Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa ta’ala, karena
berkat rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Biografi
4 Mazhab Ulama Fiqh. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata
kuliah Tarikh Tasyri’.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat
untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Wassalam
Penulis,
KELOMPOK 4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah............................................................................. 1
C.
Tujuan penulisan............................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Profil
mazhab Hanafi.........................................................................
2
B.
Profil
mazhab Maliki..........................................................................
3
C.
Profil
mazhab Syafi’i......................................................................... 7
D.
Profil
mazhab Hanbali....................................................................... 11
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................ 13
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada masa dinasti Abbasiyah tahun 750 – 1258 M muncul mazhab –
mazhab fiqh yang diantaranya empat imam mazhab yang terkenal yaitu imam Hanafi
dari kufah, imam maliki dari madinah, imam Syafi’i dari gaza, dan Imam Hanbali
dari baghdad. Mereka
merupakan ulama fiqh yang paling agung dan tiada tandingannya di dunia dengan
kitab- kitab yang terkenal yang sangat memberi andil dalam pengembangan ilmu
fiqh yaitu al-fiqhul Akbar karangan imam Abu hanifah, kitab Al-Muwattha
karangan Imam Maliki, kitab al-umm karangan Imam Syafi’i Dan Kitab Al- kharraj
karangan Imam Hanbali. Pada Masa Ini Ulama juga Telah Menyusun Ilmu ushul Fiqh
yaitu ilmu tentang kaidah – kaidah dalam pengambilan hukum Islam. Ar- Risalah
Karangan Imam Syafi’i Adalah merupakan Kitab Ushul Fiqh yang paling pertama.
B. Rumusan
Masalah
1. Menjelaskan profil mazhab Hanafi
2. Menjelaskan profil mazhab Maliki
3. Menjelaskan profil mazhab Syafi’i
4. Menjelaskan profil mazhab Hambali
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah
ini adalah agar kami dan semua mahasiswa/I mampu memahami tentang biografi 4
mazhab fiqh.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Profil
Mazhab Hanafi
Pendiri mazhab Hanafi ialah : Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Seorang
keturunan bangsa Ajam dari Persia. Dilahirkan pada masa sahabat, yaitu pada
tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya
Imam Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal dengan sebutan : Abu Hanifah An
Nu’man.Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Kata
"Hanif" dalam bahasa Arab berarti "cenderung" pada agama
yang benar. Menurut riwayat lain dijelaskan bahwa gelar "Abu Hanifah"
itu beliau peroleh karena sedemikian eratnya dengan tinta. Kata
"Hanifah" itu menurut lughat Irak artinya "dawat" atau
"tinta".
Abu Hanifah memiliki ilmu yang luas dalam semua kajian Islam hingga ia
merupakan seorang mujtahid besar (imamul a"zdam ) sepanjang masa. Meskipun
demikian ia hidup sebagaimana layaknya dengan melakukan usaha berdagang dalam
rangka menghidupi keluarga. Dengan prinsip berdiri di atas kemampuan sendiri,
ia prihatin juga terhadap kepentingan kaum muslimin , terutama bagi mereka yang
berhajat akhlak yang mulia yang dimilikinya mampu mengendalikan hawa nafsu,
tidak goyah oleh imbauan jabatan dan kebesaran duniawi dan selalu sabar dalam
mengahadapi berbagai cobaan. Meskipun ia berdagang ia hidup sebagai kehidupan
sufi dengan zuhud, wara, dan taat ibadah. Kalau kita hayati kehidupannya maka
akan tampak kepada kita bahwa Abu Hanifah hidup dengan ilmu dan bimbingan umat
dengan penuh kreatif, hidup dengan kemampuan sendiri tidak memberatkan orang
lain. Disamping menjalankan usaha dagangnya. ia juga hidup dengan ibadah yang
intensif siang dan malam.
Dasar-Dasar Istinbath Mazhab Imam Abu Hanifah
Mazhab abu Hanifah adalah gambaran yang hidup dan jelas bagi
relevansi Hukum Islam dengan tuntutan masyarakat, beliau mendasarkan
hukumnya pada :
a. Al-Qur’an: Alqur’an merupakan sumber pokok hukum islam sampai akhir zaman.
b. Hadits: Hadits merupakan penjelas dari pada Al-Qur’an yang asih bersifat
umum.
c. Aqwalus shahabah (Ucapan Para Sahabat): ucapan para sahbat menurut Imam hanafi itu sangat
penting karena menurut beliau para sahabat meupakan pembawa ajaran rasul
setelah generasinya.
d. Qiyas: beliau akan menggunakan Qiyas apa bila tidak ditemukan dalam Nash
Al-Qur’an, Hadits, maupun Aqwalus shahabah. Istihsan: merupakan
kelanjutan dari Qiyas. Epnggunaan Ar-Ra’yu lebih menonjol lagi,istihsan menurut
bahasa adalah “menganggap lebih baik”, menurut ulama Ushul Fiqh Istihsan
adalah meninggalkan ketentuan Qiyas yang jelas Illatnya untuk mengamalkan Qiyas
yang bersifat samar.
e. Urf, beliaua mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dalam
kebutuhan srta memeperhatikan muamalh manusia dan apa yang mendatangkan
maslahat bagi mereka. Beliau menggunakan segala urusan (bila tidak ditemukan
dalam Al-Qur’an ,As-Sunnah dan Ijma’ atau Qiyas ), beliau akan menggunakan
Istihsan, jika tidak bisa digunakan dengan istihsan maka beliau kembalikan
kepada Urf manusia.
Selain itu, dasar dasar
ilmu hukum tersebut ada pula berapa pendirian terhadap taqlik yaitu Sebagai
seorang ulama, beliau tidak membenarkan seorang bertaklid buta
(tidak mengetahui dasar/dalil yang digunakan). Begitu juga kepada para Ulama
beliau menginginkan seorang bersikap kritis dalam menerima fatwa dalam ajaran
agama. Bahakan beliau pernah berkata “Tidak Halal bagi seorang yang ating
fatwa dengan perkataanku, selam ia belum mengerti dari mana perkataanku”.
Dalam mengistinbathkan
hukum, beliau melihat terlebih dahulu kepada kitabullah, bila tifdak ditemukan
dilanjutkan kepada sunnah jika tidak ditemukan pula dalam sunnah beliau melihat
kepada perkataan para sahabat, lalu beliau menggunakan jalan pikiran untuk mengambil
pendapat mana yang sesuai dengan jala pikiran dan ditiggal mana yang tidak
sesuai.
B. Profil
Mazhab Maliki
Abu
Abdullah, Malik bin Anas bin Malik bin Amr al-Asbahi lahir di Madinah
pada tahun 93 H (714 M). Rumah leluhurnya itu di Yaman, namun kakeknya menetap
di Madinah setelah memeluk Islam.
Sebenarnya
terdapat perbedaan pendapat tentang kelahirannya, tetapi pendapat yang paling
kuat adalah apa yang disebutkan oleh Imam yahya bin Bakir bahwa beliau
mendengar imam malik berkata: “aku dilahirkan pada 93 H".
Lahir dalam
keluarga berada, Imam Malik tidak perlu bekerja untuk mencari nafkah.
Dia sangat tertarik untuk mempelajari Islam, dan akhirnya mengabdikan seluruh
hidupnya untuk mempelajari Fiqh. Imam Malik menerima pendidikan dalam kota yang
paling penting dari pembelajaran Islam, Madinah, dan tinggal di mana keturunan
langsung dan pengikut para sahabat Nabi, sallallahu alayhi wasallam, tinggal.
Dikatakan
bahwa Imam Malik mencari lebih dari tiga ratus Tabi'een atau mereka yang
melihat dan mengikuti para sahabat Nabi, sallallahu alayhi wasallam. Imam Malik
memegang hadits Nabi, sallallahu alayhi wasallam, dalam penghormatan sedemikian
rupa sehingga dia tidak pernah diriwayatkan, mengajarkan hadits apapun atau
memberi fatwa tanpa terlebih dahulu bersuci. Ismael bin abi Uwaiss berkata,
"Aku bertanya pamanku Imam Malik - tentang sesuatu. Dia mempersilakan saya
duduk, kemudian berwudhu, lalu berkata, 'Laa Hawla wala quwata illa billah.
"Dia tidak memberikan fatwa apapun tanpa mengucapkan kata tersebut
terlebih dahulu."
Juga, Imam
Malik melihat fatwa sebagai, tindakan yang tepat, dan penting sensitif yang
dapat memiliki hasil yang jauh ke depan, dan dia sangat berhati-hati memberikan
fatwa, jika ia tidak yakin tentang suatu hal, ia tidak akan berani bicara .
Al-Haytham berkata, "Saya pernah bersama Imam Malik ketika ditanya lebih
dari empat puluh pertanyaan dan aku mendengar dia menjawab," Aku tidak tahu,
'tiga puluh dua dari mereka. "
Namun, ia adalah orang tentang siapa asy-Syafi'ee
berkata, "Ketika ulama disebutkan, Malik adalah seperti bintang di antara
mereka." Malik mengatakan bahwa ia tidak duduk untuk memberikan fatwa,
sebelum tujuh puluh ulama Madinah pertama bersaksi kompetensinya dalam
melakukannya. Imam Malik
menjadi Imam di Madinah, dan salah satu Imam yang paling terkenal dari Islam.
Adapun
sumber hukum Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang pada:
a.
Al-Qur’an
Dalam memegang
Al-Qur’an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir nash Al-Qur’an
atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-Aula dengan
memperhatikan ‘illatnya.
b.
Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik
mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur’an. Apabila
dalil syar’iy menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan
adalah arti ta’wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zahir
Al-Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah
makna zahir Al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang dikandung oleh sunnah tersebut
dikuatkan oleh ijma’ ahl Al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang
terkandung dalam sunnah dari pada zahir Al-Qur’an (sunnah yang dimaksud disini
adalah sunnah mutawatir atau masyhurah).
c.
Ijma’ Ahl al-Madinah
Ijma’ ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma’ ahl al-Madinah
yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari
hasil ijtihad ahl al-Madinah. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam
Malik.
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Huzaemah T.
Yanggo, yang dimaksud dengan ijma’ ahl al-Madinah tersebut ialah ijma’ ahl
al-Madinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari
Nabi SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali
bukan merupakan hujjah. Ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, sudah
merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah.
Dikalangan mazhab Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih diutamakan
dari pada khabar ahad, sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh
jama’ah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perseorangan.
d.
Fatwa Sahabat
Yang dimaksud dengan Sahabat disini adalah sahabat besar, yang
pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. Ini
berarti bahwa yang dimaksud dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud
hadits-hadits yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar itu
tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah
SAW. Namun demikian, beliau mensyaratkan bahwa fatwa sahabat tersebut tidak
boleh bertentangan dengan hadits marfu’ yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat
yang demikian ini lebih didahulukan dari pada Qiyas.
e.
Khabar Ahad dan Qiyas
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang
dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah
dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali
khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath’iy. Dalam
menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang-kadang
ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak
dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini
dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari
Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka khabar ahad tersebut tidak digunakan sebagai
dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas dan mashlahah.
f.
Al-Istihsan
Menurut mazhab Maliki, al-Istihsan adalah: “Menurut hukum dengan
mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully
(menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-Mursal dari pada qiyas,
sebab menggunakan istihsan itu,tidak berarti hanya mendasarkan pada
pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud
pembuat syara’ secara keseluruhan”. Dari ta’rif tersebut, jelas bahwa istihsan
lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan
dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam ungkapan yang lain sering
dikatakan bahwa istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang
dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Artinya jika
terdapat satu masalah yang menurut qiyas semestinya diterapkan hukum tertentu,
tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata akan menghilangkan suatu mashlahah
atau membawa madharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang demikian itu harus
dialihkan ke qiyas lain yang tidak akan membawa kepada akibat negatif.
Tegasnya, istihsan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum. Jangan sampai
suatu ketentuan hukum membawa dampak merugikan. Dampak suatu ketentuan hukum harus
mendatangkan mashlahat atau menghindarkan madharat.
g.
Al-Mashlahah Al-Mursalah
Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik
secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian,
maka maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari’at
diturunkan. Tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui Al-Qur’an,
sunnah atau ijma’. Para ulama yang berpegang kepada maslahah mursalah sebagai
dasar hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:
·
Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut
penelitian yang seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.
·
Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat
umum, bukan sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu.
·
Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat
umum dan tidak bertentangan dengan ketentuan nash atau ijma’.
h.
Sadd Al-Zara’i
Imam Malik menggunakan sadd al-Zara’i sebagai landasan dalam
menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang
haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab
yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.
i.
Istishhab
Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam menetapkan
hukum. Istishhab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau
yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa
lampau. Jadi sesuatu yang telah dinyatakan adanya, kemudian datang keraguan
atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap
seperti hukum pertama, yaitu tetap ada. Begitu pula sebaliknya.
j.
Syar’u Man Qablana
Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan
kaedah syar’u man qablana syar’un lana, sebagai dasar hukum. Tetapi menurut
Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam Malik
yang menyatakan demikian. Menurut Abd. Wahab Khallaf, bahwa apabila Al-Qur’an
dan sunnah shahihah mengisahkan suatu hukum yang pernah diberlakukan buat umat
sebelum kita melalui para Rasul yang diutus Allah untuk mereka dan hukum-hukum
tersebut dinyatakan pula di dalam Al-Qur’an dan sunnah shahihah, maka
hukum-hukum tersebut berlaku pula buat kita.
C. Profil
Mazhab Syafi’i
Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Syafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد بن إدريس الشافعي) yang akrab dipanggil Imam Syafi'i lahir di
Gaza, Palestina, 150 H / 767 dan wafat di Fusthat, Mesir 204H / 819M. Beliau
adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam
Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani
Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang
merupakan kakek Muhammad.
Saat
berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar
bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah
menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang
berisikan 1.720 hadis pilihan juga beliau hafal dengan lancar hanya dalam waktu
9 hari saja, Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di dusun badui
bani hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali ke Mekkah dan
belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah pada saat itu
yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni. Kecerdasannya inilah yang membuat dirinya
dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekkah.
Saat usia 20
tahun, Imam Syafi'i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu,
Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid
Imam Hanafi di sana.
Karya tulis Imam Syafi'i
Ar-Risalah
Salah
satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab
“Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang
mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak
dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah
orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang
pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’
Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul,
hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki
sifat amanah (dipercaya), ‘adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’,
takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang
banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”
Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh
empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam
Syafi’i.
Al-Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i
diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii
bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits
shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan
buanglah perkataanku di belakang tembok,”
Secara
sederhana, dalil-dalil hukum yang digunakan Imam Syafi’i dalam Istinbāţ hukum,
antara lain :
1. Alquran dan
sunnah
2. Ijmak
3. Menggunakan
al-Qiyas dan at-Takhyir bila menghadapi ikhtilaf.
Sedangkan
manhaj atau langkah-langkah ijtihad Imam Syafi’i, seperti yang dikutip DR. Jaih
Mubarok dari Ahmad Amin dalam kitabnya Duha al-Islam, yaitu sebagai berikut :
rujukan pokok adalah Alquran dan sunnah. Apabila suatu persoalan tidak diatur
dalam Alquran dan sunnah, hukumnya ditentukan dengan qiyas. Sunnah digunakan
apabila sanadnya sahih. Ijmak diutamakan atas khabar mufrad. Makna yang diambil
dari hadis adalah makna zahir. Apabila suatu lafaz ihtimal (mengandung makna
lain), maka makna zahir lebih diutamakan.hadis
munqati’ ditolak kecuali jalur Ibn Al-Musayyab. As-Asltidak boleh diqiyaskan
kepada al-asl. Kata “mengapa” dan “bagaimana” tidak boleh dipertanyakan kepada
Alquran dan sunnah, keduanya dipertanyakan hanya kepada al-Furu’
Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Imam Syafi’i menggunakan lima sumber, yaitu:
Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Imam Syafi’i menggunakan lima sumber, yaitu:
1. Nash-nash
Baik
Alquran dan sunnah yang merupakan sumber utama bagi fikih Islam, dan selain
keduanya adalah pengikut saja. Para sahabat terkadang sepakat atau berbeda
pendapat, tetapi tidak pernah bertentangan dengan Alquran atau sunnah.
2. Ijmak
merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh imam Syafi’i
menempati urutan setelah Alquran dan sunnah. Beliau mendefinisikannya sebagai
kesepakatan ulama suatu zaman tertentu terhadap satu masalah hukum syar’i
dengan bersandar kepada dalil. Adapun ijmak pertama yang digunakan oleh imam
Syafi’i adalah ijmaknya para sahabat, beliau menetapkan bahwa ijmak diakhirkan
dalam berdalil setelah Alquran dan sunnah. Apabila mmasalah yang sudah
disepakati bertentangan dengan Alquran dan sunnah maka tidak adahujjah padanya.
3. Pendapat para
sahabat.
Imam Syafi’i membagi pendapat sahabat kepada tiga bagian. Pertama,
sesuatu yang sudah disepakati, seperti ijmak mereka untuk membiarkan lahan
pertanian hasil rampasan perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijmak seperti
ini adalah hujjah dan termasuk dalam keumumannya serta tidak dapat dikritik.
Kedua, pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada yang lain dalam suatu
masalah, baik setuju atau menolak, maka imam Syafi’i tetap mengambilnya.
Ketiga, masalah yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal ini imam
Syafi’i akan memilih salah satunya yang paling dekat dengan Alquran, sunnah
atau ijmak, atau mrnguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak
akan membuat pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
4. Qiyas.
Imam Syafi’i menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi
syariat Islam untuk mengetahui tafsiran hukum Alquran dan sunnah yang tidak ada
nash pasti. Beliau tidak menilai qiyas yang dilakukan untuk menetapkan sebuah
hukum dari seorang mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan hukum syariat dalam
masalah yang sedang digali oleh seorang mujtahid.
5. Istidlal.
Imam Syafi’i memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum, apabila
tidak menemukan hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas. Dua sumberistidlal
yang diakui oleh imam Syafi’i adalah adat istiadat (‘urf) dan undang-undang
agama yang diwahyukan sebelum Islam (istishab). Namun begitu, kedua sumber ini
tidak termasuk metode yang digunakan oleh imam Syafi’i sebagai dasar istinbath
hukum yang digunakan oleh imam Syafi’i.
6. Kaul Qadim dan
Kaul Jadid.
Ulama
membagi pendapat imam Syafi’i menjadi dua, yaitu Kaul Qadim dan Kaul Jadid.
Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak.
Sedangkan Kaul Jadid adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis
di Mesir. Di Irak, beliau belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil
pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-ra’y. Di antara ulama Irak yang banyak
mengambil pendapat imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad bin
Hanbal, al-Karabisi, al-Za’farani, dan Abu Tsaur. Setelah tinggal di Irak, imam
Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di sana. Di Mesir, dia
bertemu dengan (dan berguru kepada) ulama Mesir yang pada umumnya sahabat imam
Malik. Imam Malik adalah penerus fikih Madinah yang dikenal sebagai ahl
al-hadits. Karena perjalanan intelektualnya itu, imam Syafi’i mengubah beberapa
pendapatnya yang kemudian disebut Kaul Jadid. Dengan demikian, Kaul Qadim
adalah pendapat imam Syafi’i yang bercorak ra’yu, sedangkan Kaul Jadid adalah
pendapatnya yang bercorak sunnah.
D. Profil
Mazhab Hambali
Pendiri Mazhab Hambali ialah Al
Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir
di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Ahmad bin Hanbal adalah
seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu
pengetahuan, antara lain Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau
dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.
Ada beberapa ulama yang mengikuti
jejak langkah Imam Ahmad yang menyebarkan mazhab Hambali, diantaranya :
- Muwaquddin Ibnu Qudaamah al Maqdisi yang
mengarang kitab Al Mughni.
- Syamsuddin Ibnu Qudaamah al Maqdisi pengarang
Assyarhul Kabiir.
- Syaikhul Islam Taqiuddin Ahmad Ibnu Taimiyah
pengarang kitab terkenal Al Fataawa.
- Ibnul Qaiyim al Jauziyah pengarang kitab I’laamul
Muwaaqi’in dan Atturuqul Hukmiyyah fis Siyaasatis Syar’iyyah.Ibnu Taimiyah
dan Ibnul Qaiyim adalah dua tokoh yang membela dan mengembangkan mazhab
Hambali.
Adapun
sumber hukum dan metode istinbath Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum
adalah:
1.
Nash dari
Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari Al-Qur’an dan dari
Sunnah Rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan
nash itu.
2.
Fatwa para
sahabat Nabi SAW
Apabila ia
tidak mendapatkan suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun dari hadits
shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada
perselisihan di kalangan mereka. Apabila terdapat perbedaan di antara fatwa
para sahabat, maka Imam Ahmad ibn Hanbal memilih pendapat yang lebih dekat
kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
3.
Hadits Mursal
dan Hadits Dha’if
Apabila ia
tidak menemukan dari tiga poin di atas, maka beliau menetapkan hukum dengan
hadits mursal dan hadits dha’if. Dalam pandangan Imam Ahmad ibn Hanbal, hadits
hanya dua kelompok yaitu, hadits shahih dan hadits dha’if.
4.
Qiyas
Apabila
Imam Ahmad ibn Hanbal tidak mendapatkan nash dari hadits mursal dan hadits
dha’if, maka ia menganalogikan / menggunakan qiyas. Qiyas adalah dalil yang
digunakan dalam keadaan dharurat (terpaksa)
5.
Sadd al-dzara’I, yaitu melakukan tindakan preventif terhadap
hal-hal yang negatif.
Daerah yang
Menganut Mazhab Hambali
Awal perkembangannya, mazhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan
Mesir dalam waktu yang sangat lama. Pada abad XII mazhab Hambali berkembang
terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi. Dan masa sekarang
ini menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut
terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendiri mazhab Hanafi
ialah : Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Seorang keturunan bangsa Ajam dari Persia.
Dilahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada
tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal
dengan sebutan : Abu Hanifah An Nu’man.Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang
ahli ibadah.
Dikatakan
bahwa Imam Malik mencari lebih dari tiga ratus Tabi'een atau mereka yang
melihat dan mengikuti para sahabat Nabi, sallallahu alayhi wasallam. Imam Malik
memegang hadits Nabi, sallallahu alayhi wasallam, dalam penghormatan sedemikian
rupa sehingga dia tidak pernah diriwayatkan, mengajarkan hadits apapun atau
memberi fatwa tanpa terlebih dahulu bersuci. Ismael bin abi Uwaiss berkata,
"Aku bertanya pamanku Imam Malik - tentang sesuatu. Dia mempersilakan saya
duduk, kemudian berwudhu, lalu berkata, 'Laa Hawla wala quwata illa billah.
"Dia tidak memberikan fatwa apapun tanpa mengucapkan kata tersebut
terlebih dahulu."
Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Syafiʿī atau Muhammad bin
Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد بن إدريس الشافعي) yang akrab dipanggil Imam Syafi'i lahir di
Gaza, Palestina, 150 H / 767 dan wafat di Fusthat, Mesir 204H / 819M. Beliau
adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam
Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani
Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang
merupakan kakek Muhammad.
Pendiri Mazhab Hambali ialah Al
Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir
di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Ahmad bin Hanbal adalah
seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu
pengetahuan, antara lain Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau
dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash-Shiddieqy,
T. M. Hasbi, Prof. Dr. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hanafi, Ahmad,
MA. 1995. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Yanggo,
Huzaemah Tahido, Dr. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos.
Haswir, MAg.
dan Muhammad Nurwahid, MAg. 2006. Perbandingan Mazhab, Realitas Pergulatan
Pemikiran Ulama Fiqih. Pekanbaru: Alaf Riau.
M. Zein, Satria
Effendi, Prof. Dr. H. MA. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
Mubarok, Jaih,
Dr. 2002. Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
bagus artikelnya..
ReplyDeletesangat bermanfaat