Makalah Tafsir Ayat tentang Akhirat
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015

ayat tentang akhirat



KATA  PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penyusun ucapkan kehadirat  Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul "AYAT-AYAT TENTANG AKHIRAT" tepat pada waktunya. Dan tidak lupa pula kita sanjung pujikan kepada Nabi Besar Muhamad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita ke alam yang terang benderang ini.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Terima kasih yang sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Makalah ini. Wassalam.


Sigli, 17 Oktober 2014
Pemakalah


KELOMPOK 6


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR............................................................................................             i
DAFTAR ISI............................................................................................................             ii

BAB I        PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...................................................................................            1
B.    Rumusan Masalah..............................................................................             1
C.    Tujuan penulisan................................................................................             1

BAB II       PEMBAHASAN
A.    Penafsiran dalam al-quran surat Qaf ayat 19 sampai 23....................            2
B.     Penafsiran dalam al-quran surat al-a’la ayat 14 sampai 17 ...............             4
C.     Penafsiran dalam al-quran surat al-hadid ayat 20..............................             8

BAB III    PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................             13

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................            14







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Percaya kepada adanya kehidupan akhirat merupakan rukun iman yang kelima. Beriman kepada hari akhir sesudah beriman kepada Allah SWT menunjukkan bahwa beriman kepada adanya kehidupan di akhirat merupakan hal yang amat penting. Al-Qur’an telah merambahkan dimensi baru terhadap studi mengenai fenomena jagad raya dan membentuk pikiran manusia melakukan terobosan terhadap batas penghalang dari alam materi. Al-Qur’an membimbing manusia kepada Allah dan keagungan alam semesta yang amat luas dan mengajak manusia untuk menyelidikinya, mengungkap keajaiban dan keghaiban, serta berusaha memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah ruah untuk kesejahteraan hidup.
Oleh karena itu al-Qur’an membawa manusia terhadap Allah SWT melalui ciptaan-Nya dan realitas kongkret yang terdapat di bumi dan di langit. Inilah sesungguhnya yang terdapat pada ilmu pengetahuan yang mana mengadakan observasi lalu menarik hukum-hukum alam berdasarkan observasi dan eksperimen. Dengan demikian ilmu pengetahuan dapat mengetahui tentang segala hal yang telah diciptakan oleh Allah melalui observasi yang teliti dan terdapat hukum-hukum yang mengatur gejala alam dan al-Qur’an menunjukkan kepada realitas intelektual yang maha besar, yaitu Allah SWT, lewat ciptaan-Nya.

B.     Rumusan masalah
1.      Menjelaskan Penafsiran dalam Al-Qur’an surat Qãf ayat 19 sampai 23
2.      Menjelaskan Penafsiran dalam surat al-A’la ayat 14 sampai 17
3.      Menjelaskan Penafsiran dalam surat al-Hadid ayat 20

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah agar kami mahasiswa/I mampu memahami ayat-ayat tentang akhirat




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penafsiran dalam Al-Qur’an surat Qãf ayat 19 sampai 23
ôNuä!%y`ur äotõ3y ÏNöqyJø9$# Èd,ptø:$$Î/ ( y7Ï9ºsŒ $tB |MYä. çm÷ZÏB ßÏtrB ÇÊÒÈ   yÏÿçRur Îû ÍqÁ9$# 4 y7Ï9ºsŒ ãPöqtƒ ÏÏãuqø9$# ÇËÉÈ   ôNuä!%y`ur @ä. <§øÿtR $ygyè¨B ×,ͬ!$y ÓŠÍky­ur ÇËÊÈ   ôs)©9 |MYä. Îû 7's#øÿxî ô`ÏiB #x»yd $uZøÿt±s3sù y7Ytã x8uä!$sÜÏî x8ã|Át7sù tPöquø9$# ÓƒÏtn ÇËËÈ   tA$s%ur ¼çmãZƒÌs% #x»yd $tB £t$s! îŠÏGtã ÇËÌÈ  
Artinya : “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang dahulu hendak kamu hindari [19]. Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari yang diancamkan [20]. Dan datanglah setiap orang bersama dengannya (malaikat) penggiring dan (malaikat) saksi [21]. Sungguh, kamu dahulu lalai tentang (peristiwa) ini, maka Kami singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam [22]. Dan (malaikat) yang menyertainya berkata, Inilah (catatan perbuatan) yang ada padaku[23]”.[1]
Isi Kandungan ayat
Pada ayat-ayat sebelumnya, al-Qur’an menjelaskan tentang anggapan orang-orang kafir yang menyatakan bahwa kebangkitan untuk memperoleh balasan tidaklah mungkin terjadi, maka Allah membantah anggapan mereka dengan membuktikan kekuasaannya-Nya dan ilmu-Nya. Kemudian Allah memberitahukan pula kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan kebenaran ketika datang maut dikala terjadinya hari kiamat.[2] وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ Pada konteks ayat ini Allah berfirman: Dan datanglah sakaratul maut, saat ruh akan meninggalkan badan, kedatangannya itu dengan haq (pasti datang). Ini berarti setiap orang_bahkan setiap yang bernyawa_akan mengalami sakaratul maut.
Dan penderitaan ketika mati itu menyingkapkan bagimu keyakinan yang telah kamu dustakan bahwa kebangkitan adalah hal yang tidak mungkin diragukan lagi. ذلِكَ مَاكُنْتَ مِنْهُ تَحِيْدُ  Kebenaran yang kamu hindari itu benar-benar telah datang kepadamu, maka tidak ada tempat berlari dan tidak ada tempat berpaling, tidak ada tempat menghindar dan tidak ada tempat untuk menyelamatkan diri. Dijelaskan dalam al-Qur’an, bagaimana rasa sakit yang dirasakan oleh seseorang yang sedang mengalami sakaratul maut :
وَلَوْ تَرى إِذِ الظّلِمُوْنَ فِى غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلئِكَةُ بَاسِطُوْا أَيْدِهِمْ [الأنعام : ٩٣]
Artinya : “Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya” (QS. Al-An’am:93).[3] Penyifatan kehadiran sakaratul maut dengan al-haq dipahami oleh Sayyid Quthub sebagai isyarat tentang keadaan jiwa manusia pada saat terjadinya sakaratul maut itu. Yakni ketika itu dia akan melihat kebenaran dengan sangat sempurna. Dia melihatnya tanpa tirai penghalang dan dia mengetahui apa yang tadinya dia tidak ketahui serta apa yang tadinya ia ingkari, hanya saja itu semua setelah terlambat dan tidak bermafaat lagi.
Kemudian, Allah SWT berfirman :
وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ ذلِكَ يَوْمُ الْوَعِيْدِ
Dan setelah tiba masa kebangkitan, ditiuplah oleh malaikat Israfil sangkakala untuk membangkitkan manusia dari kubur. Itulah hari ancaman serta hari terpenuhinya janji.[4]
Ayat ini menyifati hari peniupan sangkakala dengan hari terlaksananya ancaman, dan hari terpenuhinya janji. Ketika Allah SWT telah memberi izin untk menetapkan kematian atas semua makhluk, dan menetapkan batas akhir bagi segala urusan dunia, maka Dia akan memerintahkan malaikat Israfil untuk meniup sangkakala. Pada saat malaikat israfil meniup sangkakala itu, maka matilah segala yang hidup (baik yang di langit maupun yang di bumi), kecuali yang memang dikehendaki oleh-Nya, kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).
Namun, menurut hemat penulis yang paling terpenting dan yang wajib diyakini oleh setiap muslim adalah bahwa ada waktu yang telah ditentukan oleh Allah SWT_yang tidak satu makhluk pun mengetahui kapan datangnya_dimana manusia akan dibangkitkan untuk mempertanggungjawabkan amal masing-masing, lalu menerima balasan dan ganjarannya. Selanjutnya Allah berfirman;
لَقَدْ كُنْتَ فِيْ غَفْلَةٍ مِنْ هذَا فَكَشَفْنَاعَنْكَ غِطَآءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيْدٌ
Ketika kematian menjemput seseorang, dikatakan kepadanya: Demi Allah, sungguh, kamu ketika hidup di dunia dahulu berada dalam keadaan lalai tentang (peristiwa) yang sedang kamu lihat ini, maka sekarang Kami singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam. Dengan demikian kamu benar-benar yakin.
Akan tampak oleh manusia segala sesuatu yang tidak tampak olehnya dalam kehidupan dunia, ketika segala kesibukan dunia itu telah lepas dari mereka, maka akan tampak olehnya seluruh perbuatannya, sehingga ia tidak melihat satu keburukan pun, melainkan ia akan merasakan penyesalan yang amat sangat, karena keburukannya itulah yang menyeretnya tenggelam kedalam neraka. Pada saat itulah dikatakan kepada mereka; “wakafa binafsika al-yauma hasiba” (cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.)[5]
Allah SWT menjadikan kelalaian bagai tutup yang menutupi seluruh jasad manusia atau sebagai selaput yang menutupi kedua mata manusia, sehingga ia tidak dapat melihat suatu apapun. Maka apabila hari kiamat terjadi, sadarlah manusia dan hilanglah kelalaian yang menutupi dirinya sehingga ia dapat melihat kebenaran yang dahulu ia tidak dapat melihatnya.[6]
Ayat ini menunjukkan bahwa kelak di hari Kemudian akan nampak hakikat-hakikat yang tersembunyi dalam kehidupan dunia ini. Kalau di dunia seseorang belum melihat malaikat, maka disana ia akan dapat melihatnya. Kalau disini banyak yang menduga sebab-sebab lahiriah adalah faktor yang menghasilkan sesuatu, maka disana ia akan menyadari bahwa secara penuh bahwa Allah adalah penyebab semua sebab. “Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan apa yang kamu tidak lihat.” (QS. al-Haqqah:38-39).

B.     Penafsiran dalam surat al-A’la ayat 14 sampai 17
ôs% yxn=øùr& `tB 4ª1ts? ÇÊÍÈ   tx.sŒur zOó$# ¾ÏmÎn/u 4©?|Ásù ÇÊÎÈ   ö@t/ tbrãÏO÷sè? no4quŠysø9$# $u÷R9$# ÇÊÏÈ   äotÅzFy$#ur ׎öyz #s+ö/r&ur ÇÊÐÈ  
Artinya : “Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan diri[14]. Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat[15]. Namun, kamu (orang-orang) mengutamakan kehidupan dunia [16]. Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal [17].


Isi Kandungan ayat
Menurut Ibnu Manzhur, secara etimologi اَفْلَحَ berarti al-fawz wa an-najâh wa al-baqâ’ fî an-na’îm (kemenangan, keberhasilan, dan kelanggengan dalam nikmat). Sihabuddin al-Alusi mengartikannya najâ min al-makrûh wa zhafara bimâ yarjûhu (selamat dari yang dibenci dan berhasil memperoleh apa yang diharapkan). Dalam konteks ayat ini, al-Jazairi memaknainya sebagai fâza (berhasil); selamat dari azab dan bahagia dengan surga. Ditegaskan ayat ini, orang yang memperoleh kemenangan dan keberhasilan itu adalah orang yang تَزَكَّى.
Kata تَزَكَّى berasal dari kata zakâ. Secara bahasa, kata az-Zakâ’ berarti an-Namû (tumbuh). Oleh karena itu, al-Zujaj menafsirkan frasa ini dengan memperbanyak takwa. Alasannya, kata zâkî berartian-nâmî al-katsîr (yang tumbuh banyak). Dalam tafsir al-Mishbahتَزَكَّى yakni bersungguh-sungguh menyucikan diri, bukannya mengeluarkan zakat fitrah. Abu Hayyan al-Andalusi memaknai  تَزَكَّى  dengan tathahhara (membersihkan diri).
Dalam beberapa ayat, kedua kata disebutkan bersama-sama, seperti QS al-Baqarah: 232 dan at-Taubah: 103. Ibnu ‘Abbas_dalam suatu riwayat_memaknainya sebagai orang yang membersihkan diri dari syirik.[7] Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas_dalam riwayat lain_berpendapat bahwa orang yang membersihkan diri adalah orang yang mengatakan kalimat lâ ilâha illal-Lâh.[8]
Menurut Qatadah, membersihkan diri itu adalah dengan amal shalih. Dalam al-Quran ada beberapa amal shalih yang disebutkan berguna membersihkan manusia. Zakat, misalnya, disebut dapat membersihkan dan menyucikan pelakunya.  Menahan pandangan dan memelihara kemaluan dinyatakan dapat membuat pelakunya lebih suci.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa orang tersebut adalah orang yang membersihkan dirinya dari akhlak yang buruk dan mengikuti apa yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya.[9] Asy-Syaukani juga menafsirkannya, orang yang membersihkan diri dari syirik seraya mengimani Allah SWT dan beramal dengan syari’ah-Nya.
Secara keseluruhan, dijelaskan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari, ayat ini mengandung pengertian; “Sungguh telah menang dan memperoleh apa yang diinginkan orang yang membersihkan diri dari kekufuran dan maksiat kepada Allah, mengamalkan apa yang diperintahkan Allah, dan menunaikan berbagai kewajiban.”
Hemat penulis, semua penafsiran tersebut saling melengkapi. Intinya, orang yang menuai kesuksesan dan kemenangan adalah orang yang membersihkan diri kekufuran, kemusyrikan dan kemaksiatan, seraya mengimani aqidah islam dan beramal shalih dengan menta’ati syariah-Nya, menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya dan itu semua dilakukan ikhlas semata karena Allah SWT.
Selain itu, orang tersebut juga; وَذَكَرَ اسْمَرَبِّه فَصَلّى “dan mengingat nama Tuhannya, lalu menunaikan shalat.” Dijelaskan al-Biqa’i dan az-Zuhaili, bahwa dzikir kepada Allah ini meliputi hati dan lisannya.[10] Dzikir hanya kepada Allah satu-satunya, tidak disertai kepada yang lainnya yang menjadi sekutu bagi-Nya. Itu dilakukan dalam seluruh kehidupannya, baik ketika makan dan minum; tidur maupun bangun; dalam shalat maupun di luar shalat; berupa tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.
Adapun yang dimaksud dengan shalat dalam frasa فَصَلّى adalah shalat lima waktu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dan lain-lain dari Ibnu ‘Abbas. Pendapat yang sama juga dikemukakan az-Zamakhsyari.
Menurut al-Jazairi, tidak hanya shalat wajib, namun juga shalat-shalat nafilah, seperti rawatib dan lain-lain.[11] Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat al-Biqa’i yang mengatakan bahwa shalat tersebut meliputi semua shalat yang syar’iyyah. Sebab, shalat merupakan dzikir yang paling agung. Shalat juga merupakan ibadah badan paling agung, sebagaimana zakat merupakan ibadah harta paling agung. Dalam QS. al-Mukminun: 1-2 diberitakan bahwa di antara orang yang mendapatkan al-falâh adalah orang-orang yang khusuk dalam shalatnya.
Penjelasan cukup menarik disampaikan oleh Fakhruddin ar-Razi. Menurutnya, ada tiga tingkatan amal bagi orang mukallaf, dan ketiganya dijelaskan dalam ayat-ayat ini; 
·         Pertama: menghilangkan aqidah yang rusak dari hati. Inilah yang dimaksudkan dengan at-tazkiyah (membersihkan diri) pada frasa     مَنْ تَزَكَّى. Pengertian membersihkan diri di sini adalah membersihkan dari apa yang disebutkan oleh ayat sebelumnya, yakni membersihkan dari kekufuran. 
·         Kedua: menghadirkan ma’rifatullâh beserta dzat, sifat, dan asma’-Nya. Inilah yang dimaksudkan oleh frasa وَذَكَرَ اسْمَرَبِّه. Sebab, dzikir dengan hati tidak bisa dilakukan kecuali dengan ma’rifah.
·         Ketiga: menyibukkan diri dengan berkhidmat kepada-Nya. Ini ditunjukkan oleh frasa فَصَلّىShalat merupakan ungkapan tawaduk dan khusuk.
Allah SWT berfirman: بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيَوةَ الدُّنْيَا “Namun, kalian (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.” Kata بَلْ berfungsi sebagai idrâb, yakni memalingkan dari kalimat sebelumnya. Artinya, kalian tidak melakukan tindakan yang dapat mengantarkan mereka pada kesuksesan itu. Namun sebaliknya, justru تُؤْثِرُوْنَ dengan kehidupan dunia. Menurut al-Jazairi juga memaknainya: Kalian lebih mendahulukan dan mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat. Pilihan tersebut jelas salah. Sebab, kehidupan akhirat jauh lebih baik dan abadi. Perhatikan firman Allah SWT selanjutnya: وَالْأخِرَةُخَيْرٌ وَّاَبْقَى Padahal kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Menurut al-Qurthubi, kata خَيْرٌ berarti afdhal (lebih utama), sedangkan اَبْقَى berarti adwamu min ad-Dun-yâ (lebih kekal daripada dunia). Semua telah maklum, kehidupan dunia merupakan kehidupan fana. Ketika manusia dibangkitkan di akhirat kelak, manusia merasakan singkatnya hidup di dunia ini. Demikian singkatnya hingga menurut mereka hidup di dunia itu hanya sehari atau setengah hari, hanya sesore atau sepagi hari atau bahkan hanya sesaat saja di sing hari. Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim dan at-Tirmidzi, Rasulullah SAW mengumpamakan kehidupan dunia dibandingkan dengan akhirat seperti jari telunjuk yang dicelupkan di laut; air yang melekat di jari itulah kenikmatan dunia.
Yang lebih baik dan lebih kekal itu bisa dimaknai pahalanya sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir. Menurutnya, maksud ayat ini adalah pahala Allah di akhirat lebih baik dan lebih kekal. Kehidupun dunia itu rendah dan fana, sementara akhirat mulia dan langgeng. Bagaimana mungkin orang yang berakal lebih memilih yang fana daripada yang kekal; mementingkan apa yang segera hilang daripada kehidupan yang kekal dan langgeng?[12]
Oleh karena itu, ayat ini memberikan dorongan kepada manusia agar lebih memilih dan mengutamakan akhirat daripada dunia. Menurut penulis, hal yang demikian sejalan dengan pendapat akal yang sehat dan petunjuk syara’.

C.    Penafsiran dalam surat al-Hadid ayat 20
(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZƒÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ֍èO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1uŽtIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3tƒ $VJ»sÜãm ( Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓƒÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4 $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# žwÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ  
Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga diantara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.”[13]

Isi Kandungan Ayat
Ayat di atas merupakan gambaran hakikat dunia dan bagaimana menghadapinya. Ada beberapa hal yang dapat dipahami dari ayat tersebut, di antaranya:
1.      Allah SWT memberitahukan tentang hakikat dunia yang sebenarnya, dan menjelaskan tentang puncak tertinggi dari kehidupan dunia beserta penghuninya. Maksud sebenarnya dari ayat ini adalah merendahkan keadaan dunia dan mengagungkan keadaan akhirat. Yaitu Allah berfirman, “..dunia adalah permainan dan sendagurauan yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan..“. Tidak diragukan lagi bahwa semua ini adalah perkara yang hina. Adapun akhirat maka di sana ada adzab yang keras yang terus-menerus dan juga disana ada keridhaan Allah yang selamanya dan ini adalah merupakan suatu yang agung.
2.      Dunia mempunyai 5 (lima) sifat, yaitu:
a.       لَعِبٌ (Permainan), yaitu permainan badan dan ini adalah bagaikan perbuatan anak-anak yang menjadikan diri mereka sangat capek dan lelah, kemudian setelah permainan tersebut selesai tidak ada faedah yang didapatkan.
b.      لَهْو (Sesuatu yang melalaikan/senda gurau), yaitu yang membuat hati lalai dan ini adalah perbuatan orang tua yang kebanyakan setelah perbuatan yang melalaikan itu selesai maka tidak tersisa kecuali penyesalan, yang demikian itu dikarenakan orang yang berakal setelah melakukan perbuatan yang melalaikan dia melihat bahwa hartanya hilang, umurnya berkurang (pergi) dan kelezatannya habis, sementara nafsu/jiwa semakin rindu dan haus akan hal tersebut, namun nafsu tidak mendapatkannya, sehingga terkumpul dampak buruk dan berkesinambungan (tidak pernah puas).
c.       زِيْنَةٌ (Perhiasan), yaitu berhias dalam hal pakaian, makanan, minuman, kendaraan, rumah, istana, kedudukan, dll.
d.      Saling berbangga di antara kamu terhadap sifat-sifat yang fana dan pasti hilang, yakni boleh jadi berbangga-bangga dengan nasab, kekuasaan, kekuatan, bala tentara dan sebagainya, yang semuanya itu pasti lenyap. Dan saling berbangga di antara kamu yaitu masing-masing dari penduduk dunia ingin membanggakan atas yang lain dan ingin supaya dia menjadi pemenang dalam semua urusannya dan ingin mendapatkan ketenaran (popularitas) dalam semua keadaannya.
e.       Berbangga-bangga tentang harta dan anak, yaitu masing-masing menginginkan lebih banyak dari yang lainnya dalam hal harta dan anak. Semua ini hanya terjadi pada diri si pecinta dunia dan yang merasa damai dengan dunia. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata; “Apabila kamu melihat orang yang mengalahkanmu dalam perkara dunia, maka kalahkan dia dalam hal akhirat.”
3.      Allah memberikan perumpamaan dunia; كَمَثَلِ غَيْثٍ “seperti hujan” yang turun ke bumi sehingga menjadikan bumi itu subur yang kemudian menumbuhkan tanaman yang segar, hijau, subur dan sangat menarik lagi indah, yang menyebabkan اَعْجَبَ الْكُفَّارَنَبَاتُهُ yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani” merasa kagum terhadapnya karena pandangan (obsesi) mereka hanya terbatas pada dunia. Kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.” Lalu, tiba-tiba datanglah hukum Allah yang menjadikan semua tanaman itu musnah, kering dan hancur, sehingga seakan-akan tidak pernah ada keindahan dan pemandangan yang menarik sebelumnya.[14]
Demikianlah hakikat dunia, mula-mula penampilannya indah lalu berubah menjadi buruk. Mula-mula anak kecil lalu tumbuh menjadi remaja, dewasa sampai kemudian menjadi tua renta. Mula-mula kuat lalu menjadi lemah, bahkan tidak mampu banyak bergerak dan tidak kuasa lagi kecuali sedikit saja, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an ;
أللهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَّ شَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيْمُ الْقَدِيْرُ
Artinya :  "Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa.” (QS. ar-Rum:54)
Musnahnya dunia pasti akan terjadi, tidak mungkin tidak. Dan akhirat itu pasti ada, tidak mugkin tidak. Maka Allah SWT mengingatkan agar kita mewaspadai kehidupan dunia dan menanamkan kecintaan kebaikan di dalamnya. Allah berfirman; “Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras atau ampunan dari Allah dan keridhaan-Nya....” maksudnya keadaan di akhirat tidak terlepas dari dua perkara ini yakni;
1.      Adzab yang keras di neraka dengan belenggunya, rantainya dan semua kedahsyatannya bagi orang-orang yang menjadikan dunia sebagai cita-cita dan puncak tujuannya sehingga dia berani berbuat maksiat, mendustakan ayat-ayat Allah serta kufur atas nikmat-nikmat-Nya.
2.      Ampunan dari Allah SWT terhadap kesalahan-kesalahannya, dihilangkan semua hukuman dan mendapat keridhaan dari Allah. Lalu tinggal di dalam surga-Nya.
وَمَاالْحَيَوةُ الدُّنْيَآ اِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ   Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” Semua kesenangan di dunia hanyalah kesenangan yang bersifat fana, yang menipu siapa saja yang cenderung kepadanya. Dan sesungguhnya segala kerlap-kerlip keindahan dan kesenangan dunia ini hanyalah sesaat dan sangat kecil dibandingkan alam akhirat.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: [15]
مَوْضِعُ سَوْطِ فِى الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا ’ إِقْرَأُوْا: وَمَاالْحَيَوةُ الدُّنْيَآ اِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Satu tempat sepanjang cambuk di surga lebih baik daripada dunia dan seisinya, bacalah: Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.”
Namun, pada kehidupan dunia juga ada hikmahnya dan tidak semua tercela, karena itulah Allah berfirman kepada malaikat tentang hikmah dunia dan manusia di dunia. Jika sekiranya dunia tidak ada hikmahnya dan tidak ada benarnya maka tidak mungkin Allah berfirman seperti itu. Hal ini dikarenakan kehidupan juga merupakan ciptaan Allah sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Mulk: 2 dan Allah tidak mungkin menciptakan sesuatu yang sia-sia sebagaimana dalam QS. Al-Mukminun: 115.
اَفَحَسِبْتُمْ اَنَّمَا خَلَقْنكُمْ عَبَثًا وَّاَنَّكُمْ اِلَيْنَا لاَتُرْجَعُوْنَ.
Artinya : “Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kapada Kami?”
Penulis cendrung memahaminya menguraikan makna kehidupan dunia bagi mereka yang lengah_sesuai dengan konteks ayat tersebut. Tentu saja kehidupan dunia tidak demikian bagi yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Buat mereka, kehidupan dunia adalah perjuangan untuk meraih kesejahteraan lahir dan bathin, dunia dan akhirat, karena hidup bukan hanya disini dan sekarang tetapi ia bersinambungan sampai ke akhirat. Selanjutnya karena apa yang diperoleh di akhirat, diukur dengan apa yang dilakukan dalam kehidupan dunia ini, maka kehidupan dunia sangat berarti bahkan berharga. Jangan mencercanya apalagi mengabaikannya, karena dunia adalah arena kebenaran bagi yang menyadari hakikatnya, ia adalah tempat dan jalan kebahagiaan bagi yang memahaminya.
Dunia adalah arena kekayaan bagi yang menggunakannya untuk bekal perjalanan menuju keabadian dan aneka pelajaran bagi yang merenung serta memperhatikan fenomena serta peristiwa-peristiwanya. Ia adalah tempat mengabdi para pecinta Allah, tempat berdo’a para malaikat, tempat turunnya wahyu bagi para nabi dan tempat curahan rahmat bagi yang taat. Sa’id bin Jubair ra, berkata; “Dunia yang dikatakan sebagai kesenangan yang menipu adalah yang membuatmu lalai dari mencari akhirat. Adapun yang tidak membuatmu lalai maka bukanlah kesenangan yang menipu akan tetapi kesenangan yang menyampaikan kepada apa yang lebih baik daripadanya.”
Hal ini berarti bahwa seseorang tidak dilarang mencari dan menikmati kehidupan dunia, namun jangan melalaikan akhirat. Hal lain yang perlu dicatat, bahwa jika seseorang hanya mementingkan kehidupan dunia, maka yang ia peroleh hanyalah kehidupan dunia itu saja. Sedangkan jika ia mementingkan kehidupan akhirat, maka ia akan mendapatkan dunia dan akhirat. Sebab untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat ia harus mencapai kehidupan dunia. Orang yang bersedekah atau berinfak dijalan Allah misalnya ia harus memiliki harta. Demikian pula yang akan menjalankan ibadah haji, juga harus memerlukan harta benda.
Sebuah maqalah berasal dari Yahya bin Mu’adz ar-Razi;
طُوْبى لِمَنْ تَرَكَ الدُّنْيَا قَبْلَ تَتْرَكَهُ وَبَنى قَبْرَهُ قَبْل أَنْ يَدْخُلَهُ وَأَرْضَى رَبَّهُ  قَبْلَ أَنْ يَلْقَاهُ
“Sungguh amat beruntung orang yang meninggalkan dunia sebelum dunia meninggalkannya, orang yang membangun kuburan sebelum ia memasukinya, dan orang yang ridha terhadap Tuhannya sebelum ia menemui-Nya.”[16]
Maksud dari maqalah ini adalah sungguh beruntung orang yang membelanjakan harta kekayaannya dalam bermacam-macam kebaikan sebelum ia meninggal dunia, memperbanyak amalan ukhrawi untuk bekal di alam kubur dan akhirat nanti, dan menjalankan segala perintah Allah serta menjauhi larangan-larangan-Nya sebelum ia mati. Semua yang telah disebutkan di atas adalah menjadi dalil bahwa kehidupan dunia ini tidak semuanya tercela.
Oleh karena itu, bersegeralah menuju kepada kebaikan dengan mengerjakan keta’atan dan meninggalkan berbagai larangan yang dapat menghapuskan dosa dan kesalahan, dan mendapatkan pahala serta derajat yang tinggi untuk bekal kita di alam selanjutnya (akhirat) karena kehidupan dunia ini hanya bersifat sementara (fana) dan alam akhirat itu pasti datang dan sudah dekat juga kekal adanya.
  




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Allah SWT memberitahukan kepada kita hamba-hamba-Nya bahwa janganlah lengah atau tertipu oleh gemerlap hiasan duniawi yang menggiurkan, karena itu tidaklah lain hanyalah permainan yang sia-sia. Apa yang dihasilkan tidak lain hanyalah hal-hal yang menyenangkan hati saja juga bisa menghabiskan waktu dan pada akhirnya mengantarkan kepada kelengahan. Maka Allah SWT menyuruh kepada kita supaya tidak berlebihan dalam   perhiasan, bermegah-megah,  juga berbangga tentang banyaknya harta dan sukses anak keturunan diantara manusia, karena itu bisa menimbulkan sifat dengki dan iri hati dan juga kesombongan yang mengakibatkan persaingan tidak sehat diantara umat manusia.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa keimanan terhadap hari akhirat paling tidak memiliki empat implikasi kependidikan sebagai berikut:
·         Pertama, muatan pendidikan keimanan. Yakni bahwa keimanan terhadap hari akhirat merupakan bagian terpenting dari materi pelajaran yang harus diberikan.
·         Kedua, implikasi materi atau muatan pendidikan akhlak sebagai hasil dari materi pendidikan keimanan. Dengan keimanan yang kuat akan adanya hari akhirat seseorang akan memanfaatkan kehidupannya di dunia ini untuk melakukan amal ibadah dan perbuatan kebajikan yang sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan itu, juga dapat mendorong seseorang untuk menjauhkan perbuatan yang tercela.
·         Ketiga, implikasi evaluasi pendidikan yang berfungsi untuk melihat hasil pendidikan secara obyektif. Yaitu evaluasi yang didasarkan kepada hasil yang dicapai oleh setiap orang yang menjadi sasaran dalam kegiatan pendidikan.
·         Keempat, implikasi administrative, yakni bahwa hasil dari proses pendidikan sekecil apapun harus dihitung, dinilai, dan dipadukan secara komprehensif dan dikoleresikan antara satu bagian dengan bagian yang lain, sehingga dapat diketahui hasilnya secara utuh.




DAFTAR PUSTAKA

             
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung; Syaamil Cipta Media, 2005)
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV. Toha Putra)
Abdul Latief Ahmad Asyur, Menyingkap Misteri Alam Akhirat, (T.T: Insan Cemerlang, 2003), Cet I
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 13, (Jakarta:Lentera Hati,2002)
Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol.24 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000)
Asy-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol.15, Kairo: Markaz Hijr, 2003)
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol.4 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000)
Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol.21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, t.th), hal.403; az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol.30 (Dar al-Fikr, 1996)
Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol.5, hal.557. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol.8,




[1] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung; Syaamil Cipta Media, 2005), Hal.519
[2] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV. Toha Putra), hal.269
[3] Abdul Latief Ahmad Asyur, Menyingkap Misteri Alam Akhirat, (T.T: Insan Cemerlang, 2003), Cet I, hal.11
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan,Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 13, (Jakarta:Lentera Hati,2002), hal,298
[5] Abdul Latief Ahmad Asyur, Menyingkap Misteri Alam Akhirat Terjemahan Kitab Hayatuna Ba’d Al-maut, hal.25
[6] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, hal.271
                [7]Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol.24 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), hal.373. Menurut al-Zamkhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 6 (Riyadh: Maktabah al-Abikan, 1998), hal.359, di samping membersihkan diri dari syirik, juga dari maksiat.
                [8] Asy-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol.15, Kairo: Markaz Hijr, 2003), hal.369.
                [9] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol.4 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), hal.2020.
                [10] Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol.21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, t.th), hal.403; az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol.30 (Dar al-Fikr, 1996), hal.195.
                [11] Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol.5, hal.557. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol.8hal.455.
                [12] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 4, 2021.
[13] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung; Syaamil Cipta Media, 2005), Hal.540 
[14] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV. Toha Putra), hal.269
[15] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm (Surat al-Hadid)
[16] Muhammad Nawawi Ibnu ‘Umar al-Jawi, Nashaihul ‘Ibad, (Jedah-Indonesia: al-Haramain, t.th), bab.3, hal.12 

0 komentar:

Post a Comment

 
Top