Makalah Ulumul Quran tentang Muhkam Mutasyabih
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015

Muhkam Mutasyabih


KATA PENGANTAR

            Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Ulumul Quran pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini penulis mengangkat judul “Al-muhkam Wal Mutasyabih”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.


Wassalam
Penulis,


KELOMPOK 11


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR............................................................................................             i
DAFTAR ISI............................................................................................................             ii

BAB I       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...................................................................................            1
B.    Rumusan Masalah..............................................................................             1
C.    Tujuan Penulisan................................................................................             1

BAB II       PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al-muhkam Wal Mutasyabih...........................................            2
B.     Perbedaan pendapat ulama terhadap ayat al-mutasyabih..................            4
C.     Fawatihus suwar................................................................................             6
D.    Hikmah ayat muhkam dan mutasyabih..............................................             8

BAB III    PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................             10

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................            11





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
          Al-Quran, kalam Tuhan yang dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman Al-Quran dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercangkup dalam ulumul quran. Dan menjadi salah satu bagian dari cabang keilmuan ulumul quran adalah ilmu yang membahas tentang Muhkam Mutasyabbih ayat.
            Muhkam Mutasyabbih ayat hendaknya dapat dipahami secara mendalam. Hal ini dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian/pemahaman Al-Quran. Jika kita tengok dalam Ilmu Kalam, hal yang mempengaruhi adanya perbedaan pendapat antara firqoh satu dengan yang lainnya, salah satunya adalah pemahaman tentang ayat muhkam dan mutasyabbih. Bahasa Al-Quran ada kalimat yang jelas (muhkam) dan yang belum jelas (mitasyabih), hingga dalam penafsiran Al-Quran (tentang ayat muhkam mutasyabih-red) terdapat perbedaan-perbedaan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Menjelaskan tentang pengertian ayat Al-Muhkam Al-Mutasyabih
2.      Menjelaskan perbedaan pendapat ulama terhadap ayat al-mutasyabih
3.      Mmenjelaskan tentang fawatihus suwar
4.      Menjelaskan hikmah ayat muhkam dan mutasyabih
C.    Tujuan Penulisan
       Adapun tujuan kami dalam meyusun makalah ini adalah disamping memenuhi tugas dalam perkuliahan juga agar semua mahasiswa/i tidak terjadi ketimpangan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran khususnya dalam ranah Muhkam Mutasyabbih.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Al-Muhkam Al-Mutasyabih
Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan Muhkam dan Mutasyabih dalam buku studi Ilmu-Ilmu Qur’an, bahwa menurut bahasa Muhkam berasal dari kata حكمت الد ابة واحكمت  yang artinya “saya menahan binatang itu”, juga bisa diartikan,”saya memasang ‘hikmah’ pada binatang itu”. Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali.Muhkam berarti (sesuatu) yang dikokohkan, jadi kalam Muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya. Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari 2 (dua) hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain, karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Jadi, tasyabuh Al-Kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagainya membetulkan sebagian yang lain.[1]
.           Sedangkan menurut terminologi (istilah), muhkam dan mutasyabih diungkapkan para ulama, seperti berikut ini :
1.      Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang, baik melalui takwil ataupun tidak. Sedangkan ayat-ayatmutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan hari kiamat, keluarnya dajjal, dan huruf-huruf muqatha’ah. (Kelompok Ahlussunnah)
2.      Ibn Abi Hatim mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang harus diimani dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang harus diimani, tetapi tidak harus diamalkan.
3.      Mayoritas Ulama Ahlul Fiqh yang berasal dari pendapat Ibnu Abbas mengatakan, lafadz muhkam adalah lafadz yang tak bisa ditakwilkan melainkan hanya satu arah/segi saja. Sedangkan lafadz yang mutasyabbih adalah lafadz yang bisa ditakwilkan dalam beberapa arah/segi, karena masih sama (semakna-red).[2]
             Dari pengertian-pengertian ulama diatas, sudah dapat disimpulkan bahwa inti pengertian dari ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat muhkam itu nash(kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan tegas) danzhahir (makna lahir). Adapun pengertian dari ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat mutasyabih adalah mujmal (global), mu’awwal (harus ditakwil), musykil, dan mubham (ambigius).
Ø  Sebab-Sebab Adanya Ayat Mutasyabbih
           Dikatakan dengan tegas, bahwa sebab adanya ayat Muhkam dan Mutasyabih ialah karena Allah SWT menjadikan demikian. Allah membedakan antara ayat – ayat yang Muhkam dari yang Mutasyabih, dan menjadikan ayat Muhkam sebagai bandingan ayat yang Mutasyabih.
            Pada garis besarnya sebab adanya ayat – ayat Mutasyabihat dalam Al – Qur’an ialah karena adanya kesamaran maksud syara’ dalam ayat – ayat-Nya sehingga sulit dipahami umat, tanpa dikatakan dengan arti ayat lain, disebabkan karena bisa dita’wilkan dengan bermacam – macam dan petunjuknya pun tidak tegas, karena sebagian besar merupakan hal – hal yang pengetahuanya hanya dimonopoli oleh Allah SWT saja.
Adapun adanya ayat Mutasyabihat dalam Al – Qur’an desebabkan 3 (tiga) hal :
·        Kesamaran Lafal
1.      Kesamaran Lafal Mufrad, dibagi menjadi 2 (dua) :
a. Kesamaran lafal Mufrad Gharib (asing)
Contoh : Lafal dalam ayat 31 surat Abasa : kata Abban jarang terdapat dalam Al – Qur’an, sehingga asing. Kemudian dalam ayat selanjutnya , ayat 32 : (untuk kesenangan kamu dan binatang – binatang ternakmu), sehingga jelas dimaksud Abban adalah rerumputan.
b. Kesamaran Lafal Mufrad yang bermakna Ganda. Kata Al – Yamin bisa bermakna tangan kanan, keleluasan atau sumpah.
2.      Kesamaran dalam Lafal Murakkab
Kesamaran dalam lafal Murakkab itu disebabkan karena lafal yang Murakkab terlalu ringkas, terlalu luas atau karena susunan kalimatnya kurang tertib.
·        Kesamaran pada Makna Ayat
Kesamaran pada makna ayat seperti dalam ayat – ayat yang menerangkan sifat – sifat Allah, seperti sifat rahman rahim-Nya, atau sifat qudrat iradat-Nya, maupun sifat – sifat lainnya. Dan seperti makna dari ihwal hari kiamat, kenikmatan surga, siksa kubur, dan sebagainya manusia bisa mengerti arti maksud ayat-Nya, sedangkan mereka tidak pernah melihatnya.
·        Kesamaran pada Lafal dan Makna Ayat
            Seperti, ayat 189 surat Al – Baqarah yang artinya:“Dan bukanlah kebijakan memasuki rumah – rumah dari belakangnya, akan tetapi kebijakan itu ialah kebijakn orang – orang yang bertakwa”.
Sebab kesamaran dalam ayat tersebut terjadi pada lafalnya, karena terlalu ringkas, juga terjadi pula pada maknanya, karena termasuk adat kebiasaan khusus orang arab. Hingga dalam memahami ayat ini akan sulit bagi orang-orang yang bukan termasuk orang arab. Dan sejatinya ayat ini adalah diperuntukkan untuk orang yang sedang melaakukan ihrom baik haji maupun umroh.
Ø  Macam Macam Ayat Mutasyabihat
Menurut Abdul Jalal, macam – macam ayat Mutasyabihat ada 3 (tiga) macam :
1.      Ayat – ayat Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, kecuali Allah SWT. Contoh : Artinya : “Dan pada sisi Allah–lah kunci – kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri” (Q.S. Al – An’am : 59)
2.      Ayat – ayat yang Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contoh : pencirian mujmal, menentukan mutasyarak, mengqayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dst.
3.      Ayat – ayat Mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sains, bukan oleh semua orang, apa lagi orang awam. Hal ini termasuk urusan – urusan yang hanya diketahui Allah SWT dan orang – orang yang rosikh (mendalam) ilmu pengetahuan.[3]
B.     Perbedaan Pendapat Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Al-Mutasyabih
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayatmutasyabih dapat diketahui oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Sumber perbedaan mereka terdapat dalam pemahaman struktur kalimat pada QS. ‘Ali Imran : 7
Dalam memahami ayat tersebut, muncul dua pandapat. Yang pertama,Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm di-athaf-kan pada lafazh Allah, sementara lafazhyaaquluna  sebagai hal. Itu artinya, bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang mendalami ilmunya[4]. Yang kedua, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm sebagai mubtada’ dan yaaquluna sebagai khabar. Itu artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih hanya diketahui oleh Allah, sedangkan orang-orang yang mempelajari ilmunya hanya mengimaninya.[5]
Ada sedikit ulama yang berpihak pada ungkapan gramatikal yang pertama. Seperti Imam An-Nawawi, didalam Syarah Muslim, ia berkata, “Pendapat inilah yang paling shahih karena tidak mungkin Allah mengkhitabi hamba-hambaNya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.”. Kemudian ada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Ishaq Asy-Syirazi yang mengatakan, “Tidak ada satu ayatpun yang maksudnya hanya diketahui Allah. Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam?”.
Namun sebagian besar sahabat, tabi’in, generasi sesudahnya, terutama kalangan Ahlussunnah berpihak pada gramatikal ungkapan yang kedua. Seperti pendapat dari :
1.      Al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda ketika mengomentari QS. ‘Ali Imran ayat 7 :“Jika engkau menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, orang itulah yang dicela Allah, maka berhati-hatilah menghadapi mereka.”
2.      Ibn Abu Dawud, dalam Al-Mashahif,  mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-A’masy. Ia menyebutkan bahwa diantara qira’ah Ibn Mas’uddisebutkan :“Sesungguhnya penakwilan ayat-ayat mutasyabih hanya milik Allah semata, sedangkan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih.”
3.      Imam Malik pernah ditanya mengenai pengertian lafadz istawa. Ia mengatakan: Istawa adalah diketahui. dan bagaimananya adalah sesuatu yang tidah diketahui. Bertanya tentangnya adalah Bid’ah.
         Sedang Ar-raghib Al-Ashfahany mengambil jalan tengah dalam masalah ini. Beliau membagi mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahuinya menjadi tiga bagan:
1.      Bagian yang tak ada jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu tibanya hari kiamat.
2.      Bagian manusia menemukan sebab-sebab mengetahuinya, seperti lafadz-lafadz yang ganjil, sulit difahami namun bisa ditemukan artinya.
3.      Bagian yang terletak di antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh Ulama’ yang mumpuni saja.[6]

C.    Fawatihus Suwar
          Menurut bahasa fawatih adalah jamak dari kata fatihah, yang berarti pembukaan atau permulaan atau awalan. Sedangkan kata as-suwaradalah jamak dari kata as-surah yaitu sekumpulan ayat-ayat Al-qur’an yang mempunyai awalan dan akhiran.
         Fawatihus Suwar adalah beberapa pembukaan dari surah-surah Al-qur’an atau beberapa macam awalan dari surah-surah Al-qur’an. Sebab, seluruh surah al-qur’an yang berjumlah 114 buah surah itu dibuka dengan sepuluh macam pembukaan, tidak ada satu surahpun yang keluar dari sepuluh macam pembukaan itu. Dan tiap-tiap macam pembukaan itu mempunyai rahasia/hikmah sendiri-sendiri, hingga perlu sekali untuk dipelajari.
           Pembukan dengan huruf-huruf ini  terdapat  dalam 29  surat dengan memakai 14 huruf tanpa diulang, yakni (ا\ي\هـ\ن\م\ل\ك\ق\ع\ك\ص\س\ر\). Penggunan huruf-huruf tersebut dalam pembukaan surat-surat Alquran disusun dalam 14 rangkaian, yang terdiri dari kelompok berikut:
1.       Kelompok sederhana, terdiri dari satu huruf, terdapat dalam 3 surat, yakni (ص) (QS. Shad); (ق) (QS. Qaf); dan (ن) (QS. Nun).
2.       Kelompok yang terdiri dari dua huruf, tedapat dalam 3 surat, yakni (حم) (QS. Al-Mu’min; QS. Al-Sajdah; QS. Al-Zukhruf, QS. Al-Dukhan; QS. Al-Jatsiyah; dan QS.Al-Ahkaf; (طه) (QS. Thaha); (طس) (QS. Al-Naml); dan (يس) (QS. Yasin).
3.       Kelompok yang terdiri dari tiga huruf, yakni (الم) QS. Al-Bqarah, QS. Ali     Imran, QS. Al-Ankabut, QS. Al-Rum, QS. Luqman dan QS. Al-Sajdah).
4.       Kelompok yang terdiri dari empat huruf, yakni (الر) (QS. Al-Ra’ad) dan (المص) (QS. Al-A’raf). Kelompok yang terdiri dari lima huruf, yakni rangkaian ((كهيعص (QS. Maryam) dan (حم عسق) (QS. Al-Syuara).
         Hikmah keberadaan huruf fawatihus suwar yang merupakan bagian dari ayat-ayat mutasyabihat adalah:
1.      Memperlihatkan kelemahan akal manusia dan merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadarannya akan ketidak mampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih tersebut.
2.      Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih karena Allah Swt akan mencerca orang-orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih dan memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya.
Ø  Pendapat Para Ulama Tentang Makna Fawatihus Suwar
            Para Ulama yang membicarakan masalah ini ada yang berani menafsirkannya, dimana huruf-huruf itu adalah rahasia yang hanya Allah yang mengetahui-Nya.[7]
1.      Az-Zamarksyari berkata dalam tafsirnya “Al-Qasysyaf” huruf-huruf ini ada beberapa pendapat yaitu:
a)      Merupakan nama surat
b)      Sumpah Allah
c)      Supaya menarik perhatian orang yang mendengarkannya.
2.      As-Sayuti menukilkan pendapat Ibnu Abbas tentang huruf tersebut sebagai berikut:
           (الم) berarti (انا الله اعلم), (المص) berarti (انا الله اعلم و افصل), (الر) berarti (انا الله اري), (كهيعص) diambil dari (كريم – هاد – حكيم – عليم - صادق) juga berarti (كان – هاد – تمين – عالم - صادق) Adh Dhahak berpendapat bahwa (الر) ialah: اناالله اعلم وارفع dikatakan pendapat hanyalah dugaan belaka. Kemudian As-Suyuti menerangkan bahwa hal itu merupakan rahasia yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya.
3.      Al-Quwaibi mengatakan bahwasanya kalimat itu merupakan tanbih bagi Nabi, mungkin pada suatu saat Nabi dalam keadaan sibuk, maka Allah menyuruh Jibril untuk memberikan perhatian terhadap apa yang disampaikan kepadanya.
4.      As-Sayid Rasyid Ridha tidak membenarkan Al-Quwaibi di atas, karena Nabi senantiasa dalam keadaan sadar dan senantiasa menanti kedatangan wahyu. Rasyid Ridha berpendapat sesuai dengan Ar-Razi, bahwa tanbih ini sebenarnya dihadapkan kepada orang-orang Musyrik Mekkah dan Ahli Kitab Madinah. Karena orang-orang kafir apabila Nabi membacakan Al-Quran mereka satu sama lain menganjurkan untuk tidak mendengarkannya.
               Disebutkan dalam surat Fusilat ayat 26, yang artinya sebagai berikut: “Dan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran Ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka". (QS. Fusyilat: 26)
5.      Ulama salaf berpendapat bahwa “Fawatih Suwar” telah disusun semenjak zaman azali sedemikian rupa supaya melengkapi segala yang melemahkan manusia dari mendatangkannya seperti Al-Quran.
         Oleh karena I’tiqad bahwa huruf-huruf ini telah sedemikian dari azalinya, maka banyaklah orang yang tidak berani menafsirkannya dan tidak berani mengeluarkan pendapat yang tegas terhadap huruf-huruf tersebut. Huruf-huruf ini dipandang masuk golongan mutasyabihat yang hanya Allah sendri yang mengetahui-Nya.[8]
          Huruf-huruf itu, sebagai yang pernah ditegaskan oleh Asy-Syabi, ialah rahasia dari pada Al-Quran ini. Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Sesungguhnya bagi tiap-tiap Kitab ada saripatinya. Saripati Al-Quran ini ialah, huruf-huruf Hijaiyah”. Abu Bakar As-Shiddieqi pernah berkata: “Di tiap-tiap kitab ada rahasianya. Rahasianya dalam Al-Quran ialah permulaan-permulaan surat”.

D.    Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat dan Ayat-Ayat Mutasyabihat
Dalam pembahasan ini perlu dijelaskan faedah atau hikmah ayat-ayat muhkam lebih dahulu sebelum menerangkan faedah ayat-ayat mutasyabihat.
1.      Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat
a.       Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
b.      Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
c.       Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
d.      Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain.
2.      Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat
a)      Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
b)      Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzighqulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.
c)      Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
d)     Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.
e)      Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam.[9]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
      Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang, baik melalui takwil ataupun tidak. Sedangkan ayat-ayatmutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan hari kiamat, keluarnya dajjal, dan huruf-huruf muqatha’ah.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayatmutasyabih dapat diketahui oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Sumber perbedaan mereka terdapat dalam pemahaman struktur kalimat pada QS. ‘Ali Imran : 7
Dalam memahami ayat tersebut, muncul dua pandapat. Yang pertama,Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm di-athaf-kan pada lafazh Allah, sementara lafazh yaaquluna  sebagai hal. Itu artinya, bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang mendalami ilmunya[10]. Yang kedua, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm sebagai mubtada’ dan yaaquluna sebagai khabar. Itu artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih hanya diketahui oleh Allah, sedangkan orang-orang yang mempelajari ilmunya hanya mengimaninya.
Fawatihus Suwar adalah beberapa pembukaan dari surah-surah Al-qur’an atau beberapa macam awalan dari surah-surah Al-qur’an. Sebab, seluruh surah al-qur’an yang berjumlah 114 buah surah itu dibuka dengan sepuluh macam pembukaan, tidak ada satu surah pun yang keluar dari sepuluh macam pembukaan itu. Dan tiap-tiap macam pembukaan itu mempunyai rahasia/hikmah sendiri-sendiri, hingga perlu sekali untuk dipelajari.
Hikmah Ayat-Ayat Muhkamat Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka. Hikmah ayat-ayat mutasyabihat Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2009, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor:Lintera Antar Nusa
Anwar, Rosihon. 2004, Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Media
Djalal, Abdul, 2008, Ulumul Quran. Surabaya: Dunia Ilmu
Hadi, Abd. 2010, Pengantar Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, Surabaya:Graha Pustaa Islamic Media
Hermawan, Acep, 2011. ‘Ulumul Quran:Ilmu Untuk Memahami Wahyu, Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002.
Rofi’i, Ahmad & Ahmad SyadaliUlumul Quran I,Bandung: Pustaka Setia, 1997.


[1] Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2009, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor:Lintera Antar Nusa
[2] Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2008, hal. 239
[3] Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2008, hal. 242
[4] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung:Pustaka Setia,2004), hal 128
[5] Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2009, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor:Lintera Antar Nusa
[6] Abd. Hadi, Pengantar Study ilmu-Ilmu Al-Quran, (Surabaya: Graha Pustaka Islamic Multimedia, 2010), hal 222
[7] Prof. Dr. Muhammad Hasbi  Ash Shiddeqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 125.
[8] Drs. H.Ahmad Syadali, M.A. dan Drs. H. Ahmad Rafi’I, Ulumul Qur’an I (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2006),  h. 186.
[9] Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2008, hal. 230
[10] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung:Pustaka Setia,2004), hal 128

1 komentar:

  1. terima kasih, saya lebih mengerti cara membuat makalah yang bagus

    ReplyDelete

 
Top