Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa ta’ala, karena
berkat rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Tasyri’di
Indonesia pada Masa Penjajahan Belanda.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat
untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Wassalam
Penulis,
KELOMPOK 9
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah............................................................................. 1
C.
Tujuan penulisan............................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Kondisi
sosial politik.........................................................................
2
B.
Tokoh
ulama pada masa penjajahan Belanda....................................
5
C.
Teori-teori
hokum yang di buat ulama pada masa Penjajahan
Belanda.............................................................................................. 7
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................ 13
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................
14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia
adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat
Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang
berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur
perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di
dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa jauh pengaruh kemayoritasan
kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air ? Maka
dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim
hadir di Indonesia. Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di
Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam
secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam
mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah
hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan
juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan
yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi
bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa
proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai
seketika.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kondisi sosial politik pada masa penjajahan Belanda?
2.
Sebutkan
tokoh ulama pada masa penjajahan Belanda?
3.
Jelaskan
teori-teori hokum yang di buat ulama pada masa penjajahan Belanda?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami dalam
menyusun makalah ini adalah agar kami dan semua mahasiswa/I mampu memahami
tentang tasyri’ di Indonesia pada masa
penjajahan Belanda.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kondisi Sosial Politik pada Masa Penjajahan Belanda
1.
Kondisi politik
Pada masa kedudukan Jepang ajaran yang marak yaitu Shinthoisme tentang
Hakko Ichiu yang berarti kesatuan keluarga umat manusia. Ajaran tersebut
memotivasi bangsa dan pemerintah Jepang untuk membangun masyarakat di bawah kendali
Jepang. Semangat tersebut diaktualisasikan dalam bentuk imperialisme dan
ekspansi.
Pada tanggal 8 Maret 1942 panglima tentara Hindia Belanda menandatangani
piagam penyerahan tanpa syarat di Kalijati kepada angkatan perang Jepang di
bawah pimpinan Letjen Hitoshi Imamura. Sejak saat itu Indonesia resmi berada di
bawah kekuasaan Jepang dan Belanda kehilangan atas hak Indonesia.
Kebijakan pertama Jepang pada Indonesia diberlakukan Dai Nippon yaitu
melarang semua rapat dan kegiatan politik. Pada tanggal 20 Maret 1942,
dikeluarkan peraturan yang membubarkan semua organisasi politik dan semua
bentuk perkumpulan. Pada tanggal 8 September 1942 dikeluarkan UU no. 2 Jepang
mengendalikan seluruh organisasi nasional. Keluarnya UU tersebut menjadikan
organisasi nasional saat itu sedang giat-giatnya memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia harus dilumpuhkan.
Dalam rangka menancapkan kekuasaan di Indonesia, pemerintah militer Jepang
melancarkan strategi politisnya dengan membentuk gerakan tiga A. Gerakan ini
merupakan upaya untuk merekrut dan mengerahkan tenaga rakyat yang dimanfaatkan
dalam perang Asia Timur Raya. Gerakan tiga A dalam realisasinya tidak mampu
bertahan lama karena rakyat Indonesia tidak sanggup menghadapi kekejaman
militer Jepang dan berbagai bentuk eksploitasi. Ketidak suksesan gerakan tiga A
membuat Jepang mencari bentuk lain untuk dapat menarik simpati rakyat dengan
cara menawarkan kerjasama dengan para pemimpin Indonesia untuk membentuk
“Putera”. Jepang berharap Putera dapat menjadi wadah untuk menggalang
persatuan dan menjadi kekuatan tersembunyi. Keberhasilan organisasi Putera
tidak terlepas dari kemampuan para pemimpin serta tingginya kepercayaan rakyat
Indonesia pada para tokoh nasional.
Langkah Jepang selanjutnya yaitu membentuk Dinas Polisi Rahasia yang
disebut Kemtai yang bertugas mengawasi dan menghukum pelanggaran terhadap
pemerintah Jepang Kemtai ini menyebabkan tokoh pergerakan nasional Indonesia
bersikap kooperatif karena untuk menghindari kekejaman Kemtai yang sangat
terkenal. Jepang melakukan propaganda untuk menarik simpati bangsa Indonesia
dengan cara:
a. Menganggap Jepang
sebagai saudara tua bangsa Asia
b. Melanjarkan semboyan 3A
c. Melancarkan simpati
lewat pendidikan berbentuk beasiswa
d. Menarik simpati umat
islam untuk pergi haji
e. Menarik simpati
organisasi Islam MIAI
f. Melancarkan politik
dumping
g. Mengajak untuk begabung
dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional
Setelah penyerahan
kekuasaan dari Belanda kepada Jepang di Kalijati maka seluruh daerah Hindia
Belanda menjadi tiga daerah pemerintahan militer, yaitu:
a. Daerah bagian tengah
meliputi Jawa dan Madura yang dikuasai oleh tentara ke enam belas dengan kantor
pusa di Batavia
b. Daerah bagian barat
meliputi Sumatera yang dikuasai oleh tentara ke dua puluh lima dengan kantor
pusat di Bukit Tinggi
c. Daerah bagian timur
meliputi Kalimantan, Sulawesi, Nusantara, Maluku, dan irian Jaya yang diluasai
langsung armada selatan ke dua dengan kantor pusat di Makassar
Selain kebijakan
politik di atas pemerintah militer Jepang juga melakukan perubahan dalam
melakukan birokrasi pemerintahan diantaranya menbentuk organisasi pemerintah
ditingkat pusat (Departemen) dan membentuk couw sang in (Dewan Penasehat).
Berdirinya beberapa
negara Islam di kepulauan Indonesia-Melayu merupakan salah satu bukti kuatnya
pengaruh Islam. Selain itu, Islam berhasil mempersatukan kelompok etnis yang
terdiri atas ratusan suku yang ada dikepulauan ini. Islam Indonesia telah
membentuk institui politik sejak abad ke-13. Namun, institusi politik Islam di
beberapa daerah tidak sama. Adab ke-16 merupakan saksi munculnya kerajaan Islam terutama di Jawa.
Namun, beberapa daerah pedalaman masih bersifat Hindu-Budha.
Kerajaan-kerajaan Islam
pada umumnya berdiri setelah kerajaan lama bercorak Budha atau Hindu mengalami
kemunduran. Wilayah kerajaan itu pada umumnya Samudra Pasai, Aceh, Malaka,
Demak, dan beberapa kerajaan yanng bersifat tribal lainnya.
Kota Samudera yang
didirikan oleh Sultan Malik Al-Shalih sangat berpengaruh dalam islamisasi di
wlayah sekitarnya seperti Malaka, Pidie, dan Aceh. Kerajaan Samudera Pasai
mulai berkembang sebagai pusat pedagangan dan pusat perkembangan Islam di Selat
Malaka sejak akhir abad 13-16. Sebagai pusat perdagangan, kerajaan Samudera
Pasai mengeluarkan mata uang emas beridentitas ketuhanan yang dinamakan dirham
yang sistem penempaannya berpengaruh didunia Melayu. Mata uang tersebut sampai
sekarang dianggap sebagai mata uang emas tertua yang pernah dikeluarkan oleh
sebuah kerajaan Islam di Asia Tenggara.
Samudera Pasai
merupakan bagian dari wilayah kerajaan Aceh. Aceh sendiri menerima Islam dari
Pasai pada pertengahan abad 14. Kerajaan Aceh bermula dari penggabungan dua
negara kecil (Lamuri dan Aceh Dar al-kamal) abad 10 H/16 M. Ketika Malaka jatuh
ke tangan Portugis, Aceh merupakan bagian dari kerajaan Pidie.
2. Kondisi Sosial
Keagamaan
Organisasi ulama
Indonesia yang biasa disebut :
·
Majelis Ulama Indonesia (MUI),
·
Persatuan Pemuda/Pelajar/Mahasiswa
·
Persatuan Lembaga-lembaga sosial keagamaan islam di Indonesia sangat besar
peranannya seperti Pengusaha dan lain-lainnya.
Selain itu ada juga
yang disebut NU, lembaga ini bergerak dalam bidang pendidikan dan dakwah, terutama
dalam bidang pembinaan pesantren di berbagai daerah di Indonesia. Begitu juga
dengan Muhamadiyah, lembaga ini bergerak dalam bidang pendidikan,
kemasyarakatan. Banyak sekolah didirikan baik sekolah agama maupun sekolah umum
diberbagai tempat di Indonesia. Selain itu juga terdapat lembaga-lembaga
lainnya yang bersifat kemasyarakatan yang berada di daerah-daerah yang lebih
rendah seperti desa, RT, RW.
Negara (penguasa)
tampaknya dalam hal ini dapat pula dikatakan sebagai subyek dominan yang tanpa
sadar menerjemahkan praktik-praktik kolonialisme dalam kebijakannya. Dalam
konteks politik keagamaan, dapat disebutkan misalnya, pendisiplinan terhadap
ajaran agama yang benar dan yang dianggap salah, termasuk melakukan kontrol
terhadap keyakinan keagamaan yang dianggap sesat.
Otoritas penghakiman
oleh negara (kuasa) dalam konteks politik keagamaan merupakan bagian politik
kolonial, yang tanpa disadari memiliki pengaruh besar terhadap karakter dan
mental bangsa ini.
Sejarah mencatat,
kolonialisme pernah ratusan tahun mencengkram negeri ini. Kurang lebih tiga
setengah abad. Dari kedatangan sebagai pedagang kemudian menjadi imperialis,
dilakukan kolonial untuk menguasai teritorial nusantara. Letupan perlawanan
oleh bangsa ini pun terjadi ketika kekerasan imperialisme mulai menindas dan
berkeinginan menguras dan menindas rakyanya.
Diantara tokoh kolonial
Belanda yang memiliki peran besar terhadap sejarah imperialisme di negeri ini
adalah Christiaan Snouck Hurgronje. Tokoh politik Belanda ini merupakan
politisi kolonial yang dalam pemikiran politiknya untuk menguasai masyarakat
nusantara lebih banyak mempresentasikan strategi perang dengan pendekatan
keyakinan (agama) dan tidak perlu menekan perlawanan
penduduk jajahan secara terus-menerus dengan senjata. Dialah tokoh yang
merekomendasikan pemetaan politik kepada Pemerintah Belanda untuk meredam
perlawanan masyarakat. Baginya, Pemerintah Belanda harus memisahkan (pemecahan)
masyarakat dari gerakan-gerakan perlawanan yang mengusung spirit
IslamPolitik.
Pada pandangan politik
Belanda, mereka tidak melihat bahaya apa
pun dari perlawanan masyarakat yang terjajah, selain kefanatikan beragama
(Islam). Sehingga mereka berkeyakinan
gerakan-gerakan perlawanan paling berbahaya dan mengancam kekuasaan kolonial
adalah umat Islam (nusantara) yang fanatik.
B.
Tokoh Ulama pada Masa Penjajahan Belanda
1.
Nur Al-Din Al-Raniri
Al-Raniri adalah
seorang sufi, ahli teologi dan ahli hukum, dia juga seorang sastrawan dan
politisi, beliau sering di anggap seorang sufi padahal dia seorang faqih yang
perhatian utamanya adalah penerapan praktis aturan-aturan paling mendasar dari
syari’at. Masa karier Al-Raniri di nusantara relative sebentar, peranannya
dalam perkembangan islam di wilayah melayu Indonesia tidak biasa di abaikan,
dia memainkan peranan penting dalam membawa tradisi besar islam ke wilayah ini
dengan menghalangi kecenderungan kuat intrusi tradisi lokal ke dalam islam
tanpa mengabaikan peranan para pembawa ialam dari timur tengah atau
tempat-tempat lain di masa lebih awal. Al-Raniri merupakan satu mata rantai
yang kuat yang menghubungkan tradisi di timur tengah dengan tradisi islam di
nusantara.
Al-Raniri adalah alim
pertama di nusantara yang mengambil inisiatifbmenulis semacam buku pegangan
standar mengenai kewajiban agama (fiqh yang mendasar bagi semua orang).
Peranan Al-Raniri dalam
mengintefsikan proses islamisasi juga jelas dalam bidang politik. Selama
kariernya di Aceh, sebagai syaih al-islam kesultanan, beliau juga bertugas
untuk member nasehat kepada sultan iskandar tsani, berkat usaha beliau, sultan
iskandar tsani menghapus hokum yang tidak islami bagi para penjahat, seperti
mencelupkan minyak dan menjilat besi. Sultan juga melarang rakyatnya membahas
massalh-masalah wujud Tuhan dengan akal.
Menurut Al-Raniri, penerapan syari’at tidak dapat di
tingkatkan tanpa pengetahuan lebih mendalam mengenai hadist Nabi. Di samping
menjelaskan perbedaan antara tasawu yang menyimpang dengan tasawuf orthodox
juga menekankan pentingnya syari’at, Al-Raniri juga bertugas membuat kaum
muslimin memahami secara benar pokok keyakinan.
Al-Raniri memerankan peranan penting bukan hanya dalam
menjelaskan kaum muslim melayu-indonesia dasar-dasar pokok keimanan dan ibadah
islam tetapi juga dalam mengungkapkan kebenaran islam dalam suatu perspektif
perbandingan dengan agama-agama lain. Dialah alim pertama di wilayah melayu yang
menulis sebuah karya mengenai perbandingan agama yang di namakan tibyan fi
ma’rifah al adyan.
Peranan Al-Raniri tidak kalah penting dalam mendorong
lebih jauh perkembangan bahasa melayu sebagai lingua franca di wilayah
melayu-indonesia.
2. Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili
Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili
adalah seorang melayu dari fansur, sinkil di wilayah pantai barat laut Aceh.
Awal karier Al-Sinkili tidak jelas namun menrut catatan biografinya Al-Sinkili
pernah meninggalkan aceh menuju Arab pada 1025/1642. Al-Sinkili belajar di
sejumlah tempat yang kesebar sepanjang rute haji dari dhuha di wilayah teluk
Persia, Yaman, Jeddah, mekkah dan madinah. Masa karier perkembangan politik
Al-Sinkili di kesultanan Aceh pada periode ini sangat menarik yakni kesultanan
di perintah oleh empat orang sultanah berturut-turut.
Tahap terakhir dari
perjalanan panjang Al-Sinkili dalam menuntut ilmu adalah madinah, di madinah ia
belajar dengan ahmad al-Qusyasyi sampai ia meninggal dunia. Al-Sinkili
mempelajari apa yang di namakan ilmu al-bathin yaitu tasawuf dan ilmu-ilmu
lainnya yang terkait. Sebagai tanda selesainya pelajaran dalam mistis,
Al-Qusyasyi menunjukkan sebagai khalifah tarekat syatariyah dan qadiriyahnya.
Setelah wafatnya Al-Qusyasyi, Al-Sinkili kembali ke tanah airnya untuk menyebarkan
pengajaran dan ilmu yang telah dia terima.Al-Sinkili menyebarkan ajaran
tarekatnya di negeri kepulauan nusantara. Jenis tarekat yang dikembangkan
adalah tarekat Syathariyyah. Tarekat Syathariyyah adalah jenis tarekat yang
telah di perbarui oleh para tokoh terkemuka dalam jaringan ulama seperti Ahmad
Al-Syinnawi dan Ahmad Al-Qusyasyi. Tarekat Syatariyah juga di kenal sebagai
tarekat ‘Isyqiyah di Iran dan sebagai tarekat bistamiyah di Turki Usmaniyah.
3. Muhammad Yusuf
Al-Maqossari
Muhammad Yusuf
Al-Maqossari adalah perintis ke tiga pembaruan islam di nusantara. Beliau
adalah ulama yang luar biasa. Beliau seorang sufi besar. Dalam kaitannya dengan
karier dan ajaranya Al-Maqasari merupakan salah seorang mujtahiddin terpenting
dalam sejarah Islam Nusantara. Seluruh ekspresi ajaran dan amalan Al-Maqassari
menunjukkan aktifisme yang berjangkauan luas.
Al-Maqassari juga
memainkan peranan penting dalam politik Banten. Beliau melangkah pada garis
paling depan dalam peperangan melawan Belanda. Namun, seperti kebanyakan ulama
dalam jaringan ulama internasional pada abad ke-17, al-Maqassari tidak
memanfaatkan organisasi tarekat untuk menggerakkan masa, terutama untuk tujuan
perang.
Konsep utama tasawuf
Al-Maqassari adalah pemurnian kepercayaan (aqidah) pada Keesaan Tuhan. Ini
merupakan usahanya menjelaskan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya.
Al-Maqassari menunjukkan tasawufuntuk kalangan terpilih dari golongan elite
dengan memperkenalkan tarekat Al-Ahmadiyah. Beliau menegaskan bahwa orang yang
hanya bersandar pada syariat lebih baik dari pada orang yang mengamalkan
tasawuf namun mengabaikan ajaran hukum Islam. Al-Maqassari membahas secara
panjang lebar beberapa ibadah khusus dan langkah-langkah menuju kemajuan.
Meski ajaran-ajaran
beliau tampaknnya terbatas pada tasawuf, namun beliau tidak menyembunyikan
perhatian utamanya yaitu pembaruan kepercayaandan amalan kaum muslim di
Nusantara melalui pengajaran sufisme yang lebih berorientasi pada syariat.
Tarekat beliu sangat dikenal secara umum oleh orang-orang muslim di Nusantara.
C.
Teori-teori Hukum yang di Buat Ulama pada Masa
Penjajahan Belanda
Terkait mengenai keberlakuan hukum Islam dikalangan
masyarakat Indonesia muncul berbagai teori, dimana yang satu dengan yang lain
memiliki karakteristik tersendiri. Adapun mengenai hal ini terdapat beberapa
macam teori, diantaranya teori Kredo
atau Syahadat, teori Receptio in
Complexu, teori Receptie Exit, teori Receptie a Contario, dan teori
Recoin (Receptio Contextual Interpretario).
1. Teori Kredo atau Syahadat
Teori kredo atau
syahadat di sini adalah teori yang menyatakan bahwasanya pelaksanaan hukum
Islam harus dijalankan bagi mereka yang telah mengikrarkan dua kalimah syahadat
sebagai konsekuensi logis dari pengucapan syahadat. Teori ini diambil dari
Al-Qur’an, diantaranya pada surat Al-Fatihah : 5, Al-Baqarah : 179, Ali Imran :
7, An-Nisa : 13, 14, 49, 59, 63, 69, dan lain-lain. Teori ini sama dengan teori
otoritas hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh H.A.R Gibb dalam bukunya, The Modern Trend of Islam (1950).
Menurut teori ini, orang Islam menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya.
Secara sosiologis, orang-prang yang sudah beragama Islam menerima otoritas
hukum Islam, taat pada hukum Islam. Teori ini menggambarkan bahwa dalam
masyarakat Islam terdapat hukum Islam. Hukum Islam ada dalam masyarakat Islam
karena mereka menaati hukum Islam sebagai bentuk ketaatan ter/hadap perintah
Allah dan Rasulullah.
Menurut analisis Jaih
Mubarok, teori ini bersifat idealis karena tidak dibangun lebih banyak
berdasarkan doktrin Islam dan cenderung mengabaikan pengujian empirik di
lapangan. Meskipun Gibb sendiri mengakui bahwa tingkat ketaatan umat Islam
terhadap hukum Islam mesti berbeda-beda, karena tergantung pada kualitas
takwanya kepada Allah, sehingga ada yang taat terhadap seluruh aspek hukum
Islam dan adapula yang taat hanya pada sebagian aspek hukum Islam.
Senada dengan teori
Gibb di atas, imam madzhab seperti imam Asy-Syafi’i telah mengungkapkan teori non teritorialitas dan Abu Hanifah
dengan teori teritorialitas ketika
mereka menjelaskan teori hukum internasional (fiqh siyasah dauliyyah). Teori teritorialitas dari Abu Hanifah
menyatakan bahwa seorang muslim terikat untuk melaksanakan hukum Islam
sepanjang ia berada dalam wilayah yang memberlakukan hukum Islam. Sementara
teori non-teritorialitas dari Asy-Syafi’i menyatakan bahwa seorang muslim
selamanya terikat untuk melaksanakan hukum Islam di manapun ia berada, baik
pada wilayah yang diberlakukan hukum Islam maupun pada wilayah yang tidak
diberlakukan hukum Islam.
Pemahaman
tersebut tentu saja relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian
besar bermadzhab Syafi’i. Oleh karena itu teori ini pada dasarnya telah
mengakar pada setiap individu muslim , di samping diperkuat oleh madzhab
Syafi’i dan Hanafi.
2. Teori Receptio in
Complexu
Menurut teori Receptio
in Complexu bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing atau
dengan kata lain mengikuti agama yang dianut seseorang. Bagi orang Islam
berlaku hukum Islam, demikian juga berlakunya hukum agama lain bagi pemeluknya.
Pioneer pemikiran ini adalah para sarjana Belanda seperti Carel Frederik Winter
seorang ahli tertua tentang hal-hal Jawa, juga Salomon Keyzer (1823-1868)
seorang ahli bahasa dan Ilmu kebudayaan Hindia Belanda. Teori ini kemudian
dikemukakan oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845-1927) seorang
ahli hukum Islam, politikus, penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk bahasa
Timur dan hukum Islam.
Melalui ahli hukumnya
Van Den Berg teori Receptio in Complexu yang menyatakan bahwa syariat
Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluknya. Sehingga berdasarkan pada
teori ini, maka pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan
peradilan agama yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk agama
Islam.
Daerah jajahan Belanda
yaitu Indonesia dengan Ibu kotanya Batavia dalam hal kekuasaan administrasi
pemerintahan dan peradilan, termasuk peradilan agama sepenuhnhya ditangan
Residen. Residen dengan aparat kepolisisannya berkuasa penuh menyelesaikan
perkara pidana maupun perdata yang terjadi.
Teori Receptio in
Complexu tersebut bisa dilihat dari bukti-bukti yang sebagian akan disebutkan
berikut ini:
a. Statu Batavia 1642 yang
menyebutkan bahwa “Sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam
harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam.
b. Pada tahun 1760, VOC
mengeluarkan peraturan senada yang disebut dengan Resolutie der Indische
Regeering.
c. Dikeluarkannya
Stbl.No.22 pasal 13 pada tahun 1820 yang menentukan bahwa Bupati wajib
memperhatikan soal-soal agama Islam dan untuk menjaga supaya para pemuka agama
dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti
dalam soal perkawinan, pembagian pusaka dan sejenisnya.
d. Van den Berg
mengonsepkan staatsblad 1882
Nomor 152 yang berisi ketentuan bahwa bagi rakyat pribumi atau rakyat jajahan
berlaku hukum agamanya yang berlaku pada lingkungan hidupnya.
e. Melalui Stbl.No.152
1882 dibentuklah Pengadilan agama dengan nama Priesterraad, yang
wewenangnya adalah menyelesaikan perkara-perkara antara umat Islam menurut
hukum Islam.
f. Dalam pasal 75 RR (regeeringsreglement)
Tahun 1855. Pasal 75 ayat 3 RR berbunyi : “Oleh hakim Indonesia itu hendaklah
diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan
penduduk Indonesia itu”. Pada masa inilah muncul kebijakan adanya Pengadilan
Agama disamping Pengadilan Negeri yang sebelumnya didahului dengan penyusunan
kitab yang berisi tentang himpunan hukum Islam.
Dalam konteks
Indonesia, teori ini dibangan berdasarkan atas amaliyah umat Islam yang begitu
terikat dengan hukum Islam di bidang ibadah dan al-ahwal asy-syakhsiyah. Adapun
bidang mu’amalah, jinayah, dan siyasah,
masih banyak terabaikan.
3. Teori Receptie Exit
Salah satu makna
kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebasnya dari pengaruh hukum
Belanda. Teori ini dikemukakan oleh Hazairin. Menurut Hazairin, setelah
Indonesia merdeka walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama
masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh
peraturan pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak
berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori receptie
harus keluar (exit) karena bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul. Semangat para pemimpin Islam menentang pendapat Christian Snouck
Hurgronje dengan menyandarkan pemberlakuan hukum Islam pada hukum adat terus
bergulir terutama pada saat menjelang proklamasi kemerdekaan negara Indonesia.
Upaya ini nampak dengan lahirnya Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada tanggal
22 Juni 1945.
Piagam Jakarta merupakan Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar (konstitusi)
negara Republik Indonesia yang disusun oleh 9 orang tokoh bangsa Indonesia,
sedangkan 8 orang dari mereka adalah Muslim. Adanya Piagam Jakarta adalah
sebuah perjuangan para tokoh Islam saat itu yang selalu memperjuangkan
berlakunya hukum Islam bagi orang Islam. Menurut Muhammad Yamin, piagam itu
merupakan dokumen politik yang terbukti mempunyai daya penarik dapat
mempersatukan gagasan ketatanegaraan dengan tekad bulat atas persatuan nasional
menyongsong datangnya negara Indonesia yang merdeka berdaulat.
Menurut teori receptie exit, pemberlakuan hukum Islam
tidak harus didasarkan atau ada ketergantungan dengan hukum adat. Hal ini
semakin dipertegas dengan diberlakukannya UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, yang memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam, UU No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama, dan juga Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia.
Pokok-pokok pikiran
Hazairin terkait dengan hal tersebut adalah:
a. Teori receptie
telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara Indonesia sejak
tahun 1945 dengan merdekanya negara Indonesia dan mulai berlakunya UUD 1945.
b. Sesuai dengan UUD 1945
pasal 29 ayat 1, maka negara republik Indonesia berkewajiban membentuk hukum
nasional Indonesia yang bahannya adalah hukum agama.
c. Hukum agama yang masuk
dan menjadi hukum nasional Indonesia bukan hanya hukum Islam, melainkan juga hukum
agama lain. Hukum agama dibidang hukum perdata maupun hukum pidana diserap
menjadi hukum nasional Indonesia dengan berdasarkan Pancasila.
Teori receptie exit yang dikemukakan Hazairin
dikembangkan oleh muridnya, Sayuthi Thalib yang menulis buku Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat
dengan Hukum Islam. Menurut teori ini, bagi umat Islam, yang berlaku adalah
hukum Islam. Hukum adat baru dinyatakan berlaku bila tidak bertentangan dengan
agama Islam atau hukum Islam. Pendapat ini kemudian disebut dengan teori receptio a contario.
4. Teori Receptie a Contario
Penjabaran dari teori receptie a contrario sebagaimana telah
dijelaskan seecara singkat di atas, dalam pandangan Afdol mengutip Sayuthi
Thalib, adalah sebagai berikut:
a. Bagi oarang Islam
berlaku hukum Islam.
b. Hal tersebut sesuai
dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya.
c. Hukum adat berlaku bagi
orang Islam selama tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.
Kerangka pikir teori
tersebut merupakan kebalikan dari teori receptie.
Perbedaan teori receptie exit dengan
teori receptie a contrario terletak
pada pangkal tolak pemikirannya. Teori receptie
exit buatan Hazairin bertolak dari kenyataan bahwa sejak kemerdekaan
bangsa, berdirinya RI, dasar negara Pancasila, UUD 45 dalam Pembukaan dan
pemahaman terhadap pasal II Aturan Peralihan ialah dengan mendahulukan dasar
dan jiwa kemerdekaan dan tidak menerima pemahaman aturan peralihan secara
formal belaka. Adapun landasan teori receptie
a contrario bertolak pada kenyataan bahwa negara Indonesia yang merdeka,
sesuai dengan cita-cita batin, cita-cita moral, dan kesadaran hukum
kemerdekaan, berarti ada keluasan untuk mengamalkan ajaran agama dan hukum
agama.
5. Teori Recoin (Receptio Contextual Interpretario)
Teori ini dicetuskan
oleh Dr. Afdol, seorang pakar Hukum dari Universitas Airlangga, Surabaya.
Menurutnya, teori ini diperlukan untuk melanjutkan teori-teori sebelumnya. Inti
teori recoin adalah penafsiran
kontekstual terhadap tekstual ayat Al-Qur’an. Menurut Afdol, teori ini
didasarkan pada hasil penelitiannya tentang waris Islam, misalnya pembagian
waris antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki mendapat dua kali bagian dari
perempuan. Dengan kata lain, bagian perempuan setengah dari bagian laki-laki.
Dengan dasar pemikiran
bahwa hukum yang diciptakan Allah bagi manusia pasti adil, tidak mungkin Allah
menurunkan aturan hukum yang memihak pada salah satu golongan, demikian juga
persoalan warisan laki-laki dan perempuan. Dengan menggunakan interpretasi secara
tekstual ayat tersebut secara rasional dapat dinilai tidak adil. Berbeda halnya
jika ayat tersebut di tafsirkan secara kontekstual. Pada kasus-kasus tertentu,
ayat tersebut dapat diberi interpretasi bahwa bagian warisan perempuan minimal
setengah bagian laki-laki. Interpretasi kontekstual terhadap ayat hukum islam
dinamakan oleh Afdol dengan teori recoin.
Teori ini pada dasarnya
berbeda istilah meskipun substansinya sama dengan para pemikir, seperti Hasbi
Ash-Shiddiqi dengan fiqh ala Indonesia,
pribumisasi ala Gusdur, Reaktualisasi
Munawir Sadjali, atau Hermenetik Fazlur
Rahman.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdirinya beberapa
negara Islam di kepulauan Indonesia-Melayu merupakan salah satu bukti kuatnya
pengaruh Islam. Selain itu, Islam berhasil mempersatukan kelompok etnis yang
terdiri atas ratusan suku yang ada dikepulauan ini. Islam Indonesia telah
membentuk institui politik sejak abad ke-13. Namun, institusi politik Islam di
beberapa daerah tidak sama. Adab ke-16 merupakan saksi munculnya kerajaan Islam terutama di Jawa.
Namun, beberapa daerah pedalaman masih bersifat Hindu-Budha.
Dalam membangun
peradaban Islam di Indonesia banyak tokoh Islam yang sangat berperan dalam
pembangunan Islam diantaranya Nur Al-Din Al-Raniri, Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili,
Muhammad Yusuf Al-Maqossari.
Terkait mengenai keberlakuan hukum Islam dikalangan
masyarakat Indonesia muncul berbagai teori, dimana yang satu dengan yang lain
memiliki karakteristik tersendiri. Adapun mengenai hal ini terdapat beberapa
macam teori, diantaranya teori Kredo
atau Syahadat, teori Receptio in
Complexu, teori Receptie Exit, teori Receptie a Contario, dan teori
Recoin (Receptio Contextual Interpretario).
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azymardy. 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta:
Supriadi, Dedi, M.Ag., SEJARAH
HUKUM ISLAM, Pustaka Setia, Bandung, 2007.
Ghofur Anshori, Abdul, Prof., Dr.,S.H., M.H., Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total
Media, Yogyakarta.
M., Sirajuddin. 2008. Legislasi Hukum Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
0 komentar:
Post a Comment