Disusun oleh Muazzin, S.H.I
Alumni PTI Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur
penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan
kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun
langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau
telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Fiqh
Jinayah pada Program Studi “Hukum Ekonomi Syari’ah” Mu’amalah PTI AL-HILAL
SIGLI dengan ini penulis mengangkat judul “Pertanggungjawaban Pidana”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun
isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan
saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
KELOMPOK 6
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang...................................................................................
1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan penulisan................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian pertanggungjawaban........................................................
2
B.
Hapusnya
pertanggungjawaban pidana.............................................
4
C.
System
pertanggungjawaban pidana dalam hokum positif............... 8
D.
Pertanggung
jawaban pidana dalam hokum islam............................. 11
E.
Pembatalan
hukuman......................................................................... 11
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................ 12
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................
13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sistem
pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang
menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas
fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai pasangan asas
legalitas. Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat
absolut. Oleh karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk
menerapkan asas strict liability, vicarious liability,
erfolgshaftung, kesesatan atau error, rechterlijk
pardon, culpa in causa dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan
dengan masalah subjek tindak pidana. Dilihat dari sudut perbandingan KUHP
Negara lain, asas kesalahan atau asas culpabilitas pada umumnya diakui sebagai
prinsip umum. Perumusan asas ini biasanya terlihat dalam perumusan
mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang berhubungan dengan masalah
kesengajaan dan kealpaan.
Dalam
pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak
pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu
pidana. Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana
sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan
perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada
asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “ tidak dipidana jika tidak
ada kesalahan ( geen straf zonder schuld ; actus non facit reum nisi mens sir
rea ) “.
B.
Rumusan Masalah
1. Menjelaskan pengertian pertanggung jawaban pidana
2. Menjelaskan hapusnya pertanggung jawaban pidana
3. Menjelaskan system pertanggung jawaban pidana dalam hokum positif
4. Menjelaskan pertanggung jawaban dalam pidana dalam hokum islam
5. Menjelaskan pembatalan hukuman
C.
Tujuan penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah agar kami dan semua
mahasiswa mampu memahami tentang pertanggung jawaban pidana.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pertangggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam
istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal
responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud
untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung
jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.[1]
Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru
(1991/1992) dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya
celaan yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku.[2]
Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang
(pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat
untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka
harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983
mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif
ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif kepada
pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana
karena perbuatannya itu.[3]
Konsep rancangan KUHP Baru Tahun 2005/2005, di dalam
pasal 34 memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut:
Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada
pada tindak pidana dan secara subjektif seseorang yang memenuhi syarat untuk
dapat di jatuhi hukuman pidana karena perbuatannya itu.
Di dalam penjelasannya di
kemukakan: tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala
terdapat pertanggung jawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan
tindak pidana tidak dengan sendirinya harus di pidana. Untuk dapat dipidana
harus ada pertanggungjawaban pidana.
Pertanggung jawaban pidana
lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap
perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara
subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat
dikenai pidana karena perbuatannya.[4]
Dalam bahasa Belanda, istilah
pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk,
verantwoordelijk, dan toerekenbaar. Orangnya
yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah
orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa
pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee
keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi
perbuatan yang toerekeningsvatbaar.[5]
Pertanggung jawaban pidana ini tidak hanya bagi orang,
tetapi juga berlaku bagi badan hukum. Karena badan hukum ini tidak berbuat secara langsung mempertanggung jawabkan perbuatannya,
pertanggung jawaban dikenakan kepada orang yang mewakilinya.
Hukuman dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan terciptanya ketertiban dan ketentraman
masyarakat. Hukuman yang merupakan beban tanggungjawab pidana,dipikulkan kepada pembuat jarimah untuk terciptanya
tujuan tadi. Untuk
terciptanya tujuan tersebut, hukuman harus:
1. Memaksa
seseorang untuk tidak melakukan ulang
perbuatannya.
2. Menghalangi
keinginan manusia untuk melakukan hal serupa, karena bayangan yang ditimbulkan
atas hasil perbuatannya akan diterimanya sebagai sesuatu yang sangat merugikan
dirinya.
3. Sanksi yang
diterima pembuat jarimah harus pula
bersesuaian dengan hasil perbuatannya.
4. Sanksi
hendaknya merata tanpa pertimbangan yang menunjukan serajat manusia.
5. Hukuman harus diterima jarimah, tidak diberati dan
tidak memberati, selain pembuat jarimah
karena adanya pertalian geneokologis, kekeluarga.
B. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggung jawaban
pidana bisa terhapus karena adanya sebab, baik yang berkaitan dengan perbuatan
sipelaku tindak pidana maupun sebab yang berkaitan dengan pembuat delik. Adapun
terhapusnya pertanggung jawaban pidana karena perbuatan itu sendiri disebabkan
perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan menurut syarat. Selain itu,
perbuatan yang dilakukan termasuk dalam kategori mubah atau tidak dilarang
melakukannya. Selanjutnya, perbuatan-perbuatan yang termasuk ke dalam kategori
kedua, yang berhubungan dengan kondisi pelaku karena perbuatan itu sendiri
merupakan suatu perbuatan yang dilarang melakukannya, namun pelakunya tidak
dijatuhi hukuman karena keadaan yang ada didalam dirinya.[6]
Mengenai jenis yang pertama, yaitu terhapusnya hukuman Karena perbuatan itu
sendiri, diantaranya:
a. Pembelaan Yang Sah
Dalam islam pembelaan yang sah terbagi kedalam dua bagian:
·
Apa yang disebut dengan
pembelaan yang bersifat khusus dan diistilahkan dengan daf’ush sha’il atau
menolah penyerang.
·
Pembelaan yang bersifat
umum, yang dalam istilah popular disebut sebagai amar ma’ruf nahyi munkar.
Pembelaan khusus adalah
kewajiban seseorang untuk mempertahankan atau menjaga diri atau nyawa, harta
miliknya atau milik orang lain, dengan memakai tenaganya dari setiap serangan yang datang. Sumber
hukumnya QS. A-l baqarah ayat 194:
4 Ç`yJsù 3“y‰tGôã$# öNä3ø‹n=tæ (#r߉tFôã$$sù Ïmø‹n=tã È@÷VÏJÎ $tB 3“y‰tGôã$# öNä3ø‹n=tæ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# yìtB tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÒÍÈ
Artinya: “Barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah dia dengan deimbang dengan serangannya
terhadapmu. Bertaqwalah kamu, seseungguhnya Allah beserta orang-orang yang
bertakwa”. (QS. Al-Baqarah:194)
Seseorang yang melakuakan pembelaan yang sah , harus
memenuhi persyaratan, yaitu adanya upaya
tindakan melawan hukum (perbuatan sipenyerang), perlawanan si terserang
dilakukan seketika, tiada pilihan lain, dan penyerangan pun dilakukan dengan
seimbang, artinya sesuai dengan kekuatan si penyerang.
Adapun yang dimaksud dengan pembelaan umu, adalah
suatu pembelaan untuk kepentingan umum, seperti yang telah disebutkan yaitu
dengan amar ma;’ruf nahyi munkar.
Dalam Al-Quran upaya in disebut
sebagai suatu kewajiban bagi umat islam, dapat dilihat dalam surat Ali-Imran
ayat 104:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããô‰tƒ ’n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î tböqyg÷Ztƒur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217];
merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS.Ali-Imran:104)
Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan
kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita
dari pada-Nya.
Batas antara pembelaan
umum dan khusus sangatlah tipis. Sebagaimana yangtelah kita ketahui bahwa yang
namanya pembelaan khusus adalah menolak serangan yang datang dengan objek
keselamatan diri atau orang lain, harta benda ,dan kehormatan. Adapun objek pembelaan yang umum,sesuai namanya ditujukan untuk
kepentingan umum, keamanan, ketertiban, dan lain-lain.
Perbedaan lain dari
kedua istilah tersebut adalah pada pembelaan khusus, penolakan hanya terjadi
pada waktu adanya serangan terhadap dirinya atau orang lain, sedangkan
pembelaan umum, penolakan itu terjadi walaupun tidak ada serangan sebab intinya
adalah mencegah manusia berbuat suatu maksiat ataupun sesuatu yang dilarang.
b. Pengajaran
·
Pengajaran Terhadap
Istri
Sesuai dengan
kodratnya, suami diberikan kedudukan yang lebih tinggi dari pada istrinya,
yaitu sebagai pemimpin rumah tangga.
Sebagai imbalan dari kewajibannya ( suami), laki-laki mempunyai hak
untuk memberikan hukuman kepada istrinya apabila si istri tidak menaati
perintahnya.
Dalam hal pemberian hukum
itu, suami tidak boleh melakukan pemberian hukuman fisik kepada istrinya,
melainkan memberinya pengajaran untuk mencegah timbulnya kemaksiatan dimasa
yang akan datang.
Adapun usaha yang
dilakukannya adalah sesuai dengan apa yang telah digambarkan dalam surat
An-Nisa. Yaitu pertama harus dahulu diberi nasihat. Selanjutnya apabila istri
mengulangi, dilakukan tindakan “dirumahkan” ditempat tidurnya, dan bila tidak
berhasil, ia berhak memukul istrinya.
Adapun mengenai wilayah
pemukulan dan cara pemukulan, para ulama menyepakatinya, seperti halnya hukuman
jilid. Pemukulan tidak diarahkan kea rah muka (kepala) dan daerah yang
sensitive seperti farji dan dada. Dan dalam pemukulan itu harus dihindarkan
dari timbulnya noda yang sulit dihilangkan, mengeluarkan darah, mematahkan
tulang, dan sebagainya.
Namun apabila perbuatan
yang dilakukan suami tiu melampaui batas maka dia bisa dipinta pertanggung
jawabannya.
·
Pengajaran terhadap
Anak
Seperti halnya suami
pada istri, seorang ayah juga dapat melakukan tindakan hokum terhadap anaknya.
Hak yang sama juga diberikan kepada guru, pelatih, dan orang yang diberi wasiat
dan orang yang menjadi wali anak tersebut. Mereka semua diberi kewenangan untuk
memberikan pengajaran dan apabila pemukulan itu melampaui batas, maka tetap hal
itu bisa dipinta pertanggung jawabannya.
Seorang dokter
dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana akibat hasil pengobatan tersebut
apabila memenuhi syarat:
ü Dia benar-benar sebagai Dokter.
ü Pengobatan dilakukan semata-mata atas dorongan atau niat baik.
ü Tindak pengobatan yang dilakuakn sesuai aturan atau disiplin ilmu
kedokteran dan kode etiknya.
ü Disetujui si sakit atau orang yang mewakilinya.
Namun apabila dokter
tersebut menyalahi farmakologis dan etika kedokteran dalam menangani penderita
dan kemumdian terjadi sesuatu pada pasiennya, ia dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana.
d. Olahraga
Olahraga dan permainan
yang berkaitan denga pembinaan fisik lainnya sangat dianjurkan oleh islam.
Kegiatan ini sangat bermanfaat bagi
kesehatan tubuh.
Pada olahraga
kemungkinan terjadinya kecelakaan sangat besar, terutama pada cabang olahraga
yang memerlukan stamina luar biasa serta memerlukan kekuatan fisik dan adu
kekuatan. Namun kecelakan tersebut dapat dihindari jika para pemain mengikuti
aturan yangtelah disepakati. Dan kecelakaan dalan olahraga adalah suatu
kewajaran, dan hal itu tidak dikenai pertanggungjawaban pidana. Namun,
kecelakaan yang ditimbulkan akibat ke sengajaan atau kecurangan untuk
mencelakakan lawan, dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.
e. Hilangnya Jaminan Keselamatan
Hilangnya jaminan
keselamatan adalah hilangnya jaminan keselamatan jiwa dan harta sehingga
diperbolehkan mengambil tindakan terhadap jiwa, anggota badan atau harta
bendanya. Jaminan keselamatan itu sendiri sebelumnya melekat pada seseorang,
namun karena perbuatan yang dilakukannya jaminan keselamatan jiwa dan harta
hilang.
Mereka yang
dikateggorikan sebagai telah kehilangan
jaminan keselamatan jiwa atau hartanya adalah:
Kafir Harbi, mereka
yang tidak memeluk islam dan berdomisili di negeri lawan
ataupun berdomisili dinegerinya sendiri, namun tidak mempunyai perjanjian keamanan bukan musta’min.
·
Pelaku jarimah riddah
atau keluar dari islam menuju agama lain, pelakunya disebut murtad.
·
Pelaku perzinaan yang
telah atau dalam keadaan menikah atau pezina muhsan.
·
Pelaku jarimah hirabah,
pengganggu keamanan dijalan.
·
Pelaku maker, melawan
pmerintah yang sah atau disebut jarimah al-baghyu dan pelakunya disebut bughat.
·
Pelaku perbuatan
dikenai hukuman qishash.
·
Pelaku jarimah pencurian yang terkena hukuman had.
Oleh karna itu, kalau
seorang muslim membunuh orang-orang tersebut, ia tidak akan dimintai
pertanggungjawaban sebagai pelaku jarimah qiashas sebab mereka tidak mempunyai
jaminan atas jiwanya.
f.
Karena Perintah Jabatan
Yang dimaksud dengan
karena perintah jabatan adalah perbuatan yang dilakuakan merupakan bagian dari
kewajiban dalam pekerjaannya atau merupakan wewenangnya. Dan oleh karna itu
bagi mereka tidak ada pertanggungjawaban pidana.
Syariat islam telah
meletakkan beban kepada penguasa untuk melaksanakan kewajibannya demi
terciptanya ketertiban umum. Mereka yang melaksanakannya adalah petugas yang berwenang.
Melaksanakannya sesuai dengan tingkatan kewenangan yang dimilikinya. Oleh karna
itu, mereka tidak dibebani pertanggungjawaban pidana apabila melaksanakan
sesuai dengan wewenang nya. Contohnya hakim dan algojo. Adapun mengenai
terhapusnya pertanggungjawaban pidana atau terhapusnya hokum karena berkaitan
dengan kondisi pelaku terdapat dalam empat keadaan:
g. Karena paksaan
Untuk menghindari
seseorang dari pertanggung jawaban pidana yang berkaitan dengan paksaan ini,
paksaan itu haru memenuhi criteria:
ü Paksaan tersebut merupakan ancaman berat
ü Ancaman tersebut merupakan perintah yang segera atau hampir segera,
manakala orang dipaksa tidak melakukan kehendaknya, ancaman itu pasti akan
jatuh
ü Orang yang memaksa itu dipercaya dapat melaksanakan ancamannya.
ü Ancaman itu akan benar-benar terjadi manakala dia menolak. Sehingga ia
tidak dapat terhindar.
Ø karena gila
Ø karena mabuk
Ø karena belum dewasa
Ketiga hal tersebut
menghapus pertangguingjawaban pidana, seperti dalam hadist nabi: “Kalam diangkat dari
tiga kelompok, anak-anak hingga baligh, orang yang tertidur sampai bangun, dan
orang gila sampai sadar (sembuh).”
C. Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Dalam Hukum Pidana Positif
Pembicaraan
mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan
mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk
dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak pidana. Para penulis
sering menggambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana unsur “ tindak
pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi. Gambaran itu
dapat dilihat dalam bentuk skema berikut:
TINDAK
PIDANA + PERTANGGUNGJAWABAN = PIDANA
Unsur
tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral
dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana
terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh
unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana
merupakan unsur subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan
adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).[8]
a.
Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
KUHP
tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana yang
dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan
atau kealpaan. Namun sayang, kedua istilah tersebut
tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang
tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan
lebih lanjut dalam KUHP.
Dari
rumusan yang tidak jelas itu, timbul
pertanyaan, apakah pasal-pasal tersebut sengaja dibuat begitu,
dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas (strict liability)? Kalau
benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP kita juga
menganut pengecualian terhadap asas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal
pelanggaran.[9]
b.
Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP
Untuk
mengetahui kebijakan legislatif dalam
menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana
di luar KUHP, Seperti contoh dalam perundang - undangan dibawah ini :
·
UU
No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi;
·
UU
No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
·
UU
No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
·
UU
No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang
tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP dan KUHAP
yang bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan
pertanggungjawaban pidana, serta proses beracara
di pengadilan. Dari masing-masing undang- undang
tersebut dapat dianalisis kecenderungan legislatif dalam
menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana sesuai dengan
perkembangan sosial ekonomi Masyarakat yang berdampak pada
perkembangan kejahatan. Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya
pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam
hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang
justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak
dipertanggungjawabkan. Perumusan
pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal
44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat
mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana.
Perumusan
negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal
ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana.
Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang
diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana.
Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana. Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat.
Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana. Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat.
Pertanggungjawaban
pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang
dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak
pidana yang dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena
telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban
pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum
pidana untuk berekasi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu
perbuatan tertentu.[10]
Dapat
dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana
jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan
tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu tindak
pidana akan hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan
tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan mempunyai kesalahan, adalah
hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban pidana.
D.
Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Islam
Ahmad Hanafi mengemukakan
batasan atau pengertian pertanggung jawaban pidana dalam syari’at Islam ialah
pembebasan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak ada perbuatan)
yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksud-maksud
dan akibat-akibat dari perbuatannya itu.
Pertanggungjawaban
pidana tersebut ditegakkan atas tiga hal, yaitu: adanya perbuatan yang
dilarang, dikerjakan dengan kemauan sendiri, pelakunya mengetahui akibat
perbuatan tersebut.
Kalo ketiga hal diatas
ada maka terdapat pertanggungjawaban pidana, dan kalau tidak terdapat maka
tidak ada pertanggungjawaban pidana. Menurut Abdul Qader ’Oudah syari’ah menetapkan tangggung-jawab hanya kepada
orang hidup yang mempunyai kewajiban. Kematian seseorang membatalkan seluruh responsibilitas
dan akuntanbilitas. Syari’ah juga memaafkan perbuatn melanggar hukum dari
anak-anak sampai mencapai usia baligh.[11]
E. Pembatalan Hukuman
Beberapa hal yang dapat
membatalkan hukum:
a. meninggalnya sipembuat jarimah.
- Hilangnya anggota badan yang akan
dijatuhi hukuman.
- Bertobat.
- Korban dan wali/ahli waris,
memaafkannya atau ulul amri dalam kasus ta’zir yang berkaitan dengan hak
perseorangan.
- Adanya upaya damai antara pelaku denga
korban atau wali/ahli waristnya dalam kasus jarimah qishash/diyat.
- Lewatnya waktu tertentu dalam
pelaksanaan hukuman.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pertanggungjawaban pidana dalam
istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal
responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas
suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.
Pertanggung jawaban
pidana bisa terhapus karena adanya sebab, baik yang berkaitan dengan perbuatan
sipelaku tindak pidana maupun sebab yang berkaitan dengan pembuat delik. Adapun
terhapusnya pertanggung jawaban pidana karena perbuatan itu sendiri disebabkan
perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan menurut syarat.
Beberapa hal yang dapat
membatalkan hukum:
- meninggalnya sipembuat jarimah.
- Hilangnya anggota badan yang akan
dijatuhi hukuman.
- Bertobat.
- Korban dan wali/ahli waris,
memaafkannya atau ulul amri dalam kasus ta’zir yang berkaitan dengan hak
perseorangan.
- Adanya upaya damai antara pelaku denga
korban atau wali/ahli waristnya dalam kasus jarimah qishash/diyat.
- Lewatnya waktu tertentu dalam
pelaksanaan hukuman.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah Hatrik, SH. MH. Asas Pertanggungjawaban
Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996
Djoko Prakoso, SH. Pembaharuan Hukum
Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1987
Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan).
DR. Andi Hamzah, SH. Asas Asas Hukum
Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994
Drs.H. Rahmat Hakim (Hukum Pidana islam),2000.
Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta:Sinar Grafika,
1983
Dr.
Choerul Huda, SH. MH. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Jakarta:Kencana, 2006
[2] Hamzah Hatrik, SH. MH. Asas Pertanggungjawaban
Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996,
hal 11
[9] Dr. Choerul Huda, SH. MH. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan,
Jakarta:Kencana, 2006 hal. 62
[10] Dr. Choerul
Huda, SH. MH. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Jakarta:Kencana, 2006 hal. 69
0 komentar:
Post a Comment