda: “Hutang”.
         Para ulama’ fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan hukum asal aqadal-‘ariyah, apakah bersifat pemilikan terhadap manfaat atau hanya sekedar kebolehan memanfaatkannya. Ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwasannya al-‘ariyah merupakan aqad yang menyebabkan peminjam “memiliki manfaat” barang yang dipinjam. Peminjaman itu dilakukan secara sukarela, tanpa imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu, pihak peminjam berhak untuk meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang itu telah menjadi miliknya, kecuali apabila pemilik barang membatasi pemanfaatannya bagi peminjam saja atau pemilik barang itu melarang peminjam untuk meminjamkannya kepada orang lain.
         Akan tetapi, ulama’ Syafi’iyah, Hanabilah dan Abu Hasan Al-Karkhi (260-340H/870-952M), pakar fiqih Hanafi, berpendapat bahwa aqad al-‘ariyah itu hanya bersifat kebolehan memanfaatkan benda itu.oleh sebab itum pemanfaatannya hanya terbatas pada pihak peminjam dan ia tidak boleh meminjamkannya kepada orang lain. Namun demikian, seluruh ulama’ fiqih sepakat menyatakan bahwa pihak peminjam tidak boleh menyewakannya pada orang lain.
         Hasan Ayyub dalam kitabnya, al Mualalah Al Maliyah mengatakan bahwasanya tidak diperbolehkan meminjamkan budak muslim kepada orang kafir serta melarang meminjamkan sesuatu kepada orang lain yang nantinya dimanfaatkan oleh peminjam sebagai sarana kemaksiyatan.

C.    Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Rukun ‘Ariyah
1.      Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah itu satu, yaitu Ijab dan Kabul, tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijab Kabul dengan ucapan. (al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Abd ar-Rahman al-Jaziri, hal. 272)
2.      Menurut Syafi’iyah rukun ‘ariyah adalah sbb :
a.       Ijab Kabul adalah kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “Saya utangkan 3 dirham kepadamu” dan yang menerima berkata, “Saya mengaku berutang 3 dirham kepadamu”.
b.      Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan musta’ir yaitu orang yang menerima utang.
Syarat bagi mu’ir dan musta’ir :
·         Mu’ir sebagai pemilik yang menyerahkan barang
·         Baligh. Maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh anak kecil
·         Berakal. Maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang tidak waras
·         Orang tersebut tidak di-mahjur (di bawah perlindungan/pengawasan). Maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan di bawah perlindungan, seperti pemboros.
c.       Benda yang diutangkan. Pada rukun ketiga ini disyaratkan 2 hal yaitu :
·         Materi yang dipinjamkan bisa dimanfaatkan. Maka tidak sah ‘ariyah yang materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi.
·         Pemanfaatan yang dibolehkan. Maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’, seperti benda-benda najis, syubhat atau haram.
Secara umum, jumhur ulama fikih menyatakan bahwa rukun ‘ariyah ada 4, yaitu :
    1.      Mu’ir (yang meminjamkan)
    2.      Musta’ir (peminjam)
    3.      Mu’ar (barang yang dipinjam)
    4.      Shighat akad (ijab Kabul)
Syarat ‘Ariyah
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah sbb :
1.      Mu’ir berakal sehat
         Dengan demikian orang gila dan anak kecil tidak dapat meminjamkan barang. Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh dan bukan orang yang sedang pailit(bangkrut). (Mughni al-Muhtaj, Muhammad asy-Syarbini, juz 2, hal. 264)
2.      Pemegangan (wewenang) barang oleh mu’ir
           Akad dianggap sah apabila yang memegang (mempunyai kewenangan) barang adalah mu’ir, seperti halnya dalam hibah.
3.      Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya. Jika musta’ar tidak bisa dimanfaatkan maka akad tidak sah. (Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’I, Alauddin al-Kasani, juz 2, hal. 266)
         Para ulama menetapkan bahwa ‘ariyah dibolehkan terhadapsetiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpamerusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, binatang dan lain-lain.
        Diharamkan meminjamkan senjata dan kuda kepada musuh. Juga diharamkan meminjamkan Al-Qur’an kepada orang kafir. Juga dilarang meminjamkan alat berburu kepada orang yangsedang ihram. (Mughni al-Muhtaj, Muhammad asy-Syarbini, juz 2, hal. 266)
Syarat-syarat al qardhu
1.      Besarnya al-qardhu (pinjaman) harus diketahui dengan takaran, timbangan atau jumlahnya.
2.      Sifat al-qardhu dan usianya harus diketahui jika dalam bentuk hewan.
3.      Al-qardhu (pinjaman) berasal dari orang yang layak dimintaipinjaman. Jadi, qardhu tidak sah dari orang yang tidak memiliki sesuatu yang bisa dipinjam atau orang yang tidak normal akalnya.
Diantara hukum-hukum al qardhu yakni :
1.          Al-qardhu (pinjaman) dimiliki dengan diterima. Jadi, jika mustaqridh (debitur/peminjam) telah menerimanya, iamemilikinya dan menjadi tanggungannya.
2.          Al-qardhu (pinjaman) boleh sampai batas waktu tertentu tapi jikatidak sampai batas waktu tertentu itu lebih baik karena itumeringankan mustaqridh (debitur).
3.          Jika barang yang dipinjamkan itu tetap utuh seperti ketika saatdipinjamkan, maka dikembalikan utuh seperti itu. Namun jika telah mengalami perubahan, kurang atau bertambah makadikembalikan dengan barang lain sejenisnya jika ada dan jikatidak ada maka dengan uang seharga barang tersebut.
4.          Jika pengembalian al-qardhu tidak membutuhkan biaya transportasi maka boleh dibayar ditempat mana pun yang diinginkan muqridh (kreditur). Jika merepotkan, maka muqtaridh (debitur) tidak harus mengembalikannya di tempat tersebut.
5.          Muqridh (kreditur) haram mengambil manfaat dari al-qardhu, dengan penambahan jumlah pinjaman, atau meminta pengembalian pinjaman yang lebih baik, atau manfaat lainnya yang keluar dari akad pinjaman jika itu semua disyaratkan, atau berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Tapi jika penambahan pengembalian pinjaman itu bentuk itikad baik dari mustaqridh (debitur) itu justru baik karena Rasulullah saw memberi Abu Bakar ra unta yang lebih baik dari unta yang dipinjamnya.
D.    Jenis ‘Ariyah
         Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar bergantung kepada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara muqayyad (terikat) atau mutlaq.
1.      ‘Ariyah Mutlaq
           Yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya tidak adapersyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk musta’ir saja atau dibolehkan untuk orang lain dan tidak dijelaskan cara penggunaannya.
      Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut, misalnya waktu dan tempat mengendarainya.
Namun demikian harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak maka mu’ir harus bertanggung jawab. (Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’I, Alauddin al-Kasani, juz 6, hal. 215)
2.      ‘Ariyah Muqayyad
         Adalah akad meminjamkan barang yang dibatasi dari segi waktu dan pemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya atau salah satunya. Maka musta’ir harus bisa menjaga batasan tersebut.
Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’irtidak dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya. (Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’I, Alauddin al-Kasani, juz 6, hal. 215)
            Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir dan musta’ir tentang lamanya waktu meminjam, berat/nilai barang, tempat dan jenis barang maka pendapat yang harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.
E.     Status dan Sifat Aqad “Ariyah
             Apabila aqad al-‘ariyah telah memenuhi rukun dan syaratnya, bagaimana status hukum aqad itu ? apakah boleh aqad itu dibatalkan secara sepihak oleh pemilik barang ? dalam persoalan ini terdapat perbedaan pendapat para ulama’. Ulama’ Hanafiyah, Syafi;iyah dan Hanabilah, berpendapat bahwa aqad al-‘ariyah itu sifatnya tida mengikat bagi kedua belah pihak. Artinya, pihak pemilik barnag boleh saja membatalkan pinjaman itu kapan saja ia mau, dan pihak peminjam juga boleh mengembalikan barang itu kapan saja ia kehendaki tanpa membedakan apakah peminjam itu bersifat mutlak atau bersifat terbatas, kecuali jika pembatalan aqad itu membawa madharat bagi peminjam, seperti tanah yang dipinjam untuk menguburkan mayat. Dalam hal ini pemilik barang tidak dapat menuntut pemulangan tanah itu dengan membongkar mayat dan memindahkannya ke tempat lain. Satu-satunya jalan keluar yang boleh ditempuh dalam kasus seperti itu, menurut mereka, adalah menunggu sampai mayat itu habis ditelan tanah, baulah pemilik tanah dapat memanfaatkan tanah miliknya itu.
           Menurut Malikiyah berpendapat bahwa pihak yang meminjamkan barang tidak dapat mengambil barangnya itu sebelum dimanfaatkan oleh peminjamnya. Apabila aqad al-‘ariyah itu memiliki batas waktu pemanfaatan, maka pemilik barang itu tidak dapat meminta kembali barangya itu sebelum tenggang waktu peminjaman jatuh tempo. Akan tetapi, dikalangan Ulama’ Malikiyah sendiri ada pendapat yang membolehkan pemiik barang mengambil barangnya kembali, jika aqad al-‘ariyah dilakukan secara mutlak tanpa syarat.
Sifat Aqad Al-‘Ariyah
          Disepakati oleh para ulama’ fiqih bahwa aqad al-‘ariyah itu bersifat tolong menolong, akan tetapi mengenai masalah apakah aqad al-‘ariyah itu bersifat amanah ditangn peminjam sehingga ia tidak boleh dituntut ganti rugi setelah barang itu rusak, terdapat perbedaan pendapat diantara mereka.
a.       Menurut ulama’ Hanafiyah al-‘ariyah ditangan peminjam bersifat amanah. Menurut mereka , peminjam tidak dikenakan ganti rugi atas kerusakan barang yang bukan disebabkan perbuatannya atau kelalaiannya dalam memanfaatkan barang itu. Akan tetapi, apabila kerusakan itu disengaja atau karena kelalaian peminjam dalam memelihara amanah itu, maka ia dikenakan ganti rugi.
          Aqad al-‘ariyah yang semula bersifat amanah boleh berubah menjadi aqad yang dikenakan ganti rugi, dalam hal-hal sebagai berikut :
1.      Barang itu sengaja dirusak atau dimusnahkan.
2.      Barang itu disewakan atau tidak dipelihara sama sekali.
3.      Pemanfaatan barang pinjaman tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku atau tidak sesuai syarat yang disepakati pada berlangsungnya aqad
4.      Apabila pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang ditentukan saat aqad.
b.      Menurut Hanabilah berpendapat bahwa al-‘ariyah adalah aqad yang mempunyai resiko ganti rugi, baik disebabkan perbuatan peminjam atau disebabkan hal-hal lain.
c.       Menurut ulama’ Malikiyah menyatakn apabila barang yang dipinjamkan itu dapat disembunyikan seperti pakaian, cincin emas, dan kalung mutiara, lalu peminjam mengatakan bahwa barang itu hilang atau hancur, sedangkan ia tidak dapat membuktikannya, maka ia dikenakan ganti rugi. Selanjutnya, apabila barang itu rusak ketika dimanfaatkan, tapi barang itu tidak bisa disembunyikan, seperti rumah dan tanah, maka tidak dikenakan ganti rugi atas kerusakan itu.
d.      Menurut ulama’ Syafi’iyah apabila kerusakan itu disebabkan pemanfaatan yang tidak disetujui pemilik barang, maka peminjam dikenakan ganti rugi, baik pemanfaatannya oleh peminjam maupun oleh orang lain.
Tanggung Jawab Peminjam
            Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya kalau disebabkan karena kelalaian, contohnya pemakaian yang berlebihan. Demikian menurut Ibnu Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’I dan Ishaq dalam hadits yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah Saw bersabda, “Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya”.
            Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya kecuali karena tindakannya yang berlebihan (lalai). Rasulullah Saw bersabda, “Peminjam yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang dititipi yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”. 









BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
           Menurut etimologi bahasa arab, al-‘ariyah berarti suatu yang dipinjamkan, pergi dan kembali atau beredar. Sedangkan menurut terminology ‘Ariyah adalah amanat yang deberikan kepada musta’ir (orang yang meminjam), untuk itu kalau barang itu rusak, dia tidak perlu menggantinya kecuali dia berbuat teledor sehingga menjadi rusak sebagai mana perkataan sahabat Umar ra, “ ‘Ariyah itu seperti titipan. Maka jika rusak, tidak perlu diganti kecuali orang yang bersangkutan teledor.
       Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya maka Allah akan membayarnya, barang siapa yang meminjam hendak melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (HR. Bukhari)
           Ulama’ Syafi’iyah, Hanabilah dan Abu Hasan Al-Karkhi (260-340H/870-952M), pakar fiqih Hanafi, berpendapat bahwa aqad al-‘ariyah itu hanya bersifat kebolehan memanfaatkan benda itu.oleh sebab itum pemanfaatannya hanya terbatas pada pihak peminjam dan ia tidak boleh meminjamkannya kepada orang lain. Namun demikian, seluruh ulama’ fiqih sepakat menyatakan bahwa pihak peminjam tidak boleh menyewakannya pada orang lain.
Menurut Syafi’iyah rukun ‘ariyah adalah sbb :
·         Ijab Kabul adalah kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “Saya utangkan 3 dirham kepadamu” dan yang menerima berkata, “Saya mengaku berutang 3 dirham kepadamu”.
·         Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) danmusta’ir yaitu orang yang menerima utang.




DAFTAR PUSTAKA

Qal’ahji, Muhammad Rawwas. 1999. Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab ra.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Haroen, Nasrun. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya Media Pratama
Ayyub, Hasan. 2006. Al Muamalah Al Maliyah. Iskandaria : Dar Al Salam


0 komentar:

Post a Comment

 
Top