Makalah ini di susun oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Study Hukum Islam pada Program Studi Ekonomi Syari’ah STAI AL-AZIZYIAH SAMALANGA dengan ini penulis mengangkat judul “Kajian Mengenai Lafazh Amar”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan penulisan 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian amar 2
B. Bentuk-bentuk amar 2
C. Hukum-hukum yang mungkin ditunjukkan oleh amar 5
D. Kaidah-kaidah yang mungkin ditunjukan oleh amar 6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syari’at yang datang kepada kita dasarnya ialah Al-Qur’an. Kemudian Qur’an itu di jelaskan oleh Nabi Muhammad SAW baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatanya. Sahabat-sahabat Nabi dan para tabi’in sempurna pengetahuanya tentang bahasa Qur’an, bahasa Arab, dan mengetahui pula sebab-sebab turunya, rahasia-rahasia syri’at dan tujuannya.
Pengetahuan ini di sebabkan karena pergaulan mereka dengan Nabi s.a.w di samping kecerdasan
mereka sendiri. Karena itu, merka tidak memerlukan peraturan-peraturan dalam mengambil hukum (istmbat), sebagaimana mereka tidak membutuhkan qaidah-qaidah untuk mengetahui bahasa mereka sendiri (Bahasa Arab).
Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash Al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Diantara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan Ilmu Ushul Fiqh yang didalamnya terdapat kaidah-kaidah (ushuliyah) yaitu tentang ‘Am, Khas, Amar, Nahi dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam makalah ini pembahasan yang akan kita pelajari adalah yang berkaitan dengan Amar saja.
B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan tentang pengrtian amar
2. Menjelaskan tentang bentuk-bentuk amar
3. Menjelaskan hukum-hukum yang mungkin ditunjukkan oleh amar
4. Menjelaskan kaidah-kaidah yang mungkin ditunjukan oleh amar
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Amar
Amar berasal dari bahasa Arab yaitu أمر yang bermakna perintah, sedangkan amar menurut istilah yaitu seperti dikemukakan oleh mayoritas ulama ushul fiqh adalah
اللفظ الدال على طلب الفعل على جهة الإستعلاء
Artinya: suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.
B. Bentuk-bentuk Amar
Perintah untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Beik dalam bukunya Tarikh al-tasyri’, disampaikan dalam berbagai gaya atau redaksi antara lain:
1. Perintah tegas dengan menggunakan kata amara ( أمر ) dan yang seakar dengannya. Misalnya dalam ayat:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(QS. An-nahlu/16: 90)
2. Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba (كتب ). Misalnya, dalam surat al-baqarah ayat 178:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.
3. Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariah), namun yang dimaksud adalah perintah. Misalnya ayat 228 surat al-baqarah:
Artinya: wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
4. Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung. Misalnya, ayat 238 surat al-baqarah:
Artinya: Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.
5. Perintah dengan menggunakan kata kerja mudhari’ (المضارع فعل / kata kerja untuk sekarang dan yang akan datang) yang disertai oleh lam amar (huruf yang berarti perintah). Misalnya, ayat 29 surat al-Hajj:
Artinya: Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).
6. Perintah denga menggunakan kata faradha ( فرض / mewajibkan). Misalnya ayat 50 dalam surat al-Ahzab:
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu.
7. Perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu adalah baik. Misalnya ayat 220 dalam surat al-baqarah:
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang Mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
8. Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banya atas pelakunya. Misalnya ayat 245 dalam surat al-Baqarah:
Artinya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
C. Hukum-hukum yang Mungkin Ditunjukkan oleh Bentuk Amar
a. Menunjukkan hukum wajib seperti perintah untuk shalat
b. Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan, seperti ayat 51 dalam surat al-mukminun:
Artinya: Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
c. Sebagai anjuran, seperti dalam ayat 282 surat al-baqarah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya
d. Untuk melemahkan, misalnya ayat 23 surat al-baqarah:
Artinya: Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.
D. Kaidah-kaidah yang Berhubungan dengan Amar
Kaidah pertama “" الأصل فى الأمر للوجوب meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut. Kesimpulan ini, disamping didasarkan atas kesepakatan ahli bahasa, juga atas ayat 62 surat annur yang mengancam akan menyiksa orang-orang yang menyalahi perintah Allah. Adanya ancaman siksaan itu menunjukkan bahwa suatu perintah wajib dilaksanakan.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah ayat 77 surat annisa:
Artinya: …..Dan dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat…
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan shalat lima waktu dan menunaikan zakat. Contoh perintah yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain wajib, ayat 283 dalam surat al-baqarah:
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Perintah untuk menyerahkan barang jaminan utang dalam ayat tersebut oleh mayoritas ulama fikih dipahami sebagai anjuran, karena bagian berikutnya dari ayat tersebut menjelaskan: “akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanh-amanahnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah…”.
Kaidah kedua “ دلالة الأمر على التكرار أو الواحدة “ adalah suatu perintah haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja, menurut jumhur ulama ushul fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulangkali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu. Karena suatu perintah ahnya menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan yang diperintahkan itu dan hal itu sudah bisa tercapai meskipun hanya dilakukan satu kali. Contohnya ayat 196 dalam surat al-baqarah:
Artinya: …..Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah…..
Perintah melakukan haji dalam ayat tersebut sudah terpenuhi denga melakukan satu kali haji selama hidup. Adanya kemestian pengulangan, bukan ditunjukan oleh perintah itu sendiri tetapi oleh dalil lain. Misalnya ayat 78 surat al-isra:
Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).
Ayat tersebut berbicara tentang shalat zuhur yang wajib dilakukan berulang kali, karena dikaitkan kepada peristiwa yang terjadi berulang kali, yaitu setiap tergelincir matahari. Menurut sebagian ulama ushul fiqh, seperti Abu Ishaq al-syirazi, ahli ushul fiqh dari kalangan syafi’iyah seperti dinukil Muhammad Adib Shalih, suatu perintah pada dasarnya menunjukkan berulang kali dilakukan sepanjang hidup, kecuali ada dalil yang menunjukkan cukup dilakukan sekali saja.
Kaidah ketiga “ دلالة الأمر على الفور أو التراخى “ adalah suatu perintah harus dilakukan sesegera mungkin atau bisa ditunda-tunda. Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu, karena yang dimaksud oleh suatu perintah hanyalah terwujudnya perbuatan yang diperintahkan. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama ushul fiqh. Menurut pendapat ini, adanya ajaran agar suatu kebaikan segera dilakukan, bukan ditarik dari perintah itu sendiri, tetapi dari dalil lain, misalnya secara umum terkandung dalam ayat 148 surat al-baqarah:
Artinya: ….Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan….
Menurut sebagian ulama, antara lain Abu Hasan al-Karkhi, seperti dinukil Muhamad adib Shalih, bahwa suatu perintah mwnunjukkan hukum wajib segera dilakukan. Menurut pendapat ini, barang siapa yang tidak segera melakukan suatu perintah di awal waktunya, maka ia berdosa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Amar berasal dari bahasa Arab yaitu أمر yang bermakna perintah, sedangkan amar menurut istilah suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.
Adapun bentuk-bentuk amar adalah sebagai berikut:
1. Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (أمر ) dan yang seakar dengannya.
2. Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba (كتب ).
3. Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariah), namun yang dimaksud adalah perintah.
4. Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung.
5. Perintah dengan menggunakan kata kerja mudhari’
6. Perintah denga menggunakan kata faradha
7. Perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu adalah baik.
8. Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banya atas pelakunya.
Ada beberapa kaidah yang berkaitan dengan amar, yaitu:
a. الأصل فى الأمر للوجوب
b. دلالة الأمر على التكرار أو الواحدة
c. دلالة الأمر على الفور أو التراخى
DAFTAR PUSTAKA
Effendi Satria, ushul fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2009, Cet. III.
Jumantoro tutok, kamus ilmu ushul fikih, Jakarta: Amzah, 2009, Cet. II.
0 komentar:
Post a Comment