Makalah Hadits tentang Keimanan
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015


Keimanan


KATA PENGANTAR


            Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hadits pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini penulis mengangkat judul “Keimanan”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.


Wassalam
Penulis,


KELOMPOK 1



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR............................................................................................             i
DAFTAR ISI............................................................................................................             ii

BAB I       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...................................................................................            1
B.    Rumusan Masalah..............................................................................             1
C.    Rumusan masalah...............................................................................             1

BAB II       PEMBAHASAN
A.    Hubungan iman, islam, ihsan dan hari kiamat...................................            2
B.     Berkurangnya iman dan islam karena maksiat ..................................             9
C.     Malu bahagian dari iman....................................................................             11

BAB III    PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................             13

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................            14






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam agama Islam memiliki tiga tingkatan yaitu Islam, Iman, Ihsan. Tiap-tiap tingkatan memiliki rukun-rukun yang membangunnya.
Jika Islam dan Iman disebut secara bersamaan, maka yang dimaksud Islam adalah amalan-amalan yang tampak dan mempunyai lima rukun. Sedangkan yang dimaksud Iman adalah amal-amal batin yang memiliki enam rukun. Dan jika keduanya berdiri sendiri-sendiri, maka masing-masing menyandang makna dan hukumnya tersendiri.
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau dilandaskan pada aqidah da syariat Islam disebut Ihsan. Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Menjelaskan hubungan iman, islam, ihsan dan hari kiamat
2.      Menjelaskan berkurangnya iman dan islam kareana maksiat
3.      Menjelaskan rasa malu sebagian dari iman

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah agar kami dan semua mahasiswa/I mampu memahami hadits-hadits tentang keimanan.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hubungan Iman, Islam, Ihsan, dan Hari Kiamat
حَدِيْثُ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ: مَا الْإِيْمَانُ؟ قَالَ: «الْإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَبِلِقَائِهِ وَبِرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالبَعْثِ» قَالَ: مَا الْإِسْلَامُ؟ قَالَ: «الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ وَلَا تُشرِكَ بِهِ وَتُقِيْمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَكَاةَ المـَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ» قَالَ: مَا الْإِحْسَانُ؟ قَالَ: «أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ» قَالَ: مَتَى السَّاعَةُ؟ قَالَ: «مَا المـَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ، وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا؛ إِذَا وَلَدَتِ الأَمَةُ رَبَّهَا، وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الإبِلِ البَهْمُ فِي البُنْيَانِ، فِي خَمْسٍ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ» ثُمَّ تَلَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ) الآيَة، ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ: «رُدُّوهُ» فَلَمْ يَرَوْا شَيْئاً، فَقَالَ: «هَذَأ جِبْرِيْلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِيْنَهُمْ». (أَخْرَجَهُ البُخَارِي  فى : 2 كتاب الإيمان : 37 : باب سؤال جبريل النبي ص.م. عن الإيمان والإسلام.
1.      Terjemahan hadits
“Abu hurairah r.a. berkata, pada suatu hari ketika Nabi Muhammad SAW sedang duduk bersama sahabat, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan bertanya, “Apakah iman itu?” Jawab Nabi SAW, “Iman adalah percaya kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, berhadapan dengan Allah, para Rasul-Nya, dan percaya pada hari berbangkit dari kubur. Lalu laki-laki itu bertanya lagi, “Apakah islam itu?” Jawab Nabi SAW, “Islam ialah menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang difardhukan, dan berpuasa di bulan Ramadhan”. Lalu laki-laki itu bertanya lagi, “ Apakah Ihsan itu?” Jawab Nabi SAW, Ihsan ialahmenyembah kepada Alah seakan-akan engkau melihat-Nya kalau engkau tidak mampu melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah melihat-Mu”. Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “ Apakah hari kiamat itu?” Nabi SAW menjawab, “orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya, tetapi saya memberikan kepadamu beberapa syarat (tanda-tanda) akan tibanya hari kiamat, yaitu jika budak sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika pengembala onta dan ternak lainnya telah berlomba-lomba membangun gedung-gedung. Dan termasuk dalam lima macam yang tidak dapat mengetahuinya kecuali Allah, yaitu tersebut dalam ayat Lukman ayat 31-34, “ sesungguhnya Allah hanya pada sisi-Nya sajalah yang mengetahui hari kiamat, dan Dia pula yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang didalam rahim ibu, dan tiada seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari, dan tidak seorang pun yang mengetahui dimanakah ia akan mati. Sesungguhnya maha mengetahui sedalam-dalamnya.” Kemudian pergilah orang itu. Lalu Nabi SAW menyuruh sahabat, “Antarkanlah orang itu. Akan tetapi, sahabat tidak melihat bekas orang itu. Maka Nabi SAW bersabda, “itu adalah Malaikat Jibril a.s yang datang untuk mengajarkan agama kepada manusia.”
2.      Bigrafi perawi
Menurut pendapat mayoritas, nama beliau adalah 'Abdurrahman bin Shakhr ad Dausi. Pada masa jahiliyyah, beliau bernama Abdu Syams, dan ada pula yang berpendapat lain. Kunyah-nya Abu Hurairah (inilah yang masyhur) atau Abu Hir, karena memiliki seekor kucing kecil yang selalu diajaknya bermain-main pada siang hari atau saat menggembalakan kambing-kambing milik keluarga dan kerabatnya, dan beliau simpan di atas pohon pada malam harinya. Tersebut dalam Shahihul Bukhari, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memanggilnya, “Wahai, Abu Hir”.
Ahli hadits telah sepakat, beliau adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Abu Muhammad Ibnu Hazm mengatakan bahwa, dalam Musnad Baqiy bin Makhlad terdapat lebih dari 5300 hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
Selain meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau Radhiyallahu 'anhu juga meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, al Fadhl bin al Abbas, Ubay bin Ka’ab, Usamah bin Zaid, ‘Aisyah, Bushrah al Ghifari, dan Ka’ab al Ahbar Radhiyallahu 'anhum. Ada sekitar 800 ahli ilmu dari kalangan sahabat maupun tabi’in yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dan beliau Radhiyallahu 'anhu adalah orang yang paling hafal dalam meriwayatkan beribu-ribu hadits. Namun, bukan berarti beliau yang paling utama di antara para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Imam asy Syafi’i berkata,"Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu adalah orang yang paling hafal dalam meriwayatkan hadits pada zamannya (masa sahabat).”Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu masuk Islam antara setelah perjanjian Hudaibiyyah dan sebelum perang Khaibar. Beliau Radhiyallahu 'anhu datang ke Madinah sebagai muhajir dan tinggal di Shuffah.
Amr bin Ali al Fallas mengatakan, Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu datang ke Madinah pada tahun terjadinya perang Khaibar pada bulan Muharram tahun ke-7 H.
Humaid al Himyari berkata,"Aku menemani seorang sahabat yang pernah menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selama empat tahun sebagaimana halnya Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.”
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendo’akan ibu Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, agar Allah memberinya hidayah untuk masuk Islam, dan do’a tersebut dikabulkan. Beliau Radhiyallahu 'anhu wafat pada tahun 57 H menurut pendapat yang terkuat.
3.      Penjelasan singkat
Hadis di atas mengetengahkan 4 (empat) masalah pokok yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu iman, Islam, ihsan, dan hari kiamat. Pernyataan Nabi saw. di penghujung hadis di atas bahwa “itu adalah Malaikat Jibril datang mengajarkan agama kepada manusia” mengisyaratkan bahwa keempat masalah yang disampaikan oleh malaikat Jibril dalam hadis di atas terangkum dalam istilah ad-din (baca: agama Islam). Hal ini menunjukkan bahwa keberagamaan seseorang baru dikatakan benar jika dibangun di atas pondasi Islam dengan segala kriterianya, disemangati oleh iman, segala aktifitas dijalankan atas dasar ihsan, dan orientasi akhir segala aktifitas adalah ukhrawi.
Atas dasar tersebut di atas, maka seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan iman. Sebaliknya, iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan iman akan mencapai kesempurnaan jika dibarengi dengan ihsan, sebab ihsan mengandung konsep keikhlasan tanpa pamrih dalam ibadah.  Keterkaitan antara ketiga konsep di atas (Islam, iman, dan ihsan) dengan hari kiamat karena karena hari kiamat (baca: akhirat) merupakan terminal tujuan dari segala perjalanan manusia tempat menerima ganjaran dari segala aktifitas manusia yang kepastaian kedatangannya menjadi rahasia Allah swt. Berikut ini akan dibahas lebih rinci tentang iman, Islam, ihsan, dan hari kiamat.
a.       Iman
Pengertian dasar dari istilah “iman” ialah “memberi ketenangan hati;  pembenaran hati”. Jadi makna iman secara umum mengandung pengertian pembenaran hati yang dapat menggerakkan anggota badan memenuhi segala konsekuensi dari apa yang dibenarkan oleh hati.
Iman sering juga dikenal dengan istilah aqidah, yang berarti ikatan, yaitu ikatan hati. Bahwa seseorang yang beriman mengikatkan hati dan perasaannya dengan sesuatu kepercayaan yang tidak lagi ditukarnya dengan kepercayaan lain. Aqidah tersebut akan menjadi pegangan dan pedoman hidup, mendarah daging dalam diri yang tidak dapat dipisahkan lagi dari diri seorang mukmin. Bahkan seorang mukmin sanggup berkorban segalanya, harta dan bahkan jiwa demi mempertahankan aqidahnya.
Adapun pengertian iman secara khusus sebagaimana yang tertera dalam hadis di atas ialah: keyakinan tentang adanya Allah swt., malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab yang diturunkan-Nya, Rasul-rasul utusan-Nya, dan yakin tentang kebenaran adanya hari kebangkitan dari alam kubur.
Dalam hadis lain, yang senada dengan hadis di atas yang diriwayatkan oleh Kahmas dan Sulaiman al-Tamimi, selain menyebutkan kelima hal di atas sebagai kriteria iman, terdapat tambahan satu kriteria yaitu: beriman kepada qadha dan qadar Allah, yang baik maupun yang buruk.
Dalam Alqur’an ditemukan sejumlah ayat yang senada dengan  hadis di atas yang mendeskripsikan tentang konsep keimanan, antara lain firman Allah swt. dalam QS. Al-Baqarah (2): 285: Terjemahnya: Rasul Telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman, semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”
Keimanan dipandang sempurna apabila ada pengakuan dengan lidah, pembenaran dengan hati secara yakin dan tidak bercampur keraguan, dan dilaksanakan dalam bentuk perbuatan sehari-hari, serta keimanan tersebut berpengaruh terhadap pandangan hidup dan cita-cita seseorang.
Meskipun keimanan merupakan perbuatan hati, tetapi pantulan dari keimanan tersebut melahirkan perbuatan-perbuatan nyata yang menjadi tuntutan keimanan tersebut. Oleh sebab itu, al-Quran menjelaskan kewajiban-kewajiban, sikap-sikap, dan tingkah laku seorang yang harus terwujud dalam diri setiap orang beriman dalam kehidupannya. Konsep seperti itu misalnya ditemukan dalam firman Allah dalam QS. al-Mu’minun (23): 1-6 sebagai berikut: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Dalam QS. al-Anfal (8): 2-3 Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.
Dengan demikian, iman saja tidaklah cukup, tetapi harus disertai berbagai amal saleh sebagai perwujudan dari keyakinan tersebut. Sekedar kepercayaan menyangkut sesuatu, belum dapat dinamai iman, karena iman menghasilkan ketenangan. Karena itu pula iman berbeda dengan ilmu, karena ilmu tidak jarang menghasilkan keresahan dalam hati pemiliknya, berbeda dengan iman. Meskipun ilmu diibaratkan dengan air telaga, tetapi tidak jarang ia keruh. Tetapi iman ketika diibaratkan dengan air bah dengan gemuruhnya, tetapi ia selalu jernih sehingga menghasilkan ketenangan.
Disamping itu, iman dapat diibaratkan sebagai makanan rohani. Jiwa yang kosong dari iman akan lemah dan hampa sebagaimana jasad yang tidak diberi makan. Dengan demikian, iman merupakan inti kehidupan batin dan sekaligus menjadi penyelamat dari siksa abadi di akhirat kelak.

b.      Islam
Islam berasal dari akar kata kerja aslama secara harfiyah berarti kepatuhan atau tindakan penyerahan diri seseorang sepenuhnya kepada kehendak orang lain. Islam adalah kepatuhan menjalankan perintah Allah dengan segala keikhlasan dan kesungguhan hati. Hal itu sesuai dengan arti kata Islam, yakni penyerahan. Seorang muslim harus menyerahkan dirinya kepada Allah secara total karena memang manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
Islam menurut istilah adalah agama yang dibawa oleh para utusan Allah dan disempurnakan oleh Rasulullah saw. yang memiliki sumber pokok al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. sebagai petunjuk kepada umat manusia sepanjang masa. (Q.S. 48: 28, dan 5: 3).
Intisari Islam sebagai agama adalah keterikatan dan ketundukan pada Allah swt. yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari manusia  dan bersifat gaib yang dapat ditangkap oleh indera tetapi bisa dirasakan dan diyakini akan adanya. Tauhid (pengesaan Allah) merupakan seruan pertama dan terakhir dari Islam. Ia adalah suatu kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa (faith in the unity of God). Suatu kepercayaan yang menegaskan bahwa hanya Allah-lah yang mencipta, memberi hukum, mengatur alam semesta ini. Sebagai konsekuensinya maka hanya Allah pulalah yang satu-satunya yang wajib disembah.
Atas dasar itulah sehingga Rasulullah saw. dalam hadis di atas menjadikan tauhid (penyembahan hanya kepada Allah semata) sebagai pilar utama dalam keislaman seorang, selanjutnya disusul dengan kewajiban-kewajiban yang lain, yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat yang difardhukan, berpuasa di bulan Ramadhan. Dalam hadis lain ditambahkan satu kewajiban lagi, yakni menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, sebagaimana dinyatakan dalam hadis berikut:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى قَالَ أَخْبَرَنَا حَنْظَلَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.(رواه البخاري(

Artinya: ‘Abdullah ibn Musa telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Hanzhalah ibn Abi Sufyan telah memberitakan kepada kami, dari Ikrimah ibn Khalid, dari ibn Umar r.a berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: “Islam didirikan atas lima perkara, yakni bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah swt, dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan ibadah haji (ke Baitullah), dan berpuasa dibulan Ramadhan”. (H.R. Al-Bukhari)

c.       Ihsan
Ihsan secara bahasa berasal dari akar kata kerja ahsana-yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk mashdarnya adalah ihsan yang artinya kebaikan. Mengenai hal ini, Allah swt. berfirman dalam QS. an-Nahl (16): 90: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan ..........”
Adapun pengertian ihsan secara khusus yang disebutkan dalam hadis di atas, yaitu "menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak mampu melihatnya, ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat.í"
Pernyataan menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya", mengandung arti bahwa dalam menyembah kepada-Nya, kita harus bersungguh-sungguh, serius dan penuh keikhlasan serta melebihi sikap seorang rakyat jelata ketika menghadap Raja. Dalam hati harus ditumbuhkan keyakinan bahwa Allah seakan-akan berada di hadapannya, dan Dia melihat dirinya. Sedangkan pernyataan "jika engkau tidak mampu melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah melihatmu," maksudnya kita harus merasa bahwa Allah selamanya hadir dan menyaksikan segala perbuatannya.
Ihsan meliputi tiga aspek fundamental, yaitu ibadah, muamalah, dan akhlak.
1.      Ibadah
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan ini lah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
2.      Muamalah
Ihsan sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah beribadah kepada Allah  dengan sikap seakan-akan melihat-Nya, dan jika tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Sedangkan ihsan dari segi muamalah, yang termasuk di dalamnya adalah:

3.      Akhlak.
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu “menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita”. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. 

d.      Hari Kiamat
Percaya akan datangnya hari kiamat termasuk salah satu rukun iman yang harus diyakini oleh semua orang yang beriman meskipun tidak ada yang tahu kapan saatnya tiba. Bagi mereka yang beriman, misteri terjadinya hari kiamat tidak akan mengurangi kadar keimanannya. Mereka justru lebih waspada dan senantiasa meningkatkan amal kebaikan untuk bekal menghadapi-Nya.
Namun demikian, Rasulullah saw. memberikan dua tanda terjadinya kiamat, yakni jika hamba sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika penggembala onta dan ternak lainnya berlomba-lomba membangun gedung-gedung yang megah dan tinggi.

4.      Fiqh al-Hadis
1.      Iman ialah percaya kepada Allah swt, para malaikat-Nya, pertemuan dengan Allah, para Rasul-Nya, percaya kepada hari berbangkit dari kubur, dan percaya kepada qadha dan qadar. Islam ialah menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang difardhukan, berhaji, dan berpuasa di bulan Ramadhan; dan Ihsan ialah menyembah kepada Allah seakan-akan kita melihat-Nya, kalau tidak mampu melihat-Nya, harus diyakini bahwa Allah melihat kita.
2.      Ketiga hal di atas, ditambah mempercayai terjadinya hari kiamat, yang tidak seorangpun mengetahuinya kecuali Allah swt. merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam membentuk jiwa untuk mengabdi kepada Allah sehingga mendapat keridhaan-Nya.

B.     Berkurangnya Iman dan Islam karena Maksiat
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَزَادَ فِي رِوايَةٍ وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ أَبْصارَهُمْ فِيهَا حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ  فى : 74 كتاب الأشربة 1 – باب قول الله تعالى : إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان . .)
1.      Terjemahan Hadits
Abu Hurairah r.a berkata bahwa Nabi saw.telah bersabda, tidak akan berzina seorang pelacur di waktu berzina  jika ia sedang beriman, dan tidak akan meminum khamar seseorang di waktu meminum  jika ia sedang beriman, dan tidak akan mencuri seseorang di waktu mencuri jika iasedang beriman. Dan tidak akan merampas rampasan yang berharga sehingga orang-orang membelalakkan mata kepadanya ketika merampas jika ia sedang beriman.
2.      Penjelasan Singkat
Orang yang beriman akan merasa bahwa segala tingkah lakunya senantiasa diawasi oleh Allah swt. Tidak ada suatu perbuatan yang ia lakukan luput dari pengawasan Allah swt. Di samping itu, ia selalu sadar bahwa segala perbuatan yangdilakukannya harus dipertanggung jawabkan dihadapan-Nya, dan ia sendiri yangakan menerima akibat dari perbuatannya, baik ataupun buruk, sekecil apapun perbuatan itu.Hal ini disinyalir Allah dalam QS. az-Zalzalah (99): Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akanmelihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahp un, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.
Atas dasar kesadaran tersebut, maka orang yang benar-benar berimansenantiasa berusaha mengerjakan perbuatan yang baik dan menghindari perbuatanyang dilarang oleh Allah swt. Seorang yang beriman tidak mungkin dengan sengajamelakukan maksiat kepada Allah, karena ia merasa malu dan takut menghadapi azab- Nya serta takut tidak mendapatkan ridha-Nya.Sebaliknya, orang yang tidak beriman kepada Allah swt. akan merasa bahwahidupnya di dunia tidak memiliki beban apa-apa. Ia hidup semaunya, dan yang penting baginya adalah ia merasa senang dan bahagia. Ia tidak memikirkan kehidupansetelah mati kelak karena ia tidak mempercayainya.
Dengan demikian, perbuatannya pun tidak terlalu dipusingkan oleh masalah baik ataupun buruk. Kalaupun iamelakukan suatu perbuatan baik, maka perbuatannya tersebut bukan karenamengharapkan ridha Allah swt. karena ia tidak percaya kepada-Nya.Adapun bagi mereka yang menyatakan dirinya beriman, tetapi seringmelakukan perbuatan dosa/maksiat, mereka merasa dan mengetahui bahwa perbuatanyang dilakukannya adalah perbuatan dosa, tetapi mereka tidak berusaha untuk mencegah dirinya dari perbuatan tersebut. Hal itu antara lain karena kuatnya godaansetan dan besarnya dorongan hawa nafsu untuk melakukan perbuatan maksiat. Dalamkeadaan seperti ini, ia tetap beriman, hanya saja keimanannya lemah (berkurang).
C.    Rasa Malu Sebagian dari Iman
حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيْمَانِ
1.      Terjemahan Hadits
Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Nabi SAW melewati (melihat) seorang lelaki kaum Anshar yangsedang menasehati saudaranya karena malu, maka Nabi SAW telah bersabda:³Biarkanlah ia karena sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.
2.      Penjelasan Singkat
Tujuan utama dari Risalah Islamiyah adalah untuk membentuk Insan Kamil,yaitu manusia yang seluruh aspek hidup dan kehidupannya telah dijiwai oleh iman, Islam dan ihsan.
Missi yang diemban Rasulullah berorientasi pada prinsipnyamerujuk kepada tujuan global, yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang muliadalam pengertian yang sangat luas.Rasa malu merupakan salah satu sifat yang dianugerahkan Allah kepada manusia dansekaligus merupakan salah satu sifat yang membedakan manusia dengan binatang.Kadar rasa malu pada tiap-tiap orang berbeda-beda, dan motif yang menyebabkanorang malu juga sangat variatif. Dengan demikian, malu kadang yang dapatdikategorikan sebagai sifat yang baik, dan adapula kalanya dapat dikategorikansebagai sifat tercela. Oleh sebab itu, sifat ini harus ditempatkan secara proporsional.Malu bukan hanya merupakan sifat dasar manusia, kan tetapi lebih dari itutermasuk dalam salah satu ciri orang yang beriman dan simbol keberimananseseorang. Oleh sebab itulah sehingga Rasulullah dalam hadis di atas menjadikan rasamalu sebagai bagian dari iman.
Namun demikian, malu yang dimaksud dalam hadis di atas bukan dalam arti bahasa,tetapi arti malu di sini adalah malu dalam mengerjakan hal-hal yang jelek dan bertentangan dengan syariat maupun norma-norma etika Islam. Hal itu dipertegasoleh hadis lain: Artinya :Adam telah menceritakan kepada kami, Syu’bah telah menceritakan kepada kami,dari Qatadah dari Abi al-Sawwar al-µAdawiy ia berkata bahwa ia telah mendengar Imran bin Husain r.a berkata bahwa Rasulullah SAW telah telah bersabda: ³Malu itutidak aka menimbulkan sesuatu kecuali kebaikan semata.´ (H.R. Bukhari danMuslim)
Sehubungan dengan makna malu sebagaimana yang disebutkan di atas, ulamamerumuskan definisi malu sebagai berikut Artinya:Hakikat malu adalah sifat atau perasaan yang mendorong untuk meninggalkan perbuatan jelek dan menghalangi mengurangi hak orang lain´Menurut Abu al-Qasim (Junaid), perasaan malu akan timbul bila memandang budi kebaikan dan melihat kekurangan diri. Hampir senada dengan itu, al-Hulaimy berpendapat bahwa hakikat malu adalah rasa takut untuk melaksanakan kejelekan. Diantara ulama, ada pula yang berpendapat, sebagaimana yang dikemukakan oleh IbnuHajar dalam kitab Fathu al-Bary bahwa merasa malu dalam mengerjakan perbuatanharam adalah wajib; dalam mengerjakan pekerjaan makruh adalah sunnah; dan dalammengerjakan perbuatan yang mubah adalah kebiasaan/adat. Perasaan malu seperti itulah yang merupakan salah satu cabang iman.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan ulama sebagaimanadisebutkan di atas, dapat dipahami bahwa malu dalam melakukan perbuatan baik tidak termasuk dalam kategori malu pada hadis ini. Demikian pula, tidak termasuk dalam kategori ini jika malu untuk melarang orang lain berbuat kejelekan, karenaAllah swt. sendiri tidak malu menerangkan kebenaran. Sehubungan dengan hal iniAllah swt. berfirman dalam QS. al-Ahzab (33): 53: Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Al-Faqih Abu Laits al-Samarqandi mengklasifikasin malu dalam syariat Islammenjadi dua, yaitu:
1.      Malu kepada Allah swt., maksudnya ialah malu melakukan maksiat kepadaAllah karena menyadari besarnya nikmat Allah swt. yang dianugerahkankepadanya.
2.      Malu kepada sesama manusia, maksudnya menutup mata dari hal-hal yangtidak berguna.Malu merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi manusia. Oleh sebab itu, jika manusia telah kehilangan rasa malunya, maka ia tidak ada lagi bedanyadengan binatang. Kehilangan rasa malu akan menyebabkan orang menjadi permissif, sehingga membenarkan segala cara demi untuk kepuasan nalurikemanusiaannya dan bahkan naluri dan kebinatangan yang ada pada dirinya.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Hadis di atas mengetengahkan 4 (empat) masalah pokok yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu iman, Islam, ihsan, dan hari kiamat. Pernyataan Nabi saw. di penghujung hadis di atas bahwa “itu adalah Malaikat Jibril datang mengajarkan agama kepada manusia” mengisyaratkan bahwa keempat masalah yang disampaikan oleh malaikat Jibril dalam hadis di atas terangkum dalam istilah ad-din (baca: agama Islam). Hal ini menunjukkan bahwa keberagamaan seseorang baru dikatakan benar jika dibangun di atas pondasi Islam dengan segala kriterianya, disemangati oleh iman, segala aktifitas dijalankan atas dasar ihsan, dan orientasi akhir segala aktifitas adalah ukhrawi.
Orang yang beriman akan merasa bahwa segala tingkah lakunya senantiasa diawasi oleh Allah swt. Tidak ada suatu perbuatan yang ia lakukan luput dari pengawasan Allah swt. Di samping itu, ia selalu sadar bahwa segala perbuatan yangdilakukannya harus dipertanggung jawabkan dihadapan-Nya, dan ia sendiri yangakan menerima akibat dari perbuatannya, baik ataupun buruk, sekecil apapun perbuatan itu.Hal ini disinyalir Allah dalam QS. az-Zalzalah (99): Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akanmelihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahp un, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.
Al-Faqih Abu Laits al-Samarqandi mengklasifikasin malu dalam syariat Islammenjadi dua, yaitu:
1.      Malu kepada Allah swt., maksudnya ialah malu melakukan maksiat kepadaAllah karena menyadari besarnya nikmat Allah swt. yang dianugerahkankepadanya.
2.      Malu kepada sesama manusia, maksudnya menutup mata dari hal-hal yangtidak berguna.Malu merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi manusia. Oleh sebab itu, jika manusia telah kehilangan rasa malunya, maka ia tidak ada lagi bedanyadengan binatang. Kehilangan rasa malu akan menyebabkan orang menjadi permissif, sehingga membenarkan segala cara demi untuk kepuasan nalurikemanusiaannya dan bahkan naluri dan kebinatangan yang ada pada dirinya.


DAFTAR PUSTAKA

Prof.DR.H.Rachmat Syafie’i, M.A. dalam bukunya yang berjudul Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum, Pustaka Setya: 2000
Muhammad bin Ismailm al-Shananiy, Subul al-Salam, Juz IV, (Cet. IV; Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1379 H.)
Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, Tanhibul Ghafilin (Pembangun Jiwa Moral Umat) penerjemah Abu Imam Taqiyuddin (Malang: Dar al-Ihya, 1986)
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, op.cit., h. 2240; Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairiy an-Naisaburi, Shahih Muslim, juz I, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiy, t.th.)





0 komentar:

Post a Comment

 
Top