Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT,
shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan
agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke
alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum Agraria
pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan
ini penulis mengangkat judul “Perubahan
Penggunaan Lahan”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan
saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
ZAINUDDIN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... ......... 1
BAB II :
PEMBAHASAN
A. Perubahan penggunaan lahan......................................................................... ......... 2
B.
Tinjauan Yuridis Perubahan
Penggunaan Lanah..................................................... 4
C.
Dasar Hukum Perubahan
Penggunaan Lanah......................................................... 6
D.
Aspek Perizinan Dalam
Perubahan Penggunaan Lahan.......................................... 7
E.
Sanksi Dalam Bidang
Perizinan.............................................................................. 8
F. Pelaksanaan Perubahan Penggunaan Lahan............................................................ 10
BAB III :
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................... ......... 12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. ......... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan karunia Tuhan yang Maha Esa yang
jumlahnya terbatas dan disediakan untuk manusia serta mahluk ciptaan Tuhan
lainnya sebagai tempat kehidupan dan sumber kehidupan.
Selain itu tanah sebagai ruang merupakan wahana yang
harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bagi bangsa
Indonesia pembangunan tidak dapat dilepaskan dari tanah. Tanah merupakan bagian
penting dari usaha untuk meningkatkan kesejahteraan social dalam rangka
mewujudkan tujuan nasional yang memiliki nilai setrategis karena arti kusus
dari tanah sebagai factor produksi utama perekonomian bangsa dan Negara.
B.
Rumusan Masalah
1. Tinjauan Yuridis Perubahan Penggunaan Lahan
2. Dasar Hukum Perubahan Penggunaan Lahan
3. Penggunaan Tanah Sebagai Sub Sistem Tata Ruang
4. Aspek Perizinan Dalam Perubahan Penggunaan Lahan
5. Sanksi Dalam Bidang Perizinan
6. Pelaksanaan Perubahan Penggunaan Lahan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perubahan
Penggunaan Lahan
Tanah merupakan karunia Tuhan yang Maha Esa yang
jumlanya terbatas dan disediakan untuk manusia serta mahluk ciptaan Tuhan
lainnya sebagai tempat kehidupan dan sumber kehidupan. Selain itu tanah sebagai
ruang merupakan wahana yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Tanah memiliki keterbatasan, baik darisegi kualitas
maupun dari segi kuantitas, di lain sisi kebutuhan manusia untuk kegiatan
pembangunan pada dasarnya memerlukan tanah yang sangat besar untuk
pelaksanaannya. Oleh karena tanah sangat terbatas maka kadang kala pembangunan
yang dilaksanakan tidak mengacu pada pola penggunaan tanah yang baik sehingga
justru mengakibatkan tanah tidak bisa memberikan manfaat yang optimal bagi
masyarakat.
Tanah mempunyai fungsi social dan pemanfaatannya harus
dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat ditegaskan dalam GBHN pada pola umum
pelita VI. Untuk itu perlu terus dikembangkan rencana tata ruang dan tata guna
tanah secara nasional sehingga pemanfaatan tanah dapat terkoordinasi antara
berbagai jenis penggunaan tanah dengan tetap memelihara kelestarian alam dan
lingkungan serta mencegah penggunaan tanah yang
merugikan kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan.
Sejalan dengan perencanaan tata ruang dan penatagunaan
tanah dalam Tap. MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2003 disebutkan
bahwa kebijaksanaan pemerintah menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan
dengan pengendalian pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam. Terkait dengan persoalan alih fungsi lahan kebijaksanaan tersebut
diwujudkan dalam bentuk mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan
lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi, dan
budaya masyarakat local, serta piñata ruang.
Pelaksanaan dari Tap. MPR Nomor IV/MPR/1999tenang GBHN
Tahun 1999-2003 dituangkan dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (Propernas) Tahun 2000-2004. Terkait dengan masalah
perubahan penggunaan tanah pertanian dituangkan dalam program pengelolaan
pertanahan di mana kegiatan pokok yang dilakukan adalah pengendalian penggunaan
tanah sesuai rencana tata ruang wilayah termasuk pemantapan system perizinan
yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang atau penggunaan tanah di daerah.
Program penataan ruang ditujukan meningkatkan system
penyusunan tata ruang, memantapakan pengelolaan pemanfaatan ruang
dan memantapakan pengendalian pemanfaatan fungsi lahan irigasi teknis dan
kawasan-kawasan lindung, meningkatkan kapasitas kelembagaan dan organisasi
penataan ruang di daerah, baik aparat Pemerintah Daerah, lembaga legislative,
dan yudikatif maupun lembaga-lembaga dalam masyarakat, agar rencana tata
ruangditaati oleh semua pihak secara konsisten.
Sejalan dengan kebijakan di bidang keagrariaan pada tahun
2001 Lembaga MPR RI mengeluarkan sebuah ketetapan No. IXTahun 2001 tentang
Pembaharuan Agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam. Di dalam ketentuan Pasal
2Ketetapan No. IX Tahun 2001 tentang pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam dinyatakan bahwa pembaharuan agrarian mencakup proses proses yang
berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agrarian, dilaksanakan dalam rangka
tercapainya kepastian dan perlindungan hokum serta keadilan dan kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Berkaitan dengan kegiatan perubahan penggunaan tanah
pertanian ke non pertanian telah diatur di dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait. Seagai dasar pengaturannya ditentukan dalam
Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960 tentang PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA yang
selanjutnya disingkat dengan UUPA menyatakan bahwa:
1. Atas dasar ketentuan dalam
pasal 33 ayat 3 Undang-Undang dasar dan hal-hal sebagai yang di maksud dalam
Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.
2. Hak menguasai dari Negara
termasuk dalam ayat (1) pasal ini member wewenang untuk:
a) Mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dsn pemeliharaan bumi, air
dan ruang angkasa tersebut;
b) Menentikan dan mengatur
hubungan-hubungan hokum antara orang-orang dengan bumi, air da, ruang angkasa;
c) Menentukan dan
mengaturhubungan-hubungan hokum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hokum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas pemerintah
mempunyai kewenangan untuk mengatur dan menyeleenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah termasuk mengatur hubungan orang
dengan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan
tanah pertanian yang subur ke penggunaan non pertanian.
Ketentuan lebih lanjut dari
pasal 2 UUPA dituangkan dalam ketentuan Pasal 10 UUPA di mana ditentukan ada
kewajiban bagi setiap pemegang hak atas tanah pertanian untuk mengerjakan
secara aktif, menambah kesuburan tanah serta mencegah terjadinya kerusakan
tanah. Pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan pasal 2 UUPA dituangkan jga
dalam pasal 14 UUPA dan pasal 15 UUPA. Dalam pasal 14 UUPA ditegaskan bahwa
pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum
mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk keperluan memperkembangkan
produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu.
Sedangkan Pasal 15 menentukan bahwa memelihara tanah, termasuk menambah
kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiao orang,
badan hokum atau instansi yang mempunyai hubungan hokum dengan tanah.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 10, Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA maka kegiatan perubahan
penggunaan tanah pertanian ke non pertanian merupakan kegiatan yang tidak
sesuai dengan prinsip prinsip penatagunaan tanah serta prinsip pemeliharaan
kesuburan tanah. Dengan kata lain perubahan penggunaan tanah merupakan tindakan
perusakan terhadap sumber daya alam yang berupa tanah pertanian subur.
Ketentuan lebih lanjut terkait dengan perubahan penggunaan
tanah diatur dalam intruksi Presiden RI No. 3 Tahun 1999 tentang Pembaharuan
Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi, Surat Menteri Negara Agraria/ KBPN No. 2
Tahun 1999 tentang izin lokasi, Surat menteri Negara Agraria/ KBPN No. 460-1594
tentang pencegahan konversi tanah sawah beririgasi teknis menjadi tanah kering,
Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No.
5334/MK/9/1994 tentang Perubaha Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk
penggunaan Tanah Non Pertanian, Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/ Ketua Bappenas No. 5334/MK/9/1994 tentang Penyusunan Rencana Tanah
Ruang Wilayah Dati II, Surat Menteri Negara Agraria/KBPN No. 410-1851 Tahun
1994 tentan Pencegahan Penggunaan Tanah Saewah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan
Tanah Non Pertanian Melalui Penyusunan Rencana Tata Ruang, serta Surat Menteri
Negara Agraria/KBPN tanggal 15 juni1994 tentang Perubahan Penggunaan Tata Sawah
Beririgasi teknis untuk Penggunaan Tanah Non Pertanian.
B.
Tinjauan Yuridis Perubahan
Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan tanah pertanian ke penggunaan non
pertanian memang menjadi fenomena di masyarakat seiring dengan lajunya
pembangunan di segala bidang kehidupan. Perubahan penggunaan tanah menjadi
sesuatu yang patut mendapatkan perhatian, karena banyak daerah hijau (green
belt) telah menjadi daerah industry, perdagangan permukiman.
Keadaan ini berpengaruh terhadap kehidupan dan lingkungan pedesaan.
Mengenani
penyebab perubahan penggunaan tanah lahan berbagai pendapat yang diambil dari
literature-literatur menjelaskan mengenai hal tersebut. Menurut Koesnadi
Hardjasoemantri bahwa tantangan permasalahan yang timbul dalam pembangunan di
pengaruhi oleh 4 faktor pokok yaitu: perkembangan dan permasalahan penduduk
dalam masyarakat, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan,
perkembangan dan perubahan tehnologi maupun kebudayaan, serta perkembangan
ruang lingkup internasional. Factor-faktor itulah yang bisa menyebabkan adanya
kegiatan alih fungsi lahan.
Pendapat
lain mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk yanga sangat pesat akan semakin
menambah tekanan penduduk pada pola penggunaan tanah di daerah pedesaan dan
semakin menyempitnya luas pemilikan tanah. Sebagai penduduk
pedesaan yang masih bergerak di bidang pertanian sangat merasakan
tekanan tersebut karena pertanian merupakan tulang punggung bagi petani.
Pendapat
senada juga dikemukakan oleh Agus Salim dan kawan-kawannya yang mengemukakan
bahwa pertumbuhan penduduk, perkembangan kegiatan usaha, dan social budaya
termasuk pembangunan berkaitan juga dengan tuntutan masyarakat atas fasilitas
pelayanan yang paling berkembang, semua memerlukan ruang untuk menyelenggarakan
tuntutan tersebut.
Menurut
Nasution dan Rustiadi bahwa perubahan tersebut di sebabkan oleh beberapa hal
yaitu besarnya tingkat urbanisasi akibat lambatnya proses pembangunan di
wilayah pedesaan, meningkatnya jumlah anggota kelompok golongan pendapatan
menengah dan atas di wilayah perkotaan yang mengakibatkan bertambah besarnya
permintaan sarana pemukiman, serta terjadinya transformasi di dalam setruktur
perekonomian Indonesia yang terutama dicirikan oleh cepatnya pertumbuhan sector
industry yang pada gilirannya akan mendesak kegiatan pertanian dan lahan sawah.
Faktor
lain yang dapat diidentifikasikan ikut berpengaruh terhadap adanya perubahan
penggunaan tanah adalah bidang nafkah atau mata pencaharian penduduk dari bidan
tertentu ke bidang lain tersebut juga dianggap sebagai pendorong adanya
perubahan penggunaan tanah.[9]
Terkait
dengan persoalan alih fungsi lahan, kepala BPN lutfi I Nasution dalam kompas
edisi 3 juni 2003 menyatakan begitu pentingnya melestarikan lahan pertanian
tidak hannya untuk kepentingan ketahanan pangan saja tetapi juga untuk
kelestarian lingkungan. Lahan sawah adalah lahan yang paling stabil
dibandingkan dengan lahan untuk peruntukan lain. Pencucian tanah yang terjadi
sangat rendah, begitu pula tingkat erosinya. Hal ini di dukung oleh data bahwa
konversi lahan pertanian untuk kepentingan lain dalam 10 tahun
terakhir mencapai 40.000 ha pertahun sepanjang tahun 1983-1993 terdapat sekitar
935.000 ha lahan pertanian yang hilang.
Secara
formal yuridis perubahan penggunaan tanah bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi pengaruh tekanan ekonomi dan
politik kebijakan menjadi berubah di dalam prakteknya. Secara ekonomis
perubahan lahan ini memberikan kontribusi kepada kas Pemda serta mampu menyerap
tenaga kerja. Untuk itu pemerintah harus mulai menggalakkan perkembangan sector
industry keluar pulau jawa.
Menurut Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah DR.
kIr.Soenarno Dipl HE dalam seminar “Menggagas Penerapan Tehnologi Sipil yang
Berbasis Kerakyatan, Konsteksual dan Ekologis di Auditorium MM UGM tanggal 8
september 2003, bahwa rumah susun (rusun) bisa menjadi
alternative untuk mengurangi alih fungsi lahan. Kabupaten atau Kota
harus menjadikan pembangunan fertikal sebagai kebijakannya termasuk Yogyakarta.
hal ini di dukung fakta bahwa kondisi lahan pertanian di Indonesia sudah
memperihatinkan. Per tahun sekitar 10-20 ribu hektar lahan telah beralih fungsi
menjadi perumahan dan perindustrian.
C.
Dasar Hukum Perubahan
Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke penggunaan
non pertanian secara yuridis telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 45 yang menyatakan
bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.dasar
kebijakan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang termaktub dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945 lebih lanjut diatur dalam UUPA.Secara eksplisit pasal-pasal yang terkait dengan perubahan penggunaan
lahan pertanian ke nonpertanian belum diatyr tetapi secara implicit diatur
dalam UUPA yaitu dalam ketentuan Pasal 2, Pasal 6, Pasal 10, Pasal 14 dan Pasal
15.
Ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUPA mengenai
perubahan penggunaan tanah dipertegas lagi dalam surat Menteri Negara
Agraria/KBPN No. 460-1594 tentang pencegahan konversi tanah sawah beririgasi
Teknis Menjadi Tanah Kering, dan sebagai tindakan itu masyarakat di himbau agar
masyarakat tidak menutup saluran-saluran irigasi yang mengairi sawah beririgasi
teknis milik mereka, tidak mengeringkan sawah beririgasi teknis miliknya dan
menjadikan untuk penggunaan pertanian tanah kering, tidak menimbun sawah
beririgasi teknis miliknya untuk keperluan bangunan, agar mengembalikan seperti
semula tanah sawah beririgasi teknis yang sudah dirubah penggunaannya yang
tidak memenuhi tata cara perizinan.
Perubahan penggunaan tanah juga mendapatkan perhatian dari
Kementerian Negara Perencanaan Pembanguna dengan mengeluarkan Surat Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No. 5334/MK/9/ 1994
tentang perubahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan
tanah nonpertanian. Senada dengan ketentuan Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan, Menteri Dalam Negeri juga mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan mengenai Penyediaan dan
pemberian tanah untuk keperluan perusahaan.
Peraturan mengenai perubahan penggunaan tanah secara umum
di atur dalam:
1. Diatur dalam surat edaran
Menteri dalam Negeri Nomor: 590/ 1 1 1 08/SJ tentang Perubahan Tanah Pertanian
ke Non Pertanian yang di tujukan kepada semua Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1
di seluruh Indonesia.
2. Surat Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 640-3346 tentang perubahan penggunaan
tanah sawah beririgasii teknis untuk penggunaan tanah non pertanian yang
ditujukan kepada Kantor Wilayah BPN Propinsi dan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/ Kota Madya yang berisi intruksi tentang penanganan izin lokasi,
peninjauan RTRW Dati II, dan usaha efisiensi penggunaan tanah.
3. Kemudian dalam pelaksanaannya di daerah, masing-masing
daerah membuat aturan pelaksanaannya sendiri sesuai dengan prinsip otonomi
daerah yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi daerah yang bersangkutan.
D.
Aspek Perizinan Dalam
Perubahan Penggunaan Lahan
Perizinan merupakan bagian atau produk dari keputusan Tata
Usaha Negara (Beschiking) yang mempunyai sifat norma hokum
individual-konkrit. Secara umum sifat norma hokum dapat digolongkan menjadi
empat macam sifat norma hokum, yaitu:
1. Norma hukum umum abstrak
misalnya Undang-undang;
2. Norma individual
konkritmisalnya keputusan tata usah Negara;
3. Norma umum konkrit misalnya
rambu-rambu lalu lintas;
4. norma individual abstrak
misalnya izin gangguan.
Keputusan tata usaha dalam rangkaian norma hukum merupakan
merupakan norma penutup. Apabila dilihat dampak keputusan terhadap orang yang
kepadanya keputusan itu ditujuka dapat terbagi sebagai berikut: keputusan-keputusan
dalam rangka ketentuan-ketentuan larangan dan atau perintah,
keputusan-keputusan yang menyediakan sejumlah uang, keputusan yang membebaskan
suatu kewajiban keuangan, keputusan-keputusan yang memberikan suatu kedudukan
dan keputusan penyitaan.
Keputusan-keputusan
dalam rangka ketentuan-ketentuan larangan dan atau ketentuan perintah merupakan
keputusan yang paling biasa dan yang paling penting adalah perizinan. Sistemnya
adalah bahwa undang-undang melarang suatu tindakan tertentu dan atau
tindakan-tindakan tertentu yang saling berhubungan.
Pengertian izin menurut DR. E. Utrecht, SH., ialah:
bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih
juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk
masing-masing hal konkrit, maka perbuatan administrasi Negara yang
memperkenankannya perbuatan tersebut bersifat suatu izin.
Menurut
W.F. Prints pada izin, memuat uraian yang limitative tentang alas an-alasan
penolakannya, sedangkan bebas syarat atau dispensansi memuat uraian yang
limitative tentang hal-hal yang untuknya dapat diberikan dispensansi itu,
tetapi perbedaan itu tidak jelas.
Berdasarkan
kedua definisi izin tersebut terdapat perbedaan walaupun agak samar-samar. Akan
tetapi sebetulnya zin itu diberikan biasanya karena peraturan yang
berbunyi:’’dilarang untuk….. tidak dengan izin” atau bentuk lain yang dimaksud
sama seperti itu.
Pengertian izin menurut Prof. Steenbeek adalah suatu
keputusan untuk memperbolehkan suatu tindakan sebagai suatu penyimpangan dari
keadaan yang berlaku, yang melarang tindakan tersebut. Prof. steenbeek
mengambil sebagai dasar pemikirannya bahwa suatu tindakan tertentu adalah
dilarang menurut undang-undang sehingga untuk melaksanakan tindakan tersebut
harus diperlukan izin. Izin ini hannya dapat diberikan dengan mengeluarkan
suatu besluit.
Maksud
dari pada izin itu adalah untuk menjamin agar agar supaya para warga Negara
bertindak sesuai dengan peraturan. Oleh karenanya keharusan untuk mendapatkan
izin adalah suatu kebijaksanaan pemerintah dalam mengatur tindakan warganya.
Akan tetapi apabila ternyata seseorang telah bertindak tidak sesuai dengan izin
yang diberikan, hal ini dapat dianggap pelanggaran dan dapat dikenakan straaf
sanctie.
Pemerintah dalam memberikan suatu keputusan baik atas dasar
permohonan atau mungkin secara karena jabatan perlu memperhatikan, pertama
pemerintah harus melihat apakah ia memang berwenang mengeluarkan penetapan yang
dimohon itu, kedua dasar ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku
dan ketiga harus memperhatikan hokum tak tertulis.
E.
Sanksi Dalam Bidang
Perizinan
Sanksi merupakan bagian yang penting dalam hokum termasuk
juga dalam hokum administrasi. Pada umumnya tidak ada gunannya memasukan kewajuban-kewajiban
atau larangan-larangan bagi para warga dalam peraturan perundang-undangan tata
usaha Negara. Kebayakan system perizinan menurut perundang-undangan memuat
ketentuan penting yang melarang para warga bertindak tanpa izin. Bagi pembuat
peraturan penting untuk tidak hanya melarang tindakan-tindakan yang tanpa
disertai izin, tetapi juga terhadap tindakan –tindakan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang dapat dikaitkan pada suatu izin.
Sanksi-sanksi hokum administrasi yang dapat dikenakan terhadap tindakan
–tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, antara lain:
1. Paksaan Pemerintah
(Bestuursdwang)
Paksaan pemerintah merupakan tindakan-tindakan yang
nyata dari penguasa mengakhuri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah
hokum administrasi atau melakukan apa yang seharusnya d tinggalkan oleh para
warga karena bertentangan dengan undang-undang.
Pelaksanaan pemerintah adalah suatu kewenangan bukan
kewajiban. Sebelum menjalankan paksaan pemerintah, badan pemerintah wajub
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a)
Kepentingan umum yang dirugikan keadaan illegal
b)
Kepentingan pencegahan (pengelakan) pengaruh preseden.
c)
Kepentingan pihak ketiga.
d) Kepentingan dari pelenggar
dengan dipertahankannya keadaan yang illegal.
e)
Masalah-masalah praktis atau ketidak mungkinan.
f)
Pembiayaan yang tinggidari paksaan pemerintah.
g)
Jika perlu ditindak sesuai dengan hokum pidana.
2. Penarikan kembali keputusan
Suatu keputusan atau ketetapan yang menguntungkan dapat
ditarik kembali sebagai sanksi dalam hal:
a) Yang berkepentingan tidak
mematuhi pembatasan-pembatasan, syarat-syarat atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang dikaitkan pada izin.
b) Yang berkepentingan pada
waktu mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin telah memberikan data yang sedemikian
tidak benar atau tidak lengkap.
3. Pengenaan denda administrasi
4. Pengenaan uang paksa oleh
pemerintah (dwangsom)
Pengertian sanksi ialah ancaman hukuman atau hukuman yang
dapat dikenakan kepada seseorang atau lebih yang telah melakukan pelanggaran
atas suatu norma. Hakekat sanksi merupakan unsure yang memperteguh atau
memperkuat suatu instrument hokum, sehingga terjadi kewibawaan hokum.
F.
Pelaksanaan Perubahan
Penggunaan Lahan
Ada beberapa pertimbangan yang dipakai dalam memberikan
izin perubahan penggunaan tanah yaitu pertimbangan mengenai.
1. Aspek rencana tata ruang;
2. Letak tanah dalam wilayah
ibukota kecematan yang bersangkutan;
3. Letak tanah berbatasan
langsung dengan permukiman yang telah ada dan termasuk daerah pertumbuhan
pemukiman;
4. Letak tanah mempunyai
aksesibilitas umum jalan dan fasilitas umum lainnya antara lain fasilitas
listrik, PAM, dan telepon;
5. Luas tanah yang diberi izin
sebanyak-banyaknya 2 kali luas rencana banguna yang akan dibangun ditambah luas
untuk sempadan jalan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Tanah sudah bersertifikat;
7. Tanah yang dimohan tidak
termasuk tanah pertanian yang subur/sawah irigasi teknis;
8. Aspek penguasaan tanah yang
meliputi perolehan hak, pemindahan hak dan penggunaan tanah;
9. Setiap perubahan peruntukan
tanah harus selalu memperhatikan fungsi tanah dan daya dukung lungkungan
disekitarnya.
Prosedur pengajuan izin perubahan penggunaan tanah adalah
sebagai berikut:
1. Pemohon mengajukan surat
permohonan, membuat surat pernyataan pemilikan tanah, melampirkan foto copy KTP
dan membayar biaya administrasi.
2. Kepala desa menguatkan surat
pernyataan pemilikan tanah, membuat surat keterangan pemilikan tanah dan
membuat salinan letter C.
3. Kecamatan menguatkan surat
pernyatan pemilikan tanah, menguatkan surat keterangan pemilikan tanah serta
menguatkan salinan letter C.
4. Kantor pertanahan menerima
permohonan, meneliti permohonan serta menyelenggarakan rapat, meniliti di
lapangan dan menyusun risalah.
5. Bupati KDH TK II menerbitkan
pertimbangan izin perubahan penggunaan tanah.
6. Gubernur KDH TK I
menerbitkan surat izin perubahan penggunaan tanah.
7. Kantor pertanahan
menyerahakan izin Gubernur kepada pemohon dan mencatat dalam buku
tanah/sertifikat.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi pemohon jika izinnya
dikabulakn, yaitu:
1. Apabila membangun tempat
tinggal di atas tanah yang dimohon perubahan penggunaanya harus memperhatiakan
RTR Kota atau RTR Daerah setempat dan perda tentang Garis sempadan.
2. Luas tanah yang diizinkan
untuk diadakan perubahan penggunaan tanahnya setiap kepala keluarga maksimal
1000m2.
3. Untuk luas bangunan dilihat
dari penggunaan tanahnya untuk usaha maksimal 75% dan untuk tempat tinggal 30%
sampai dengan 60% dari luas tanah yang diizinkan sedangkan selebihnya digunakan
untuk bududya pertanian.
4. Segala buangan limbah RT
atau usaha wajib dijaga sedemikian rupa sehingga tidak akan mengganggu lingkuan
hidup disekitarnaya.
5. Apabila ada di atas tanah
yang dimohon saluran irigasi dan atau saluran pembangunan lain, tidak
diperkenankan untuk mematikan saluran tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat di tarik kesimpulan, bahwa
tanah memiliki keterbatasan-keterbatasan baik dari segi kualitas, maupun dari
segi kuantitas, di lain sisi kebutuhan manusia untuk kegiatan pembangunan pada
dasarnya memperlukan tanah yang sangat besar untuk pelaksanaannya.
Dan tanah mempunyai fungsi social dan pemanfaatannya harus
dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat ditegaskan dalam GBHN pada Pola Umum
Pelita VI. Untuk itu perlu terus dikembangkan rencana tata ruang dan tata guna
tanah secara nasional sehingga pemanfaatan tanah dapat terkoordinasi.
Secara umum sifat norma hukum dapat digolonhkan menjadi
empat macam sifat norma hukum, yaitu:
1. Norma hokum umum abstrak
misainya undang-undang.
2. Norma individual konkrit
misalnya keputusan tata usaha Negara.
3. Norma umum konkrit misalnya
rambu-rambu lalu lintas.
4. Norma individual abstrak
misalnya izin gangguan.
Sanksi-sanksi hukum administrasi yang dapat dikenakan
terhadap tindakan-tindakan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, antara lain:
1. Paksaan Pemerintah.
2. Penariakn kembali keputusan.
3. Pengenaan denda administrasi.
4. Pengenaan uang paksa oleh
pemerintah (dwangsom).
DAFTAR PUSTAKA
Ismaya Samun, Pengantar Hukum Agraria,Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2011.
Notonagoro, politik hukum dan pembangunan agrarian di
Indonesia, Bina Aksara, jarkarta,1984.
Soeprapto, Undang-undang pokok Agraria dalam
peraktek, Universitas Indonesia perss, jarkarta 1986.
0 komentar:
Post a Comment