Makalah ini di susun oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Fiqh Muamalah pada Program Studi Ekonomi Syari’ah STAI AL-AZIZYIAH SAMALANGA dengan ini penulis mengangkat judul “MUAMALAH”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan penulisan................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Muamalah........................................................................ 2
B. Hadits yang berhubungan dengan muamalah.................................... 2
C. Hadits yang berhubungan dengan etos kerja..................................... 4
D. Hadits yang berhubungan dengan jual beli........................................ 5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................ 10
B. Kritik dan saran................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Manusia adalah pemimpin di muka bumi. potensi yang ada di muka bumi merupakan fasilitas untuk kesejahteraan manusia dan permasalahan yang timbul di muka bumi merupakan tanggung jawab manusia untuk menyelesaikannya.allah memberikan nikmat-nya Skepada manusia tidak berujud sesuatu yang tinggal menggunakan, tetapi memberikan sarana, jalan, akal dan contoh untuk mengolah potensi dan sarana yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya manusia tentunya berbenturan dengan kepentingan-kepentingan manusia lain yang bias menimbulkan permasalahan,bagaimana supaya bisa membaca peluang yang ada, bagaimanabisa mengatasi benturan yang mungkin timbul, bagaimana agar bias merencanakan sesuatu di masa depan, hal ini membutuhkan pendidikan yang bisa menjawab dan memberikan arah yang tepat,islam merupakan agama yang memberikan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan orang banyak yang meliputi bidang ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan.
B. Rumusan masalah
1. Islam mengatur etos kerja yang benar dan terwujudnya kemaslahatan umat
2. Islam mengatur perekonomian sebagaimana yang dimaksudkan syarak
3. Islam mengatur perdagangan yang dianjurkan oleh syarak dan yang dilarangnya.
C. Tujuan
Makalah ini disusun untuk memberikan gambaran singkat tentang islam sebagai agama yang memberikan rambu-rambu dan arah kepada umat manusia dalam menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapi di mukabumi ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mu’amalah
Kata “muamalah” dalam etimologi bahasa Arab diambil dari kata (العمل) yang merupakan kata umum untuk semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. Kata “muamalah” dengan wazan(مُفَاعَلَة) dari kata (عامل) yang bermakna bergaul (التَّعَامُل).
Adapun dalam terminologi ahli fikih dan ulama syariat, kata “muamalah” digunakan untuk sesuatu diluar ibadah, sehingga “muamalah” membahas hak-hak makhluk dan“ibadah” membahas hak-hak Allah. Namun, mereka berselisih pendapat dalam apa saja yang masuk dalam kategori muamalah tersebut dalam dua pendapat:
a. Muamalah adalah pertukaran harta dan yang berhubungan dengannya, seperti al-bai’ (jual-beli), as-salam, al-ijaarah (sewa-menyewa), syarikat (perkongsian), ar-rahn (gadai), al-kafaalah, al-wakalah (perwakilan), dan sejenisnya. Inilah Mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah.
b. Muamalah mencakup semua hal yang berhubungan dengan maslahat manusia dengan selainnya, seperti perpindahan hak pemilikan dengan pembayaran atau tidak (gratis) dan dengan transaksi pembebasan budak, kemanfaatan, dan hubungan pasutri. Dengan demikian, muamalah mencakup fikih pernikahan, peradilan, amanah, dan warisan. Inilah mazhab al-Hanafiyah dan pendapat asy-Syathibi dari mazhab al-Malikiyah.Oleh karena itu sebagian Fuqaha (ahli fikih) membagi fikih menjadi empat kategori:
· Fikih Ibadah
· Fikih Muamalah
· Fikih Munakahat (nikah)
· Hukum-hukum kriminal(jinayat) dan peradilan.
Dari semua penjelasan diatas tujuannya agar kita dapat memahami tema yang akan menjadi pokok pada penulisan makalah ini, yaitu tentang hadits yang berkaitan baik secara ekplisit maupun implisit amar ma’ruf nahi munkar dan etos kerja dalam islam.
B. Hadits –hadits yang berhubungan dengan Muamalah
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ [رواه مسلم]
Terjemahannya : Dari Abu Sa’id Al-Khudri R.A berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda’’Siapa, yang melihat kemunkaran, maka rubahlah dengan tangannya, apabila tidak mampu,maka robahlah dengan lisannya, apabila tidak mampu (juga) maka (tolaklah) dengan hati dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (HR.Muslim No.49)
Dalam riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun)”
Pelajaran yang terdapat dalam hadits :
1. Menentang pelaku kebatilan dan menolak kemunkaran adalah kewajiban yang dituntut dalam ajaran Islam atas setiap muslim sesuai kemampuan dan kekuatannya.
2. Ridha terhadap kemaksiatan termasuk diantara dosa-dosa besar.
3. Sabar menanggung kesulitan dan amar ma’ruf nahi munkar.
4. Amal merupakan buah dari iman, maka menyingkirkan kemunkaran juga merupakan buahnya keimanan.
5. Mengingkari dengan hati diwajibkan kepada setiap muslim, sedangkan pengingkaran dengan tangan dan lisan berdasarkan kemampuannya.
Berikut adalah pendapat ( fiqh-hadits) para ulama’ dari hadits diatas :
Hadits ini adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari’at), karena amalan-amalan syari’at terbagi dua:
ma’ruf(kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.”
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Bagaimana beramar ma’ruf dan nahi mungkar?”Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan,” saya bertanya lagi:“Bagaimana dengan tangan?” Beliau menjawab, “Memisahkan di antara mereka,” dan saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.
Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata.” (Lihat, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/185) Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.
Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
C. Hadits Yang Berkaitan Tentang Etos Kerja ( kesinergisan)
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ تعالى عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِى بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ، فَوَجَدَ بِئْرًا، فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ، ثُمَّ خَرَجَ، فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ، يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِى كَانَ بَلَغَ بِى!، فَنَزَلَ الْبِئْر، َفَمَلأ خُفَّهُ، ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ، ثُمَّ رقَى فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ،قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنَّ لَنَا فِى الْبَهَائِمِ أَجْرًا؟ قَالَ: نَعَمْ، فِى كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
Terjemahannya: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata: bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: Dahulu ada seorang pemuda yang sedang dalam perjalanan ditimpa kehausan yang sangat, kemudian ia mendapati sebuah sumur maka turunlah ia kedalamnya dan minum. Kemudian ia keluar dari sumur tersebut, dan didapatinya ada seekor anjing yang sedang menjilat-jilat tanah dikarenakan kehausan. Berkata pemuda itu: “sungguh anjing ini mengalami kehausan sebagaimana yang telah aku alami!”, maka turunlah ia kembali ke dalam sumur dan memenuhi sepatu khufnya dengan air, dan digigitnya* sepatu itu kemudian ia naik kembali dan meminumkan air itu ke anjing tadi. Maka Allah Ta’ala bersyukur kepada pemuda itu dan mengampuni dosa-dosanya. Mereka (yakni para shahabat) berkata: “Ya Rasulullah, apakah dalam muamalah dengan hewan tunggangan ada pahalanya?”, Rasulullah bersabda: “benar, muamalah dengan setiap yang bernyawa ada pahalanya”. (HR. Muttafaq ‘Alaih)
*) digigitnya= yakni dipegang dengan giginya, karena tangannya dipakai memanjat sumur.
Faidah-faidah yang bisa diambil dari hadits di atas adalah:
Bolehnya membawakan khabar-khabar dan kisah-kisah dalam rangka mengambil pelajaran.
1. Perkataan pemuda itu: !لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِى كَانَ بَلَغَ بِى, menunjukkan bahwa mengingat-ingat kenikmatan, khususnya jika kita melihat ada orang lain yang terhalang dari nikmat tersebut, akan membantu kita untuk mensyukuri nikmat tersebut. Dan termasuk salah satu cara untuk mensyukuri nikmat tersebut adalah dengan melakukan kebaikan.
2. Dan perkataan: ثُمَّ رقَى فَسَقَى الْكَلْبَ َفَمَلأ خُفَّهُ، ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ, menunjukkan upaya dalam menyempurnakan amalan baik semampunya.
3. Bahwa bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat-nikmat-Nya bisa dilakukan dengan amalan (yakni amalan-amalan yang bisa mendatangkan ketha’atan) ataupun dengan ucapan (yakni tahmid, dan dzikr-dzikr lainnya).
4. Dan perkataan: فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ, menunjukkan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memiliki sifat syukur, dan bagian dari asma-Nya yaitu Asy-Syakuur. Dan juga ini menunjukkan besarnya kasih sayang dan luasnya ampunan Allah Ta’ala.
5. Bahwasanya jika hewan saja memiliki hak seperti ini, apalagi dengan manusia?
6. Tidak bolehnya meremehkan perbuatan baik walaupun sedikit.Dan perkataan: قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنَّ لَنَا فِى الْبَهَائِمِ أَجْرًا؟, menunjukkan semangatnya para shahabat RA untuk mengetahui setiap jalan-jalan yang akan mengantarkan kepada terhasilkannya pahala dari Allah Ta’ala.
7. Dan perkataan: فِى كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ, menunjukkan banyaknya pintu-pintu kebaikan.
8. Bantahan atas orang-orang dari lembaga-lembaga penyayang hewan yang beranggapan bahwa islam telah menyiksa/menelantarkan hewan. Padahal sungguh agama islam telah memerintahkan untuk menunaikan haq-haq, termasuk terhadap hewan sekalipun. Dan bahkan secara global, islam telah menjadikan haq-haq yang khusus bagi hewan. Diantaranya islam menjadikan penyiksaan terhadap hewan sebagai salah satu sebab masuknya manusia ke dalam neraka, sebagaimana menjadikan perbuatan baik kepada hewan sebagai salah satu sebab masuknya manusia ke dalam surga.
D. Hadits-hadits yang berhubungan dengan jual beli
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah SAW bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa” (HR. Muslim no. 1584).
Dalam hadits di atas, kita bisa memahami dua hal:
1. Jika barang sejenis ditukar, semisal emas dengan emas atau gandum dengan gandum, maka ada dua syarat yang mesti dipenuhi yaitu: tunai dan semisal dalam takaran atau timbangan.
2. Jika barang masih satu ‘illah atau satu kelompok ditukar, maka satu syarat yang harus dipenuhi yaitu: tunai, walau dalam takaran atau timbangan salah satunya berlebih.
Apakah barang ribawi hanya terbatas pada enam komoditi di atas? Para ulama mengqiyaskannya dengan barang lain yang semisal. Namun mereka berselisih mengenai ‘illah atau sebab mengapa barang tersebut digolongkan sebagai barang ribawi.
Menurut ulama Hanafiyah dan Hambali, ‘illahnya pada emas dan perak karena keduanya adalah barang yang ditimbang, sedangkan empat komoditi lainnya adalah barang yang ditakar.
Menurut ulama Malikiyah, ‘illahnya pada emas dan perak karena keduanya sebagai alat tukar secara umum atau sebagai barang berharga untuk alat tukar, dan sebab ini hanya berlaku pada emas dan perak. Sedangkan untuk empat komoditi lainnya karena sebagai makanan pokok yang dapat disimpan.
Menurut ulama Syafi’iyah, ‘illah pada empat komoditi yaitu karena mereka sebagai makanan. Ini qoul jadid (perkataan terbaru ketika di Mesir) dari Imam Syafi’i. Sedangkan menurut qoul qodiim (perkataan yang lama ketika di Baghdad) dari Imam Syafi’i, beliau berpendapat bahwa keempat komoditi tersebut memiliki ‘illah yaitu sebagai makanan yang dapat ditakar atau ditimbang. Ulama Syafi’iyah lebih menguatkan qoul jadid dari Imam Syafi’i. Sedangkan untuk emas dan perak karena keduanya sebagai alat tukar atau sebagai barang berharga untuk alat tukar.
Macam-macam Riba
1. Riba Fadhli (الربواالفضل )
Yaitu tukar-menukar suatu barang yang sama jenisnya tapi tidak sama ukurannya/takarannya. Contoh: Seseorang menukarkan seekor kambing dengan kambing lain yang lebih besar, kelebihannya disebut riba fadhli.
2. Riba Qardhi (الربواالقرضى )
Yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan. Contoh: Pinjam uang Rp. 10.000,- waktu mengembalikan minta tambahan menjadi RP. 12.000,- Maka yang Rp. 2000,- termasuk riba qordhi.
3. Riba Yad ( الربوااليد)
Yaitu berpisah dari tempat aqad jual-beli sebelum serah terima.
Contoh: Seseorang membeli barang, setelah dibayar si penjual langsung pergi padahal barang belum diketahui jumlah dan ukurannya.
4. Riba Nasiah (الربواالنسئة)
Yaitu tukar menukar suatu barang, yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual.
Contoh : Beli radio Rp. 50.000,- (jika kontan)
Menjadi Rp. 60.000,- (jika hutang)
(yang Rp. 10.000,- termasuk riba nasi’ah)
Jual Beli yang Mengandung Riba
1. Jual beli ‘inah
Ada beberapa definisi mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan oleh para ulama. Definisi yang paling masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai kepada seorang pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga lebih murah. Tujuan dari transaksi ini adalah untuk mengakal-akali supaya mendapat keuntungan dalam transaksi utang piutang.
Semisal, pemilik tanah ingin dipinjami uang oleh si miskin. Karena saat itu ia belum punya uang tunai, si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saya jual tanah ini kepadamu secara kredit sebesar 200 juta dengan pelunasan sampai dua tahun ke depan”. Sebulan setelah itu, si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saat ini saya membeli tanah itu lagi dengan harga 170 juta secara tunai.”
Mengenai hukum jual beli ‘inah, para fuqoha berbeda pendapat dikarenakan penggambaran jual beli tersebut yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan –sebagaimana dinukil dari Imam Asy Syafi’i rahimahullah-, beliau membolehkannya karena beliau hanya melihat dari akad secara lahiriyah, sehingga menganggap sudah terpenuhinya rukun dan tidak memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang tepat, jual beli ‘inah dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan. Di antara alasannya:
Pertama: Untuk menutup rapat jalan menuju transaksi riba. Jika jual beli ini dibolehkan, sama saja membolehkan kita menukarkan uang 200 juta dengan 170 juta namun yang salah satunya tertunda. Ini sama saja riba.
Kedua: Larangan jual beli ‘inah disebutkan dalam hadits,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian berjual beli dengan cara 'inah, mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian” (HR. Abu Daud no. 3462. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9: 242).
2. Jual beli kredit lewat pihak ketiga (leasing)
Jual beli secara kredit asalnya boleh selama tidak melakukan hal yang terlarang. Namun perlu diperhatikan bahwa kebolehan jual beli kredit harus melihat beberapa kriteria. Jika tidak diperhatikan, seseorang bisa terjatuh dalam jurang riba.
Kriteria pertama, barang yang dikreditkan sudah menjadi milik penjual (bank). Kita contohkan kredit mobil. Dalam kondisi semacam ini, si pembeli boleh membeli mobil tadi secara kredit dengan harga yang sudah ditentukan tanpa adanya denda jika mengalami keterlambatan. Antara pembeli dan penjual bersepakat kapan melakukan pembayaran, apakah setiap bulan atau semacam itu. Dalam hal ini ada angsuran di muka dan sisanya dibayarkan di belakang.
Kriteria kedua, barang tersebut bukan menjadi milik si penjual (bank), namun menjadi milik pihak ketiga. Si pembeli meminta bank untuk membelikan barang tersebut. Lalu si pembeli melakukan kesepakatan dengan pihak bank bahwa ia akan membeli barang tersebut dari bank. Namun dengan syarat, kepemilikan barang sudah berada pada bank, bukan lagi pada pihak ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan lainnya adalah bank, bukan lagi pihak ketiga. Pada saat ini, si pembeli boleh melakukan membeli barang tersebut dari bank dengan kesepakatan harga. Namun sekali lagi, jual beli bentuk ini harus memenuhi dua syarat: (1) harganya jelas di antara kedua pihak, walau ada tambahan dari harga beli bank dari pihak ketiga, (2) tidak ada denda jika ada keterlambatan angsuran
3. Jual beli utang dengan utang
Bentuknya adalah seseorang membeli sesuatu pada yang lain dengan tempo, namun barang tersebut belum diserahkan. Ketika jatuh tempo, barang yang dipesan pun belum jadi. Ketika itu si pembeli berkata, “Jualkan barang tersebut padaku hingga waktu tertentu dan aku akan memberikan tambahan”. Jual beli pun terjadi, namun belum ada taqobudh (serah terima barang). Bentuk jual beli adalah menjual sesuatu yang belum ada dengan sesuatu yang belum ada. Dan di sana ada riba karena adanya tambahan.
Dari Ibnu ‘Umar RA ia berkata:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli utang dengan utang” (HR. AD Daruquthni 3: 71, 72. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if sebagaimana dalam Dho’iful Jaami’ 6061).
Namun makna hadits ini benar dan disepakati oleh para ulama, yaitu terlarang jual beli utang dengan utang.Karena sebab inilah dalam jual beli salam (uang dahulu, barang belakangan), berlaku aturan uang secara utuh diserahkan di muka, tidak boleh ada yang tertunda.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Orang mukmin yang kuat dalam beriman, badan dan kekayaan lebih di cintai oleh Allah karena dengan demikian Ia lebih banyak memamfaatkan waktunya untuk beraktifitas yang member mamfaat kepada orang lain. Berandai-andai tidak di benarkan karena bisa mendahului kehendak Allah dan ini sangat sama dengan perbuatan setan yang selalu melakukan pengandaian dan sangat tidak bersyukur dengan apa yang telah di karuniai oleh Allah.
B. Kritik dan Saran
Demikian makalah ini saya selesaikan sebagai salah satu tugas perkuliahan pada semester tiga ini. Namun saya sebagai penyusun, menyadari terdapat kekurangan maupun kekhilafan atau kesalahan, baik dalam penyelesaian maupun pemaparan dari makalah saya ini.
Dari itu, saya sangat mengharap dari para pembaca atau pendengar sekalian, baik teman-teman maupun Bapak Dosen sebagai pembimbing dalam mata kuliah ini, untuk turut serta dalam memberikan kritik yang membangun dan saran yang baik tentunya agar kedepannya nanti saya akan dan bisa menjadi lebih maju dan baik dari sebelumnya. Amin…ya rabbal ‘alamin !
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nawawi, Daqiqi al-Ied, al-Sa’di , al-Utsaimin, al-Durrah al-Salafiyah Syarah al- Arba’in al- Nawawi, Cairo: Markaz Fajar
Aqil Munawwar, Said Al-Qur`an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002
Ahmad Ash Showy (et.al) Mukjizat Al-Qur`an dan As-Sunnah tentang IPTEK, GP Jakarta cet. Ke IV 1999
Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, Lahore, The Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, 1950, hlm. 721.
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2006, hlm. 290
0 komentar:
Post a Comment