Makalah ulumul Quran tentang Al-Quran dan Wahyu
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA
PENGANTAR
Segala
puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan
keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan
kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu
pengetahuan.
Dalam
rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Ulumul Quran pada Program Studi Hukum
Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini penulis mengangkat
judul “Al-quran dan Wahyu”.
Dalam
penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
KELOMPOK 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang...................................................................................
1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
wahyu..............................................................................
2
B.
Macam-macam
wahyu.......................................................................
4
C.
Perbedaan wahyu,
ilham dan ta’lim................................................... 8
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalammullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad lewat perantara malaikat Jibril sebagai
mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan
dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika,
mu’amalah dan sebagainya.
Mempelajari isi Al-qur’an akan
menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan,
meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal yang selalu baru. Lebih
jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukan Maha
Besarnya Allah sebagai penciptanya.Firman Allah : “Dan sesungguhnya Kami telah
mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang Kami telah
menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami[546]; menjadi petunjuk dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman.(Q.S.Al-A’raf 52).
B.
Rumusan Masalah
1.
Menjelaskan
pengertian wahyu
2.
Menjelaskan
macam-macam wahyu
3.
Menjelaskan
perbedaan wahyu, ilham dan ta’lim
C.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah disamping untuk memenuhi tugas
dalam perkuliahan juga agar kami khususnya dan semua mahasiswa pada umumnya
mampu memahami al-quran dan wahyu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian wahyu
Dikatakan wahaitu ilaih dan auhaitu,
bila kita berbicara kepadanya agar tidak diketahui orang lain. Wahyu adalah
isyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan yang berupa rumus dan
lambing, dan terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melalui isyarat
dengan sebagian anggota badan.[1]
Al-wahyu atau wahyu adalah kata masdar (infinitive); dan
materi kata itu menunjukkan dua dasar, yaitu: tersembunyi dan cepat. Oleh
sebab itu, maka dikatakan bahwa wahyu ialah pemberitahuan secara tersembunyi
dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberi tahu tanpa diketahui
orang lain. Inilah pengertian masdarnya. Tetapi terkadang juga bahwa yang
dimaksudkan adalah al-muha yaitu pengertian isim
maf’ul, yang diwahyukan. Pengertian wahyu dalam arti bahasa meliputi:
1. Ilham sebagai bawaan dasar manusia,
seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa:
!$uZøym÷rr&ur #n<Î) ÏdQé& #ÓyqãB ÷br& ÏmÏèÅÊör&
Artinya
: “Dan Kami ilhamkan kepada Ibu
Musa: “Susuilah dia…” (al-Qasas [28]:7)
4ym÷rr&ur y7/u n<Î) È@øtª[$# Èbr& ÉϪB$# z`ÏB ÉA$t6Ågø:$# $Y?qãç/ z`ÏBur Ìyf¤±9$# $£JÏBur tbqä©Ì÷èt ÇÏÑÈ
Artinya :“Dan Tuhanmu telah
mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon
kayu, dan di rumah-rumah yang didirikan manusia’” (an-Nahl
[16]: 68)
3. Isyarat yang cepat melalui rumus dan
kode, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Qur’an:
yltsmú 4n?tã ¾ÏmÏBöqs% z`ÏB É>#tósÏJø9$# #Óyr÷rr'sù öNÍkös9Î) br& (#qßsÎm7y Zotõ3ç/ $|ϱtãur ÇÊÊÈ
Artinya : “Maka keluarlah dia
dari mihrab, lalu member isyarat kepada mereka: ‘Hendaklah kamu bertasbih di
waktu pagi dan petang.’” (Maryam [19]: 11)
4. Bisikan dan tipu daya setan untuk
menjadikan yang buruk kelihatan indah dalam diri manusia.
¨bÎ)ur úüÏÜ»u¤±9$# tbqãmqãs9 #n<Î) óOÎgͬ!$uÏ9÷rr& öNä.qä9Ï»yfãÏ9 (
÷bÎ)ur öNèdqßJçG÷èsÛr& öNä3¯RÎ) tbqä.Îô³çRmQ ÇÊËÊÈ
Artinya : “Sesungguhnya
syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah
kamu.” (al-An’am [6]: 121)[2]
y7Ï9ºxx.ur $oYù=yèy_ Èe@ä3Ï9 @cÓÉ<tR #xrßtã tûüÏÜ»ux© ħRM}$# Çd`Éfø9$#ur ÓÇrqã öNßgàÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ t$ã÷zã ÉAöqs)ø9$# #Yráäî
Artinya : “Dan demikianlah Kami
jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan dari jenis manusia
dan dari jenis jin; sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia.” (al-An’am [6]: 112)
5. Apa yang disampaikan Allah kepada
malaikatnya berupa suatu perintah untuk dikerjakan.
øÎ) ÓÇrqã y7/u n<Î) Ïps3Í´¯»n=yJø9$# ÎoTr& öNä3yètB (#qçGÎm;sWsù úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
Artinya : “Ingatlah ketika
Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka
teguhkanlah pendirian orang-orang yang beriman.’” (al-Anfal [8]: 12)
Sedang wahyu Allah kepada para Nabi-Nya
secara syara’ mereka didefinisikan sebagai “kalam Allah yang diturunkan kepada
seorang Nabi.” Definisi ini menggunakan pengertian maf’ul,
yaitu al-muha (yang diwahyukan). Ustadz Muhammad Abduh
mendefinisikan wahyu di dalam Risalatut Tauhidsebagai
“pengetahuan yang didapati seseorang dari dalam dirinya dengan disertai
keyakinan pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan melalui perantara
ataupun tidak; yang pertama melalui suara yang terjelma dalam telinganya atau
tanpa suara sama sekali.
B.
Macam-macam Wahyu
Wahyu oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
merupakan peristiwa yang sangat besar. Turunnya merupakan peristiwa yang tidak
disangka-sangka. Begitulah Allah memberikan titahNya kepada manusia terpilih,
yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.[3]
Wahyu, secara bahasa artinya adalah, pemberitahuan secara
rahasia nan cepat. Secara syar'i, wahyu berarti pemberitahuan dari Allah kepada
para nabiNya dan para rasulNya tentang syari'at atau kitab yang hendak
disampaikan kepada mereka, baik dengan perantara atau tanpa perantara. Wahyu
secara syar'i ini jelas lebih khusus, dibandingkan dengan makna wahyu secara
bahasa, baik ditinjau dari sumbernya, sasarannya maupun isinya.
Ada bermacam-macam wahyu syar'i, dan yang terpenting ialah
sebagaimana penjelasan berikut.
Pertama : Taklimullah (Allah Azza wa Jalla
berbicara langsung) kepada Nabi-Nya dari belakang hijab. Yaitu Allah SWT
menyampaikan apa yang hendak Dia sampaikan, baik dalam keadaan terjaga maupun
dalam keadaan tidur. Sebagai contoh dalam keadaan terjaga, yaitu seperti ketika
Allah Azza wa Jalla berbicara langsung dengan Musa Alaihissallam, dan juga
dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pada peristiwa isra' dan
mi'raj. Allah berfirman tentang nabi Musa :
zN¯=x.ur ª!$# 4ÓyqãB $VJÎ=ò6s? ÇÊÏÍÈ
Artinya : " …Dan Allah telah berbicara kepada Musa
dengan langsung" [an Nisaa`/4 : 164].
Adapun contoh ketika dalam keadaan tidur, yaitu sebagaimana
diceritakan dalam hadits dari Ibnu Abbas dan Mu'adz bin Jabal. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Aku didatangi (dalam mimpi) oleh
Rabb-ku dalam bentuk terbaik, lalu Dia berfirman : "Wahai,
Muhammad!" Aku menjawab,"Labbaik wa sa'daika." Dia
berfirman,"Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?" Aku
menjawab,"Wahai, Rabb-ku, aku tidak tahu," lalu Dia meletakkan
tanganNya di kedua pundakku, sampai aku merasakan dingin di dadaku. Kemudian,
aku dapat mengetahui semua yang ada di antara timur dan barat. Allah Azza
wa Jalla berfirman,"Wahai, Muhammad!" Aku menjawab,"Labbaik
wa sa'daika!" Dia berfirman,"Apa yang diperdebatkan oleh para
malaikat itu?" Aku menjawab,"………". (Al hadits).
Dalam hal wahyu ini, para ulama salaf, Ahli Sunnah wal
Jama'ah memegangi pendapat, bahwa Nabi Musa Alaihissallam dan Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam, keduanya pernah mendengar kalamullah al azaliy
al qadim[4],
yang merupakan salah satu sifat di antara sifat-sifat Allah. Pendapat ini
sangat berbeda dan tidak seperti yang dikatakan oleh sebagian orang, bahwa yang
terdengar adalah bisikan hati atau suara yang diciptakan oleh Allah Azza wa
Jalla pada sebatang pohon.
Kedua :
Allah Azza wa Jalla menyampaikan risalahNya melalui perantaraan Malaikat
Jibril, dan ini meliputi beberapa cara, yaitu :
1.
Malaikat Jibril menampakkan diri dalam wujud aslinya.
Cara seperti ini sangat jarang terjadi, dan hanya terjadi
dua kali. Pertama, saat Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam setelah masa vakum dari wahyu, yaitu setelah Surat al 'Alaq diturunkan,
lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menerima wahyu beberapa saat.
Masa ini disebut masa fatrah, artinya kevakuman. Kedua, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya, yaitu saat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dimi'rajkan.
2.
Malaikat Jibril Alaihissallam terkadang datang kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam wujud seorang lelaki.
Biasanya dalam wujud seorang lelaki yang bernama Dihyah al
Kalbiy. Dia adalah seorang sahabat yang tampan rupawan. Atau terkadang dalam
wujud seorang lelaki yang sama sekali tidak dikenal oleh para sahabat. Dalam
penyampaian wahyu seperti ini, semua sahabat yang hadir dapat melihatnya dan
mendengar perkataannya, akan tetapi mereka tidak mengetahui hakikat
permasalahan ini. Sebagaimana diceritakan dalam hadits Jibril yang masyhur,
yaitu berisi pertanyaan tentang iman, Islam dan ihsan. Hadits ini diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Muslim. Di awal hadits ini, 'Umar bin Khaththab
Radhiyallahu 'anhu menceritakan : “Pada suatu saat, kami sedang duduk
bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul seorang
lelaki yang berpakaian sangat putih, sangat hitam rambutnya, tidak terlihat
tanda-tanda melakukan perjalanan jauh, dan tidak tidak ada seorangpun di antara
kami yang mengenalnya, sampai dia duduk di dekat Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam
Kemudian di akhirnya, yaitu sesaat setelah orang itu pergi, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Umar Radhiyallahu 'anhu : "Wahai,
'Umar. Tahukah engkau, siapakah orang yang bertanya tadi?" Aku
menjawab,"Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui," (kemudian)
Rasulullah bersabda,"Dia itu adalah Malaikat Jibril datang kepada kalian
untuk mengajarkan kepada kalian din (agama) kalian."
Ini menunjukkan, meskipun para sahabat dapat melihatnya dan
bisa mendengar suaranya, namun mereka tidak mengetahui jika dia adalah Malaikat
Jibril yang datang membawa wahyu. Mereka mengerti setelah diberitahu oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
3.
Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, namun ia tidak terlihat.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui kedatangan
Malaikat Jibril dengan suara yang mengirinya. Terkadang seperti suara lonceng,
dan terkadang seperti dengung lebah. Inilah yang terberat bagi Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga dilukiskan saat menerima wahyu seperti
ini, wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah. Meski pada cuaca
yang sangat dingin, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bermandikan keringat,
dan pada saat itu bobot fisik Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah
secara mendadak.
Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang sahabat, yaitu
Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu, dia berkata : "Allah Azza wa Jalla
menurunkan wahyu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sementara itu
paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berada di atas pahaku. Lalu
paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi berat, sampai aku khawatir pahaku
akan hancur".[5]
Beratnya menerima wahyu dengan cara seperti ini, juga
diceritakan sendiri oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa ass ditanya : "Wahai, Rasulullah. Bagaimanakah
cara wahyu sampai kepadamu?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab,"Terkadang wahyu itu datang kepadaku seperti suara lonceng, dan
inilah yang terberat bagiku, dan aku memperhatikan apa dia katakan. Dan terkadang
seorang malaikat mendatangi dengan berwujud seorang lelaki, lalu dia
menyampaikannya kepadaku, maka akupun memperhatikan apa yang dia ucapkan."
Berdasarkan riwayat dan penjelasan dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, maka dapat dipahami bahwa saat menerima
semua wahyu, Rasulullah merasa berat. Namun, yang paling berat ialah cara yang
semacam ini.
Ketiga :
Wahyu disampaikan dengan cara dibisikkan ke dalam kalbu. Yaitu Allah Azza wa
Jalla atau Malaikat Jibril meletakkan wahyu yang hendak disampaikan ke dalam
kalbu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disertai pemberitahuan bahwa, ini
merupakan dari Allah Azza wa Jalla. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Dunya dalam kitab al Qana'ah, dan Ibnu Majah, serta al Hakim dalam al
Mustadrak.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Sesungguhnya Ruhul Quds
(Malaikat Jibril) meniupkan ke dalam kalbuku : "Tidak akan ada jiwa yang
mati sampai Allah Azza wa Jalla menyempurnakan rizkinya. Maka hendaklah kalian
bertakwa kepada Allah, dan carilah rizki dengan cara yang baik. Janganlah
keterlambatan rizki membuat salah seorang di antara kalian mencarinya dengan
cara bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya apa yang di sisi Allah Azza wa Jalla
tidak akan bisa diraih, kecuali dengan mentaatiNya".
Keempat : Wahyu diberikan Allah Azza wa Jalla dalam bentuk
ilham. Yaitu Allah memberikan ilmu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, saat beliau berijtihad pada suatu masalah.
Kelima :
Wahyu diturunkan melalui mimpi. Yaitu Allah Azza wa Jalla terkadang memberikan
wahyu kepada para nabiNya dengan perantaraan mimpi. Sebagai contoh, yaitu wahyu
yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim Alaihissalllam agar menyembelih anaknya.
Peristiwa ini diceritakan oleh Allah Azza wa Jalla:
"Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai
anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar". [ash Shaffat/37 : 102].[6]
Demikian cara-cara penerimaan wahyu
Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Semua jenis wahyu ini dibarengi dengan keyakinan dari si penerima
wahyu, bahwa apa yang diterima tersebut benar-benar datang dari Allah Azza wa
Jalla, bukan bisikan jiwa, apalagi tipu daya setan.
C.
Perbedaan Wahyu, Ilham dan Ta’lim
Ketiga
istilah ini memiliki kesamaan, bahwa semuanya sama-sama menunjukkan pengetahuan
yang bersumber dari Allah Swt. Perbedaannya adalah, wahyu hanya diperuntukkan
bagi orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, yaitu para Nabi dan Rasul;
sedangkan ilham dan ta’lim (ilmu) diberikan oleh Allah kepada semua manusia.[7]
Pengertian
ilham, menurut pendapat sebagian ulama, sebagaimana dikemukakan oleh Hasbi
Ash-Shiddieqie, ialah “menuangkan suatu pengetahuan kedalam jiwa yang menuntut
penerimanya supaya mengerjakannya, tanpa didahului dengan ijtihad dan
penyelidikan hujjah-hujjah agama”. Sejalan dengan pendapat ini, Al-Jurjani
dalamKitāb At-Ta’rīfāt mendefinisikan, bahwa ilham ialah “sesuatu
yang dilimpahkan ke dalam jiwa dengan cara pemancaran, ia merupakan ilmu yang
ada di dalam hati/jiwa, dan dengannya seseorang tergerak untuk melakukan
sesuatu tanpa didahului dengan pemikiran”.
Dalam
pengertian ini hampir sama dengan pengertian instink yang dikenal dalam dunia
Psikologi, yaitu “pola tingkahlaku yang merupakan karakteristik-karakteristik
spesi tertentu; tingkahlaku yang diwariskan dan dilakukan secara berulang-ulang
yang merupakan khas spesi tertentu. Bahkan menurut Sigmund Freud, ia merupakan
sumber energi atau dorongan primal yang tidak dapat dipecahkan. Lebih lanjut
Freud menambahkan, instink itu terbagi dua: instink kehidupan (Eros) dan
instink Kematian (Tahanatos)”.
Dua
macam instink (ilham) yang terdapat dalam jiwa setiap manusia juga diungkapkan
dalam Aquran dengan sebutan Fujur dan Taqwa. Sebagaimana termaktub dalam
Alquran, surat Al-Syams/91: 8,
$ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ
Artinya : “Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaannya.”
Dua macam instink yang disebutkan
dalam ayat di atas adalah instink atau kecendrungan untuk berbuat buruk (Fujur)
dan instink atau kecendrungan untuk berbuat baik (Taqwa). Kedua macam
ini bersifat potensial. Artinya, setiap manusia memiliki potensi untuk berbuat
baik dan berbuat buruk. Karena sifatnya yang potensial, maka aktualisasi
instink ini tergantung pada kecendrungan/kemauan manusia untuk mengaktualkan
instink mana dari kedua instink tersebut. Jika seorang manusia memiliki
kecendrungan untuk mengaktualkan instink keburukan (fujur), maka yang
akan dominan dalam dirinya adalah sifat kejahatan; sehingga jadilah dia sebagai
penjahat, pengingkar terhadap perintah dan larangan Allah. Demikian pula
sebaliknya, jika instink kebaikan yang dikembangkan/diaktualkan, maka jadilah
dia sebagai manusia yang baik, patuh terhadap perintah dan larangan Allah.
Dari pengertian ini dapat
disimpulkan, bahwa perbedaan antara kedua istilah yang disebutkan terakhir (ilham dan ta’lim)
terletak pada proses/cara memperolehnya. Ilham hanya dapat diperoleh atas
kehendak Allah, tanpa usaha manusia; sedangkan ta’lim (ilmu) harus melalui
usaha manusia; kecuali ilmu ladunniy yang dalam pandangan ahli
tasawwuf proses perolehannya sama dengan ilham.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al-wahyu atau wahyu adalah kata masdar (infinitive); dan
materi kata itu menunjukkan dua dasar, yaitu: tersembunyi dan cepat. Oleh
sebab itu, maka dikatakan bahwa wahyu ialah pemberitahuan secara tersembunyi
dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberi tahu tanpa diketahui
orang lain. Inilah pengertian masdarnya. Tetapi terkadang juga bahwa yang
dimaksudkan adalah al-muha yaitu pengertian isim maf’ul,
yang diwahyukan.
Macam-macam wahyu adalah sebagai berikut:
1. Taklimullah (Allah Azza wa Jalla
berbicara langsung) kepada Nabi-Nya dari belakang hijab.
2. Allah Azza wa Jalla menyampaikan
risalahNya melalui perantaraan Malaikat Jibril,
3. Wahyu disampaikan dengan cara
dibisikkan ke dalam kalbu.
4. Wahyu diberikan Allah Azza wa Jalla
dalam bentuk ilham
5. Wahyu diturunkan melalui
mimpi.
Ketiga istilah ini memiliki kesamaan, bahwa semuanya
sama-sama menunjukkan pengetahuan yang bersumber dari Allah Swt. Perbedaannya
adalah, wahyu hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu yang dipilih oleh
Allah, yaitu para Nabi dan Rasul; sedangkan ilham dan ta’lim (ilmu) diberikan
oleh Allah kepada semua manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Mudzakir AS,Studi ilmu-ilmu qur’an. Jakarta : PT.Pustaka litera antarnusa,
2000. Hal :11
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan
terjemahnya. Cet. V; Bandung: CV. Diponegoro, 2005.
Asy-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an atau
Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Kamaluddin Marzuki, Ulumul Quran, Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 1994
Muhammad ali Ash-Shabuuny, Studi Ilmu Al-Quran, Bandung : CV Pustaka Setia, h. 15
Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta:
Litera Antar Nusa, 2000
[1]
Mudzakir AS,Studi ilmu-ilmu qur’an. Jakarta : PT.Pustaka litera antarnusa,
2000. Hal :11
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya.
Cet. V; Bandung: CV. Diponegoro, 2005.
[3] Asy-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an atau Tafsir, Jakarta: Bulan
Bintang, 1980.
[4]
Kamaluddin Marzuki, Ulumul
Quran, Bandung : PT Remaja
Rosda Karya, 1994
[5]
Muhammad ali Ash-Shabuuny, Studi
Ilmu Al-Quran, Bandung : CV
Pustaka Setia, h. 15
[6] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan
terjemahnya. Cet. V; Bandung: CV. Diponegoro, 2005.
[7] Al-Qattan,
Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000
[8]
Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000
0 komentar:
Post a Comment