Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA
PENGANTAR
Segala
puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan
keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan
kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu
pengetahuan.
Dalam
rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Tarikh Tasyri’ Syariah pada
Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini
penulis mengangkat judul “Tasyri’ di
Negara Islam ASEAN”.
Dalam
penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
KELOMPOK 8
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang...................................................................................
1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Kondisi
sosial politik Negara-negara Islam ASEAN......................... 2
B.
Sejarah
pembentukan hukum keluarga di Negara Islam ASEAN .... 7
C.
Pembaharuan
hukum keluarga di Negara Islam ASEAN.................. 8
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap sistem hukum menyatakan bahwa orang-orang yang terikat dengan hukum
tersebut harus bersedia mengakui otoritasnya. Selain itu mereka juga mengakui
bahwa hukum tersebut mengikat mereka, begitu juga dengan hukum Islam juga
dengan hukum dalam suatu negara bangsa. Secara umum ada dua pandangan dalam
penerapan hukum Islam dibawah ketentuan negara-bangsa (nation-state).
Pandangan pertama ialah mengedepankan cara akomodatif, yaitu bangunan hukum
Islam dirubah seseuai dengan paradigma modern. Artinya hukum Islam yang semula
lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional yang bersifat kelompok,
sehingga anggota komunitasnya diikat berdasarkan identitas, etnis, agama,
keluarga atau yang lain sebagainya.
Keseluruhan paradigma hukum Islam tradisonal tersebut diubah dengan sisitem
keseluruhan yaitu system yang mana masyarakat berada dalam sebuah sistem yang
konstitusional negara-bangsa bahkan tatanan hukum internasional. Oleh karena
itu, keputusan dan praktek hukum Islam harus didasarkan pada alasan-alasan
rasional. Jadi, seluruh warisan hukum Islam adalah baku, begitu juga dengan
hukum-hukum pada awalnya seperti hukum adat dan lain sebagainya dalam hukum
nasional.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi sosial politik
Negara-negara Islam ASEAN?
2. Jelaskan sejarah pembentukan hokum keluarga
di Negara-negara Islam ASEAN?
3. Jelaskan Pembaharuan Hukum Keluarga di
Negara-negara
Islam Di ASEAN?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah
ini adalah agar kami dan semua mahasiswa/I mampu memahami bagaimana tasyri’ di
Negara-negara islam ASEAN.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi
Sosial Politik Negara-negara Islam ASEAN
1. Agama Islam di
Indonesia
Agama Islammasuk ke
Indonesia pada abad ke-7 dibawa oleh pedagang Islam dari Arab, Gujarat dan Malabar. Cara menyiarkan Islam
dengan damai tidak dengan kekerasan atau paksaan. Adapun daerah-daerah yang
mula-mula dimasuki Islam ialah Sumatera bagian Utara, sumatera Barat dan Jawa
Tengah.
Perkembangan Islam di
Sumatera dapat pesat setelah kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran, terutama
di Samudera Pasai. Dari Samudera Pasai Islam berkembang ke Malaka, Minangkabau,
Riau, Tapanuli dan lain-lainnya.
Agama Islam masuk ke
Jawa pada masa pemerintahan Ratu Sima (674 M) dan Islam dapat berkembang dengan
pesatnya setelah kerajaan Hindu di Majapahit mengalami kemerosotan. Adapaun
yang sangat berperan dan berjasa menyiarkan agama Islam ke seleruh pelosok Jawa
ialah Wali Songo.
Sedangkan perkembangan
agama Islam di Sulawesi tidak sepesat seperti di Sumatera dan Jawa, karena
adanya pertentangan Islam dengan kerajaan yang belum Islam demi kepentingan
politik.[1]
$oYù=è% (#qäÜÎ7÷d$# $pk÷]ÏB $YèÏHsd ( $¨BÎ*sù Nä3¨YtÏ?ù't ÓÍh_ÏiB Wèd `yJsù yìÎ7s? y#yèd xsù ì$öqyz öNÍkön=tæ wur öNèd tbqçRtøts ÇÌÑÈ
Artinya :“Kami berfirman,
"Turunlah kamu semua dari surge itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku
kepadamu,maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscahya tidak ada
kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula)mereka bersedih hati”. (Al Baqarah
: 38)
Adapun perkembangan
Islam di Kalimantan sangat pesat, sejak Sultan Suryanullah tahun 1550 M. Demak
mengirimkan para penghulu untuk mengajar agama Islam kepada masyarakat
Kalimantan. Agama Islam berkembang di Kutai ± tahun 157 M, di Brunei sejak abad
ke-15, di Kalimantan Barat sejak tahun 1550 M , dan kepada suku Dayak tahun
1677 M. Bersamaan dengan berkembangnya agama Islam maka
berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia antara lain di Demak, Pajang,
Mataram, Banten, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera.
Agama Islam di
Indonesia dapat berkembang dengan baik dan pesat. Hal itu terbukti sekitar 88 %
(1985) penduduk menganut agama Islam, kemudian tempat-tempat ibadah banyak
dibangun disetiap kota-kota, desa dan lain sebagainya. Tempat-tempat pengajian,
tempat-tempat TPA atau Taman Pendidikan Al-qur’an hampir di setiap kampung ada.
Disamping itu, pada hari raya Idul Fitri, hari raya kurban kita dapat
menyaksikan orang Islam berduyun-duyun ke lapangan untuk shalat. Juga dalam
pembagian zakat fitrah, penyembelihan hewan kurban dan pelaksanaan ibadah haji,
yang tiap tahun calon jamaah haji Indonesia selalu bertambah dan untuk tahun
1995 calon haji (yang mendaftar) samapai 240.000 orang sehingga melebihi kuota.
Maraknya jilbab di
sekolah-sekolah dan kampus-kampus perguruan tinggi, maraknya gerakan dakwah
kampus, lahirnya organisasi remaja masjid, pesantren-pesantren kilat pada masa
liburan sekolah, lahirnya ICMI, Bank Muamalat, Asuransi Islam dan sebagainya.
Semua itu, menunjukan bahwa agama Islam dapat berkembang baik di Indonesia.
2. Agama Islam di
Singapura
Perkembangan Islam di
singapura boleh dikatakan tidak ada hambatan, baik dari segi politik maupun
birokratis. Muslim di Singapura ± 15 % dari jumlah penduduk, yaitu ± 476.000
orang Islam.[2]
øÎ) ãNä3Ïe±tóã }¨$yèZ9$# ZpuZtBr& çm÷YÏiB ãAÍit\ãur Nä3øn=tæ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB Nä.tÎdgsÜãÏj9 ¾ÏmÎ/ |=Ïdõãur ö/ä3Ztã tô_Í Ç`»sÜø¤±9$# xÝÎ/÷zÏ9ur 4n?tã öNà6Î/qè=è% |MÎm7sWãur ÏmÎ/ tP#yø%F{$# ÇÊÊÈ
Artinya : “(Ingatlah) ketika Allah menjadikanmu mengantuk sebagai suatu
penentraman dari-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk
menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan
dari setan dan menguatkan hatimu dan memperteguh kekuatannya dengan telapak
kaki (mu)”. (QS. Al Anfal : 11)
Sebagai temapt pusat
kegiatan Islam ada ± 80 masjid yang ada di sana. Pada tanggal 1 Juli 1968,
dibentuklah MUIS (majelis Ulama Islam Singapura) yang mempunyai tanggung jawab
atas aktivitas keagamaan, kesehatan, pendidikan, perekonomian, kemasyarakatan
dan kebudayaan Islam.
3. Agama Islam di Thailand
Agama Islam masuk ke
Thailand dengan melalui Kerajaan Pasai (Aceh). Ketika Kerajaan Pasai ditaklukan
Thailand, raja Zainal Abidin dan orang-orang Islam banyak yang ditawan. Setelah
mereka membayar tebusan mereka dikeluarkan dari tawanan, dan para tawanan
tersebut ada yang pulang dan ada juga yang menetapa di Thailand, sehingga
mereka menyebarkan agama Islam.
Ketika raja Thailand
menekan Sultan Muzaffar Syah (1424-1444) dari Malak agar tetap tuduk kepada
Thailand dengan membayar upeti sebanyak 40 tahil emas per tahun ditolaknya,
kemudian Raja Pra Chan Wadi menyerang Malaka, tetapi penyerangan tersebut
gagal. Pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1444-1477) tentara Thailand
di Pahang dapat dibersihkan. Wakil Raja Thailand yang bernama Dewa Sure dapat
ditahan, tetapi beliau diperlakukan dengan baik. Bahkan, puterinya diambil
istri oleh Mansyur Syah untuk menghilangkan permusuhan antara Thailand dengan
Malaka. Pada akhir-akhir ini, muslim Pattani cukup lama mendapat tekanan dan
penindasan dari rezim Bangkok yang memeluk Budha
4. Agama Islam di Filipina
§NèO ôM|¡s% Nä3ç/qè=è% .`ÏiB Ï÷èt/ Ï9ºs }Îgsù Íou$yÚÏtø:$$x. ÷rr& x©r& Zouqó¡s% 4 ¨bÎ)ur z`ÏB Íou$yfÏtø:$# $yJs9 ã¤fxÿtFt çm÷ZÏB ã»yg÷RF{$# 4 ¨bÎ)ur $pk÷]ÏB $yJs9 ß,¤)¤±o ßlã÷usù çm÷YÏB âä!$yJø9$# 4 ¨bÎ)ur $pk÷]ÏB $yJs9 äÝÎ6öku ô`ÏB Ïpuô±yz «!$# 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÐÍÈ
Artinya : “Kemudian setelah itu, hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih
keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu, sungguh ada yang mengalir
sungai-sungai darinya, dan diantaranya sungguh ada yang terbelah, lalu
keluarlah mata air darinya, dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh
karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang
kamu kerjakan". (QS. Al Baqarah : 74)
Berdasarkan catatan
Kapten Tomas Forst tahun 1775 M, ada orang Arab yang mula-mula masuk pulau
Mindanau (Filiphina) adalah Mubaligh yang bernama Kebungsuan pada abad ke-15 M.
Sedangkan yang menyebarkan agama Islam di pulau sulu ialah Sayid Abdul Aziz
(Sidi Abdul Aziz) dari Jeddah. Ulama ini juga mengislamkan raja Malaka pertama
yang semula beragama Hindu, yakni Permaisura diganti dengan Muhammad Syah.
Kemudian yang disusun dengan mubaligh Abu Bakar yang menyebarkan Islam ke Pulau
Sulu, Pulau Luzon dan sebagainya.
Muslim di Filipina
adalah minoritas dan nasib mereka sekarang sangat memprihatinkan. Seperti nasib
muslim di Thailand, Kamboja, Vietnam, Myanmar, di situ umat Islam mendapat
gangguan, tekanan bahkan pembasmian dari pihak-pihak yang memusuhinya. Hingga
kini muslim Moro terus berjuang untuk memperoleh otonomi karena mereka selalu
ditindas dan diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh pemerintah Manila. Oleh
karena itu, muslim Moro terus berjuang mempertahankan diri, agama dan identitas
sebagai muslim.
5. Agama Islam di Malaysia
(Malaka)
Sekitar abad
ke-14 agama Islam masuk ke Malaysia dibawa oleh pedagang dari Arab, Persia,
Gujarat dan Malabar. Disamping itu, ada seorang ulama bernama Sidi Abdul Aziz
dari Jeddah yang mengislamkan pejabat pemerintah Malaka dan kemudian
terbentuklah kerjaan Islam di Malaka dengan rajanya yang pertama Sultan
Permaisura. Setelah beliau wafat diganti oleh Sultan Iskandar Syah dan
penyiaran Islam bertambah maju, pada masa Sultan Mansyur Syah (1414-1477 M).
Sultan suka menyambung tali persahabatan dengan kerajaan lain seperti Syam,
Majapahit, dan Tiongkok.
øÎ) ãNä3Ïe±tóã }¨$yèZ9$# ZpuZtBr& çm÷YÏiB ãAÍit\ãur Nä3øn=tæ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB Nä.tÎdgsÜãÏj9 ¾ÏmÎ/ |=Ïdõãur ö/ä3Ztã tô_Í Ç`»sÜø¤±9$# xÝÎ/÷zÏ9ur 4n?tã öNà6Î/qè=è% |MÎm7sWãur ÏmÎ/ tP#yø%F{$# ÇÊÊÈ
Artinya : “(Ingatlah) ketika Allah menjadikanmu mengantuk sebagai suatu
penentraman dari-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk
menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan
dari setan dan menguatkan hatimu dan memperteguh kekuatannya dengan telapak
kaki (mu)”. (QS. Al Anfal : 11)
Kejayaan Malaka dapat
dibina lagi sedikit demi sedikit oleh Sultan Aludin Syah I, sebagai pengganti
Muhammad Syah. Kemudian pusat pemerintahannya dari Kampar ke Johor (Semenanjung
Malaka). Sultan Alaudin Syah I dikenal sebagai Sultan Johor yang pertama dan
negeri Johor makin nertambah ramai dengan datangnya para pedagang dan
pendatang. Sampai sekarang perkembangan agama Islam di Malaysia makin bertambah
maju dan pesat, dengan bukti banyaknya masjid-masjid yang dibangun, juga
terlihat dalam penyelenggaraan jama’ah haji yang begitu baik. Sehingga dapat
dikatakan bahwa perkemabangan Islam di Malaysia, tidak ada hambatan. Bahkan,
ditegaskan dalam konstitusi negaranya bahwa Islam merupakan agama resmi negara.
Di kelantan, hukum hudud (pidana Islam) telah diberlakukan sejak 1992. kelantan
adalah negara bagian yang dikuasai partai oposisi, yakni Partai Al Islam
se-Malaysia (PAS) yang berideologi Islam. Dalam pemilu 1990 mengalahkan UMNO
dan PAS dipimpin oleh Nik Mat Nik Abdul Azis yang menjabat sebagai Menteri
Besar Kelantan.
6.
Agama Islam di Brunei Darussalam
Agama Islam di Brunei
dapat berkembang dengan baik tanpa ada hambatan-hambatan. Bahkan, agama Islam
di Brunei merupakan agama resmi negara. Untuk pengembangan agama Islam lebih
lanjut telah didatangkan ulama-ulama dari luar negeri, termasuk dari Indonesia.
Masjid-masjid banyak didirikan. Umat Islam di Brunei menikmati kehidupan yang
benar-benar sejahtrera sesuai dengan namanya Darussalam (negeri yang damai).
Pendapatan perkapita
negara ini termasuk tertinggi di dunia. Pendidikan dan perawatan kesehatan
diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah. Negara Brunei Darussalam merupakan
negara termuda di Asia Tenggara (merdeka tahun 1984 dari Inggris). Penduduk
Brunei Darussalam mayoritas beragama Islam.[3]
7.
Islam di Vietnam
REPUBLIKA.CO.ID, Suara azan terdengar
berkumandang dari gang-gang padat penduduk di kota Ho Chi Minh, Vietnam.
Sejumlah pria dengan penutup kepala putih dan sarung berjalan menuju masjid.
Pemandangan yangi sangat umum di kota-kota di Indonesia itu juga terlihat di
negeri komunis, Vietnam.
Kaum Muslim di Vietnam hanyalah sebuah komunitas
kecil. Sebagian besar dari mereka tinggal di daerah yang biasa disebut Distrik
VIII. Dahulu, ketika wilayah itu masih bernama Saigon, daerah tersebut
merupakan tempat generasi keturunan Kerajaan Campa tinggal. Sisa-sisa kerajaan
itu masih ada di bagian tengah dan selatan Vietnam. Masyarakat dari kerajaan
itu sering disebut sebagai orang-orang Cham.
Menurut kantor berita AFP, pada tahun 2010 lalu,
jumlah penduduk Muslim di daerah tersebut sekitar 1.300 jiwa. Namun, menurut
laman religiouspopulation.com, jumlah umat Islam di kota Ho Chi Minh City
mencapai 5.000 orang. Rumah makan yang menawarkan makanan halal dan
masjid-masjid raya serta madrasah juga banyak ditemukan. Beberapa dari
murid-murid di madrasah itu sering dikirim ke Malaysia untuk melanjutkan
sekolah.
Secara umum, total populasi Muslim, terutama dari
komunitas Cham, di negara yang berpenduduk 86 juta orang itu sekitar 100 ribu
orang. Namun, menurut hasil survei yang dilakukan The Pew Research Center pada
Oktober 2009, jumlah umat Islam di Vietnam mencapai 71.200 jiwa. Anga itu naik
dibandingkan data hasil sensus pada 1999 yang hanya 63.146 jiwa.
Sekitar 77 persen umat Islam di Vietnam menetap
di Wilayah Tenggara, yakni 34 persen tersebar di provinsi Ninh Thuan
Province, 24 persen di provinsi Binh Thuan, dan sebanyak 9,0 persen di
kota Ho Chi Minh. Sekitar 22 persen menetap di wilayah Delta Sungai
Mekong, khususnya di provinsi An Giang Province. Sisanya, sekitar
1,0 persen Muslim tersebar di wilayah-wilayah lainnya di negeri itu.
Dahulu masyarakat Cham adalah penganut agama
Hindu dan telah menguasai bagian tengah dan selatan Vietnam selama ratusan
tahun. Seiring waktu, mereka memeluk agama Islam. Pada akhir abad ke XV
Kerajaan Campa tergusur ke arah selatan dan lama-lama pengaruhnya semakin
menghilang. Saat ini sekitar 80 persen masyarakat Cham sudah menjadi Muslim.
Berdasarkan data dari pemerintah, Islam adalah
agama dengan pemeluk terkecil dari enam agama yang berkembang di Vietnam.
Kegiatan keagamaan masih dikontrol oleh pemerintah Vietnam yang berhaluan
komunis. Namun, kegiatan ibadah bagi masing-masing agama berkembang dengan
baik.
Sebagai agama dengan jumlah pemeluk terkecil, kaum
Muslim di Vietnam memilih untuk terlalu menonjol. ‘’Kami hanya mengamalkan dan
menjalankan ajaran agama Islam. Kami (Muslim Vietnam) tak peduli dengan urusan
berbau politik,’’ ujar Haji Mousa, 52 tahun, pengelola sebuah madrasah seperti
dikutip laman muslimvillage.com. Mousa fasih berbahasa Melayu dan
mengenal bahasa Arab.
Menurut Mousa, imam-imam yang tampil sebagai
pemimpin umat Islam, lebih banyak belajar di Vietnam. Beberapa imam dari luar
negeri, terutama dari Malaysia, juga sering datang ke negaranya. Kini, di
negara itu juga sudah ada Alquran dengan terjemahan bahasa Vietnam.
Saat ini, setidaknya ada sekitar 16 masjid di
kota Ho Chi Minh. Kebanyakan dari masjid tersebut didanai oleh negara-negara
Muslim. Salah satunya, yaitu Masjid Jamiul Anwar yang dibangun pada 2006.
Masjid itu didanai oleh Uni Emirat Arab dan Palang Merah.
Meskipun mendapatkan dukungan dari Timur Tengah,
namun hubungan erat umat Muslim di Vietnam justru lebih terjalin dengan
Malaysia dan Indonesia. Karena mereka merasa lebih dekat secara kultural.
Hubungan erat itu dimulai sekitar 20 tahun yang lalu, saat Vietnam secara
bertahap membuka diri secara ekonomi.
Seorang Muslim bernama Hachot, mengaku dirinya
tak merasa menjadi bagian dari masyarakat Vietnam yang lebih luas, meskipun
pemerintah telah membantu membangun kembali rumahnya beberapa tahun yang lalu.
Menurut dia, sikap kelompok mayoritas etnis Kinh terhadap Cham oun amat
beragam. ‘’Beberapa Kinh mengatakan Cham kotor,’’ ujarnya seperti dikutip laman
muslimvillage.com. Mereka keberatan dengan sikap Muslim yang mengharamkan
daging babi.
Menurut laman dakwatuna.com, Islam yang
berkembang di Vietnam adalah beraliran Sunni dan Bani. Muslim Sunni yang
tersebar di seluruh penjuru negara itu bermazhab Syafi’i. Muslim Bani berkembang
di daerah Ninh Thuan dan Binh Thuan. Aliran ini tidak terlalu populer karena
mengadopsi pengaruh budaya domestik dan memiliki pengaruh kuat dari India.
Bahkan aliran Bani kerap dianggap sedikit
menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Laman itu menyebutkan bahwa
penyimpangan yang dilakukan seperti menjadikan pemimpin untuk shalat mewakili
jamaah, tidak ada perhatian dari para pemimpin dengan jamaah mereka sehingga
menyebar di tengah mereka ajaran-ajaran syirik. Penyimpangan akidah ini
disebabkan oleh sedikitnya ulama dan dai.
Pada 1959, masyarakat Vietnam, terutama di
wilayah Saigon, mulai melihat kembali ajaran Islam yang benar. Ketika itu, di
antara umat Muslim terjadi perkenalan dan dialog tentang Islam. Sehingga muncul
pemahaman tentang hakikat Islam yang sesungguhnya.
Mereka kemudian mulai memperbaiki diri dan
mengajak masyarakat Muslim di negara itu untuk kembali ke ajaran Islam yang
benar. Meskipun pada awalnya mendapatkan penolakan, akan tetapi usaha
pembaharuan ini lama kelamaan semakin diterima. Muslim di Vietnam pun sudah
banyak yang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, Makkah.
8.
Islam di Kamboja
KAMBOJA (voa-islam.com) - Kamboja terletak di bagian Timur Asia, berbatasan
dengan Thailand dari arah utara dan barat, Laos dari arah utara dan Vietnam
dari arah timur dan selatan. Luas negara ini 181.055 Km2 dengan jumlah penduduk
11.400.000 jiwa, 6% beragama Islam dan mayoritas beragama Budha serta minoritas
beragama Katholik.
Beberapa ahli sejarah beranggapan bahwa Islam sampai di Kamboja pada abad
ke-11 Masehi. Ketika itu kaum muslimin berperan penting dalam pemerintahan
kerajaan Campa, sebelum keruntuhannya pada tahun 1470 M, setelah itu kaum
Muslimin memisahkan diri.
Sepanjang sejarah Kamboja, kaum Muslim tetap teguh menjaga pola hidup mereka
yang khas, karena secara agama dan peradaban mereka berbeda dengan orang-orang
Khmer yang beragama Budha. Mereka memiliki adat istiadat, bahasa, makanan dan
identitas sendiri, karena pada dasarnya, mereka adalah penduduk asli kerajaan
Campa yang terletak di Vietnam yang setelah kehancurannya, mereka hijrah ke
negara-negara tetangga. Diantaranya Kamboja, ini terjadi sekitar abad ke-15
Masehi.
Sepanjang sejarah Kamboja, kaum Muslim tetap teguh menjaga pola hidup
mereka yang khas, karena secara agama dan peradaban mereka berbeda dengan
orang-orang Khmer yang beragama Budha. Mereka memiliki adat istiadat, bahasa,
makanan dan identitas sendiri, karena pada dasarnya, mereka adalah penduduk
asli kerajaan Campa yang terletak di Vietnam
Pada permulaan tahun 1970-an, jumlah kaum Muslimin di Kamboja sekitar 700
ribu jiwa. Mereka memiliki 122 msjid, 200 mushalla, 300 madrasah Islamiyyah dan
satu markas penghafalan Al Qur’anulkarim. Namun karena berkali-kali terjadi
peperangan dan kekacauan perpolitikan di Kamboja dalam dekade 70-an dan 80-an
lalu, mayoritas kaum Muslimin hijrah ke negara-negara tetangga.
Bagi mereka yang masih bertahan di sana menerima berbagai penganiayaan;
pembunuhan, penyiksaan, pengusiran. Termasuk juga penghancuran masjid-masjid
dan sekolahan, terutama pada masa pemerintahan Khmer Merah. Mereka dilarang
mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Hal ini dapat dimaklumi, karena Khmer Merah berfaham komunis garis keras,
mereka membenci semua agama dan menyiksa siapa saja yang mengadakan kegiatan
keagamaan, Muslim, budha ataupun lainnya. Selama kepemerintahan mereka telah
terbunuh lebih dari 2 juta penduduk Kamboja, di antaranya 500.000 kaum
Muslimin, di samping pembakaran beberapa masjid, madrasah dan mushaf serta
pelarangan menggunakan bahasa Campa, bahasa kaum Muslimin di Kamboja.
Baru setelah runtuhnya pemerintahan Khmer Merah ke tangan pemerintahan baru
yang ditopang dari Vietnam, secara umum keadaan penduduk Kamboja mulai membaik
dan kaum Muslimin yang saat ini mencapai kurang lebih 45.000 jiwa dapat
melakukan kegiatan keagamaan mereka dengan bebas, mereka telah memiliki 268
masjid, 200 mushalla, 300 madrasah Islamiyyah dan satu markaz penghafalan Al
Qur’anulkarim.
Selain itu mulai bermunculan organisasi-organisasi keislaman, seperti
Ikatan Kaum Muslimin Kamboja, Ikatan Pemuda Islam Kamboja, Yayasan Pengembangan
Kaum Muslimin Kamboja dan Lembaga Islam Kamboja untuk Pengembangan. Di antara
mereka juga ada yang menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan.
Sekalipun kaum muslimin dapat menjalankan kegiatan kehidupan mereka seperti
biasanya dan mulai mendirikan beberapa madrasah, masjid dan yayasan, namun
program-program mereka ini mengalami kendala finansial yang cukup besar, mereka
sangat miskin. Ini dapat dilihat bahwa gaji para tenaga pengajar tidak
mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Disamping itu sebagian kurikulum
pendidikan di beberapa sekolah agama sangat kurang dan tidak baku.
Saat ini kaum Muslimin Kamboja berpusat di kawasan Free Campia bagian utara
sekitar 40 % dari penduduknya, Free Ciyang sekitar 20 % dari penduduknya,
Kambut sekitar 15 % dari penduduknya dan di Ibu Kota Pnom Penh hidup sekitar
30.000 Muslim. Namun sayang, kaum Muslimin Kamboja belum memiliki media
informasi sebagai ungkapan dari identitas mereka, hal ini dikarenakan kondisi
perekonomian mereka yang sulit. Selama ini sebagian besar dari mereka
bergantung dari pertanian dan mencari ikan, dua pekerjaan yang akhir-akhir ini
sangat berbahaya, karena sering terjadi banjir dan angin topan yang menyebabkan
kerugian besar bagi kaum Muslimin dan membawa mereka sampai ke bawah garis
kemiskinan.
Saat ini kaum Muslimin Kamboja berpusat di kawasan Free Campia bagian utara
sekitar 40 % dari penduduknya, Free Ciyang sekitar 20 % dari penduduknya,
Kambut sekitar 15 % dari penduduknya dan di Ibu Kota Pnom Penh hidup sekitar
30.000 Muslim.
Kaum Muslim Kamboja juga membutuhkan pembangunan beberapa sekolah dan
pembuatan kurikulum Islam yang baku, karena selama ini sekolah-sekolah yang
berdiri saat ini berjalan berdasarkan ijtihad masing-masing. Setiap sekolah
ditangani oleh seorang guru yang membuat kurikulum sendiri yang umumnya masih
lemah dan kurang, bahkan ada beberapa sekolah diliburkan lantaran guru-gurunya
berpaling mencari pekerjaan lain yang dapat menolong kehidupan mereka. Mereka juga
sangat membutuhkan adanya terjemah Al Qur’anulkarim dan buku-buku Islami,
khususnya yang berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum Islam.
Hubungan mengakar dan sejarah toleransi kuat Kerajaan Budha Kamboja,
membuat Muslim di negara kecil itu merasa menjadi bagian dari negara. Bagi kaum
muslim, negara Kamboja adalah miliki mereka. Meski menjadi minoritas, Muslim di
Kamboja mengaku menikmati spirit harmoni dan koeksistensi. Dalam desa dan kota
di penjuru salah satu negara Asia Tenggara ini, Muslim dan non-Muslim memang
sudah lama dikenal hidup berdampingan.
Itu tak lepas pula dari peranan pemerintah yang berinisiatif
memuluskan toleransi bagi muslim di Kamboja. Dari pihak pemerintah, Perdana
Menteri Hun Sen memerintahkan pembangunan masjid dan memberi saluran udara
gratis bagi Muslim untuk menyiarkan program-program khusus Islam.
Beberapa waktu lalu, pemerintah setempat mengijinkan siswa Muslim yang
ingin mengenakan atribut Islam termasuk jilbab. Tak hanya itu, Muslim pun
menikmati hak-hak politik mereka. Ada lebih dari selusin Muslim yang kini
bertugas di lembaga-lembaga politik papan atas negara, mulai dari Senat, Dewan
Perwakilan. Senator Premier (salah satu anggota senat) pun memiliki penasihat
khusus urusan Muslim.
Bagi umat Muslim Kamboja, sejarah unik yang berurusan dengan warga
non-Muslim lain menjauhkan mereka dari penetrasi kaum radikal. Ketika kelompok
ultra komunis Khmer Merah mengukuhkan kekuasaannya di tahun 1975 mereka
mencoret agama dari undang-undang dan melakukan diskriminasi terhadap populasi
umat beragama termasuk Muslim.
Hingga kejatuhannya pada 1979 (yang berarti dalam tempo 4 tahun) Khmer
Merah telah membunuh sekitar 500 ribu warga Muslim. Saat ini diperkirakan ada
700 ribu muslim di Kambodia, berasio 5 % dari populasi total 13 juta penduduk.
Mayoritas Muslim Kamboja adalah etnis Cham, yakni berasal dari keturunan
pajurit kuno kerajaan.
9.
Islam di Laos
Laos dikenal sebagai
salah satu Negara dengan sistem pemerintahan komunis yang tersisa di dunia
dengan mayoritas penduduknya merupakan pemeluk Budha Theravada. Tak heran kalau
Laos merupakan negara dengan penduduk Muslim paling sedikit di Asia Tenggara.
Agama Islam pertama kali masuk ke Laos melalui para pedagang Cina dari
Yunnan. Para saudagar Cina ini bukan hanya membawa dagangannya ke Laos, namun
juga ke negara tetangganya seperti Thailand dan Birma. Oleh masyarakat Laos dan
Thailand, para pedagang asal Cina ini dikenal dengan nama Chin Haw.
Peninggalan kaum Chin Haw yang ada hingga hari ini adalah: beberapa
kelompok kecil komunitas Muslim yang tingal di dataran tinggi dan perbukitan.
Mereka menyuplai kebutuhan pokok masyarakat perkotaan. Di sini, mereka memiliki
masjid besar kebanggaan. Letaknya di ruas jalan yang terletak di belakang pusat
air mancur Nam Phui. Masjid ini dibangun dengan gaya neo-Moghul dengan ciri
khas berupa menara gaya Oriental. Masjid ini juga dilengkapi pengeras suara
untuk adzan. Ornamen lain adalah tulisan-tulisan di dalam masjid ini ditulis
dalam lima bahasa, yaitu Arab, Tamil, Lao, Urdu, dan Inggris. Selain kelompok
Muslim Chin Haw, ada lagi kehadiran kelompok Muslim lainnya di Laos yaitu
komunitas Tamil dari selatan India.
Muslim Tamil dikenal dengan nama Labai di Madras dan sebagai Chulia di
Malaysia dan Phuket. Mereka masuk Vientiane melalui Saigon yang masjidnya
memiliki kemiripan dengan masjid mereka di Tamil. Para jamaah Muslim India
Selatan inilah yang mendominasi masjid di Vientiane. Meski demikian, masjid ini
juga banyak dikunjungi jamaah Muslim dari berbagai negara. Jamaah tetap di
masjid ini termasuk para diplomat dari negara Muslim di Vientiane, termasuk
dari Malaysia, Indonesia, dan Palestina. Laos merupakan salah satu negara yang
kaya dengan keberagaman etnis. Setengah populasinya yang mencapai empat
setengah juta orang berasal dari etnis Lao atau yang dikenal masyarakat
lokalnya sebagai Lao Lum. Selain mendominasi dari segi jumlah penduduk, mereka
juga mendominasi pemerintahan dan komunitas masyarakatnya. Mereka yang berasal
dari etnis ini memiliki kedekatan kekerabatan dengan penduduk kawasan timur
laut Thailand. Mereka berasal dari dataran rendah Mekong yang hidup mendominasi
di Vientiane dan Luang Prabang. Secara tradisional, mereka juga mendominasi
pemerintahan dan masyarakat Laos.
Saat ini, sebagian besar Muslim di Vientiane merupakan pembisnis. Mereka
berjaya di bidang tekstil, ekspor-impor, atau melayani komunitas mereka sendiri
dengan menjadi penjual daging atau pemilik restoran halal. Beberapa restoran
terletak di kawasan Taj off Man Tha Hurat Road, dan dua atau tiga restoran
halal lainnya berdiri di persimpangan jalan Phonxay dan Nong Bon Roads. Selain
melayani komunitas Muslim, mereka juga menyediakan jasa ketring bagi petugas
kedutaan yang beragama Islam. Sisanya, para pekerja Muslim lokal di Vientiane
bekerja di bagian tesktil di berbagai pasar di kota ini, seperti di Talat Sao
atau pasar pagi, di persimpangan jalan Lan Xang, dan Khu Vieng.
Selain di Vientiane, ada lagi komunitas Muslim lainnya di Laos. Namun
mereka berjumlah lebih sedikit dan memutuskan tinggal di kota kecil di luar
Vientiane. Sebagian orang menyatakan ada sebuah masjid kecil di Sayaburi, di
tepi barat Mekong tidak jauh dari Nan. Sayaburi dulu pernah dinyatakan sebagai
daerah tertutup bagi orang asing.
Muslim Laos didominasi oleh para pendatang dari kawasan Asia Selatan dan
juga Muslim Kamboja. Khusus untuk Muslim Kamboja, mereka adalah para pengungsi
dari rezim Khmer berkuasa. Mereka melarikan diri ke Negara tetangga mereka
(Laos), setelah pemimpin rezim Pol Pot menyerukan gerakan pembersihan masal
etnis Kamboja Cham Muslim dari tanah Kamboja. Sebagai pengungsi, kehidupan
mereka terbilang miskin. Selain itu mereka mengalami trauma akibat pengalaman
hidup di bawah tekanan Khmer sejak 1975. Semua masjid di Kamboja dihancurkan.
Mereka juga dilarang untuk beribadah atau berbicara dalam bahasa Kamboja dan
banyak di antara mereka dipaksa untuk memelihara babi. Sejarah pahit mengiringi
kepergian Muslim Kamboja ke Laos. Mata imam masjid Kamboja di Vientiane, Musa
Abu Bakar, berlinang air mata ketika menceritakan kematian seluruh anggota
keluarganya dari kelaparan. Mereka dipaksa makan rumput, sementara satu-satunya
daging yang mereka dapatkan dari tentara Khmer hanyalah daging babi, yang
diharamkan oleh Islam. Beberapa orang Kamboja, seperti mereka yang di
Vientiane, kemudian melarikan diri dari kampung halamannya. Sementara sisanya
berhasil bertahan dengan cara menyembunyikan identitas etnis mereka dan juga
keislamannya. Dari suluruh populasi Muslim Kamboja, diperkirakan tujuh puluh
persennya tewas akibat kelaparan dan pembantaian.
Kini di Laos diperkirakan ada sekitar 200 orang Muslim Kamboja.
Mereka memiliki masjid sendiri yang bernama Masjid Azhar atau yang oleh
masyarakat lokal dikenal dengan nama Masjid Kamboja. Masjid ini berlokasi di
sebuah sudut di distrik Chantaburi Vientiane. Meski berjumlah sangat
sedikit dan tergolong miskin, mereka teguh memegang agama. Umumnya, mereka
adalah penganut mahzab Syafii, berbeda dengan komunitas Muslim Asia Selatan di
Vientiane yang menganut mazhab Hanafi.
10. Islam di
Myanmar
Setelah Islam tersebar
di sekitar pantai benua kecil India sekitar abad ke-7 M, pedagang Islam mulai
menyebarkan agama itu ke Burma (Myanmar). Mayoritas mereka berasal dari etnis
Arab, Persia, dan India. Pelaut-pelaut Islam ini untuk pertama kalinya sampai
di Burma (Myanmar) kira-kira abad ke-9 M. Tumpuan mereka adalah berdagang di
sekitar pantai Arakan dan hilir Burma (Myanmar).
Dalam tulisan-tulisan
pelaut (pengembara) Arab dan Persia pada masa itu terdapat catatan tentang
Burma (Myanmar). Ibn Khordadhbeh, Ibn al-Faqih, dan al-Maqdis yang melintasi
kawasan ini pada abad ke-9 dan 10 M telah mencatatkan aktivitas
pedagang-pedagang Islam di Burma (Myanmar) ketika itu. Diantara mereka ada yang
singgah karena untuk berdagang dan ada pula karena menanti angin sebelum
meneruskan pelayaran mereka ke timur atau kembali ke India atau tanah Arab. Ada
juga diantara mereka yang akhirnya menetap karena kapal yang mereka tumpangi
rusak atau tenggelam. Mereka yang agak lama tinggal di Burma (Myanmar) ini
akhirnya menikah dengan penduduk setempat yang beragama Buddha, sehingga
terbentuk komunitas-komunitas Islam di pelabuhan-pelabuhan negara tersebut.
Orang-orang keturunan Islam ini dikenal sebgai Pathee atau Kala. Perkawinan
campuran ini telah menyebabkan tersebarnya agama Islam di sekitar kota-kota
pelabuhan di Burma (Myanmar) terutama setelah abad ke-10 M.
Generasi awal Muslim
yang datang ke delta Sungai Ayeyarwady Burma, yang terletak di pantai
Tanintharyi dan di Rakhine bermula pada abad ke 9. Keberadaan orang-orang
Islam dan da'wah Islam pertama ini didokumentasikan oleh para petualang Arab,
Persia, Eropa, dan Cina abad ke 9. Orang-orang Islam Burma merupakan keturunan
dari orang-orang Islam yang menetap dan kemudian menikahi orang-orang dari
etnis Burma setempat. Orang-orang Islam yang tiba di Burma umumnya sebagai
pedagang yang kemudian menetap, anggota militer, tawanan perang, pengungsi, dan
korban perbudakan. Bagaimanapun juga, ada diantara mereka yang mendapat posisi
terhormat sebagai penasehat raja, pegawai kerajaan, penguasa pelabuhan, kepala
daerah, dan ahli pengobatan tradisional.
Muslim Persia tiba di
utara Burma yang berbatasan dengan wilayah Cina Yunnan pada tahun 860.
Orang-orang Islam Burma kadang-kadang di sebut Pathi, sebuah nama yang
dipercayai berasal dari Persia. Banyak perkampungan di utara Burma dekat
dengan Thailand tercatat sebagai penduduk Muslim, dengan jumlah orang-orang
Islam yang sering melebihi penduduk lokal Burma.
Myanmar, sebagaimana
negara-negara tetangganya, memiliki persoalan yang sama mengenai keragaman etnisitas
dan religiusitas di wilayahnya. Sebagaimana Thailand dan Filiphina, kaum
minoritas menjadi bagian yang terpinggirkan oleh kebijakan negara yang lebih
berpihak kepada kelompok etnis dan keagamaan mayoritas. Tak terkecuali nasib
umat Islam di tengah mayoritas umat Buddha.
Agama Islam yang
pertama kali hadir di Myanmar pada tahun 1055, sehingga kini masih menjadi kaum
pinggiran. Hasil jerih payah para saudagar Arab yang beragama Islam yang
mendarat di delta sungai Ayeyarwady, semenanjung Tanintharyi, dan daerah Rakhin
dengan upaya dakwa mereka, kini baru menuai hasil sebagai etnisitas yang
keberadaannya tetap dicurigai dan bahkan sebagian diintimidasi karena dianggap
berpotensi sebagai kekuatan yang membahayakan junta militer Myanmar dan
mengancam eksistensi kaum mayoritas Buddha di wilayah itu.
Populasi umat Islam
yang ada di Myanmar saat ini terdiri dari keturunan Arab, Persia, Turki, Moor,
Pakistan dan Melayu. Selain itu, beberapa warga Myanmar juga menganut agama
Islam seperti dari etnis Rakhin dan Shan. Populasi Islam di Myanmar sempat
meningkat pada masa penjajahan Britania Raya, dikarenakan banyaknya umat Muslim
India yang bermigrasi ke Myanmar. Tetapi, populasi umat Islam semakin menurun
ketika perjanjian India-Myanmar ditandatangani pada tahun 1941.
Sebagian besar Muslim
di Myanmar bekerja sebagai penjelajah, pelaut, saudagar dan tentara. Umat
Muslim asli Myanmar disebut Pathi dan Muslim China disebut Panthay. Konon, nama
Panthay berasal dari kata Parsi. Kemudian, komunitas Muslim bertambah di daerah
Pegu, Tenasserim, dan Pathein.
Salah satu kelompok
etnis yang beragama Islam negara bagian Arakan adalah Rohingya. Sebuah kelompok
etnis-Muslim yang oleh junta militer Myanmar tidak diakui sebagai bagian dari
komunitas etnis yang sah di wilayah itu. Sehingga mereka terusir di beberapa
Negara sebagai kelompok pengungsi dan manusia-perahu. Mereka antara lain
tersebar menjadi pendatang liar di Thailand, Myanmar, Srilangka bahkan ada
sebagian dari kelompok mereka yang terdampar di Aceh (Indonesia) sebagai
kelompok manusia-perahu.
Arakan sendiri
merupakan sebuah negara bagian seluas 14.200 mil persegi yang terletak di barat
Myanmar. Merupakan daerah pesisir timur teluk Bengali yang bergunung-gunung.
Berbatasan langsung dengan India di utara, berbatasan dengan negara bagian Chin
di timur laut, berbatasan dengan Magwe dan Pegu di timur, berbatasan dengan
Irawadi di selatan dan Bangladesh di barat laut. Saati ini dihuni oleh sekitar
5 juta penduduk yang terdiri dari dua etnis utama, Rohingya yang yang beragama
Islam dan Rakhine/Maghs yang beragama Buddha.
Kata Rohingya berasal
dari kata Rohang, yang merupakan nama lama dari negara bagian Arakan. Etnih
Rohingya sudah tinggal di Arakan sejak abad ke-7 M. Hal ini merupakan bantahan
bagi junta militer yang menyatakan bahwa etnis Rohingya merupakan pendatang
yang ditempatkan oleh penjajah Inggris dari Bangladesh. Memang secara fisik
etnis Rohingya memiliki kesamaan fisik dengan orang Bangladesh. Merupakan
keturunan dari campuran orang Bengali, Persia, Mongol, Turki, Melayu dan Arab
menyebabkan kebudayaan Rohingya sedikit berbeda dari kebanyakan orang Myanmar.
Termasuk dari segi bahasa yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab, Parsi, Urdu
dan Bengali.
Arakan dulunya
merupakan sebuah negara independen yang pernah dikuasai secara bergantian oleh
orang Hindu, Buddha dan Muslim. Pada 1203 M Bengal menjadi sebuah negara Islam,
dan sejak saat itu pula pengaruh Islam mulai merambah masuk ke wilayah Arakan.
Hingga pada akhirnya pada tahun 1430 M, Arakan menjadi sebuah negara Muslim.
Selama 350 tahun kerajaan Muslim berdiri di Arakan dan umat islam hidup dengan
tenang.
Penduduk Muslim
Rohingya merupakan mayoritas penduduk Arakan, dengan jumlah ±90%. Namun selama
45 tahun kemerdekaan Burma (Myanmar) jumlah itu terus berusaha dikurangi, mulai
dari pengusiran hingga pembunuhan, hingga saat ini hanya tersisa sedikit umat
Islam Rohingya di selatan Arakan sedangkan di bagian utara Rohingya masih
menjadi mayoritas.
Berbeda dengan etnis
lain yang berhak mendirikan negara bagian sendiri, etnis Rohingya kehilangan
haknya, bahkan wilayahnya (Arakan) diserahkan kepada etnis Rakhin yang beragama
Buddha, walaupun populasinya kurang dari 10% penduduk Arakan. Sejak saat itulah
hak-hak etnis Rohingya bersaha dihilangkan oleh politisi Buddha Burma.
B. Sejarah
Pembentukan Hukum Keluarga di Negara Islam ASEAN
Sejarah
pembentukan dan modernisasi hukum Islam dalam kaitannya dengan hukum
keluarga tidak bisa dilepaskan dari perdebatan seputar gender. Sampai saat ini, persoalan
gender di dunia Islam sangat erat kaitannya dengan ranah hukum dan perundangan.
Isu gender semakin nyata ketika kita berbicara mengenai hukum dalam ranah
perkawinan. Ada beberapa alasan di balik kenyataan ini. Yang pertama, hukum perkawinan
merupakan ranah dimana Islam (baca; umat muslim) di beberapa negara Muslim
seperti Indonesia atau Malaysia atau negara seperti Singapura dan Filipina memiliki
aturan sendiri berupa perundangan. Yang kedua, ranah perkawinan dan aspek kehidupan
keluarga merupakan ranah yang sarat persoalan dan isu gender. Persoalan poligami,
persoalan pencatatan perkawinan, dan persoalan usia minimal nikah misalnya merupakan
aspek-aspek dalam perkawinan yang sarat isu gender. Bahwa perkawinan sangat
erat kaitannya dengan isu gender dikarenakan perkawinan mengubah status hukum
perempuan secara drastis.
Peran dan
kedudukan perundangan itu sangat penting dan strategis dalam menetapkan
aturan yang akan membentuk dan mendudukung terwujudnya tatanan pernikahan
yang berkeadilan dan berkesetaraan gender. Hukum perkawinan Islam bagaikan
pisau bermata dua. Di satu sisi, sebuah hukum atau perundangan bisa menjadi piranti
pendukung terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender dalam relasi rumah tanggajika
perundangan tersebut responsive gender. Akan tetapi di sisi lain, perundangan
juga dapat menjadi piranti yang justru melanggengkan ketidakadilan dan ketimpangan
genderketika perundangan tersebut tidak responsive gender. Disinilah kenapa
salah satu hal yang diamanatkan CEDAW (Convention on the Elimination of all forms
of Discrimination Against Women) adalah memastikan supaya hukum dan kebijakan
yang berlaku di negara-negara di berbagai belahan dunia bersifat responsif gender.
Bagaimanapun, berbagai problem riil terkait perkawinan di Malaysia dan berbagai
isu gender, dan di beberapa negara lainnya erat kaitannya dengan hukum perkawinan
yang berlaku. Di Indonesia misalnya, bagaimana perundangan mengatur
dan menata aspek aspek dalam perkawinan seperti poligami atau
pencatatan perkawinan cukup besar
perannya dalam mempengaruhi sikap penduduk Indonesia dalam hal perkawinan.
C. Pembaharuan Hukum Keluarga di
Negara-negara Islam Di ASEAN
Usaha gerakan pembaruan Hukum
Keluarga Islam di Asia Tenggara, Malaysia tercatat sebagai negara pertama yang
melakukan usaha ini, yakni dengan lahirnya Moohamad Marriage Ordinance,
No. V Tahun 1880 di Negara-negara Selat. Karena itu, Hukum Perkawinan dan
Perceraian pertama yang diperkenalkan di negara-negara Selat (Pulau Pinang,
Melaka dan Singapore), sebelum merdeka, yang sekaligus dikategorikan sebagai
usaha pembaharuan hukum keluarga pertama dan Mohammed Marriage Ordinance,
No. V Tahun 1880, yang isinya (1) mengharuskan pencatatan perkawinan dan
perceraian bagi Muslim; dan (2) pegawai yang berhak melakukan pencatatan adalah
kadi.
Sementara untuk Negara-negara
Melayu bersekutu (Perak, Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang) adalah
Registration of Muhammadan Marriages dan Divorces Enactment 1885, dan untuk
Negara-negara Melayu tidak Bersekutu atau Negara-negara Bernaung (Kelantan, Terengganu,
Perlis, Kedah dan johor), yang dimulai Kelantan adalah Divorce Regulation Tahun
1907. [4]
Adapun usaha
pembaharuan Undang-undang keluarga yang di dalamnya mencakup seluruh aspek yang
berhubungan dengan perkawinan dan perceraian, bukan hanya pendaftaran
perkawinan dan perceraian, seperti pada UU awal, di Malaysia dimulai tahun 1982
oleh Melaka, Kelantan dan Negeri Sembilan. Kemudian usaha yang sama dilakukan; negara-negara bagian lain, yang kalau
diurutkan terlihat seperti berikut:
1.
UU Keluarga
Islam Melaka 1983;
2.
Kelantan
1983;
3.
Negeri
Sembilan;
4.
Wilayah
Persekutuan 1984;
5.
Perak 1984
(No. I);
6.
Kedah No. 1
1984;
7.
Pulau Pinang
1985;
8.
Terengganu
1985;
9.
Pahang 1987
(No. 3);
10.
Selangor
1989 (No.
2);
11.
Johor l990;
12.
Serawakl991;
13.
Pelis 1992;
dan
Karena itu Melaka, Kelantan dan Negeri Sembilan adalah
tiga negara pertama yang melakukan pembaharuan Undang-Undang Keluarga di
Malaysia. Sementara negeri terakhir yang mengesahkan Undang-Undang Keluarga
adalah Sabah, dengan UU No. 15 Tahun 1992.
Kalau UU Keluarga Islam yang ada di Malaysia
dikelompokkan akan lahir dua kelompok besar. Pertama, UU yang megikuti Akta
Persekutuan, yakni Selangor, Negeri Sembilan, Pulau Pinang, Pahang, Perlis,
Terengganu, Serawak dan Sabah, meskipun sedikit banyak tetap ada penyesuaian.
Kedua, Kelantan, Johor, Melaka dan Kedah, meskipun perlu dicatat tetap banyak
persamaannya dengan UU Persekutuan, tetapi memang ada perbedaan yang cukup
mencolok, yakni dari 134 pasalyang ada terdapat perbedaan sebanyak 49 pasal.
Dengan demikian, meskipun Malaysia adalah negara
Federal, sampai sekarang Undang-Undang Perkawinan Islam (Hukum Keluarga) yang
berlaku di Malaysia adalah Undang-Undang Perkawinan masing-masing negeri; Usaha
penyeragaman UU Keluarga Islam di Malaysia pernah dilakukan, yang diketuai oleh
Tengku Zaid. Setelah mendapat persetujuan dari Majelis Raja-Raja, draft ini
disebarkan ke negeri-negeri untuk dipakai sebagai UU Keluarga. Sayangnya tidak semua negeri menerima isi keseluruhan UU ini. Kelantan misalnya,
melakukan pemerintah federal. Akibatnya, UU Keluarga Islam yang berlaku di
Malaysia tidak seragam sejak sebelum mencapai kemerdekaan sampai sekarang.
Pada tahun 1989 lahir UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama ini
diajukan dengan amanat Presiden tanggal 3 Desember 1988 dan dihantarkan dengan
Ketetapan Pemerintah pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal
28 Januari 1989. UU yang ditetapkan pada Tanggal 14 Desember 1989 ini secara
umum berisi tentang Pengadilan yang meliputi Susunan Pengadilan, Ketetapan
Pengadilan dan HukumAcara. Namun pada Bab IV, Hukum Acara, bagian kedua,
Pemeriksaan Sengketa Perkawinan (pasal 65 s/d 88), dibahasjuga tentang
perkawinan, khususnya yang menyangkut proses atau acara perceraian. Dengan
demikian, meskipun pada prinsipnya UU ini berhubungan dengan Pengadilan, namun
ada juga pembahasan tentang perkawinan.
Pada tahun 1990 keluar PP No 45
yang berisi perubahan PP No. 10 Tahun 1983, yang isinya memuat beberapa pasal
yang ada dalam PP No. 10 Tahun 1983. PP No. 45 Tahun 1990 ini hanya
berisi dua pasal.
Pada akhir tahun 1991 berhasil disusun Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia (KHI) mengenai perkawinan, pewarisan dan perwakafan.
Kompilasi ini berlaku dengan instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, tanggal 10
Juni 1991, yang kemudian diikuti dengan keluarnya Keputusan Menag RI No. 154
Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden RI No.l Tahun 1991 tersebut.
Sehubungan dengan keberadaan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, ada sejumlah ketetapan yang berhubungan, yakni :
1.
Keputusan
Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun
1985 yang ditetapkan di Yogyakata tanggal 21 Maret 1985, tentang Penunjukan
Pelaksanan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi.
2.
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, yang ditetapkan di Jakarta, tanggal 10
Juni 1991 tentang instruksi penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
3.
Keputusan
Menteri Agama No. 154 Tahun 1991, yang ditetapkan di Jakarta tanggal 22 Juli
1991, tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. I/1991.
4.
Surat Edaran
Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam No. 3694/EV/HK.00.3/AZ/91,
tentang Penyebarluasan Instruksi Presiden No.l Tahun 1994. [6]
Sekedar catatan, upaya unifikasi hukum Islam pertama
dilakukan oleh khalifah 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz. Usaha yang sama pernah dicoba
pada abad 17, oleh kerajaan Mughal Aurengzeb (Fatawa Akam Ghiri). Usaha
selanjutnya diusahakan di Turki, yang terkenal dengan al-Majallat al-Ahkam
al-'Adliyab. Lima kodifikasi dideklarasikan
oleh President Sudan, Ja'far Numeiri pada bulan September 1983.
Sebenarnya kalau dilihat ke
belakang usaha unifikasi hukum Islam pertama diusulkan oleh Ibn al-Muqaffa (d.
139/756), sebagai seorang sekretaris khalifah Abbasid, Abu Ja'far al-Mansur
(754-775). Ibn al-Muqaffa mengusulkan agar diadakan unifikasi (kesatuan hukum)
dari sekian perbedaan pendapat yang ada, dan hasil unifikasi ini menjadi hukum
yang diberlakukan di negara. Setelah melewati proses panjang, akhirnya Imam Malik
menulis kitabnya yang terkenal, al-Muwaththa, namun Imam Malik menolak
diperlakukannya isi buku ini kepada seluruh Muslim.
Hubungannya dengan Brunei
Darussalam, sulit untuk mencatat kapan negara ini melakukan pembaruan Hukum
Keluarga, sebab sampai sekarang dapat disebut negara ini belum melakukan
pembaruan sama sekali. Maka usaha yang dapat dicatat kaitannya dengan
keberadaan Hukum Keluarga adalah bahwa pada tahun 1984 diadakan revisi UU
Brunei (Revision Laws of Brunei). Demikian juga UU Majlis Ugama Islam dan
Mahkamah Kadi No. 20 Tahun 1956 mengalami beberapa perubahan kecil, di samping
mengganti nama menjadi Akta Majlis Ugama dan Mahkamah Kadi Penggal 77 (AKUMKP
77). Bentuk dan isi Akte Penggal 77 Pada prinsipnya sama dengan bentuk dan isi
UU Majlis Ugama Islam dan Mahkamah kadi No. 20 Tahun 1955, dimana UU Keluarga
Islam secara khusus diatur dalam 29 bab (pasal) saja, yaitu di bawah judul
Marriage and Divorce pada bagian VI, yakni pasal 134-156. Sedang judul
Maintenance of Dependants pada bagian VII, mulai dari bab 157- 163. Penyusunan
UU Majlis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77, pada prinsipnya sama dengan
UU Keluarga Islam di Negeri-negeri Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia).
Adapun UU Keluarga Islam pertama
yang mengatur tentang perkawinan dan perceraian, yang meliputi fasakh, taklik
talak, khuluk dan talak, setelah Singapura menjadi negara sendiri adalah Muslim
Ordinance yang diundangkan tanggal 30 Agustus 1957, dan mulai berlaku tanggal
24 Nopember 1958. Dengan diadakannya UU ini, dengan sendirinya lahirlah
Peradilan Agama (Mahkamah Syariah), yang membidangi masalah perkawinan dan
perceraian.
Sebelum lahirnya UU ini, aturan
UU Keluarga Islam di Singapore mengikuti UU Islam di Semenanjung Tanah Melayu
(Malaysia), khususnya Negara-negara Selat. Akta utamanya adalah Ordinan V/1880,
yang mengatur tentang Peraturan Pendaftaran Perkawinan, Cerai dan Rujuk, yang
dilaksanakan dengan sukarela oleh pegawai, tanpa gaji dari pemerintah. Karena
itu, Ordinan V/1880 ini lebih bersifat tatacara, yang dibagi menjadi kepada
empat bagian:
a.
tentang pendaftaran;
b.
tentang kadi;
c.
tentang akibat perceraian terhadap harta; dan
d.
tentang aturan-aturan umum.[7]
Selama aturan ini yang dipakai
para suami bebas menceraikan istrinya meskipun tanpa alasan yang logis.
Akibatnya, angka perceraian ketika itu mencapai 50 dari angka perkawinan.
Belajar dari kasus ini Majlis Penasehat Islam Singapura membentuk panitia pada bulan
Nopember 1951, untuk mengkaji dan membuat rancangan UU Keluarga Islam. Panitia
ini terdiri dari pakar UU, pengacara, hakim-hakim dan para ulama, yakni Prof.
Ahmad Ibrahim, Encik N.J Namazie, tuan Shaikh Fatullah Suhaimi, Tuan Hj. Jubir
bin Amin, Tuan Hj. Ali bin Said Salleh, Syed Abdullah bin Shaik Belfaqih, B.A.
Mallal dan Shaik Hussain Khatib. Hasil dari pertemuan dan kajian ini adalah
lahirnya satu Akta yang dikenal dengan Muslim Ordinance, yang diundangkan pada
tanggal 30 Agustus 1957, dan mulai berlaku tanggal 24 Nopember 1958. Kemudian
Akta tahun 1957, yang diamandemen tahun 1960, diamandemen lagi tahun 1966
dengan Akta 1966, yakni Akta Pentadbiran Undang-undang Islam 1966, yang
diringkas AMLA. Akta inilah yang dipakai sekarang (1998).
Sesuai dengan bagian III pasal 34
AMLA, ada dua intitusi yang melaksanakan UU Keluarga Islam, yaitu Pejabat
Pendaftaran Pernikahan, dan Hakim Agama (Mahkamah Syari' ah). Dalam rangka
memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada dalam AMLA, sekarang sedang
dilakukan pembaruan terhadap AMLA yang diharapkan dapat menutupi
kekurangan-kekurangan yang ada.
Berdasar pasal 32 AMLA, Peradilan
Agama (MahkamahSyariah) diberi kuasa untuk mendengar dan memutuskan masalah:
a.
perkawinan,
b.
perceraian, meliputi talak, cerai taklik, fasakh dan khuluk,
c.
pertunangan,
d.
pembagian harta bersama (harta perceraian) ketika bercerai,
e.
pembayaran maskawin, nafkah dan mut'ah.
Tetapi pasal 52 dijelaskan
perkara-perkara yang masuk wilayah Peradilan Agama, yakni :
a.
pembayaran maskawin,
b.
pembayaran mut'ah atau sugu hati cerai,
c.
pemeliharaan anak, dan
d.
pembagian harta bersama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Agama Islam di Indonesia dapat berkembang dengan baik dan pesat. Hal itu
terbukti sekitar 88 % (1985) penduduk menganut agama Islam, kemudian
tempat-tempat ibadah banyak dibangun disetiap kota-kota, desa dan lain
sebagainya. Tempat-tempat pengajian, tempat-tempat TPA atau Taman Pendidikan
Al-qur’an hampir di setiap kampung ada. Disamping itu, pada hari raya Idul
Fitri, hari raya kurban kita dapat menyaksikan orang Islam berduyun-duyun ke
lapangan untuk shalat.
Sejarah pembentukan dan modernisasi hukum Islam dalam kaitannya
dengan hukum keluarga
tidak bisa dilepaskan dari perdebatan seputar gender. Sampai saat ini, persoalan
gender di dunia Islam sangat erat kaitannya dengan ranah hukum dan perundangan.
Isu gender semakin nyata ketika kita berbicara mengenai hukum dalam ranah
perkawinan.
Usaha gerakan pembaruan Hukum
Keluarga Islam di Asia Tenggara, Malaysia tercatat sebagai negara pertama yang
melakukan usaha ini, yakni dengan lahirnya Moohamad Marriage Ordinance,
No. V Tahun 1880 di Negara-negara Selat. Karena itu, Hukum Perkawinan dan Perceraian
pertama yang diperkenalkan di negara-negara Selat (Pulau Pinang, Melaka dan
Singapore), sebelum merdeka, yang sekaligus dikategorikan sebagai usaha
pembaharuan hukum keluarga pertama dan Mohammed Marriage Ordinance, No.
V Tahun 1880, yang isinya :
1.
Mengharuskan pencatatan perkawinan dan perceraian bagi Muslim
2.
Pegawai yang berhak melakukan pencatatan adalah kadi.
DAFTAR PUSTAKA
Husaini Adian,
M. A, Nuim Hidayat, 2002. Islam Liberal (sejarah, konsepsi, penyimpangan,
dan jawabannya).
Fatih Yakan,
1995. Islam di Tengah Persekongkolan Musuh Abad-20.
Abdul Kadir. Sejarah
Penulisan Hukum Islam di Malaysia.1996.
Teguh Prasetyo.
Hukum Islam,Yogyakarta. 2006 .
Abdurrahman. Kompilasi
Hukum Islam Indonesia. ( Jakarta. AKAPRESS. 1995).
Tuan H. Salim
Jarman . Pelaksanaan UU Keluarga Islam.
[1] Husaini Adian,
M. A, Nuim Hidayat, 2002. Islam Liberal (sejarah, konsepsi,
penyimpangan, dan jawabannya). Hal 7
0 komentar:
Post a Comment