Contoh makalah "Hukum Agraria" tentang "Sejarah Perkembangan Hukum Agraria"
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015





KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum Agraria pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini penulis mengangkat judul Sejarah Perkembangan Hukum Agraria”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.


Wassalam
Penulis,


MUHAMMAD YAHYA




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I             : PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang........................................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah.......................................................................................... ......... 1
BAB II            : PEMBAHASAN
A.    Politik hukum agrarian kolonial..................................................................... ......... 2
B.     Hukum agrarian masa kemerdekaan.............................................................. ......... 5
C.     Hukum agrarian masa orde baru dan reformasi....................................................... 6
BAB III          : PENUTUP
A.    Kesimpulan.................................................................................................... ......... 8
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. ......... 9





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada jaman kolonial tujuan politik hukum pemerintah penjajah jelas berorientasi pada kepentingan penguasa sendiri. Sedang politik hukum indonesia, dalam hal ini politik hukum agraria nasional merupakan alat bagi pembangunan masyarakat yang sejahtera, bahagia, adil dan makmur.
 Di dalam usaha untuk mewujudkan tujuan tersebut, politik hukum agraria nasional memberikan kedudukan yang penting pada hukum adat. Hukum adat dijadikan dasar dan sumber dari pembentukan hukum agraria nasional. Pengambilan hukum adat sebagai dasar merupakan pilihan yang paling tepat karena hukum adat merupakan hukum yang sudah dilaksanakan dan dihayati oleh sebagian besar masyarakat indonesia. Pengambilan hukum adat sebagai sumber memang mengandung kelemahan-kelemahan tertentu. Hal ini berkaitan dengan sifat pluralistis hukum adat itu sendiri. Untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan itu harus dicari dan dirumuskan asas-asas, konsepsi-konsepsi, lembaga-lembaga dan sistem hukumnya. Hal inilah dijadikan sebagai dasar dan sumber bagi pembentukan hukum agraria nasional.
B.     Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan makalah saya ini adalah :
Menjelaskan proses perkembangan politik hukum agraria di Indonesia yang sebelumnya dikenal pada jaman kolonial Belanda sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria atau sering disebut dengan masyarakat lokal hukum adat dan hukum barat serta menjelaskan perkembangan berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria dari jaman kolonial hingga era reformasi.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Politik Hukum Agraria Kolonial.
Politik agraria dimaksudkan adalah kebijaksanaan dalam bidang ke-agraria-an. Prof. Dr. Mahfud M.D. dalam bukunya “Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi”, memberikan pengertian politik hukum. Dalam bukunya itu disebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dengan demikian, politik hukum agraria merupakan arah kebijaksanaan hukum dalam bidang agraria dalam usaha memelihara, mengawetkan, memperuntukan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber daya alam lainnya yang terkandung di dalamnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dimana dalam pelaksanaan legal policy itu dapat dituangkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang memuat asas, dasar, dan norma dalam bidang agraria dalam garis besar.
Sementara itu, politik hukum agraria kolonial adalah prinsip dagang, yakni untuk mendapatkan hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga yang setinggi-tingginya. Tujuannya tidak lain mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi diri pribadi penguasa kolonial yang merangkap sebagai pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha Belanda dan pengusaha Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam.
Sistem kolonial ditandai dengan 4 ciri pokok, yaitu dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan dependensi. Prinsip dominan terjadi dalam kekuasaan golongan penjajah yang minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini ditopang oleh keunggulan militer kaum penjajah dalam menguasai dan memerintah penduduk peribumi. Eksploitasi atau pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil peoduksinyaaunutk diserahkan kepada penjajah, yang kemudian oleh pihak penjajah itu dikirim ke negara induknya untuk kemakmuran mereka sendiri. Diskriminasi atau perbedaan ras dan etnis. Golongan penjajah dianggap sebagai golongan yang superior, sedangkan penduduk pribumi yang dijajah dipandang sebagai bangsa yang rendah atau hina. Dependensi atau ketergantungan masyarakat jajahan terhadao penjajah. Masyarakat terjajah menjadi makin tergantung kepada penjajah dalam hal modal, teknologim pengetahuan, dan keterampilan karena mereka semakin lemah dan miskin.
Politik hukum agraria kolonial dimuat dalam Agrarische Wet (AW) S.1870-55 dengan isi dan maksud serta tujuan sebagai berikut :
1.            Tujuan primer :
Memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing) mendapatkan bidang tanah yang luas dari pemerintah unutk waktu yang cukup lama dengan uang sewa (canon) yang murah. Di samping itu untuk memungkinkan orang asing (bukan bumi putera) menyewa atu mendapat hak pakai atas tanah langsung dari orang bumi putera, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi. Meaksudnya adalah memungkinkan berkembangnya perusahaan pertanian swasta asing.
2.            Tujuan sekunder.
Melindungi hak penduduk Bumi Putera atas tanahnya, yaitu :
a.              Pemberian tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesak hak Bumi Putera;
b.              Pemerintah hanya boleh mengambil tanah Bumi Putera apabila diperlukan untuk kepentingan umum atau untuk tanaman-tanaman yang diharuskan dari atasan dengan pemberian gantik kerugian;
c.              Bumi Putera diberikan kesempatan mendapatkan hak atas tanah yang kuat yaitu hak eigendom bersyarat (agrarische eigendom);
d.             Diadakan peraturan sewa menyewa antara Bumi Putera dengan bukan Bumi Putera.
Dalam perjalanan berlakunya AW terjadi penyimpangan terhadap tujuan skundernya, yaitu adanya penjualan tanah-tanah mili pribumi langsung kepada orang-orang Belanda atau Eropa lainnya. Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap tanah-tanah milik Bumi Putera dari pembelian orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, maka pemerintah Hindi Belanda mengeluarkan kebijaksanaan berupa Vervreemdingsverbod S.1875-179. Yang dimaksud denganVervreemdingsverbod adalah hak milik (adat) atas tanah tidak dapat dipindahtangankan oleh orang-orang Indonesia asli kepada bukan orang Indonesia asli dan oleh karena itu semua perjanjian yang bertujuan untuk memindahkan hak tersbut, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah batal karenanya.
Selain AW, maka pemerintah Hindia Belanda juga telah mengeluarkan kebijakan agraria dalam Agrarische Besluit (AB) sebagai pelaksanaan dari ketentuan AW. AB ini diundangkan dalam S.1870-118. yang terpenting dalam AB ini adalah adanya pernyataan domein negara atau lebih dikenal dengan Domein Verklaring. Berkaitan dengan struktur agraria warisan penjajah, menurut Imam Soetiknjo, bahwa struktur agraria warisan penjajah sebagai hasil politik agraria kolonial apabila:
1.    Dipandang dari sudut hukumnya tidak ada kesatuan hukum.
a.              Ada dua macam (dualisme hukum), yaitu hukum barat yang dibawa dan diberlakukan di Hindia Belanda oleh pihak penjajah Belanda dan hukum adat penduduk Bumi Putera;
b.              Hukum adat di Indonesia itu beraneka warna, agak berbeda di pelbagai daerah (plurisme) yang dibiarkan terus berlaku selama dianggap tidak bertentangan dengan politik agraria penjajah;
c.              Ada hak ciptaan baru yang bukan hukum adat tapi yang bukan hukum barat, yaitu hak agraris eigendom.

2.    Dilihat dari sudut objeknya, tidak ada kesamaan status subjek.
a.              Ada pemegang hak yang orang orang Bumi Putera, ada yang bukan orang Bumi Putera yang sistem hukumnya berbeda;
b.              Yang bukan Bumi Putera ada : 1.Orang asing bangsa Eropa/Barat; 2.Orang keturunan asiang; 3. Orang Timur Asing.

3.    Dilihat dari yang menguasai/memiliki tanah, tidak ada keseimbangan dalam hubungan antara mausia dengan tanah.
a.            Ada besar golongan manusia (petani) yang tidak mempunyai tanah atau yang mempunyai tanah yang sangat sempit;
b.            Di lain pihak ada golongan kecil manusia (penguasa, pengusaha asing, tuan tanah, pemilik tanah partikelir) yang memiliki/menguasai tanah;

4.    Dilihat dari sudut penggunaan tanah, tidak ada keseimbangan dalam penggunaan tanah.
a.       Tanah di Jawa dan Madura hampir semua sudah dibuka/diusahakan;
b.      Di luar Jawa, Madura dan Bali masih ada tanah luas yang bukan dibuka/diusahakan.

5.    Dilihat dari sudut tertib hukum, tidak ada tertib hukum.
a.        Penjajah Jepang mengambil tanah rakyat atau tanah/rumah orang asing yang menguasai atau ditangkap, tanpa ambil pusing soal hak yang ada di atasnya;
b.        Rakyat sendiri juga menduduki tanah perkebunan, pekarangan bahkan rumah orang asing/bekas penjajah yang mengungsi secara tidak sah.

B.     Hukum Agraria Masa kemerdekaan
Di awal kemerdekaan, pemerintahan Soekarno – Hatta sudah memberi perhatian pada masalah agraria. Pemerintah membentuk Panitia Agraria berdasarkan Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948. Panitia Agraria ini diketuai Sarimin Reksodihardjo. Tugasnya adalah memberi usulan dan pemikiran untuk membuat Undang-Undang Agraria menggantikan UU Kolonial. Inilah cikal bakal lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang sering disingkat UUPA. Lahirnya UUPA ini melalui proses yang panjang dengan berganti Panitia Agraria. Mulai dari Panitia Agraria Jogja (1948), kemudian Panitia Jakarta (1951), Panitia Soewahjo (1956), Rancangan Soenario (1958), sampai dengan Rancangan Sadjarwo (1960). Proses panjang ini tidak lepas dari persoalan negara baru yang menyesuaikan berbagai aturan. Di samping itu terjadi pula perdebatan filosofis dan teknis tentang arah UUPA. Namun, semua rancangan UUPA itu sudah meletakkan dasar-dasar keberpihakan pada rakyat dan petani. Setelah Pemilu 1955, Panitia Agraria di bawah Soewahjo Soemodilogo berhasil menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Agraria Nasional yang intinya penghapusan asas domein(kolonial) diganti penguasaan oleh negara dan asas bahwa tanah dikerjakan oleh pemiliknya. Sayangnya, Panitia Soewahjo tidak sampai meneruskan RUU ke DPR. Baru pada masa Panitia Soenario, tepatnya 24 April 1958, pemerintah menyampaikan RUU PA. Namun, Presiden Soekarno ketika itu meminta adanya pengkajian yang lebih mendalam dengan melibatkan Panitia ad hoc DPR, Universitas Gadjah Mada dan Departemen Agraria. Dari pengkajian itu akhirnya disusunlah naskah baru RUU PA pada 1959. Naskah ini disampaikan pada DPR GR sebagai Rancangan Sadjarwo pada 1 Agustus 1960. Pada 24 September 1960, RUU ini oleh DPR GR diundangkan sebagai UU No. 5 Tahun 1960 atau dikenal juga dengan nama Undang-Undang Landreform. Dalam sidang Dewan Pertimbangan Agung pada 13 Januari 1960, Menteri Agraria Sadjarwo menyatakan ada tiga pekerjaan di bidang agraria. Pertama, perubahan UU Agraria Kolonial yang masih berdasar atas domein-beginsel dan penyusunan UU Agraria Nasional. Kedua, Land-reform yang artinya perubahan dasar struktur pertanahan. Ketiga, Land-use-planningatau perencanaan penggunaan tanah dalam rangka pembangunan semata. Menurut Sadjarwo, UUPA berlandaskan Pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi dan air dikuasai oleh negara untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Karena negara adalah penjelmaan rakyat, maka negara mempunyai hak untuk mengatur, membangun wilayah, untuk kepentingan rakyat dan negara agar tercapai masyarakat yang adil dan makmur. Mengingat UUPA hanya peraturanperaturan dasar dan mengenai hal-hal pokok, maka UU tersebut perlu dilengkapi dengan perangkat peraturan lanjutan. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Aturan ini secara populer dikenal sebagai Undang-Undang Landreform. Aturan ini memerintahkan kepada pemerintah untuk mengusahakan agar setiap keluarga petani memiliki minimal 2 hektar tanah. Gerakan Land-reform muncul karena tidak adanya keadilan sosial dalam masyarakat pertanian. Tanah dikuasai oleh tuan tanah (land-lords), sementara petani kecil dan petani tanpa tanah semakin banyak jumlahnya. Mereka menuntut tanah diberikan kepada petani. Seperti kata Sadjarwo, tujuan land-reform adalah untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, dengan maksud ada pembagian hasil yang adil pula. Tidak dapat dipungkiri bahwa UUPA, seperti kata Presiden Soekarno, adalah tonggak untuk mengikis habis sisa-sisa imperialisme dalam lapangan pertanahan agar rakyat tani dapat membebaskan diri dari berbagai macam penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah. Bahkan Bung Karno menyebut, “Land-reform adalah bagian mutlak dari Revolusi kita.” Pada 26 Agustus 1963, melalui Keputusan Presiden RI No. 169 Tahun 1963, tanggal 24 September, tanggal lahirnya UUPA, ditetapkan sebagai Hari Tani. Sayangnya pada masa Orde Lama, UUPA ini tidak sempat dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat.

C.    Hukum Agraria  Masa Orde Baru dan Reformasi
Begitu pula pada masa Orde Baru, terjadi perubahan haluan dan orientasi pembangunan. Prioritasnya adalah stabilisasi ekonomi, pembangunan basis industri, penciptaan lapangan kerja, dan yang tak kalah penting adalah swasembada pangan. UUPA tidak tersentuh dan masuk “kotak”. Namun, seiring dengan maraknya kasus sengketa tanah, Presiden Soeharto meminta Menteri Riset Prof. Soemitro Djojohadikusumo membentuk sebuah tim untuk mengkaji masalah pertanahan. Hasilnya, pada 1979, pemerintah mengukuhkan kembali UUPA 1960 tetap sah sebagai panduan dasar menyelesaikan persoalan pertanahan. Pada 1981, pemerintah mencanangkan Proyek Nasional Agraria (Prona) bagi masyarakat ekononi lemah. Program sertifikasi cukup dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Namun, implementasi UUPA itu sendiri tidak pernah tercapai. Pemerintah Orde Baru terlanjur mengandalkan Revolusi Hijau dan Trilogi Pembangunan tanpa Reforma Agraria. Pasca Orde Baru, ada upaya untuk melaksanakan dan menyempurnakan UUPA dengan lahirnya Tap MPR RI Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Tap ini lahir dari MPR hasil Pemilu pertama di era reformasi. Sehingga, seharusnya Tap itu merupakan produk reformasi yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan. Sama seperti pemerintahan sebelumnya, pemerintahan pasca Orde Baru juga belum melaksanakan amanah Tap MPR itu.
Pemerintahan pasca Orde Baru dapat dikatakan lalai dan abai dalam mengimplementasikan Tap MPR itu. Ini berarti seluruh pimpinan bangsa dan negara pasca Orde Baru telah melakukan kelalaian kolektif, sehingga Tap MPR itu tidak dilaksanakan dengan baik. Reformasi di bidang legislasi terkait agraria belum dilakukan. Pada pidato 31 Januari 2007 di Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menegaskan bahwa pemerintah akan menempuh reforma agraria dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Untuk itu, pemerintah (setelah lima tahun pernyataan Presiden SBY) akan mengeluarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Reforma Agraria. Menurut Kepala BPN, Joyo Winoto, RPP ini sudah matang, akan keluar pada Januari 2012 ini. Berdasarkan identifikasi BPN, terdapat 7,3 juta hektar tanah terlantar di 33 provinsi di Indonesia. Tanah itu dikuasai lembaga dan perseorangan, tapi tidak digunakan sesuai dengan izin atau dibiarkan terlantar secara fisik. Tanah ini akan menjadi obyek program reforma agraria. Kini, saatnya untuk merealisasikan program reforma agraria yang signifikan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Dengan adanya perkembangan politik hukum agraria di Indonesia telah memberi pecerahan kepada masyarakat akan pentingnya kepemilikan tanah yang sah yang diakui oleh SK Camat, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris dan Badan Pertahanan Nasional. Dimana masyarakat dikedepankan akan pentingnya kesejahteraan rakyat luas yang secara tegas diatur dalam ketetuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu ; “bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” sebagai titik awal dasar politik hukum agraria di Indonesia. Kita sebagai warga negara sangat merindukan upaya-upaya untuk menghadirkan Pancasila, Konstitusi dan paham konstitusionalisme yang sanggup memberi arah dan inspirasi bagi usaha-usaha mewujudkan keadilan agraria yaitu; kondisi dimana tidak terdapat konsentrasi yang berarti dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, kekayaan alam dan wilayah hidup warga pedesaan dan pedalaman, dan terjaminya hak-hak petani dan pekerja pertanian lainnya atas akses dan kontrol terhadap tanah, kekayaan alam dan wilayah hidupnya.








DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan sebagai Hukum Dasar (Konstitusi) Negara Republik Indonesia adalah pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Soekarno.
John Gilissen , Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2005
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filasafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema Keadilan (susunan II), Raja Grafindo Persada, Jakarta
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama Cet. Ke-2 2005.
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya, Bandung, 1996
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cet. Ke-2, 2005
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi 1999


0 komentar:

Post a Comment

 
Top