Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli tahun 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur
penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan
kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun
langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau
telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah FIQH
JINAYAH pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI
dengan ini penulis mengangkat judul “UNSUR-UNSUR
TINDAK PIDANA ISLAM”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun
isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan
saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
KELOMPOK 8
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.................................................................................
1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian unsur-unsur tindak pidana Islam ................................... 2
B.
Pengklasifikasian unsur-unsur tindak pidana Islam ........................ 4
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan......................................................................................
11
DAFTAR
PUSTAKA...........................................................................................
12
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum
pidana Islam mengatur segala permasalahan kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang, karena sudah pasti perbuatan atau kejahatan tersebut melanggar
syari’at yang ada. Seseorang yang melakukan kejahatan akan menerima akibatnya
seperti dikenakan salah satu jenis jarimah. Dalam hukum pidana Islam,
ketentuan-ketentuan tentang jarimah telah diatur sedemikian rupa. Jadi, apabila
seseorang berani melakukan sebuah kejahatan, maka dia juga telah siap menerima
jarimah sesuai kejahatan yang dia lakukan.
Umat
Islam, perlu mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam tindak pidana, agar
sikap yang dipilihnya adalah sikap yang bijak. Karena hal ini menyangkut pula
syari’at, dimana Al-Qur’an dan As-Sunnah selamanya akan dipegang teguh. Oleh
sebab itu, dalam makalah ini penulis mengangkat tema yang didasarkan pada
pentingnya wawasan umat akan unsur-unsur dalam tindak pidana Islam, sehingga
penulis akan memaparkan masalah tersebut dalam makalah dengan judul
“Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam.”
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian unsur-unsur tindak pidana Islam ?
2.
Bagaimana
klasifikasi unsur-unsur tindak pidana Islam ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam
Untuk
menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam,
diperlukan unsur normatif dan moral sebagai berikut:[1]
1.
Secara
yuridis normatif disuatu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan
larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman. Aspek lainnya
secara yuridis normatif mempunyai unsur materiil, yaitu sikap yang dapat
dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh
Allah SWT.
2.
Unsur
moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata
mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan.
Suatu
perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-unsurnya telah
terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Unsur umum
berlaku untuk semua jarimah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-masing
jarimah dan berbeda antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain.[2]
Abdul
Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum untuk jarimah itu ada tiga
macam:
1.
Unsur
formal, yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya
dengan hukuman.
2.
Unsur
material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa
perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).
3.
Unsur
moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang mukallaf yakni orang yang dapat dimintai
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.[3]
Sebagai contoh, suatu perbuatan baru
dianggap sebagai pencurian dan pelakunya dapat dikenakan hukuman apabila
memenuhi unsure-unsur sebagai berikut :
1.
Ada
nash (ketentuan) yang melarangnya dan mengancamnya dengan hukuman. Ketentuan
tentang hukuman pencurian ini tercantum dalam Surah Al-Maidah (38) yang
berbunyi :
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym ÇÌÑÈ
Artinya : “Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
2.
Perbuatan
tersebut benar-benar telah dilakukan, walaupun baru percobaan saja. Misalnya
sudah mulai membongkar pintu rumah korban, meskipun belum mengambil
barang-barang yang ada di dalamnya.
3.
Orang
yang melakukannya adalah orang yang cakap (mukallaf) yaitu baligh dan berakal.
Dengan demikian apabila orang yang melakukannya gila atau masih di bawah umur
maka ia tidak dikenakan hukuman, karena ia orang yang tidak bisa dibebani
pertanggungjawaban pidana.
B.
Pengklasifikasian Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam
1.
Unsur
Formal Jarimah
Suatu
perbuatan baru dianggap sebagai jarimah (tindak pidana) apabila sebelumnya
sudah ada nash (ketentuan) yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya
dengan hukuman. Unsur ini disebut unsur formal jarimah. Dalam membicarakan
unsur formal ini, terdapat lima masalah pokok sebagai berikut :
a.
Asas
legalitas dalam hukum pidana Islam
Salah
satu kaidah yang penting dalam syariat Islam adalah : “Sebelum
ada nash (ketentuan), tidak ada hukuman bagi perbuatan orang-orang yang berakal
sehat.”[4]
Kaidah
di atas juga identik dengan kaidah lain yang berbunyi : “Pada dasarnya semua
perkara dibolehkan, sehingga ada dalil yang menunjukan keharamannya.”[5]
Kesimpulan
dari kaidah tersebut adalah sebagai berikut : “Suatu perbuatan atau sikap
tidak berbuat tidak boleh dianggap sebagai jarimah, kecuali karena adanya nash (ketentuan)
yang jelas yang melarang perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila
tidak ada nash yang demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman
atas pelakunya.”[6]
Asas
legalitas yang terkenal di dalam hukum positif telah ada sejak Islam diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat-ayat yang menggambarkan adanya asas legalitas
diantaranya adalah Surah Al-Isra ayat 15 dan Al-Qashash ayat 59. Dengan
demikian maka syariat Islam telah mengenal lebih dahulu asas ini.
b.
Sumber-sumber
aturan-aturan pidana Islam
Jumhur
ulama telah sepakat bahwa sumber hukum Islam pada umumnya ada empat, yaitu
Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Untuk hukum pidana Islam formil, atau
hukum acara pidana semua sumber hukum tersebut bisa terpakai. Akan tetapi, penggunaan
qiyas dalam jarimah tertentu masih diperdebatkan oleh para fuqaha.
c.
Masa
berlakunya aturan-aturan pidana Islam
Menurut
hukum pidana Islam ketentuan tentang masa berlakunya peraturan pidana ini, pada
prinsipnya sama dengan hukum positif. Seperti halnya dalam hukum positif,
peraturan pidana dalam hukum Islam berlaku sejak ditetapkannya dan tidak
berlaku terhadap peristiwa yang terjadi sebelum peraturan itu dikeluarkan.
Dengan demikian peraturan pidana dalam hukum pidana Islam juga tidak berlaku
surut.[7]
Hal ini juga dijelaskan oleh Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 22-23, Al-Maidah ayat
38.
d.
Lingkungan
berlakunya aturan-aturan pidana Islam
Dalam
hubungan dengan lingkungan berlakunya peraturan pidana Islam, secara teoritis
para fuqaha membagi dunia ini kepada dua bagian, yaitu Negeri Islam dan Negeri
Bukan Islam. Termasuk kelompok negeri Islam adalah negeri-negeri dimana hukum
Islam tampak di dalamnya, karena penguasanya adalah penguasa Islam. Juga
termasuk dalam kelompok ini, negeri dimana penduduknya yang beragama Islam
dapat menjalankan hukum-hukum Islam. Termasuk dalam kelompok negeri bukan Islam
adalah negeri-negeri yang tidak dikuasai oleh kaum muslimin atau negeri dimana
hokum Islam tidak dijalankan walaupun di sana terdapat umat Islam.
e.
Asas
pelaku atau terhadap siapa berlakunya aturan-aturan pidana Islam
Hukum
pidana syariat Islam khususnya dalam pelaksanaannya tidak membeda-bedakan
tingkatan manusia. Sejak pertama kali diturunkan syariat Islam memandang bahwa
semua orang di depan hukum itu sama tingkatannya. Tidak ada perbedaan antara
orang kaya dan miskin, dan sebagainya. Dalam Islam perbedaan tingkatan itu
hanya satu, yaitu yang paling takwa. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surah
Al-Hujurat : 13
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& …….4 ÇÊÌÈ
Artinya : “Wahai sekalian manusia,
kami ciptakan engkau dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan engkau
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu
adalah yang paling takwa.”
2.
Unsur
Materiil Jarimah
Unsur
materiil adalah perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada individu
atau masyarakat. Misalnya dalan jarimah zina unsur materiilnya adalah perbuatan
yang merusak keturunan, jarimah qadzaf unsut materiilnya adalah perkataan yang
berisi tuduhan zina, sedangkan jarimah pembunuhan unsur materiilnya adalah
perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Dengan kata lain
pengertian unsur materiil dari suatu jarimah adalah sebagaimana yang
dikemukakan Muhammad Abu Zahrah : “Melakukan perbuatan atau perkataan yang
dilarang dan telah ditetapkan hukumannya yang dilaksanakan oleh pengadilan.”
a.
Percobaan
melakukan jarimah
Dalam
pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Mesir, dijelaskan tentang pengertian
percobaan sebagai berikut : “Percobaan adalah mulai melaksanakan suatu
perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah), tetapi perbuatan
tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut
pautnya dengan kehendak pelaku.”[8]
Untuk
mengetahui sampai dimana suatu perbuatan percobaan dapat dihukum maka terdapat
tiga fase pelaksanaan jarimah, yaitu fase pemikiran dan perencanaan, fase
persiapan, dan fase pelaksanaan.
Pada
fase pemikiran dan perencanaan, memikirkan dan merencanakan suatu jarimah tidak
dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut ketentuan yang
berlaku dalam syariat Islam, seseorang tidak dapat dituntut atau dipersalahkan
karena lintasan hatinya atau niat yang terkandung di dalam hatinya. Hal ini
didasarkan kepada hadis Nabi SAW : Abu
Hurairah ra. Berkata : Nabi SAW telah bersabda : “Sesungguhnya Allah mengampuni
umatku karena aku atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belum
dikerjakan atau diucapkan.”[9]
Fase
persiapan juga tidak dianggap sebagai maksiat yang dapat dihukum, kecuali
apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat. Akan tetapi
mazhab Hambali dan Maliki, perbuatan persiapan dipandang sebagai perantara
kepada perbuatan yang haram dan hukumnya adalah haram. Sehingga dengan demikian
pelakunya dikenakan hukuman.
Fase
pelaksanaan, pada fase inilah perbuatan pelaku dapat dianggap sebagai jarimah.
Untuk dikenakan hukuman maka dalam hal ini cukup apabila perbuatan itu sudah
dianggap sebagai perbuatan maksiat.
b.
Turut
serta melakukan jarimah
Turut
serta melakukan jarimah itu ada dua macam yaitu turut serta secara langsung dan
secara tidak langsung. Turut serta secara langsung terjadi apabila orang yang
melakukan jarimah dengan nyata lebih dari satu orang. Turut berbuat tidak
langsung adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk
melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh (menghasut) orang lain
atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut disertai dengan kesengajaan.
c.
Unsur
Pertanggungjawaban (Moral) Jarimah
1)
Pertanggungjawaban
pidana
Pengertian
pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan seseorang
dengan akibat perbuatan atau adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan
sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya
itu.[10]
Orang
yang harus bertanggung jawab atas suatu kejahatan adalah orang yang melakukan
kejahatan itu sendiri, bukan orang lain. Faktor yang menyebabkan adanya
pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan
yang dilarang oleh syara’ atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan oleh
syara’.
2)
Hapusnya
pertanggungjawaban pidana
Pertanggungjawaban
pidana dapat dihapus karena hal-hal yang bertalian dengan perbuatan atau karena
bertalian dengan keadaan pelaku. Sebab-sebab dibolehkannya perbuatan yang
dilarang disebut asbab al-ibahah. Sedangkan sebab-sebab yang berkaitan dengan
keadaan pelaku disebut asbab raf’i al-uqubah atau sebab hapusnya hukuman.
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa sebab dibolehkannya perbuatan
yang dilarang itu ada enam macam, yaitu pembelaan yang sah, pendidikan dan
pengajaran, pengobatan, permainan olahraga, hapusnya jaminan keselamatan,
menggunakan wewenang dan melaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib.
Sedangkan sebab-sebab hapusnya hukuman itu ada empat macam, yaitu paksaan,
mabuk, gila, dan di bawah umur.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Unsur-unsur
umum untuk jarimah itu ada tiga macam :
1.
Unsur
formal, yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya
dengan hukuman.
2.
Unsur
material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa
perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).
3.
Unsur
moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang mukallaf yakni orang yang dapat dimintai
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya
Klasifikasi unsur-unsur jarimah :
1.
Unsur
formal jarimah, meliputi asas legalitas, sumber-sumber aturan pidana Islam,
masa berlaku, lingkungan berlaku, serta terhadap siapa aturan itu berlaku.
2.
Unsur
materiil jarimah, meliputi percobaan dan turut serta melakukan tindak pidana
Islam.
3.
Unsur
moral (pertanggungjawaban) jarimah, meliputi pertanggungjawaban pidana dan
hapusnya pertanggung jawaban pidana.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana
Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
As-Sayuthi, Jalaluddin, Al Asybah
wa An Nazhair fi Al Furu’, Dar Al Fikr, t.t.
Audah, Abdul Qadir, At Tasyri’
Al-Jinay Al-Islamiy, Beirut : Dar Al-Kitab, t.t.
Hanafi, A., Asas-Asas Hukum
Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1967.
‘Imarah, Musthafa Muhammad
Jawahir Al Bukhari, Kairo : Maktabah At Tujariyah Al Kubra, 1356 H.
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar
dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta : Sinar Grafika, 2006.
Zahrah, Muhammad Abu, Al Jarimah
wa Al Uqubah fi Al Fiqh Al Islamy, Kairo : Maktabah Al Angelo Al Mishriyah,
t.t.
[2]
Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2006), hlm.27-28.
[8] Muhammad Abu
Zahrah, Al Jarimah wa Al Uqubah fi Al Fiqh Al Islamy, (Kairo : Maktabah
Al Angelo Al Mishriyah, t.t.), hlm.374.
[9]
Musthafa
Muhammad ‘Imarah, Jawahir Al Bukhari, (Kairo : Maktabah At Tujariyah Al
Kubra, 1356 H), hlm.271.
0 komentar:
Post a Comment