Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas
negara yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam
perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya
negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh
dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah
memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui
Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak
yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari
kewajiban tersebut.
Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu
mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak
taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut adalah gijzeling atau
lembaga paksa badan. Keberadaan lembaga ini masih kontroversial. Beberapa
kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang
berlebihan. Di lain pihak, muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan
untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang
nakal.
Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa di
bidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum
Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah
sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang
menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak
menimbulkan kerancuan mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan
Pajak (SKP) yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN). Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002) memang terkesan memunculkan
dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di
Jakarta, itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(UU Nomor 14 Tahun 1970) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999 dan terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 4 Tahun 2004).
B.
Rumusan Masalah
1.
Perangkat hukum
apakah yang mengatur mengenai masalah perpajakan dan keberadaan Pengadilan
Pajak?
2.
Bagaimanakah
penegakan hukum di bidang perpajakan sebelum dan setelah adanya Pengadilan
Pajak?
3.
Seberapa efektifkah
pelaksanaan Pengadilan Pajak di Indonesia?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini diharapkan dapat
memperluas wawasan pembaca dan menjadi referensi bagi pihak yang berkepentingan
sehingga diharapkan tidak hanya mengetahui tetapi juga memahami aturan-aturan
hukum perpajakan di Indonesia, khususnya mengenai lembaga Pengadilan Pajak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan
Pengadilan Pajak di Indonesia
Lahirnya UU Nomor 14 Tahun 2002 menimbulkan
kesan adanya dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak berada di luar
kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970. Namun, hal
tersebut dapat ditepis arena UU Nomor 14 Tahun 2002 secara jelas menyatakan
bahwa Pengadilan Pajak merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di
bidang pemeriksaan dan pemutusan sengketa di bidang perpajakan. Kasus sengketa
pajak yang sampai pada tingkat kasasi menjadi kompetensi dari Ketua Muda
Mahkamah Agung Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 14
Tahun 2002 yang menyatakan bahwa, “Dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan
Pajak yang berkedudukan di ibukota Negara,” maka Pengadilan Pajak hanya ada di
ibukota Jakarta. Sama halnyadengan Tax Court di Amerika Serikat, yang
hanya berkedudukan di Washington D.C. sebagai ibukota negara tersebut. Hal ini
berlaku pula di lembaga peradilan pajak di negara-negara lainnya. Oleh karena
karakteristiknya yang unik, maka sifat Pengadilan Pajak adalah tidak harus in
persona (para pihak harus dihadirkan). Dalam Pengadilan Pajak yang diperiksa
hanyalah dokumen, yaitu berupa laporan keuangan, rekening bank, data transaksi,
mengenai omzet, dan sebagainya. Kedudukan Pengadilan Pajak yang hanya
bertempat di Jakarta tidak menjadi penghalang bagi para wajib pajak dan fiskus
yang berdomisili di luar Jakarta dan luar Pulau Jawa untuk dapat menyelesaikan
sengketa pajak masing-masing. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 4 (1) UU
Nomor 14 Tahun 2002 yang berbunyi, “Sidang Pengadilan Pajak dilakukan di tempat
kedudukannya dan apabila perlu dapat dilakukan di tempat lain.”
Sementara tempat sidang yang dimaksud dalam
pasal tersebut ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Pajak. Dengan demikian, sebagai
contoh, bagi wajib pajak dan fiskus yang bersengketa di Makassar, Majelis
Sidang Pengadilan Pajak dapat bersidang di kota tersebut. Pelaksanaan
Pengadilan Pajak belum sepenuhnya berjalan lancar. Pada September 2004, seorang
pengusaha mengajukan permohonan uji materiil atau judicial review atas UU Nomor
14 Tahun 2002 kepada Mahkamah Konstitusi. Pemohon merasa dirugikan oleh
beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut dan beberapa
pasal ia anggap bertentangan dengan UUD 1945. Namun demikian, Mahkamah
Konstitusi tetap memutuskan bahwa UU Nomor 14 Tahun 2002 tidak bertentangan
dengan UUD 1945 baik secara materiil maupun formil pembentukannya, sehingga
undang-undang ini tetap berkuatan hukum mengikat. Putusan tentang ditolaknya
permohonan uji materiil atas undang-undang tersebut disertai rekomendasi yang
tertuang dalam dissenting opinion (pendapat berbeda) dari tiga orang
hakim konstitusi yang menyatakan bahwa UU Nomor 14 Tahun 2002 bertentangan
dengan UUD 1945.
Demikianlah fakta-fakta yang terjadi
seputar pelaksanaan Pengadilan Pajak di Indonesia dengan UU Nomor 14 Nomor 2002
sebagai dasar dan landasannya. Segala yang positif diharapkan dapat bertahan
demi kemajuan dunia perpajakan tanah air. Sedangkan kekurangan-kekurangan yang
masih ada diharapkan dapat terkoreksi seiring dengan sedang dibahasnya
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan yang baru oleh lembaga legislatif.
B.
Dasar-Dasar
Hukum Perpajakan
Pajak merupakan sarana reformasi negara
dalam meningkatkan kemandirian keuangan negara, meningkatkan tingkat keadilan,
serta progresivitas dari pungutan pajak itu sendiri. Pemungutan pajak beserta
perangkat hukum untuk mengatur tata caranya merupakan amanat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Secara singkat dan
tegas, pernyataan tentang pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal
23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang.”
Dahulu, sebelum amandemen atas UUD 1945
dilakukan, aturan tentang pajak dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (2) yang
menyatakan, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.”
Dengan demikian, dibandingkan dengan UUD 1945 terdahulu, redaksi kalimat
konstitusi pasca-amandemen menunjukkan ketegasannya dalam mengatur hal
perpajakan.
Peraturan perundang-undangan mengenai
pajak yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun
1983) yang telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan(UU Nomor 9 Tahun 1994). Karena merupakan saat
dibentuknya sebuah aturan pajak nasional yang baru, maka tahun 1983 disebut
sebagai tahun reformasi pajak.
Sebelum dibentuk dan diberlakukannya UU
Nomor 6 Tahun 1983, dunia perpajakan di negara ini mengenal asas-asas
pemungutan pajak yang disebut “Tri Dharma Perpajakan”. Ketiga asas tersebut
adalah sebagai berikut.
1.
Bahwa
pemungutan pajak harus adil dan merata yang meliputi subyek maupun obyek perpajakan.
2.
Harus ada
kepastian hukum mengenai pemungutan pajak, Dengan kepastian hukum yaitu bahwa
sebelum pemungutan pajak dilakukan harus ada undang-undang terlebih dahulu.
3.
Ketepatan waktu
pemungutan pajak, Membayar dan menagih harus tepat pada waktunya, aritinya pada
saat orang memiliki uang (asas conveniency dan efisiensi).
Selanjutnya, sejak UU Nomor 6 Tahun 1983
berlaku sebagai undang-undang pajak nasional, asas-asas perpajakan yang
melandasi ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Kesederhanaan
(simplification of law)
Bahwa undang-undang tentang perpajakan agar
disusun sesederhana mungkin sehingga mudah dimengerti isi maupun susunan
kata-katanya.
2.
Kegotong-royongan
nasional
Bahwa warga masyarakat harus berperan aktif
dalam pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kewarganegaraan.
3.
Pelimpahan
kepercayaan sepenuhnya kewajiban perpajakan kepada wajib pajak sendiri
Maksud pemberian kepercayaan diharapkan agar
warga sadar akan kewajiban kenegaraan karena negara sudah memberikan
kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar pajaknya sendiri.
Kepercayaan yang diberikan kepada masyarakat disebut self assessment.
4.
Adanya kesamaan
hak dan kewajiban antara wajib pajak dan fiskus.
5.
Kepastian dan
jaminan hokum
Bahwa dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus
dihormati adanya asas-asas kebenaran dan asas praduga tak bersalah. Artinya,
wajib pajak belum dinyatakan bersalah apabila belum ada bukti-bukti nyata.
C.
Sengketa Pajak
dan Penyelesaiannya
Adanya kewajiban bagi masyarakat untuk
membayar pajak terkadang tidak berbanding lurus dengan tingkat kesadaran wajib
pajak dalam mematuhi ketentuan tersebut. Keterbatasan pemerintah melalui aparat
penagih pajaknya juga mengakibatkan munculnya masalah persengketaan di bidang
perpajakan. Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh
pemerintah yang berkuasa dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada
masa Pemerintahan Hindia Belanda, di negara ini telah ada badan penyelesaian
sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor 707)
dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding Administrasi
Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927,
Staatsblad 1927Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van
het Beroep in Belastingzaken). Selanjutnya, lembaga tersebut oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1959 diubah menjadi Majelis Pertimbangan Pajak yang tugasnya
memberi keputusan atas surat pemeriksaan banding tentang pajak-pajak negara dan
pajak-pajak daerah.
Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1983, MPP
diberlakukan sebagai badan peradilan pajak yang sah dan tidak bertentangan
dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 14 Tahun 1970.
UU Nomor 6 Tahun 1983 mengatur hal ini dalam Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi
sebagai berikut, “Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada
badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan
oleh Direktorat Jenderal Pajak.”
Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan
bahwa, “Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang
putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.”
Seiring berkembangnya aturan mengenai pajak
dan semakin meningkatnya potensi sengketa pajak, MPP dianggap sudah tidak
memadai dalam melakukan penyelesaian sengketa pajak. Oleh sebab itu, pemerintah
merasa perlu membentuk lembaga peradilan di bidang perpajakan yang lebih
komprehensif dan dibentuk melalui undang-undang. Tujuannya adalah menjamin hak
dan kewajiban pembayar pajak sesuai dengan undang-undang bidang perpajakan
serta memberikan putusan hukum atas sengketa pajak. Putusan lembaga peradilan
pajak dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan undang-undang perpajakan
sehingga ketentuan-ketentuan di dalamnya dapat memberikan kepastian hukum dan
keadilan bagi semua pihak.
Maka, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1997 dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang arah dan
tujuan pembentukannya adalah sebagai berikut :
1.
BPSP bertugas
memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa :
a)
Banding
terhadap pelaksanaan keputusan pejabat yang berwenang
b)
Gugatan
terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan di bidang
penagihan.
2.
Putusan BPSP
bersifat final dan mempunyai kekuasaan eksekutorial dan berkedudukan hukum yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3.
Pengajuan
banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi pembayar pajak
dan putusannya tidak dapat digugat keperadilan umum atau Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN).
Dalam undang-undang tersebut juga ditentukan
bahwa untuk mendapatkan keadilan pengenaan pajak, wajib pajak dapat menempuh
jalur-jalur sebagai berikut :
1.
Jalur keberatan
pajak dan banding ke BPSP.
2.
Jalur melalui
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
3.
Jalur melalui
peradilan umum.
Ditentukan pula keberadaan BPSP sebagai badan
peradilan pajak hanya untuk menyelesaikan sengketa administratif, yaitu dari segi
perhitungan dan akuntansi, bukan mengenai pidana pajak.
Walaupun tidak bertentangan dengan UU Nomor
14 Tahun 1970, BPSP pada kenyataannya belum merupakan badan peradilan yang
berpuncak di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengadilan pajak
yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia
sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian
sengketa pajak.
Atas berbagai pertimbangan tersebut,
Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002). Definisi pengadilan pajak
dijelaskan dalam Pasal 2, yaitu “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang
mencari keadilan terhadap sengketa pajak.”
D.
Dasar Hukum
Pengadilan Pajak
Pengadilan Pajak dibentuk melalui UU Nomor
14 Tahun 2002. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk memutus perkara mengenai
sengketa pajak. Pasal 1 butir 5 undang-undang ini menyebutkan pengertian
sengketa pajak adalah bahwa, “Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam
bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan Pejabat yang
berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding
atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”
Pengadilan pajak merupakan pengadilan
tingkat pertama sekaligus terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak.
Kewenangan pengadilan pajak tertera dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan
Pajak. Pasal 31 menjelaskan bahwa :
1.
Pengadilan
Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak.
2.
Pengadilan
Pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan
keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3.
Pengadilan
pajak dalam hal gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan
penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Selain yang tercantum dalam Pasal 31,
Pengadilan Pajak juga mempunyai kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam
Pasal 32 yang berbunyi sebagai berikut :
1.
Selain tugas
dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pengadilan Pajak mengawasi
kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa
dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.
2.
Pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dangan Keputusan Ketua. Pengadilan
Pajak juga berwenang memanggil pihak ketiga untuk keperluan pemeriksaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) yang bunyinya bahwa, “Untuk
keperluan pemeriksaan sengketa pajak, Pengadilan Pajak dapat memanggil atau
meminta data atau keterangan yang berkaitan dengansengketa pajak dari pihak
ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Kekuasaan Pengadilan Pajak dalam memeriksa
dan memutus sengketa pajak meliputi semua jenis sengketa pajak yang dipungut
oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut
oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada bagian Penjelasan UU Nomor 14 Tahun 2002, diuraikan bahwa Pengadilan Pajak
yang diatur dalam ketentuan tersebut bersifat khusus menyangkut acara
penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan. Hal-hal yang perlu
diperhatikan berkaitan dengan kekhususan Pengadilan Pajak adalah sebagai
berikut :
1.
Sidang
peradilan pajak pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka, namun dalam hal
tertentu dam khusus guna menjaga kepentingan pemohon banding atau tergugat,
sidang dapat dinyatakan tertutup, sedangkan pembacaan Pengadilan Pajak
dilaksanakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
2.
Penyelesaian
sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga hakim khusus yang mempunyai
keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain.
3.
Sengketa yang
diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan.
4.
Putusan
Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya terutang dari Wajib Pajak, berupa
hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung memperoleh
kepastianhukum tentang besarnya pajak terutang yang dikenakan kepadanya.
Sebagai akibat jenis putusan Pengadilan Pajak, di samping jenis-jenis putusan
yang umum diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mengabulkan sebagian,
mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Dengan demikian, sebagai konsekuensi dari
kekhususan tersebut di atas, UU Nomor 14 Tahun 2002 mengatur pula hukum acara
tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan Pajak. Perihal hukum acara ini
diatur dalam Bab IV tentang Hukum Acara.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu,
hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Dasar hukum
bidang perpajakan Indonesia yang utama adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000. Sedangkan dasar hukum pembentukan dan pelaksanaan Pengadilan Pajak
adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun
2002).
2.
Sejak 1959,
pemerintah telah memiliki badan peradilan pajak, yaitu Majelis Pertimbangan
Pajak (MPP) yang selanjutnya diganti dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
(BPSP) pada 1997. Akan tetapi, lembaga-lembaga tersebut belum merupakan badan peradilan
yang berpuncak di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu badan
peradilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di
Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam
penyelesaian sengketa pajak, maka dibentuklah Pengadilan Pajak pada 2002.
3.
Pelaksanaan
Pengadilan Pajak sebagai sebuah badan peradilan sengketa pajak yang independen
belum sepenuhnya terwujud. Banyak pihak berpendapat, dasar hukum yang menjadi
landasan Pengadilan Pajak belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, dalam hal
ini para wajib pajak. Selain itu, beberapa pasal juga dikhawatirkan belum
sesuai dengan amanat UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Brotodihardjo Santoso,
2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT. Refika Aditama
Ilyas B. Wirawan, dkk,
2007, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat.
Yudhanti,
Ristina. 2010. Hukum Pajak. Semarang: Fakultas
Hukum Universitas Negeri Semarang.
Moh.Zain
dan Kustandi Arinti, 1990, Pembaharuan perpajakan nasional, citra Aditya Bakti.
Bandung.
Santoso Broto Diharjo, 1991, Pengantar Ilmu
Hukum Pajak, Edisi Revisi, Erosco. Bandung.
0 komentar:
Post a Comment