Disusun Oleh : Muazzin, S.H.I
Mahasiswa PTI Al-Hilal Sigli
Lulusan tahun 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur
penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan
kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun
langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau
telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Fiqh
Jinayah pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI
dengan ini penulis mengangkat judul “Klasifikasi
Jarimah”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun
isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan
saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
KELOMPOK 10
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang...................................................................................
1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Tindak pidana hudud.........................................................................
2
B.
Tindak pidana qishas-diyat................................................................
4
C.
Tindak
pidana ta’zir........................................................................... 9
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................ 12
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................
13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Jarimah dan Jinayat Secara etimologi sama;
jinayat adalah semua perbuatan yang diharamkan, yang mempunyai konsekuensi
membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan/keturunan, dan harta benda;
sedangkan jarimah adalah perbuatan jelek, buruk, dosa. Keduanya sama-sama
mencakup perbuatan ataupun tidak berbuat/aktif-pasif.keduanya bermaknasama:
ditujukan bagi perbuatan yang berkonotasi negatif, salah atau dosa.
Dalam penggunaannya
berbeda; jinayat mempunyai arti lebih umum, yakni ditujukan bagi segala sesuatu
yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan manusia dan tidak ditujukan bagi
satuan perbuatan dosa tertentu. Maka pembahasan fikih yang memuat
masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang dikerjakan manusia, dan hukuman yang
diancamkan disebut fikih jinayah, bukan fikih jarimah. Sedangkan jarimah
identik dengan tindak pidana/pelanggaran/delik, sehingga kita memakai istilah
jarimah pencurian, jarimah pembunuhan, dsb.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana jarimah hudud ?
2.
Bagaimana Jarimah ta’zir ?
3.
Bagaimana jarimah Qishas ?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah agar kami mahasiswa/I
mampu memahami tentang klasifikasi tindak pidana (jarimah)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tindak Pidana Hudud
Hudud adalah
bentuk jama’ dari kata hadd yang berarti mencegah. Disebut hudud karena
hukuman itu dapat mencegah terjadinya perbuatan yang mengakibatkan jatuhnya
hukuman.
Adapun
menurut syara’, hudud adalah hukuman
yang terukur atas berbagai perbuatan tertentu, atau hukuman yang telah
dipastikan bentuk dan ukurannya dalam syariat, baik hukuman itu karena
melanggar hak Allah maupun merugikan hak manusia.
Hudud dibagi
menjadi enam, yaitu:
1.
Zina dan liwâth (homoseksual dan
lesbian);
Hadd zina ada dua
macam, hukuman cambuk disertai pengasingan dan hukuman rajam (dilempari batu
sampai mati).
Jika pelaku
zina seorang perawan atau perjaka bukan muhshan (sudah menikah), dan orang
merdeka, haddnya berupa cambuk sebanyak seratus kali sesuai dengan firman
Allah: “Deralah masing-masing dari
keduanya seratus kali” (QS. An-Nuur: 2), dan di asingkan selama setahun,
ketentuan pengasingan ini sesuai dengan hadits Nabi: “Perzinaan yang dilakukan oleh lelaki perjaka dengan wanita perawan
(Gadis) hukumannya seratus kali deraan dan dibuang selama setahun” (Hr.
Muslim).
Sedangkan
jika perzinaan itu dilakukan oleh wanita yang telah menikah (muhshan), maka hadd atas kedua pelakunya adalah dirajam
sampai mati.
2. Al-Qadzaf
(menuduh zina orang lain);
Sanksi bagi
pelaku qadzaf adalah cambuk 80 kali, sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an:
óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_
Artinya : “....maka deralah mereka delapan puluh kali” (QS.
An-Nuur: 4)
3.
Minum khamr
Peminum
khamr dijatuhi sanksi cambuk sebanyak 40 kali dan boleh dilebihkan dari jumlah
itu.
4. Pencurian
Tindak
pencurian dikenai sanksi potong tangan jika telah memenuhi ‘syarat syarat
pencurian’ yang wajib dikenai potong tangan. Adapun jika pencurian itu belum
memenuhi syarat, pencuri tidak boleh dikenai sanksi potong tangan. Misalnya,
orang yang mencuri karena kelaparan, mencuri barang-barang milik umum, belum
sampai nishâb (1/4 dinar), dan lain sebagainya tidak boleh dikenai hokum potong
tangan.
5.
Murtad
Pelaku
murtad dikenai hukuman mati jika tidak mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam
dalam tenggat waktu tertentu. Hanya saja, syariah tidak membatasi tenggat waktu
yang diberikan kepada si murtad untuk kembali kepada Islam. Pelaku tindak
hirâbah (pembegalan) diberi sanksi berdasarkan tindak kejahatan yang ia
lakukan. Jika mereka hanya mengambil harta saja, hukumannya adalah dipotong
tangan kanan dan kaki kiri. Jika mereka hanya menebar teror dan ketakutan saja,
dikenai hukuman pengasingan (deportasi ke tempat yang jauh). Jika mereka
melakukan pembunuhan saja, sanksinya hukuman mati.
6.
Hirabah atau bughat.
Pelaku
bughât (memberontak) diperangi sampai mereka kembali ke pangkuan Islam atau ke
pangkuan Khilafah yang sah. Hanya saja, perang melawan pelaku bughat berbeda
dengan perang melawan orang kafir. Perang melawan pelaku bughat hanyalah
perang yang bersifat edukatif, bukan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu,
pelaku bughat tidak
boleh diserang dengan senjata pemusnah massal atau serbuan nuklir dan roket;
kecuali jika mereka menggunakan arsenal seperti ini. Jika mereka melarikan diri
dari perang, mereka tidak boleh dikejar dan ditumpas sampai habis. Harta mereka
tidak boleh dijadikan sebagai ghanimah.
B.
Tindak
Pidana Qishas-diyat
1.
Pengartian qishas-diyat
Jarimah (tindak pidana) didefinisikan oleh Imam Al
Mawardi sebagai berikut: yaitu segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang
dilarang atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan), yang diancam dengan
hukuman had atau ta’zir.
Sedangkan qishas kadang dalam hadist disebut juga
dengan kata qawad, yang artinya adalah semisal, seumpama (Al Mumatsilah).
Adapun maksud yang dikehendaki syara’ adalah kesamaan akibat yang ditimpakan
kepada pelaku tindak pidana yang melakukan pembunuhan atau penganiayaan
terhadap korban. Dalam ungkapan lain, pelaku akan menerima balasan sesuai
dengan perbuatan yang dia lakukan.
Dalam hal ini, gambaran kisas adalah ketika X yang
melakukan sebuah jarimah terhadap Y, maka Y atau ahli warisnya memiliki hak
untuk memperlakukan pada X sesuai dengan jarimah apa yang X lakukan. Seperti
contoh X membunuh Y maka ahli waris Y (Y atau ahli warisnya disebut mustahiq
al-qishâsh)
berhak menuntut agar X juga diperlakukan sama yaitu dibunuh.
Diat dalam arti jarimah adalah perbuatan yang
dilakukan seseorang terhadap objek jiwa dan anggota badan, baik perbuatan
tersebut mengakibatkan kematian, atau hanya mengakibatkan luka, atau tidak
berfungsinya anggota badan korban, yang dilakukan tanpa sengaja atau semi
sengaja.
Diyat ini pada dasarnya adalah bagian dari kisas. Maksudnya, dalam pembahasan
kisas yang telah lalu, dikatakan bahwa mustahiq al-qishâsh memiliki hak untuk menentukan sama ada
memilih kisas, perdamaian, atau memaafkan.
Dengan ketentuan ini, diyat adalah pilihan kedua yaitu perdamaian. Ketika mustahiq
al-qishâsh memilih
untuk berdamai, maka ia berhak mendapatkan diyat dalam arti si pelaku kejahatan berkewajiban membayar diyat kepada mustahiq al-qishâsh.
2. Macam-macam jarimah qishas-diyat
Maksud dari macam-macam kisas dan diyat adalah jenis-jenis dari
kejahatan atau pidana yang dihukum dengan cara kisas atau diyat. Seorang
ulama kontemporer yaitu Syaikh ‘Abd al-Qâdir ‘Audah menjelaskan secara global
ada 5 jenis kejahatan yang masuk di dalam akibat hukum kisas atau diyat.
Lima jenis kejahatan itu adalah :
a. Pembunuhan sengaja
Pengertian pembunuhan
adalah sebuah pekerjaan yang melenyapkan nyawa yaitu pembunuh jiwaPengertian
lainnya adalah sebuah pekerjaan hamba yang menyebabkan hilangnya nyawa Syaikh
‘Abd al-Qâdir ‘Audah menjelaskan bahwa pembunuhan itu adalah melenyapkan ruh
anak Adam dengan perbuatan anak Adam yang lain.
Bagian pertama
(pembunuhan sengaja) adalah pembunuhan yang pembunuh itu sengaja memukul orang
lain dengan senjata seperti pedang, pisau, tombak, timah, atau apa saja yang
dapat digunakan sebagai senjata untuk memisahkan anggota jasad seperti barang
yang ditajamkan seperti kayu, batu, api, dan jarum sebagai alat membunuh
Pengertian tersebut didatangkan karena makna “العمد” adalah sengaja. Sengaja adalah perkara
yang samar yang tidak mungkin untuk diketahui kecuali dengan bukti yang
menunjukkan kepadanya. Bukti tersebut bisa berupa penggunaan alat untuk
membunuh. Maka alat tersebut dijadikan sebagai bukti kesengajaan. Secara
kesimpulan alat pembunuhan tersebut menempati tempatnya pembunuhan dengan
sengaja sebagai tempat persangkaan wujudnya niat untuk membunuh.
b. Pembunuhan menyamai sengaja
Menurut mazhab Hanafi
adalah sesuatu pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan alat yang secara
umumnya tidak menyebabkan kematian seperti batu kecil, kayu kecil, tongkat
kecil, atau sebuah tamparan.
Dari pengertian ini,
maka gambarannya adalah ketika ada orang melakukan sebuah pukulan yang secara
umumnya tidak menyebabkan kematian seperti sekali tamparan, atau dengan
menumbuk satu kali; akan tetapi mangsa mati, karena seperti ia memiliki sakit
jantung atau lainnya, maka perbuatan ini digolongkan sebagai pembunuhan yang
menyamai sengaja.
c. Pembunuhan tidak sengaja
sebuah pembunuhan yang
tidak ada niat membunuh atau memukul sama sekali. Seperti tersalah di dalam
niat atau dzann pelaku: melempar sesuatu yang ia sangka haiwan buruan,
ternyata manusia. Atau sangka ia kafir harbî ternyata muslim.
Maksud di sini adalah kesalahan tersebut dikembalikan hati itu sendiri yaitu
niat.
Termasuk di dalam pembunuhan tersalah adalah
pembunuhan karena uzur syar’î yang diterima seperti orang yang tidur
dengan tidak sengaja bergerak dan menjatuhi orang yang lain yang tidur di
sebelahnya sehingga menyebabkan orang tadi mati.
d. Pencederaan sengaja
segala jenis
penyerangan terhadap jasad manusia seperti memotong anggota badan, melukai,
memukul, akan tetapi nyawa orang tersebut masih tetap dan perbuatan tersebut
dilakukan dengan sengaja.
e. Pencederaan tidak sengaja
si pelaku berniat untuk
melakukan pekerjaan tersebut tapi tidak dengan niat permusuhan, seperti orang
meletakkan batu di jendela, tanpa sengaja batu jatuh terkena kepala orang
sehingga pecah dan terlihat tulang kepala. Atau seperti orang yang terjatuh di
atas orang yang tidur dan menyebabkan tulang rusuk orang tadi patah.
3. Sanksi dan cara pembuktian
Bagi pembunuhan sengaja
(القتل العمد ) maka sanksinya ada 3 yaitu asal,
gantian dari asal, dan yang mengikuti. Secara global pembunuh dengan sengaja
wajib terkena 3 perkara:
a) Dosa besar karena ada ayat Alquran yang menyatakan ia akan tetap di neraka
jahanam;
b) Dikisas karena ada ayat kisas;
c) Terhalang menerima warisan karena ada hadis “orang yang membunuh tidak
mendapat waris apapun"
Sanksi asal pertama adalah kisas. Kisas di sini adalah
dihukum bunuh sama seperti apa yang dia lakukan pada mangsa tersebut. Ketika mustahiq
al-qishâsh memaafkan dengan tanpa meminta diyat, maka menurut mazhab
Hanafi, Maliki, dan Syafi’I dalam sebuah pendapat; maka tidak wajib bagi
pembunuh tadi membayar diyat secara paksa. Hanya saja baginya ia boleh
memberinya sebagai gantian dari pemaafan dari mustahiq al-qishâsh
tadi. Secara hukum si mustahiq al-qishâsh berhak untuk memaafkan
secara gratis tanpa ada tuntutan diyat.
Mustahiq al-qishâsh juga berhak untuk memberi kemaafan dengan tuntutan diyat, banyak
dan sedikitnya sesuai dengan kesepakatan pembunuh. Diyat di sini
dianggap sebagai gantian dari kisas. Dalam hal ini, hakim tidak boleh
menetapkan hukuman asal dengan gantiannya secara bersamaan bagi sebuah
pekerjaan. Dalam arti, ia tidak boleh dikisas dan sekaligus membayar diyat.
Sanksi asal yang kedua yaitu membayar kafaroh,adapun
kafarohnya adalah memerdekakan hamba muslim kalau di temukan,seumpama tidak
maka puasa dua bulan terus menerus.
Sanksi gantian dari asal yang pertama adalah membayar diyat
mughalladzah. Menurut Imam al-Syafi’I sebagai qaul jadîd diyat
tersebut adalah 100 unta bagi pembunuh lelaki yang merdeka. Jumlah 100 itu
dibagi 3: 30 berupa unta hiqqah, 30 unta jadza’ah, dan 40
unta khalifah. Ketika tidak dapat ditemukan maka berpindah pada harga
unta-unta tersebut. Sedangkan menurut qaul qadîm jika tidak ada maka
boleh membayar 100 dinar atau 12000 dirham.
Seumpama pembunuhnya perempuan merdeka maka ia adalah
separuhnya diyat lelaki; yaitu 50 unta. 15 berupa unta hiqqah,
15 unta jadza’ah, dan 20 unta khalifah.
Sanksi gantian dari asal yang kedua adalah ta’zîr.
Menurut mayoritas ulama, ta’zîr ini tidak wajib. Ia hanya diserahkan
kepada kebijakan imam dalam melakukan apa yang dianggap munasabah dengan
kemaslahatan. Maka Imam dapat memenjara atau memukul atau al-ta`dîb yang
sesamanya.
Sanksi yang mengikuti kejahatan pembunuhan adalah
terhalang untuk menerima waris dan wasiat. Dalam hal waris ulama sepakat,
sedangkan untuk wasiat masih terjadi perbedaan pendapat
Sanksi asal pertama bagi pembunuhan yang menyamai
sengaja adalah membayar diyat mughalladzah. Diyat ini sama
dengan membunuh dengan sengaja. Hanya saja bedanya berada pada penangung jawab
dan waktu membayarnya. Sanksi asal pertama bagi pembunuhan yang menyamai
sengaja adalah membayar diyat mughalladzah. Diyat ini sama
dengan membunuh dengan sengaja. Hanya saja bedanya berada pada penangung jawab
dan waktu membayarnya.
Sanksi asal kedua bagi pembunuhan yang menyamai
sengaja adalah membayar kafârah yaitu memerdekakan hamba muslim kalau
ditemukan, seumpama tidak maka puasa 2 bulan terus menerus. Sanksi gantian bagi
pembunuhan yang menyamai sengaja adalah ta’zîr. Sanksi yang mengikuti
pembunuhan yang menyamai sengaja adalah terhalang untuk menerima waris dan
wasiat seperti yang telah lewat.
Sanksi bagi pembunuhan bersalah yaitu Sanksi asalnya adalah diyat
dan ta’zîr. Diyat bagi pembunuhan ini
adalah diyat mukhaffafah. Kadarnya dalah 100 unta dengan perinciang: 20
berupa unta jadza’ah, 20 unta hiqqah, 20 unta bintu
labûn, 20 `ibn labûn dan 20 unta bintu makhâdl. Sanksi yang
mengikuti adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat seperti yang telah
lewat.
Sanksi untuk pencederaan sengaja di bagi menjadi 4
yaitu:
a) Pencederaan anggota tubuh dengan terputusnya anggota tubuh. Sanksinya qishos
ataupun diyat atau ta’zir
b) Pencederaan dengan hilangnya kemanfaatan tubuh. Sanksinya membayar
diyatatau ganti rugi atau keadilan hukum
c) Pencederaan luka kepala dan wajah. Sanksinya sama seperti (b)
d) Pencederaan luka selain kepala. Sanksinya pun sama dengan (b)
Pembuktian qisas dan diyat
Alat-alat bukti dalam menetapkan sebuah kejahatan yang
mengakibatkan kisas atau diyat adalah sebagai berikut:
a) Pengakuan (Pengakuan di sini harus terperinci tidak boleh syubhat)
b) Persaksian (Syarat minimal ada 2 orang saksi laki-laki yang yang adil)
c) Qarinah (Segala tanda-tanda yang zahir bersamaan dengan sesuatu yang samar)
d) Menarik diri dari sumpah (Sumpah yang di ajukan kepada terdakwa oleh hakim)
e) Al-qasammah (Sebuah sumpah yang di ulang-ulang untuk kasus pembunuhan)
C. Tindak Pidana Ta’zir
Ta’zir
adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir, pelaksanaan hukuman
ta’zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik
perbuatan itu menyangkut hak Allah ataupun perorangan, hukumannya diserahkan
sepenuhnya kepada penguasa.
Ta‘zîr adalah sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak had dan
kafarah. Pada dasarnya, sanksi ta‘zîr ditetapkan berdasarkan pendapat seorang
qâdhi dengan mempertimbangkan kasus, pelaku, politik, dan sebagainya. Dr.
Abdurrahman al-Maliki mengelompokkan kasus ta‘zîr menjadi tujuh:
1.
pelanggaran terhadap kehormatan;
2.
penyerangan terhadap nama baik;
3.
tindak yang bisa merusak akal;
4.
penyerangan terhadap harta milik
orang lain;
5.
ganggungan terhadap keamanan atau
privacy;
6.
mengancam keamanan Negara;
7.
kasus-kasus yang berkenaan dengan
agama;
Secara bahasa ta'zir merupakan mashdar (kata dasar) dari 'azzara yang
berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan,
membantu. Ta'zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan
ta'zir, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak
kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para
fuqoha' mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al Qur'an
dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak
hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya
untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta'zir sering juga disamakan oleh
fuqoha' dengan hukuman terhadap setiap maksiyat yang tidak diancam dengan
hukuman had atau kaffarat.
Hukuman ta'zir adalah hukuman yang bersifat pengajaran terhadap berbagai
perbuatan yang tidak dihukum dengan hukuman hudud atau terhadap kejahatan yang
sudah pasti ketentuan hukumnya hanya syaratnya tidak cukup (misalnya saksi
tidak cukup dsb). Pelaksanaan hukuman takzir ini diserahkan kepada penguasa
yang akan menjatuhkan hukuman. dan dalam hal ini hakim atau penguasa memiliki
kebebasan untuk menetapkan hukuman ta’zir kepada pelaku tindak pidana yang
hukumannya tidak disebutkan dalam Alquran. Pemberian hak ini adalah untuk
mengatur kehidupan masyarakat secara tertib dan untuk mengantisipasi berbagai
hal yang tidak diinginkan. Tindak pidana yang dikenakan hukuman ta’zir selain
tindak pidana yang dihukum dengan hudud, qisas atau diyat, dan kiffarat. Bentuk
hukumannya bisa berupa hukuman mati, dera, kurungan, pengasingan, salib,
ancaman, denda, dsb.
Dilihat dari hak yang dilanggar, ta’zir dapat dibagi menjadi dua bagian:
1.
Jarimah yang berkaitan dengan hak
Allah. Yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum, seperti
pencurian, penimbunan bahan pokok dan lain-lain. Bisa dikatakan juga dengan
hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang karena meninggalkan kewajiban, seperti
tidak membayar zakat.
2.
Jarimah yang berkaitan dengan hak
perseorangan. Yaitu perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang tertentu
atau bisa juga sabagai suatu siksaan yang dijatuhkan atas perbuatan yang
melanggar ketentuan syariat, seperti penipuan, pengkhianatan, penghinaan dan
lain-lain.
Dari segi sifatnya, jarimah ta’zir dibagi menjadi tiga bagian:
1.
Ta’zir atas perbuatan maksiat. Yaitu
semua maksiat yang telah ditetapkan dalam Al-Quran namun tidak ada ketentuan
atas hukuman yang dijatuhkan. Seperti memakan harta anak yatim, riba, menghina
orang lain dan lain-lain, hukumannya pun lebih ringan dari pada had.
2.
Ta’zir atas perbuatan yang
membahayakan kepentingan umum. Yaitu semua tindak pidana yang dianggap
melanggar kepentingan umum. Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur yang
merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku
dikenakan hukuman.
3.
Ta’zir atas pelanggaran (mukhalafah).
Jenis yang ketiga ini sepenuhnya ditentukan oleh ulil amri, seperti pelanggaran
disiplin pemerintah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hudud adalah
bentuk jama’ dari kata hadd yang berarti mencegah. Disebut hudud karena
hukuman itu dapat mencegah terjadinya perbuatan yang mengakibatkan jatuhnya
hukuman.
Adapun
menurut syara’, hudud adalah hukuman
yang terukur atas berbagai perbuatan tertentu, atau hukuman yang telah
dipastikan bentuk dan ukurannya dalam syariat, baik hukuman itu karena
melanggar hak Allah maupun merugikan hak manusia.
Sedangkan qishas kadang dalam hadist disebut juga
dengan kata qawad, yang artinya adalah semisal, seumpama (Al Mumatsilah).
Adapun maksud yang dikehendaki syara’ adalah kesamaan akibat yang ditimpakan
kepada pelaku tindak pidana yang melakukan pembunuhan atau penganiayaan
terhadap korban. Dalam ungkapan lain, pelaku akan menerima balasan sesuai
dengan perbuatan yang dia lakukan.
Diat dalam arti jarimah adalah perbuatan yang
dilakukan seseorang terhadap objek jiwa dan anggota badan, baik perbuatan
tersebut mengakibatkan kematian, atau hanya mengakibatkan luka, atau tidak berfungsinya
anggota badan korban, yang dilakukan tanpa sengaja atau semi sengaja.
Ta’zir
adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir, pelaksanaan hukuman
ta’zir, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik
perbuatan itu menyangkut hak Allah ataupun perorangan, hukumannya diserahkan
sepenuhnya kepada penguasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafi’i,
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam ,Jakarta; Sinar Grafika,
2005
Hasbi Ash Shidieqy, Peradilan dan hukum acara Islam , Semarang;
Pustaka Rizki putra, 1997
0 komentar:
Post a Comment