Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA
PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah penyusun ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis
dapat menyusun makalah ini yang berjudul "Tasyri’ pada Masa Jumud dan
Taqlid" tepat pada waktunya. Dan tidak lupa pula kita sanjung pujikan
kepada Nabi Besar Muhamad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap
gulita ke alam yang terang benderang ini.
Penulis menyadari bahwa didalam
pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam
kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Terima kasih
yang sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian Makalah ini. Wassalam.
Sigli, 17 Oktober 2014
Pemakalah
KELOMPOK 5
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR
ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang...................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C.
Tujuan penulisan................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Kondisi Sosial
Politik........................................................................
2
B.
Keistimewaan
pada periode ini ......................................................... 3
C.
Sebab-sebab
faham tertutupnya pintu ijtihad.................................... 8
D.
Tokoh-tokoh
ulama masa ini.............................................................. 10
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
14
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang
Periode taqlid ini bermulai sekitar pertengahan abad
IV H / X M. Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor, yaitu faktor politk,
intelektual, moral, dan sosial yang mempengaruhi kebangkitan umat islam dan
menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-undangan
hingga terjadinya kemandekan. Gerakan ijtihad dan upaya perumusan undang-undang
sudah berhenti. Semangat kebebasan dan kemerdekaan berpikir para ulama sudah
mati. Mereka tidak lagi menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai sumber utama,
akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan cara bertaqlid. Semua
pengaruh yang mendatang itu menolak kemerdekaan berpikir dan menyeretnya kepada
taqlid, menjadi pengikut Abu Hanifah, pengikut Malik, pengikut asy syafi’i atau
pengikut Ahmad saja.
Mereka membatasi diri dalam batas-batas lingkungan
madzhab-madzhab itu. Kesungguhan mereka ditujuan untuk memahami lafad-lafad dan
perkataan imam-imam saja, bukan lagi untuk mmahami nash-nash itu sendiri. Oleh
karenanya berhentillah masa tasyri’ dan bekulah masa pembinaan hukum, padahal
masa selalu terus berputar, setiap detik baru terjadi transisi, setiap transisi
membawa peristiwa yang menimbulkan masalah baru yang membutuhkan hukum.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kondisi sosial politik pada masa taqlid dan jumud?
2.
Bagaimana
keistimewaan periode ini?
3.
Jelaskan
sebab-sebab faham tertutupnya pintu ijtihad?
4.
Siapa saja
tokoh ulama pada periode ini?
C.
Tujuan penulisan
Adapun tujuan kami dalam
menyusun makalah ini adalah agar kami dan semua mahasiswa mampu memahami
tentang tasyri’ pada masa taqlid dan jumud.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kondisi Sosial Politik
Periode ini lahir pada
abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang berarti sebagai penutupan periode ijtihad
atau periode tadwin (pembukuan). Mula-mula masa kemunduran dalam bidang
kebudayaan Islam, kemudian berhentilah perkembangan hukum Islam atau Fiqih
Islam. Pada umumnya, ulama yang berada di masa itu sudah lemah kemauannya untuk
mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagiamana dilakukan oleh para pendahulu
mereka pada kejayaan seperti disebut diatas.
Situasi kenegaraan yang
barada dalam konflik, tegang, dan lain sebagainya itu ternyata sangat
berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji ajaran Islam langsung dari
sumber aslinya Alqur’an dan Hadits. Mereka telah puas hanya dengan mengikuti
pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan kepada tingkat tersebut
kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah yang mengantarkan Dunia
Islam kea lam taklid, kaum Muslimin terperangkap ke alam pikiran yang jumud dan
statis.
Disamping kondisi sosial politik tersebut, beberapa faktor lain berikut ini
kelihatannya ikut mendorong lahrnya sikap taklid dan kemunduran. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Efek samping dari pembukuan fiqih pada periode sebelumnya
Dengan adanya kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama sebelumnya,
baik untuk persoalan-persoalan yang benar-benar terjadi atau diprediksi akan
terjadi, memudahkan umat Islam pada periode ini merujuk semua persoalan hukumnya
kepada kitab-kitab yang ada itu.
2. Fanatisme mazhab yang
sempit
Pengikut imam mujtahid
terdahulu itu berusaha membela kebenaran pendapat mazhabnya masing-masing
dengan berbagai cara. Mungkin akibat pengaruh arus keidakstbilan kehidupan
politik, dimana frkuensi sikap curiga dan rasa tidak senang antara seseorang
atau antar kelompoknya dengan mnecari-cari argumentasinya yang pada umumnya
apologetic serta menyanjung imam dan mazhabnya dengan sikap emosinalitas yang
tinggi. Akibatnya, mereka tenggelam dalam suasana chauvinism yang tinggi, jauh
dari sikap rasionalitas ilmiah dan terpaling dari sumber-sumber hukum yang
sesungguhnya, Alqur’an dan Hadits.
3. Pengangkatan
hakim-hakim muqallid
Kehidupan taklid pada
periode semakin subur ketika pihak penguasa mengangkat para hakim dari
orang-orang yang bertklid. Bila pada periode sebelumnya para penguasa memilih
dan mengangkat hakim-hakim dari kalangan mujtahid dan mereka diberi kebebasan
berijtihad sendiri, hasil ijtihadnya sering menjadi sasaran kritikan pedas dari
penganut-penganut mazhab tertentu, termasuk penguasa.
Umat islam menyadari
kemunduran dan kelemahan mereka yang sudah berlangsung semakin lama itu.
Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh terhadap perkembangan fiqih. Banyak
diantara pembaharuan itu juga adalah ulama’-ulama’ yang berperan dalam
perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat Islam meningglakan
taklid dan kembali kepada Alqur’an dan hadits dan mengikuti jejak para ulama’
terdahulu. Mereka inilah yang disebut sebagai golongan salaf. Periode ini
ditandai dengan disusunnya kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adiyyat di akhir abad ke-13 H,
mulai 1285 H sampai tahun 1293 H (1869-1876 M).
Contoh ijtihad yang dilakukan
Perluasan daerah dari
suatu Negara akan berdampak semakin luas pada jumlah dan bobot persoalan yang
dihadapi, baik menyangkut sosial politik ketatanegaraan maupun hal-hal yang
perlu diselesaikan oleh pemimpin dan para ulamanya. Mereka, terutama
ulama’-ulama’ dituntut untuk berfatwa dalam menghadapi persoalan-persoalan
hukum yang frekuensinya selalu bertambah dari masa ke masa. Keadaan ini
menentang mereka untuk menafsirkan ayat-ayat Alqur’an atau hadits-hadits nabi
berdasarkan penalaran ilmiah yang intens (ijtihad).
B.
Keistimewaan Masa Ini
1.
Pengembangan fiqih di Arab, Asia tengah dan India
Para ulama tidak
sekaligus meninggalkan ijtihad, melainkan berangsur-angsur karena itu dapatlah
kita membedakan antara masa sebelum pertengahan abad 7 hijriyah (tahun 656 H)
yaitu masa ketika jatuhnya kerajaan Abasiyyah di Baghdad dengan terbunhnya al
Mu’tashim, dengan masa sesudahnya. Dalam masa itulah para ulama menghadapkan
dirinya kepada taqlid sampai pengaruhnya ke asia tengah dan India.
Para imam telah
meninggalkan warisan yang begitu berharga dan sangat besar, yaitu hukum-hukum
yang diperlukan oleh kejadian-kejadian. Pemerintah pun dalam menetapkan
seseorang untuk menjadi hakim dan mufti dan kedudukan lainnya mengambil dari
orang-orang yang mengikuti madzhab, baik di Timur maupun di Andalus dan
Maghribi. Para fuqaha’ masa taqlid itu sepakat meninggalkan ijtihad, adakala
karena aneka ragam fatwa yang bersimpang siur tak terkendalikan lagi, yang
menyebabkan para fuqaha’ menjauhkan diri dari ijtihad, dan adakala karena sudah
malas untuk berijtihad, dan adakalanya pula memang pahamnya sudah tertumbuk
pada pendapat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Mulai saat itu fiqh Islam
sudah bercerai dari sifat amaliyah yang praktis berpindah berjalan pada cara
yang teoritis yang jauh dari segi-segi praktek kehidupan, dan merupakan bentuk
yang membeku, tidak mau menampung masalah yang hidup dalam kehidupan umat.
Dalam pada itu, dalam
masa ini masih terdapat fuqaha’ yang mempunyai pembahasan-pembahasan yang
berharga dan kadang-kadang mereka menyalahi pendapat-pendapat imam. Dan pada
masa itu masih terdapat mujtahid muqayyad atau mujtahid madzhab.
Juga para fuqaha’ pada masa itu ada yang memberikan illat-illat hukum yang
dikemukanan oleh para imam dan menampung kaidah-kaidah serta mentarjihkan
pendapat-pendapat yang berbeda-beda dari para imam dalam sesuatu masalah.
Ringkasnya, masa ini
adalah masa menyusun fiqh secara menetapkan masalah-masalahnya yang baru,
menurut dasar yaang telah ditancapkan oleh imam-imam mereka dan mentarjihkan
menguatkan suatu pendapat dari pendapat yang berbeda-beda.Menurut Ahli Tarikh
zaman taqlid terjadi beberapa periode yaitu :
a. Periode pertama ( Abad
ke IV – jatuhnya baqdad ketangan ketangan bangsa tartar pertengahan
abad ke VII Hijrah ).
Masa ini masa
ini masing-masing ulama menegakan fatwa imamnya menyeru umat
untuk bertaqlid dan mazhab yang dianutnya. Ulama Irak mempropagandakan supaya
menganut mazhab Imam Abu Hanifah, Ulama Madinah kepada mazhab Imam Malik, pada
masa ini paling kuat hanya mentarjih antara dua perkataan imam yang
berlawanan sehingga berbunyi semboyan : kami mazhab hanafi, disambut dengan
dengan semboyan lain kami mazhab Malikiyah dan begitulah seterusnya, meraka
tidak segan-segan mengatakan kepada yang bukan mazhabnya kalimat kafir.
b. Periode kedua
Periode ini, kelemahan
ruh ijtihad terlihat jelas, sangat kurang ulama yang berani memuncul
ijtihad, kecuali beberapa orang saja diantaranya Al ‘iz ‘abdusslam (578 H-660
H), Ibnu Daqiqil ‘id (615 H – 702 H ) Al-Bulqini ( 724 H -805 H ), Ibnu Rif’ah
(645-858 H ), ibnu hajar Asqalani (773-858 H), Ibnu Humam ( 790-911H). Ibnul
Hajib (570-646 H), Ibnu Taimiyah ( 661 – 728 H ) Ibnu qayyim ( 691- 751 H), Al
Asnawi ( 714 – 784 H), Al Jalalul Mahalli (791 – 864 H ) dan Al jalalus
Sayuti ( 846 – 911 H ).
c. Periode ketiga
Pada periode ini
ijtihad padam sama sekali, sehingga haram hukumnya berijtihad, namun
ditengah kepakuman ijtihad muncullah dua mujtahid yang masih diakui ijtihadnya
yaitu Muhammad Ibn Ismail Al Amir Ash-Sha’ani pengarang subulussalam dan Imam
Asy Syaukani pengarang Nailul Authar, kemudian pada abad XX bangunlah pujangga
sunnah, ahli politik yang terkenal yaitu Al Imam Muhammad Abduh.
d. Periode ke Empat
Pada periode ini
adalah periode yang menantang muhammad Abduh yang menyerukan kepada para
ulama untuk berijtihad dan menyingkapkan tirai taqlid
Melihat dari periodesasi
di atas nampaklah bahwa pertengahan abad ke-13, muncul upaya reformasi
(pembaharuan) untuk melepaskan diri dari taklid di kalangan umat Islam. Usaha
ini timbul setelah kaum muslimin sadar akan kelemahan dan kemunduran mereka
akibat perselisihan di kalangan umat Islam sendiri. Di pihak lain ada juga
usaha-usaha non muslim yang ikut menyokong kehancuran umat Islam. Bersamaan
dengan itu banyak Negara-negara Islam ditundukkan Barat di bawah kekuasaannya.
Dalam pada itu, dunia
pada umumnya, terutama barat yang semula jauh ketinggalan dibandingkan dengan
dunia Islam, mulai maju dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mereka capai. Peradapan yang dahulu berada di tangan kaum muslimin, beralih ke
Barat. Mereka telah mengemukakan masa keemasannya.
Kemajuan di kalangan
Barat, sekaligus keberhasilan mereka dalam menguasai peradaban dunia ketika itu
tidak terlepas dari faktor utamanya, yakni semangat berfikir rasional mereka,
yang disebut juga pengejawantahan dari semangat Yunani.
Umat Islam merasa
tergugah kembali untuk meraih kembali kesuksesan yang pernah diraihnya itu.
Kebangkitan umat Islam muncul di Turki dan Mesir yang memulai usaha-usaha dalam
bidang pendidikan. Di Mesir, pada awal abad ke-13 H, Muhammad Ali Pasya tampil
untuk memajukan ilmu pengetahuan, kemudian dilanjutkan oleh al-Tahtawi, dengan
usaha penerjemahan buku-buku baru serta penerbitan berbagai surat kabar dan
majalah ilmu pengetahuan.
Mesir juga berusaha
keras untuk menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern. Mahasiswa-mahasiswa mesir
dibiayai untuk belajar di negeri barat, saat itu dikirim mahasiswa tidak kurang
dari 300 mahasiswa di Itali, Perancis, Inggris dan Austria. Sekembali dari
negeri Barat itu, mereka melihat situasi di negerinya jauh ketinggalan dengan
negeri-negeri Barat. Maka para pemuda Islam yang terdidik itu berusaha
membangkitkan dunia Islam ke arah peradaban modern. Mereka dilengkapi berbagai
metode dan strategi untuk menyesuaikan syari’at Islam dengan pandangan dunia.
Dalam rangka
usaha-usaha pembaharuan Islam, para ulama berusaha untuk menafsirkan kembali
sumber-sumber tasyri’. Hal ini diambil karena para mufassir terdahulu sebagian
besar terpengaruh dongeng-dongeng israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak
orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam.
Sebagai upaya menghadapi
tantangan zaman yang serba modern, para mujadid menafsirkan al-qur’an dengan
disesuaikan perkembangan zaman, juga menghindarkan diri dari dongeng
Israiliyaht dan Nasraniyat. Maka pada abad 14 H lahirlah aliran baru dalam
menafsirkan al-qur’an seperti aliran al-Manar yang dipelopori oleh Jamaludin
al-afghani (1315 H), Muhammad Abduh (1323 H) dan muridnya M. Rasyid Ridha.
Dalam penafsiran ini
Muhammad Abduh senantiasa berusaha mencari persesuaian antar al-Qur’an tidak
mungkin mengandung ajaran-ajaran yang berlawanan dengan hakikat ilmu. Bahkan,
al-Qur’an mencakup ilmu pengetahuan modern di abad yang akhir ini. Pemikiran
Abduh terutama dalam bidang hukum Islam, diinspirasi oleh pemikiran Ibnu
Taimiyah. Ia membagi ruang lingkup agama ke dalam dua bidang besar, yaitu
ibadah dan mu’amalah. Beliau juga menganjurkan agar tidak terikat kepada
madzhab tertentu. Sikap semacam ini dilatarbelakangi oleh luasnya wawasan Abduh
dalam hukum Islam. Ia berani mengambil berbagi keputusan hukum secara bebas dan
penuh tanggungjawab. Hal ini nampak dari setiap keputusannya ketika ia menjadi
mufti di Mesir.
Cita-cita pembaharuan
Abduh kemudian ditindak lanjuti oleh muridnya, Sayyid Muhmmad Rasyid Ridha.
Titik tolak pembaharuan Ridha berpangkal pada segi keagamaan, yaitu tuntutan
adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidah maupun amaliyahnya. Ajaran
Islam yang murni inilah yang akan membawa kemajuan umat Islam. Itulah sebabnya
bid’ah, khurafat dan segala ajaran yang menyimpang harus disingkirkan.
Adapun tafsir yang
menitikberatkan kepada ayat-ayat tasryri’ ialah tafsir al-Qurtubi, abu Bakar
al-Arabi, Abu Bakar al-Janash dan tafsir Shidiq Hasan Khan yang dikenal dengan
tafsir ulama tasyri’. Di samping itu, para mujadid juga berusaha menafsirkan
sunah Rasul disesuaikan dengan laju peradaban modern, sehingga sumber-sumber
tasyri’ yang pokok itu tetap menjadi pegangan pembuat undang-undang di zaman
mutakhir.
Dalam mewujudkan
pembaharuan dan pembentukan hukum ini, para mujadid tidak terikat pada salah
satu madzhab. Mereka mengambil pendapat dari berbagai ulama ahli hukum yang
lebih sesuai dengan kemaslahatan umat dan masyarakat di alam modern. Sikap
seperti ini dikenal dengan istilah “talfiq” (meramu), yakni mengamalkan suatu
hukum furu’ yang dzonni menurut ketentuan dua madzhab atau lebih. Misalnya,
seseorang bertanya kepada ulama Malikiyah tentang batal wudlu karena keluar
darah. Maka ulama itu mengatakan tidak batal. Kemudian orang itu bertanya
kepada ulama Hanafiyah tentang batal wudlu karena menyentuh kemaluan. Maka
ulama itu menyatakan bahwa wudlunya tidak batal. Apabila orang itu mengamalkan
fatwa itu di dalam wudlunya, yakni beriktikad wudlunya tidak sah pula menurut
ulama hanafiyah karena mengeluarkan darah, maka orang demikian telah
mengamalkan talfiq.
Dalam masalah boleh
tidaknya talfiq, terdapat beberapa pendapat. Al-Ghozali, al-syatibi, al-Jalal
Mahalli mengharamkannya secara mutlak. Ulama lainnya, seperti Ibnu al-Athar,
Ibnu Humma Abu Ishak al-Marwani membolehkannya. Pendirian tersebut berpegang
kepada firman Allah: “Allah menghendaki kelonggaran bagimu” (Al-Baqarah: 185).
Usaha ulama yang lain
adalah berkaitan dengan kemurnian tasyri’ islam dari bid’ah dan khurafat.
Bid’ah dapat diartikan menjalani syariat yang tidak sesuai dengan ajaran Allah
dan sunah Rasulullah, baik dengan cara mengurangi maupun menambah ketentuan
yang telah ditetapkan oleh nash. Khurafat diartikan sebagai keyakinan atau
i’tikad yang menyalahi kehendak al-Qur’an dan sunah Rasulullah.
Dalam memperbaharui
tasyri’ Islam, para mujtahid berusaha untuk memurnikan tasyri’ Islam dari
bid’ah dan khurafat, umatnya tidak akan mengalami kemajuan apalagi kejayaan
sebagaimana yang dialami pada masa Rasulullah dan masa sahabat. Tokoh terkenal
yang menentang bid’ah dan khurafat adalah Abu Al-Wahhab di Saudi Arabia dan
Syekh Waliyullah al-Dahlawi dari India.
C.
Sebab-sebab Faham Tertutupnya Pintu Ijtihad
Petaka besar
menimpa Fiqih Islam pada periode ini, dimana kesucian ilmu ternodai,
orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan mereka sangat jauh dari
pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil Fiqih yang pada akhirnya mereka
berbicara tentang agama tanpa Ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa dan ulama
untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan abad keempat hijriah agar mereka
mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan menyelamatkan
masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan. Akan tetapi sangat disayangkan,
larangan ini telah memberi efek yang negatif terhadap Fiqih Islam sehingga
menjadi jumud dan ketinggalan zaman. Seharusnya para fuqoha periode ini
meletakkan beberapa aturan yang bisa digunakan untuk membantah pendapat ulama
gadungan tersebut. Salah satunya dengan menjelaskan dalil dan bukti yang
menyingkap aib mereka didepan orang banyak, dan melarang masyarakat untuk
mengikutinya karena fatwa mereka tanpa ilmu dan menyesatkan dan bukan menutup
pintu ijtihad. Andaikan hal ini mereka lakukan , niscaya mereka telah memberikan
kontribusi positif terhadap perkembangan fiqih Islam dan lebih baik dari pada
menutup pintu ijtihad sama sekali.
Faktor-faktor yang terpenting yang menyebabkan
terhentinya kegiatan ijtihad, dan menetapi bertaqlid kepada para ulama
terdahulu, diantaranya yaitu:
1.
Terbagi-baginya
Daulah Islamiyah kedalam sejumlah kerajaan-kerajaan yang saling bermusuhan para
rajanya, penguasanya dan rakyatnya.
Hal ini
menyebabkan mereka selalu sibuk dengan peperangan-peperangan, saling menfitnah,
memasang berbagai perangkap, tipu daya dan pemaksaaan dalam rangka meraih
kemenangan dan kekuasaan. situasi dan kondisi seperti ini melahirkan masa
krisis umum sehingga semangat keilmuan dan kesenian menjadi lemah dan mandek.
Dan krisis ini mempengaruhi terhentinya gerakan ijtihad pembentukan hukum.
2.
Pecahnya
imam-imam mujtahidin kepada beberapa madzhab yang masing-masing mempunyai corak
sendiri.
Masing-masing
golongan membentuk menjadi aliran hukum tersendiri dan mempunyai khittah
tersendiri pula. Dan setiap aliran hukum ini mempunyai pengikut dan kader-kader
yang berusaha mencurahkan segenap perhatiaanya dalam rangka membela dan
memenangkan madzhabnya masing-masing. Misalnya adakalanya dalam rangka membela
dan memperkuat madzhabnya masing-masing dengan cara mengemukakan argumentasi
yang melegitimasi kebenaran madzhabnya sambil mengedepankan kekeliruan madzhab
lain yang dinilai bertentangan dengan madzhabnya.
Disamping
itu juga adakalanya dengan cara menyanjung-nyanjung para tokoh ulama dan
pemimpin mereka serta menonjol-nonjolkan kemampuan dan kehebatan mereka.
Kondisi inilah yang membuat para ulama madzhab sibuk dan membelokkan mereka
dari dasar-dasar pokok tasyri’ yaitu Alquran dan Sunnah. Dan tak seorangpun
dari mereka yang mau merujuk kembali pada Alquran dan Hadis, kecuali hanya
sekedar untuk memperkuat madzhab imamnya walaupun dengan cara menyimpang dalam
memahami dan menakwilkan. Dengan demikian, kepribadian seorang alim ulama
tenggelam dan hancur kedalam kepentingan golongannya dan semangat kemerdekaan
berpikir menjadi mandek dan mati. Orang-orang alim menjadi seperti orang-orang
awam saja yakni sebagai pengikut-pegikut yang bertaqlid.
3.
Umat islam
mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan.
Sementara
disisi lain mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang bisa menjamin
agar seseorang tidak ikut berijtihad kecuali yang memang ahli dibidangnya.
Dengan demikian terjadilah krisis pembentukan hukum dan ijtihad dengan demikian
praktek ijtihad dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai keahlian.
Orang-orang bodoh mempermainkan nash-nash syariat, mereka berani berfatwa
kepada umat islam, maka munculah berbagai macam fatwa hukum yang bertentangan
antara satu dengan yang lainnya. Hal ini juga diikuti dengan munculnya berbagai
keputusan hukum di peradilan-peradilan sehingga terjadilah keputusan hukum di
peradilan yang bertentangan dalam kasus yang sama dalam satu negri. Semua ini
terjadi dikalangan umat islam dan semuanya dianggap sebagai bagian dari
hukum-huum syariat. Situaisi dan kondisi ini membuat para ulama merasa khawatir
sehingga mereka mengambil sikap kebijaksanaan hukum dengan cara menyatakan
menutup pintu ijtihad dan mengikat para mufti (ahli fatwa) dan hakim supaya
tetap saja mengikuti ketetapan-ketetapan hukum para imam mujtahid terdahulu.
Inilah cara mereka mengatasi atau mengobati krisis pembentukan hukum islam
dengan cara yang bisa melahirkan sikap dan masa kebekuan (statis). Ini terjadi
pada akhir abad IV H.
4.
Para ulama
dilanda krisis moral yang menghambat mereka, sehinga tidak bisa sampai pada
level orang-orang yang melakukan ijtihad.
Dikalangan
mereka terjadi saling menghasut dan egois mementingkan diri sendiri. Kalau
salah seorang diantara mereka berusaha mengetuk pintu ijtihad yang berarti akan
membuka pintu kemasyhuran bagi dirinya dan merendahkan rekan-rekan lainnya.
Kalau ia berani berfatwa mengenai suatu masalah menurut pendapatnya, maka para
ulama lainnya meremehkan pendapatnya dan merusak fatwanya dengan berbagai macam
cara. Oleh karena itu, para ulama berusaha untuk tetap menjaga diri dari adanya
tipu daya dari rekan-rekannya dan dari celaan mereka dengan mengatakan bahwa
dia itu tukang taqlid dan tukang kutip saja dan bukanlah seorang mujtahid,
dengan demikian semangat ijtihad mandek dan mati sehinggga tidak ada yag lahir
dan terangkat tokoh-tokoh dalam dunia fikih Islam. Dan kepercayaan ulama
terhadap dirinya sendiri menjadi lemah dan kurang. Demikian pula, kepercayaan
masyarakat kepadanya juga lemah dan kurang sehingga dengan demikian mereka
bertaqlid kepada madzhab-madzhab imam mujtahid terdahulu saja.
D.
Tokoh Ulama Pada Periode ini
1.
Imam Abu Hanifah (80 – 150 H)
Namanya Abu
Hanifah al-Nu’man, terkenal dengan Imam ahl al-Ra’yi. Beliau lahir di Kufah dan
meninggal dunia di Baghdad. Muridnya yang terkenal adalah Abu Yusuf, Zufar bin
Hudzail bin Qa`is sl-Kufi, al-Hasan bin Ziyad, dan Muhammad bin al-Hasan
al-Syaibani.
Pada masa
Khalifah Abu Ja’far al-Manshur berkuasa di Baghdad, Abu Hanifah diundang ke
Baghdad untuk menjabat hakim, tetapi beliau menolak berkali-kali, akhirnya
beliau dijebloskan ke dalam penjara dan kemudian dihukum cambuk. Akhirnya, ia
meninggal dunia di Baghdad dalam usia 70 tahun. Ciri yang paling menonjol
adalah beliau lebih mengandalkan Qiyas dalam penetapan hukum.
Pengaruh
didunia: Irak, Turki, Affghanistan,
Bukhara,
Pakistan,
India,
Mesir teutama kalangan akademik Jami’ah al-Azhar.
2. Imam Malik bin Anas
(93 – 179 H/ 712 – 798 M)
Nama aslinya,
Abu ‘Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin al-Harits,
lahir dan meninggal dunia di Madinah. Karena itu, ia terkenal dengan Imam
al-Haramain.
Murid-muridnya:
·
Al-Auza’i
·
Sufyan al-Tsauri
·
Sufyan bin ‘Uyainah
·
Ibnu al-Mubarak
·
Al-Syafi’i
Kitabnya:
al-Muwaththa’, kitab hadits 1720 hadits, ditulis tahun 144 H atas perintah
Khlifah Ja’far al-Manshur. Ciri
yang paling menonjol adalah sangat tergantung pada amalan (praktik) penduduk
Madinah, berdasarkan hadits Ahad yang shahih.
Pengaruh di
Dunia: Marokko, Mauritania,
Mali,
Al-Jazair, Tunisia, Libiya,
Mesir (Iskandariyah), Sudan Utara,
Sinegal,
Pantai Gading, Nigeria, Afrika Utara,
Hijaz
3. Imam al-Syafi’i
(150 – 204 H/ 767 – 820 M)
Nama aslinya,
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin ‘Utsman bin syafi’i, lahir di Ghazzah
(kawasan Palestina Selatan) dan meninggal dunia di Mesir. Beliau hafal Kitab
yang ditulis Imam Malik, al-Muwaththa’. Tahuan 195 H beliau hijhrah ke Baghdad
untuk belajar dari murid Imam Abu Hanifah, kemudian beliau berangkat ke Makkah.
Tahun 198 H beliau kembali lagi ke Baghdad; dan tahun 199 H beliau berangkat ke
Mesir. Kumpulan fatwa selama di Baghdad disebut Qaulun Qadim dan di Mesir
disebut Qaulun Jadid. Beliau hafal al-Qur’an pada usia 7 tahun.
Guru-guru
beliau: Malik bin Anas, Muslim bin Khalid, Ibnu ‘Uyainah, Ibrahim bin Sa’ad. Murid-Muridnya:
Ahmad bin Hanbal, al-humaidi, Abu Thahir bin al-Buwaithi, Muhammad bin Abdil
Hakam.
Beliau pernah
dipenjara dan disiksa karena tidak mengakui al-Qur’an sebagai makhluk tetapi
qadim. Karya-karyanya: al-Musnad, Mukhtalif al-Hadits, al-Sunan. Dalam bidang
Fiqh dan Ushul Fiqh : al-Umm, al-Risalah.
Pengaruhnya di
Dunia: Kairo, Somalia,
Eritria,
Kenya Afrika Tuimur, Zanzibar,
Hadramaut, Pakistan, Asia,
Suria,
Libanon,
Yaman (Yaman Selatan), Emirat Arab,
Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia,
Filipina,
Ciri khasnya:
pendapat lama (Qaulun Qadim) dan baru (Qaulun Jadid); dalam menetapkan hukum,
tidak menggunakan istihsan dan mengutamnakan hadist Ahad.
4. Ahmad bin Hanbal
(164 – 241 H/ 780 – 855 M)
Nama aslinya,
Abu ‘Abdillah bin Muhammad bin Hanbal al-Marwazi, lahir dan meninggal dunia di
Baghdad.
Beliau merantau
ke Makkah, Madinah, Syam, Yaman, Basrah dan lain-lain. Beliau adalah murid
setia Imam al-Syafi’i. Beliau hafal 1000.000 hadis. Pendapat beliau menolak
“al-Qur’an adalah makhluk.” Sebagai akibatnya, beliau disiksa dan di penjara.
Muridnya: Imam
al-Bukhari, Muslim, Ibnu Abiddunya dan Ahmad bin Abi al-Hawarimi. Karyanya: Musnad
al-Kabir berisi 40.000 hadits.
Pengaruhnya:
Saudi Arabia, Hijaz, Qathar,
Mesir. Sebab
Perbedaan Pendapat dalam Islam:
1.
Perbedaan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
·
Lafazh Musytarak (satu kata banyak makna)
·
Amr (perintah) dan Nahy (larangan)
·
Haqiqat (makna sebenarnya) dan Majaz (makna kiasan)
·
‘Amm (makna umum) dan Khash (makna khusus)
·
Nasikh (yang menghapus) dan Mansukh (yang dihapus)
·
Muthlaq (makna bebas, tidak terikat) dan Muqayyad (makna terikat)
·
Manthuq (makna tekstual) dan Mafhum (makna yang dipahami,
kontekstual)
·
Ta`wil (pengalihan makna)
·
Mujmal (tidak jelas pengertiannya) dan Zhahir (makna yang sudah
jelas)
2. Perbedaan Cara
Menilai tingkat Kesahihan Hadits
3. Perbedaan dalam
menilai dalil yang bertentangan
4. Perbedaan dalam
menilai ‘urf atau adat kebiasaan
5. Merujuk kepada
dalil-dalil yang diperselisihkan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Situasi kenegaraan yang
barada dalam konflik, tegang, dan lain sebagainya itu ternyata sangat
berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji ajaran Islam langsung dari
sumber aslinya Alqur’an dan Hadits. Mereka telah puas hanya dengan mengikuti
pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan kepada tingkat tersebut
kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah yang mengantarkan Dunia
Islam kea lam taklid, kaum Muslimin terperangkap ke alam pikiran yang jumud dan
statis.
Keistimewaan Masa Ini adalah
di Pengembangan fiqih di
Arab, Asia tengah dan India. Para ulama tidak sekaligus meninggalkan ijtihad,
melainkan berangsur-angsur karena itu dapatlah kita membedakan antara masa
sebelum pertengahan abad 7 hijriyah (tahun 656 H) yaitu masa ketika jatuhnya
kerajaan Abasiyyah di Baghdad dengan terbunhnya al Mu’tashim, dengan masa
sesudahnya. Dalam masa itulah para ulama menghadapkan dirinya kepada taqlid
sampai pengaruhnya ke asia tengah dan India.
Faktor-faktor yang terpenting yang menyebabkan
terhentinya kegiatan ijtihad, dan menetapi bertaqlid kepada para ulama
terdahulu, diantaranya yaitu[1] :
1.
Terbagi-baginya
Daulah Islamiyah kedalam sejumlah kerajaan-kerajaan yang saling bermusuhan para
rajanya, penguasanya dan rakyatnya
2.
Pecahnya
imam-imam mujtahidin kepada beberapa madzhab yang masing-masing mempunyai corak
sendiri.
3.
Umat islam
mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan.
4.
Para ulama
dilanda krisis moral yang menghambat mereka, sehinga tidak bisa sampai pada
level orang-orang yang melakukan ijtihad.
Tokoh ulama masa ini :
1. Imam Hanafi
2. Imam Maliki
3. Imam Syafi’i
4. Imam Hanbali
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Abdul Wahab, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).
Sjinqithy, A djamaludin, sejarah legislasi islam, ( Surabaya : Al
Ikhlas ), 1994.
Hasbi, Muhammad ash Shiddieqy, pengantar ilmu fiqh, ( Jakarta : PT Bulan
Bintang ), 1993.
Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang,
1970, Jakarta.
Zuhri, Mohammad, Tarikh
Tasyrik Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Daarul Ihya, 1980.
0 komentar:
Post a Comment