Contoh "Makalah Hukum Agraria" tentang "Penyelesaian Sengketa Tanah"
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni PTI Al-Hilal Sigli tahun 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT,
shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan
agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke
alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum Agraria
pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan
ini penulis mengangkat judul “Penyelesaian
Sengketa Tanah”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan
saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
FITRIANI
\
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................. ii
BAB I :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C. Tujuan
penulisan........................................................................................... 1
BAB II :
PEMBAHASAN
A. Pengertian sengketa tanah.............................................................................. 2
B.
Cara penyelesaian
sengketa tanah.................................................................. 2
C.
Kekuatan pembuktian dalam penyelesaian sengketa tanah............................ 5
D. Hal-hal yang
menyebabkan terjadinya sengketa tanah................................... 6
BAB III :
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 9
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tanah
merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta
melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu
berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia
baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pun pada
saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya Begitu
pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha
memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan
suatu sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa tersebut timbul akibat
adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan
wanprestasi.
Terkait
dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat sedikitnya terdapat 2.810
kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa tanah yang berjumlah 2.810
kasus itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala besar. Yang bersekala
kecil, jumlahnya lebih besar lagi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Menjelaskan
pengertian sengketa tanah
2.
Menjelaskan
cara penyelesaian sengketa tanah
3.
Menjelaskan
kekuatan pembuktian dalam penyelesaian sengketa tanah
4.
Menjelaskan
hal-hal yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan saya dalam menyusun makalah ini adalah disamping memenuhi tugas dalam
perkuliahan juga agar saya mampu memahami tentang sengketa tanah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Sengketa Tanah
Akhir-akhir ini
kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa.
Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat
bervariasi yang antara lain :
1.
Harga tanah
yang meningkat dengan cepat.
2.
Kondisi
masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
3.
Iklim
keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada
hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of
interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh
konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum;
badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal
tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap
kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi /
penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah),
Menurut
Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai
sengketa hak atas tanah, yaitu :NTimbulnya sengketa hukum yang bermula dari
pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan
tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun
kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi
sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
B.
Penyelesaian
Sengketa Tanah
Cara
penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu
: Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari
masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap
suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan
oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta
keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang
tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat
penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta
dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi
terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat /
Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan
Nasional.
Kasus
pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
1.
mengenai
masalah status tanah,
2.
masalah
kepemilikan,
3.
masalah
bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah
menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang
berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data
terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut
atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan
Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan
Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana
kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian
kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur,
kewenangan dan penerapan hukumnya.
Agar
kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang
tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang
perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan
apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan
pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran
Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal
Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
Dengan
dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta
perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau
pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari
Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat
hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara
di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah),
harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang
baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play),
asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan
pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap
kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan
penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka
sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini
seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam
menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati
pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian
secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti
tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat
dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila
perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna.
Pembatalan
keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan
Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya.
Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
1.
Undang-Undang
No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2.
Peraturan
Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3.
Keputusan
Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
4.
Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam
praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya
dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala
Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
C.
Kekuatan
Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Pembuktian,
menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan membuktikan adalah
Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan
dalam suatu persengketaan.
Kekuatan
Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama akta
otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
1.
Kekuatan
pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan
apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2.
Kekuatan
pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa
yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
3.
Kekuatan
mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal
tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi
dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Oleh
karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik mempunyai
kekuatan pembuktian keluar.
SERTIFIKAT
Sertifikat
adalah buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu
bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.
Kekuatan
Pembuktian Sertifikat, terdiri dari :
1.
Sistem Positif
Menurut
sistem positif ini, suatu sertifikat tanah yang diberikan itu adalah berlaku
sebagai tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu – satunya
tanda bukti hak atas tanah.
2.
Sistem Negatif
Menurut
sistem negatif ini adalah bahwa segala apa yang tercantum didalam sertifikat
tanah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya
(tidak benar) dimuka sidang pengadilan.
D.
Hal – Hal yang
Menyebabkan Terjadinya Sengketa Tanah
Menurut Kepala
BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa
tanah:
1.
Persoalan
administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada tanah
yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2.
Distribusi
kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi
kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah
menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam
hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban
paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan
ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan
tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh
para pemodal dengan harga murah.
3.
Legalitas
kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat),
tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure),
boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para
pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah,
tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang
menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini,
padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan
solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya
konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Akhir-akhir
ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di
media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan
tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :
1.
Harga tanah
yang meningkat dengan cepat.
2.
Kondisi
masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya.
3.
Iklim
keterbukaan yang digariskan pemerintah
Cara
penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu
: Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari
masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap
suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan
oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta
keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang
tanah tersebut
Menurut Kepala
BPN Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa
tanah:
1.
Persoalan
administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas
2.
Distribusi
kepemilikan tanah yang tidak merata.
3.
Legalitas
kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat),
tanpa memperhatikan produktivitas tanah.
DAFTAR PUSTAKA
John Gilissen , Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah
Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2005
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filasafat Hukum : Mazhab
dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis
dan & Problema Keadilan (susunan II), Raja Grafindo Persada, Jakarta
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid
1, 1999
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Prenada
Media, Jakarta, Edisi Pertama Cet. Ke-2 2005.
0 komentar:
Post a Comment