Makalah ini di susun oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli (Aceh) tahun 2015
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul "RAHN ( GADAI )" tepat pada waktunya. Dan tidak lupa pula kita sanjung pujikan kepada Nabi Besar Muhamad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita ke alam yang terang benderang ini.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Terima kasih yang sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Makalah ini. Wassalam.
Sigli, 23 Oktober 2014
Pemakalah
KELOMPOK 7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan penulisan 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian gadai dan hukum gadai 2
B. Syarat dan rukun gadai 3
C. Pemanfaatan barang gadai 5
D. Resiko kerusakan marhun 6
E. Jenis-jenis rahan 6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 9
DAFTAR PUSTAKA 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
Selain daripada itu, keinginan manusia untuk memnuhi kebutuhannya, cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala, misalnya saja kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu, dalam islam diberlakukan syari’at gadai. Adapun pengertian, hukum, dan syaratnya, serta bagaimana penggunaannya akan dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan masalah
1. Menjelaskan pengertian gadai dan hukum gadai
2. Menjelaskan syarat dan rukun gadai
3. Menjelaskan pemanfaatan barang gadai
4. Menjelaskan resiko kerusakan marhun
5. Menjelaskan jenis-jenis rahan
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah agar kami khususnya dan semua mahasiswa/I mampu memahami tentang masalah rahn.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian gadai dan hukum gadai
1. Pengertian gadai
Gadai (al rahn) secara bahasa dapat diartikan sebagai (al stubut,al habs) yaitu penetapan dan penahanan.
Secara istilah dapat diartikan menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’sebagai jaminan atas adanya 2 kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.
Gadai adalah perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
Sehingga dapat disimpulkan gadai adalah menjadikan suatu benda itu berharga sebagai jaminan sebagai tanggungan utang berdasarkan perjanjian (akad) antara orang yang memiliki hutang dengan pihak yang memberi hutang.
Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahn) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang di berikan murtaqin kepada rahn adalah utang, bukan penukar atas barang yang digadaikannya.
Rahn juga termasuk juga akad yang ainiyah yaitu dikatakan sempurna sesuadah menyerahkan benda yang dijadikan akad, sperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan qirad. Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al qabdu)
2. Hukum gadai
Perjanjian gadai dibenarkan oleh islam, berdasarkan:
a. Ulama fiqih mengemukakan bahwa akad rahn dibolehkan dalam islam berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW dalam Al-Quran Al-Kariem disebutkan:
Artinya: jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh penggadai). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah tuhannya.
b. Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah, dari Anas r.a, yang artinya:”Rosulullah merungguhkan baju besi kepada seorang yahudi di madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang yahudi”.
c. Ijma ulama atas hukum mubah(boleh) dalam perjanjian gadai
Hal ini menjadikan adanya khilafah pada beberapa ulama, diantaranya madzhab Dhahiri, Mujahid, Al Dhahak, hanya memperbolehkan gadai pada saat berpergian saja, berujuk pada surat Al Baqoroh ayat 283.
Sedangkan jumhur ulama memperbolehkan dalam bepergian atau dimana saja berdasar hadits nabi yang melakukan transaksi gadai di Madinah.
Sehingga dapat disimpulkan perjanjian gadai diperbolehkan di dalam islam berdasarkan Al qur’an surat Al Baqoroh ayat 283, hadits nabi Muhammad saw, dan ijma ulama.
B. Syarat dan Rukun Gadai
Syarat syarat gadai adalah sebagai berikut:
1. Sehat fikirannya
2. Dewasa, baligh
3. Barang yang digadaikan telah ada di waktu gadai
4. Barang gadai bisa diserahkan/dipegang oleh penggadai.
Adapun rukun gadai adalah :
1. Orang yang menggadai/orang yang menyerahkan barang jaminan(rahin)
2. Orang yang menerima barang gadai (murtahin)
3. Barang yang dijadikan jaminan(borg/marhun).
4. Akad(ijab dan qobul)
5. Adanya hutang yang dimiliki oleh penggadai.
Sedangkan ulama mazhaf hanafi berpendapat lain bahwa rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan meyerahkan barang sebagai anggunan oleh pemilik barang) dan kabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang anggunan tersebut). Disamping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatya akad rahn ini, maka di perlukan al-qabd (penguasaan barang) oleh kridor. Adapaun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan, dan utang, menurut ulama mashaf hanafi termaksuk syarat-syarat rahn bukan rukunnya.
Syarat-syarat rahn. Ulama fiqhi mengemukakan syarat-syarat rahn itu sendiri adalah sebagai berikut :
1. Syrat yang terkait dengan orang yang berakat adalah cakap bertindak hokum. Kecakapan bertindak hokum, menurut jumhur ulama, adalah orang yang telah balig dan berakal. Namun menurut ulama Mazhaf hanafi, kedua belah pihak yang berakat tidak disayaratkan balig melainkan cukup berakal saja. Oleh sebab itu, menurut mereka anak kecil yang mumayis boleh melakukan akad rahn, dengan syarat akad rahn yang dialakukan anak kecil yang sudah mumayis ini mendapat persetujuan wilayah.
2. Syarat sigah ( lafal). Ulama mazhab hanafi mengatakan dalam akad rahn tidak boleh di kaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, karena akad rahn sama dengan akad jual beli. Apa bila akad tersebut dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang.
3. Syarat al-marhunbih (utang) adalah :
a. merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada kreditor
b. hutang itu bisa dilunasi dengan agunan
c. utang itu jelas dan tertentu
4. syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan menurut ahli fiqhi :
a. Agunan itu bisa dijual dan nilainya seimbang dengan utang
b. Agunan itu bernilai harta dan bisa dimanfaatkan
c. Agunan itu jelas dan tertentu
d. Agunan itu milik sahdebitor
e. Agunan itu tidak terkait dengan dengan hak orang lain
f. Ugunan itu harta yang utuh tidak bertebaran dalam beberapa tempat
g. Agunan itu bisa diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
Disamping syarat-syarat diatas ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa rahn itu dianggap sempurna apabila barang yang di rahn-kan itu secara hokum sudah ditangan kriditor dan uang yang dibutuhkan telah diterima debitor. Apabila jaminan itu berupa benda tidak bergerak maka tidak harus benda itu yang diberikan tetapi cukup sertipikat yang diberikan.
Syarat-syarat kesempurnaan rahn oleh ulama disebut sebagai al-qabd al-marhun (barang jaminan dikuasai oleh debitor. Syarat ini menjadi penting karena Allah SWT dalam surah al-bakharah (2) ayat 283 menyatakan : ‘ fa-rihan maqbudah’ ( barang jaminan itu dipegang oleh kreditor, maka akad rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak.
Dapat disimpulkan bahwa syarat barang gadai adalah sehat fikirannya, baligh, dewasa, adanya barang gadai, dan barang gadai tersebut bisa diserahkan/dipegang murtahin. Rukun dari gadai adalah adanya rahin, murtahin, borg, akad dan hutang yang dimiliki.
C. Pemanfaatan Barang Gadai
Dalam pemanfaatan barang gadai, terdapat perbedaan pendapat dalam kalangan ulama’, diantaranya:
1. Jumhur Fuqoha’berpendapat bahwa murtahin tidak diperbolehkan memakai barang gadai dikarenakan hal itu sama saja dengan hutang yang mengambil kemanfaatan, sehingga bila dimanfaatkan maka termasuk riba. Berdasar hadits nabi yang artinya: “setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba”(HR. Harits Bin Abi Usamah)
2. Menurut Ulama Hanafi, boleh mempergunakan barang gadai oleh murtahin atas ijin rahin, dan itu bukan merupakan riba, karena kemanfaatannya diperoleh berdasarkan izin dari rahin.
3. Menurut Mahmud Shaltut, menyetujui pendapat dari Imam Hanafi dengan catatan: ijin pemilik itu bukan hanya sekedar formalitas saja, melainkan benar benar tulus ikhlas dari hati saling pengertian dan saling tolong menolong.
4. Menurut Imam Ahmad, Ishak, Al Laits Dan Al Hasan, jika barang gadaian berupa barang gadaian yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka murtahin dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Sesuai dengan hadits nabi yang artinya:”binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan dagi orang yang memegang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”(HR. Bukhari)
D. Resiko Kerusakan Marhun (barang gadai)
1. Menurut Ulama Hanafiyah, murtahin yang memegang marhun menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia siakan maupun dengan sendirinya.
2. Menurut Ulama Syafi’iyah, murtahin menanggung resiko kehilangan, attau kerusakan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia siakan murtahin
Jadi dapat disimpulkan, dalam pemanfaatan barang gadai terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama yaitu diantara jumhur Fuqoha’, Ulama’ Hanafiyah, Mahmud Syaltut Dan Imam Ahmad,Ibnu Ishak, Al Laits, dan Ala Hasan, yaitu antara memperbolehkan pemanfaatan barang gadai dengan seizin orang yang menggadaikan dan tidak memperbolehkannya dikarenakan hal itu termasuk riba dalam hutang.
E. Jenis-Jenis Rahn
Rahn yang diatur menurut Prinsip Syariah, dibedakan atas 2 macam, yaitu:
1. Rahn ‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily)
Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai. Maksudnya bagaimana ya? Jadi begini: Tenriagi memiliki hutang kepada Elda sebesar Rp. 10jt. Sebagai jaminan atas pelunasan hutang tersebut, Tenriagi menyerahkan BPKB Mobilnya kepada Elda secara Rahn ‘Iqar. Walaupun surat-surat kepemilikan atas Mobil tersebut diserahkan kepada Elda, namun mobil tersebut tetap berada di tangan Tenriagi dan dipergunakan olehnya untuk keperluannya sehari-hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas mobil di maksud.
Konsep ini dalam hukum positif lebih mirip kepada konsep Pemberian Jaminan Secara Fidusia atau penyerahan hak milik secara kepercayaan atas suatu benda. Dalam konsep Fidusia tersebut, dimana yang diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda tersebut, sedangkan fisiknya masih tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan masih dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.
2. Rahn Hiyazi
Bentuk Rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep Gadai baik dalam hukum adat maupun dalam hukum positif. Jadi berbeda dengan Rahn ‘Iqar yang hanya menyerahkan hak kepemilikan atas barang, maka pada Rahn Hiyazi tersebut, barangnya pun dikuasai oleh Kreditur.
Jika dilihat dalam contoh pada point 1 di atas, jika akad yang digunakan adalah Rahn Hiyazi, maka Mobil milik Tenriagi tersebut diserahkan kepada Elda sebagai jaminan pelunasan hutangnya. Dalam hal hutang Tenriagi kepada Elda sudah lunas, maka Tenriagi bisa mengambil kembali mobil tersebut.
Sebagaimana halnya dengan gadai berdasarkan hukum positif, barang yang digadaikan bisa berbagai macam jenisnya, baik bergerak maupun tidak bergerak.
Dalam hal yang digadaikan berupa benda yang dapat diambil manfaatnya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat tersebut dengan menanggung biaya perawatan dan pemeliharaannya.
Dalam praktik, yang biasanya diserahkan secara Rahn adalah benda-benda bergerak, khususnya emas dan kendaraan bermotor. Rahn dalam Bank syariah juga biasanya diberikan sebagai jaminan atas Qardh atau pembiayaan yang diberikan oleh Bank Syariah kepada Nasabah. Rahn juga dapat diperuntukkan bagi pembiayaan yang bersifat konsumtif seperti pembayaran uang sekolah, modal usaha dalam jangka pendek, untuk biaya pulang kampung pada waktu lebaran dan lain sebagainya. Jangka waktu yang pendek (biasanya 2 bulan) dan dapat diperpanjang atas permintaan nasabah.
Sebagai contoh : Putri sudah merencanakan untuk memasukkan anaknya ke Universitas yang bermutu pada tahun ajaran baru ini. Namun demikian, ternyata anaknya hanya bisa diterima melalui jalur khusus. Uang pangkal untuk masuk ke jurusan favorit anaknya adalah sebesar Rp. 30 juta, sedangkan Putri hanya memiliki uang tunai sebesar Rp. 20 juta. Untuk mengatasi masalah tersebut, Putri mencari alternative dengan cara menggadaikan perhiasan emasnya ke Bank Syariah terdekat. Emasnya sebesar 50gram dan untuk itu, Putri berhak untuk mendapatkan pembiayaan sebesar Rp. 15juta. Karena Putri merasa hanya membutuhkan uang sebesar Rp. 10juta, maka Putri juga bisa hanya mengambil dana tunai sebesar Rp. 10 juta saja.
Oleh Bank Syariah, dibuatkan Akad Qardh untuk memberikan uang tunai kepada Putri, dan selanjutnya dibuatkan akad Rahn untuk menjamin pembayaran kembali dana yang dierima oleh Putri. Sebagai uang sewa tempat untuk menyimpan emas tersebut pada tempat penitipan di Bank sekaligus biaya asuransi kehilangan emas dimaksud, Bank berhak untuk meminta Ujrah (uang jasa), yang besarnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan Bank. Misalnya Rp. 3.500,– per hari. Dengan demikian, jika Putri baru bisa mengembalikan uang tunai yang diterimanya pada hari ke 30 (1 bulan), maka uang sewa sekaligus asuransi yang harus dibayar oleh Putri adalah sebesar:
Rp. 3.500,– X 30 hari = Rp. 105.000,–
Jadi, pada saat pengembalian dana yang diterima olehnya, Niken harus membayar uang sebesar:
Rp. 10 jt + Rp. 105.000,– = Rp. 10.105.000,–
Bagaimana kalau ternyata dalam waktu 2 bulan Putri belum bisa mengembalikan dana tersebut? Jika demikian, maka Putri dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu gadai tersebut kepada Bank yang berkenaan. Perpanjangan tersebut dapat dilakukan secara lisan, dengan mengajukan pemberitahuan kepada Bank tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika baru 1 minggu Putri sudah bisa mengembalikan dana yang diterimanya, maka Putri tinggal menghubungi Bank dimaksud, dan membayar biaya sewa tempat sekaligus asuransi tersebut selama 1 minggu saja. Jadi, prinsip pokok dari Rahn adalah:
1. Kepemilikan atas barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai
2. Kepemilikan baru beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian dana yang diterima oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan berdasarkan kuasa yang sebelumnya pernah diberikan oleh pemilik barang.
3. Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, kecuali atas seijin dari pemilik barang. Dalam hal demikian, maka penerima gadai berkewajiban menanggung biaya penitipan/penyimpanan dan biaya pemeliharaan atas barang yang digadaikan tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gadai adalah menjadikah suatu benda itu berharga sebagai jaminan sebagai tanggungan utang berdasarkan perjanjian (akad) antara orang yang memiliki hutang dengan pihak yang memberi hutang.
Dapat disimpulkan bawa syarat barang gadai adalah sehat fikirannya, baligh, dewasa, adanya barang gadai, dan barang gadai tersebut bisa diserahkan/dipegang murtahin. Rukun dari gadai adalah adanya rahin, murtahin, borg, akad dan hutang yang dimiliki.
Dalam pemanfaatan barang gadai terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama yaitu diantara jumhur Fuqoha’, Ulama’ Hanafiyah, Mahmud Syaltut dan Imam Ahmad,Ibnu Ishak, Al Laits, dan Al Hasan, yaitu antara memperbolehkan pemanfaatan barang gadai dengan seizin orang yang menggadaikan dan tidak memperbolehkannya dikarenakan hal itu termasuk riba dalam hutang.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. 2007. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV penerbit diponegoro
H. Suhendi, Hendi. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta. PT. Grafindo Persada
Drs. H. Zuhdi, Masyfuk. 1997. Masail Fiqhiyyah. Jakarta. CV. Hajimasagung
A. Zainuddin S. Ag, Jamhuri, M.Ag. 1998. Al Islam 2, Muamalah Dan Akhlak. Bandung. Cv. Pustaka Setia
H. Anwar Moh. 1998. Fiqh Islam. Bandung. Pt. Al Maarif Offset
0 komentar:
Post a Comment