Makalah Ulumul Quran tentang Munasabah Al-Quran
Di Susun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA
PENGANTAR
Segala
puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan
keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan
kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu
pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Ulumul Quran pada
Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini
penulis mengangkat judul “Munasabah
Al-quran”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang
dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
KELOMPOK 9
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang...................................................................................
1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan penulisan................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan dasar-dasar pemikiran tentang adanya munasabah... 2
B.
Macam-macam
munasabah................................................................
4
C.
Urgensi
mempelajarinya..................................................................... 10
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
13
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran Al-Karim
memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat, salah satunya adalah
bahwa Al-Quran adalah kitab yang keotentikannya di jamin oleh Allah, Dan dia
adalah kitab yang selalu dipelihara.
Perbedaan pangkal
tolak dalam menelaah Al-Quran oleh sarjana muslim dan bukan muslim(orientalis) menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Sarjana muslim dalam
melakukan usahanya didasari oleh titik tolak imani disertai dengan nuansa yang
tersendiri. Sedangkan para orientalis, tidak mempunyai ikatan batin sama sekali
dengan Al-Quran. Mereka menerapkan kebiasaan ilmiah yang bertolak belakang dari
”keraguan” untuk menemukan sebuah “kebenaran” ilmiah. Almarhum ‘Abdul-Halim
Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar berkata : “Para orientalis yang dari saat ke
saat berusaha menunjukkan kelemahan Al-Quran, tidak mendapatkan celah untuk
meragukan ke otentikannya.
Seorang muslim,
tidak dapat menghindarkan diri dari keterikatannya dengan Al-Quran. Seorang
muslim mempelajari Al-Quran tidak hanya mencari “kebenaran” ilmiah, tetapi juga
mencari isi dan kandungan Al-Quran. Begitu juga dengan telaah tentang munasabah yang
merupakan bagian dari telaah Al-Quran. Seluruh usaha membeberkan berbagai
bentuk hubungan dan kemirip-miripan dalam Al-Quran adalah tidak terlepas dari
usaha membuktikan bahwa Al-Quran sebagai “sesuatu yang luar biasa”.
B.
Rumusan Masalah
1. Menjelaskan pengertian dan dasar-dasar pemikiran tentang adanya
munasabah
2. Menjelaskan macam-macam munasabah
3. Menjelaskan urgensi mempelajariya
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah
disamping untuk memenuhi tugas dalam perkuliahan juga agar kami khususnya dan
semua mahasiswa pada umumnya mampu memahami munasabah al-quran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Dasar-dasar Pemikiran Tentang Adanya Munasabah
Munasabah berasal dari kata ناسب يناسب مناسبة yang berarti dekat, serupa,
mirip, dan rapat.المناسبة sama artinya dengan المقاربة
yakni mendekatkannya dan
menyesuaikannya ; النسيب artinya القريب
المتصل (dekat dan berkaitan). Misalnya, dua orang bersaudara dan
anak paman. Ini terwujud apabila kedua-duanya saling berdekatan dalam artian
ada ikatan atau hubungan antara kedua-duanya. An-Nasibjuga
berarti Ar-Rabith, yakni
ikatan, pertalian, hubungan.[1]
Selanjutnya
Quraish Shihab menyatakan (menggaris bawahi As-Suyuthi) bahwa munasabahadalah
ada-nya keserupaan
dan kedekatan diantara berbagai ayat, surah, dan kalimat yang mengakibatkan
adanya hubungan[2]. Hubungan
tersebut dapat berbentuk keterkaitan makna antara ayat dan macam-macam
hubungan, atau kemestian dalam fikiran (nalar).
Makna tersebut
dapat dipahami, bahwa apabila suatu ayat atau surah sulit ditangkap maknanya
secara utuh, maka menurut metode munasabah ini mungkin dapat
dicari penjelasannya di ayat atau di surah lain yang mempunyai kesamaan atau
kemiripan. Kenapa harus ke ayat atau ke surah lain ? karena pemahaman ayat
secara parsial (pemahaman ayat tanpa melihat ayat lain) sangat mungkin
terjadinya kekeliruan. Fazlurrahman mengatakan, apabila seseorang ingin
memperoleh apresiasi yang utuh mengenali Al-Quran, maka ia harus dipahami
secara terkait. Selanjutnya menurut beliau apabila Al-Quran tidak dipahami
secara utuh dan terkait, Al-Quran akan kehilangan relevansinya untuk masa
sekarang dan akan datang. Sehingga Al-Quran tidak dapat menyajikan dan memenuhi
kebutuhan manusia. Jadi, tidak heran kalau dalam berbagai karya dalam bidang
Ulumul Quran tema munasabah hampir tak pernah terlewatkan.[3]
Secara
terminologis, munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang
terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al-Quran baik surat maupun ayat-ayatnya
yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainya.
Menurut
bahasa, munasabah berarti hubungan atau relevansi, yaitu
hubungan persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat
yang sebelum atau sesudahnya. Ilmu munasabah berarti ilmu yang
menerangkan hubungan antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat
yang lainnya.
Menurut istilah,
ilmu munasabah / ilmu tanasubil ayati was suwari ini
ialah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dari bagian-bagian
Al-Qur’an yang mulia.
Ilmu ini
menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat / beberapa surat Al-Qur’an.
Apakah hubungan itu berupa ikatan antara ‘am (umum) dan khusus
/ antara abstrak dan konkret / antara sebab-akibat atau antara illat dan ma’lulnya,
ataukah antara rasional dan irasional, atau bahkan antara dua hal yang
kontradiksi. Jadi pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai
dalam arti yang sejajar dan paralel saja. Melainkan yang kontradiksipun
termasuk munasabah, seperti sehabis menerangkan orang mukmin lalu
orang kafir dan sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an itu
kadang-kadang merupakan takhsish(pengkhususan) dari ayat-ayat yang
umum. Dan kadang-kadang sebagai penjelasan yang konkret terhadap hal-hal yang
abstrak.
Sering pula
sebagai keterangan sebab dari suatu akibat seperti kebahagiaan setelah amal
sholeh dan seterusnya. Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang
seperti tidak ada hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan yang
lainnya, baik dengan yang sebelumnya maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena
itu, tampaknya ayat-ayat itu seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dari
yang lain seperti tidak ada kontaknya sama sekali. Tetapi kalau diamati secara
teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang erat
antara yang satu dengan yang lain. Karena itu,
ilmu munasabah itu merupakan ilmu yang penting, karena ilmu
itu bisa mengungkapkan rahasia kebalaghahan Al-Qur’an dalam menjangkau sinar
petunjuknya.
Dasar-dasar
Pemikiran Tentang Adanya Munasabah
Ilmu munasabah yang juga disebut dengan “Tanasubil
Aayati Wassuwari” pertama kali di cetus oleh Imam Abu Bakar
An-Naisaburi (wafat tahun 324 H)[4],
Kemudian disusul oleh Abu Ja’far ibn Zubair yang mengarang kitab “Al-Burhanu
fi Munasabati Suwaril Qur’ani” dan diteruskan oleh Burhanuddin Al-Buqai
yang menulis kitab “Nudzumud Durari fi Tanasubil Aayati Wassuwari” dan
As-Suyuthi yang menulis kitab “Asraarut Tanzilli wa Tanaasuqud Durari fi
Tanaasubil Aayati Wassuwari” serta M. Shodiq Al-Ghimari yang mengarang
kitab “Jawahirul Bayani fi Tanasubi Wassuwari Qur’ani”.
Pada bagian ini
muncul pertanyaan, apakah ilmu munasabah itu ada atau tidak?, dari pertanyaan
ini muncul dua pendapat yang berbeda sebagai jawabannya. Pertama, pihak
yang mengatakan secara pasti pertalian yang erat antara surat dengan surat dan
antara ayat dengan ayat (munasabah). Pihak ini diwakili oleh As-Syaikh
‘Izz Ad-Din Ibn ‘Abd As-Salam atau ‘Abd Al-‘Aziz Ibn, Abd As-Salam (577-600 H).[5]
Menurut aliran ini, munasabah adalah
ilmu yang mensyaratkan bahwa baiknya kaitan pembicaraan (الكلام ارتبط ) itu bila antara
permulaan dan akhiranya terkait menjadi satu. Apabila hubungan itu
terjadi dengan sebab yang berbeda-beda, tidaklah diisyaratkan adanya pertalian salah
satunya dengan yang lain.
Kalau Al-Munasabah ditinjau
secara terminologis, dalam hal ini munasabah bisa berarti
suatu pengetahuan yang di peroleh secara Aqli dan bukan di peroleh
secara tauqifi. Dengan demikian, akallah yang berusaha mencari dan
menemukan hubungan-hubungan, pertalian, atau keserupaan antara sesuatu
itu. Demikian Az-Zarkasyi mengemukakan pendapatnya tentang persoalan munasabah.
Pendapat
lain yang mengatakan adanya munasabah dalam Al-Quran juga di
kemukakan oleh Mufassir, diantaranya As-Syuyuti, Al-Qaththan, Fazlurrahman Dll.
Pihak kedua, mengatakan
bahwa tidak perlu ada munasabah ayat, sebab pristiwa-pristiwa
tersebut saling berlainan. Al-Quran disusun dan diturunkan serta diberi
hikmah secara tauqifi dan tersusun atas petunjuk Allah.
Terlepas dari
kedua pendapat diatas , munasabah telah merupakan bagian tak
terpisahkan dari ‘ulum Al-Quran. Apakah adanya munasabah itu ijtihadi atau tauqifi barangkali
akan dapat dijawab ketika memperhatikan telaah tentang kaitan ayat dengan ayat
atau surat dengan surat.
B.
Macam-macam Munasabah
Pada garis besarnya munasabah itu ada 7 (tujuh) macam, namun bisa
dikelompokkan menjadi dua hal yaitu:
1. Munasabah surah dengan surah, meliputi:
a. Munasabah awal surah dengan akhir surah.
b. Munasabah nama surah dengan tujuan turunnya
c. Munasabah surah dengan surah sebelumnya
d. Munasabah penutup surah terdahulu dengan awal surah berikutnya
2. Munasabah ayat dengan ayat, meliputi:
a. Munasabah kalimat dengan kalimat dalam ayat,
b. Munasabah ayat dengan ayat dalam satu surah,
c. Munasabah penutup ayat dengan kandungan ayatnya.[6]
1). Munasabah Awal Surah dengan Akhir Surah
Munasabah awal surah dengan akhir surah, seperti Surah al-Mukminun yang
diawali dengan ayat:
ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ
Artinya: “Orang-orang Mukmin memperoleh kemenangan.
Pernyataan awal surah al-Mukminun di atas adalah pernyataan bahwa orang
mukmin akan menang, mereka pasti menang. Kemudian di akhir surah terdapat
pernyataan: Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan memperoleh kemenangan.”
Pernyataan dalam ayat tersebut adalah bahwa orang kafir tidak akan memperoleh
kemenangan. Artinya orang mukminlah yang akan memperoleh kemenangan sebagaimana
diungkap di awal surah. Jadi dari contoh ini jelas bahwa awal surah dan akhir
surah tersebut mempunyai korelasi.
2). Munasabah Nama Surah dengan Tujuan Turunnya
Nama-nama Surah dalam al-Qur’an biasanya diambil dari suatu masalah
pokok di dalam surah. Menurut Shubhi As-Shalih munasabah nama surah dengan
tujuan turunnya ini terbagi menjadi dua macam:
a. Hubungan yang diketahui berdasarkan riwayat.
Contoh hubungan jenis ini seperti Surah Al-Baqarah. Nama Al-Baqarah
diambil dari kata “Baqarah” yang terdapat pada ayat 67-71, ayat tersebut memuat
kisah Nabi Musa a.s. dengan kaumnya. Menurut riwayat Ibn Abbas pada masa itu
ada seseorang yang membunuh kerabatnya soal warisan, kemudian mayatnya
digeletakkan di tengah jalan dan Nabi Musa a.s. tidak berhasil menyingkap siapa
pembunuhnya. Kaum Nabi Musa a.s. melecehkan dan menyuruh bertanya pada Tuhan.
Oleh karena itu Allah berfirman untuk menyembelih sapi sebagai penebus
peristiwa itu. Akan tetapi kaum Nabi Musa a.s. terus saja melecehkan dengan
bertanya jenis warna dan berbagai hal tentang sapi yang disembelih. Surat
An-Nahl juga mempunyai korelasi antara nama dengan tujuan turunnya berdasarkan
riwayat. Menurut riwayat Abu Hurairah bahwa perbuatan orang dzolim itu tidak
akan memudharatkan kecuali kepada dirinya sendiri. Lalu Allah menurunkan ayat
67-69 Surah An-Nahl agar menjadi ibarat bagi manusia supaya menjadi makhluk
beriman dan berguna seperti lebah.
b. Hubungan yang diketahui berdasarkan penelaahan pikiran
Surah Al-Kahfi, dinamai demikian karena mengandung kisah “Ashab
al-Kahfi.” Kisah ini turun setelah ada pertanyaan kaum musyrikin tentang wahyu
yang terlambat turun. Surah ini menjelaskan kepada mereka bahwa kisah Ashab al
Kahfi adalah bukti kebesara Allah SWT. Allah tidak memutuskan nikmatNya kepada
Nabi Muhammad SAW dan kaum mukminin. Bahkan Allah melengkapi nikmatNya dengan
menurunkan Al-Qur’an.
3). Munasabah Surah dengan Surah Sebelumnya
Dalam korelasi ini satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya,
misalnya di dalam surah Al-Fatihah disebutkan: Artinya: “Tunjukilah kami ke
jalan yang lurus!”
Kemudian dijelaskan di dalam Surah Al-Baqarah bahwa jalan yang lurus
itu adalah mengikuti petunjuk Al-Qur’an, seperti disebutkan: Artinya: “Kitab
(Al-Qur’an) itu tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertakwa.”
Contoh lain, surah Al-Falaq dan An-Nas berkaitan dengan surah
Al-Ikhlas. Surah Al-Falaq dan An-Nas diturunkan bersamaan waktunya menurut
Al-Baihaqi. Oleh karena itu, dua surah ini disebut “Al-Mu’wwidatain” yaitu yang
dimulai dengan ‘audzu’. Mohon perlindungan itu hanya kepada Allah SWT yang
puncaknya dalam surah Al-Ikhlas, Allah Maha Esa. Hubungan surah satu dengan surah sebelumnya dapat dicari melalui empat
cara, yaitu:
a. Bi hasb huruf (dilihat melalui huruf). Misalnya surah-surah yang
dimulai dengan حم dan الر tersusun berurutan.
b. Karena ada persesuaian antara akhir suatu surah dengan permulaan surah
berikutnya. Misalnya akhir surah Al-Fatihah dengan awal surah Al-Baqarah.
c. Dilihat الوزن dalam lafazhnya. Misalnya akhir surah Al-Lahab dengan
permulaan surah Al-Ikhlas.
d. Adanya kemiripan dalam bilangan ayat dalam ayat suatu surah dengan
surah berikutnya. Misalnya Surah Ad-Duha dengan Surah al-Insyirah.
4). Munasabah Penutup Surah dengan Awal Surah Berikutnya
Contoh munasabah ini antara lain akhir Surah al-Waqia’ah ayat 96: Artinya:
“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar!”. Kemudian
surah berikutnya yakni surah al-Hadid ayat 1 : Artinya: “Semua yang berada
di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah SWT (menyatakan kebesaran Allah).
Dan Dialah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Begitu pula halnya hubungan akhir surah Ali Imran dengan permulaan
surah An-Nisa. Surah Ali Imran ditutup dengan perintah bersabar dan bertakwa
kepada Allah: Kemudian di awal surah An-Nisa berisi perintah untuk bertakwa kepada Allah SWT
juga. Ayat tersebut adalah:
Munasabah ayat
dengan ayat
1. Munasabah Kalimat dengan Kalimat dalam Ayat
Munasabah antara ayat dengan ayat terbagi dalam dua macam:
a. Hubungan yang sudah jelas antara kalimat terdahulu dengan kalimat
kemudian, atau akhir kalimat dengan awal kalimat berikutnya, atau masalah
terdahulu dengan masalah yang dibahas kemudian.
Hubungan ini sering berbentuk ‘at-tadhadat’ (perlawanan). Seperti ayat
4 Surah Al-Hadid: Artinya: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, Dia mengetahui apa yang masuk
ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya, dan apa yang turun dari langit dan
apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid: 4)
Antara kata “yaliju” (masuk) dengan kata “yakhruju” (keluar), serta
kata “yanzilu” (turun) dengan kata “ya’ruju (naik) terdapat korelasi
perlawanan.
b. Hubungan yang belum jelas antara ayat dengan ayat atau kalimat dengan
kalimat. Hubungan ini menurut Az-Zarkasyi terdiri atas dua macam
1) Ma’thufah (معطوفة )
Adanya huruf ‘athaf’ mengisyaratkan adanya hubungan pembicaraan. Namun
demikian ayat-ayat yang ‘ma’thuf’ itu dapat diteliti melalui bentuk susunan
berikut:
a) المضادة (perlawanan/bertolak belakang antara suatu
kata dengan kata lain)
Misalnya kata الرحمة disebut setelah العذاب ; kata الرغبة sesudah katالرهبة ; menyebut janji dan ancaman sesudah
menyebut hukum-hukum. Hubungan seperti ini banyak terdapat dalam surah
al-Baqarah, An-Nisa dan Al-Maidah.
b) الاستطراد (pindah ke kata lain yang ada hubungannya atau penjelasan
lebih lanjut)
Misalnya kaitan antara الاهلة dengan memasuki rumah dari belakang
dalam ayat 189 surah al-Baqarah. Pada musim haji, kaum Anshor mempunyai
kebiasaan tidak memasuki rumah dari depan. Sebelum itu mereka
menanyakan الاهلة . Lalu ayat ini menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan البر itu adalah takwa kepada Allah dengan menjalankan apa yang
Allah tentukan dalam berhaji. Mereka telah melupakan masalah الاهلة tadi
karena beralih ke soal memasuki rumah dari belakang dalam kaitannya dengan ibadah
haji.
c) التخلص (melepaskan kata satu ke kata lain, tetapi masih
berkaitan)
Misalnya ayat 35 surah An-Nur, dalam ayat di atas terdapat lima Takhallush
yaitu: dengan menyebut sifatnya
·
Menyebut النور dengan
perumpamaannya, lalu di-takhallush-kan
·
Kemudian menyebut لنورا dan الزيتونة yang
meminta bantu darinya, lalu ditakhallush dengan menyebut sifat الشجرة
·
Dari الشجرة ditakhallush
dengan menyebut sifat zaitun.
·
Lalu ditakhallush dari
menyebut sifat الزيتونة ke sifat لنورا
·
Kemudian dari لنورا ditakhallush
ke nikmat Allah berupa hidayah bagi orang yang Allah kehendaki.
d) Tamtsil dari keadaan.
Misalnya tamtsil yang disodorkan dalam surah al-Isra ayat 1dengan 2 dan
3. Peristiwa Isra Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Palestina sebanding juga
dengan Isra Nabi Musa a.s. dari Mesir ke Palestina. Ayat ini dihubungkan dengan
ayat 3 yang berisi kisah Nuh; bahwa keturunannya wajib meniru Nuh a.s. sebagai
hamba yang bersyukur. Ayat tersebut dihubungkan lagi dengan ayat 8-9 yang
menyebutkan barangsiapa berbuat baik atau jahat akan mendapat balasan sesuai
janji Allah.
2) Tidak ada Ma’thufah
Ketika tidak ada ma’thufah dapat dicari hubungan ma’nawiyahnya, seperti
hubungan sebab akibat. Ada tiga bentuk hubungan yang menandai ayat dengan ayat
atau hubungan kalimat dengan kalimat:
a. التنظير (berhampiran/berserupaan)
Misalnya ayat 4 dan 5 surah al-Anfal : Huruf al kaf ( ك )
pada ayat 5 berfungsi sebagai pengingat dan sifat bagi fi’ilyang bersembunyi.
Hubungan itu tampak dari jiwa kalimat itu.
Maksud ayat itu, Allah menyuruh untuk mengerjakan urusan harta
rampasan, seperti yang telah kalian lakukan ketika perang badar meskipun kaummu
membenci cara demikian itu. Allah menurunkan ayat ini agar kaum Nabi Muhammad
SAW mengingat nikma yang tela diberika Allah dengan diutusnya rosul dari kalangan
mereka (surah al-Baqarah ayat 151)
Sebagaimana juga kaummu membencimu (Rosul) ketika engkau mengajak mereka keluar
dari rumah mereka untuk berjihad. Hubungan ini terjalin dengan ayat-ayat yang
berada jauh sebelumnya; bukan seperti nazhiran yang ma’thufah.
b. الاستطراد (pindah ke perkataan lain yang erat kaitannya)
Misalnya surah Al-A’raf ayat 26 tentang pakaian takwa lebih baik. Allah
menyebutkan pakaian itu untuk mengingatkan manusia bahwa pakaian penutup aurat
itu lebih baik. Pakaian berfungsi sebagai alat untuk memperbagus apa yang Allah
ciptakan. Pakaian merupakan penutup aurat dan kebejatan karena membuka aurat
adalah hal yang jelek dan bejat. Sedangkan menutup aurat adalah pintu takwa.
c. المضادة (perlawanan)
Misalnya surah al-Baqarah ayat 6 : Allah tidak akan member petunjuk
kepada mereka yang kafir itu. Ayat ini berlawanan dengan ayat-ayat sebelumnya
yang menyebutkan tentang kitab, orang mukmin dan petunjuk. Hal ini berkaitan
dengan ayat 23 surah Al-Baqarah:
Adapun hikmahnya adalah agar mukmin merindukan dan memantapkan iman berdasarkan
petunjuk Allah SWT.
2. Munasabah Ayat dengan Ayat dalam Satu Surah
Munasabah ayat dengan ayat sering terlihat jelas, tetapi sering pula
tidak jelas. Munasabah ayat dengan ayat yang terlihat jelas sering menggunakan
pola ta’kid (penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan), dan tasydid
(penegasan)
a. Munasabah yang menggunakan pola ta’kid yaitu apabila salah satu ayat
atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak di
sampingnya. Contoh Ayat 1 dan 2 pada surah Al-Fatihah: Ungkapan “rabb
al-alamin” pada ayat kedua memperkuat kata “al-rahman” dan “al-rahim” pada ayat
pertama.
b. Munasabah ayat dengan ayat yang menggunakan pola tafsir, apabila suatu
ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat
di sampingnya. Contoh ayat 2 dan 3 pada surah Al-Baqarah: Makna “muttaqin” pada
ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demikian, orang yang bertakwa
adalah orang yang mengimani hal-hal yang ghaib, mengerjakan sholat dan seterusnya.
c. Munasabah ayat dengan ayat yang menggunakan pola i’tiradh apabila
terletak satu kalimat atau lebih tidak terlihat ada kedudukannya dalam i’rab
(struktur kalimat), baik di pertengahan atau di antara dua kalimat yang
berhubungan maknanya. Contoh Surah An-Nahl ayat 57: Kata ”subhanahu” pada ayat
di atas merupakan bentuk i’tiradh (bantahan) dari dua ayat yang mengantarinya.
Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak
perempuan bagi Allah.
d. Munasabah ayat dengan ayat menggunakan pola tasydid, apabila satu ayat
atau bagian ayat mempertegas arti ayat yang terletak di sampingnya. Contoh
Surah Al-Fatihah ayat 6-7: Ungkapan “shiroth al-mustaqim” pada ayat 6
dipertegas oleh ungkapan “shirathalladzina......”. Antara kedua ungkapan yang
saling memperkuat itu terkadang ditandai dengan huruf athaf (langsung) dan
terkadang pula tidak diperkuat olehnya.
Adapun munasabah ayat dengan ayat dalam satu surah yang tidak jelas, dapat
dilihat melalui qara’in ma’nawiyyah (hubungan makna). Hal ini terlihat dalam
empat pola munasabah yaitu At-Tanzir (perbandingan), Al-Mudhadat (perlawanan),
istithrad (penjelasan lebih lanjut) dan At-Takhallush (perpindahan).
3. Munasabah Penutup Ayat dengan Kandungan Ayatnya
Munasabah Penutup ayat dengan kandungan ayatnya menggunakan empat pola
munasabah yaitu: Tamkin (memperkokoh/mempertegas), Tashdir (fashilah sudah
dimuat di permulaan, di tengah atau di akhir ayat), tausikh (kandungan ayat
sudah tersirat dalam rangkaian kalimat sebelumnya dalam suatu ayat) dan Al-Ighal
(tambahan keterangan)
Contoh Surah Al-Hajj ayat 64: (sifat Allah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji)
ini menegaskan pernyataan sebelumnya tersebut berakhir dengan bahwa Allah-lah
pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi dan Allah tidak membutuhkan.
C.
Urgensi Mempelajarinya[7]
Para ulama bersepakat bahwa Al Quran ini, yang dilurunkan dalam tempo
20 tahun lebih dan mengandung bermacam-macam hukum karena sebab yang
berbeda-beda, sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat,
hingga tidak perlu lagi mencari asbab Nuzulnya, karena pertautan satu ayat
dengan ayat lainnya sudah bisa mewakilinya. Berdasarkan prinsip itu pulalah,
Az-Zarkasyi mengatakan bahwa jika tidak ada asbab An-Nuzul, yang lebih utama
adalah mengemukakan munasabah. Lebih jauh lagi, kegunaan mempelajari ilmu
Munasabah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dapat rnengembangkan bagian anggapan orang bahwa terna-tema Al-Quran
kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya. Contohnya
terhadap firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 189:
Artinya : Mereka bertanya
kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
(QS. Al-Baqarah ayat 189).
Orang yang membaca ayat
tersebut tentu akan bertanya-tanya: Apakah korelasi antara pembicaraan bulan
sabit dengan pembicaraan mendatangi rumah. Dalam menjelaskan munasabah antara
kedua pembicaraan itu, Az-Zarkasy menjelaskan: “sudah diketahui bahwa ciptaan Allah mempunyai hikmah yang jelas dan
mempunyai kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, maka tinggalkan pertanyan tentang
hal itu, dan perhatikanlah sesuatu yang engkau anggap sebagai kebaikan, padahal
sama sekali bukan merupakan sebuah kebaikan”
2. Mengetahui atau persambungan/hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara
kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam
pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Quran dan memperkuat
keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3. Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Quran dan konteks
kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian
ayat atau surat yang satu dari yang lain.
4. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran setelah diketahui hubungan
suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Munasabah berarti
menjelaskan korelasi makna antara ayat atau antara surat, baik korelasi itu
bersifat umum atau khusus, rasional ('aqli), persepsi (hassiyl, atau imajinatif
(khayali), atau korelasi berupa sebab-akibat,'illat dan ma'lul, perbandingan,
dan perlawanan.
Macam-macam
munasabah yaitu munasabah antar surat dengan surat sebelumnya, munasabah antar
nama surat dan tujuan turunnya, munasabah antar bagian suatu ayat, munasabah
antar ayat yang terletak berdampingan, munasabah antar suatu kelompok ayat
dengan kelompok ayat disampingnya, munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi
ayat, munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama, munasabah antar
penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.
Urgensi
mempelajari munasabah Al-quran yaitu dapat mengembangkan sementara anggapan
orang yang menganggap bahwa tema-tema Al-quran kehilangan relevansi antara satu
bagian dengan bagian yang lainnya, mengetahui persambungan atau hubungan antara
bagian alkuran, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun
surat-suratnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan
Al-Quran: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, Penerbit
Mizan, Bandung 1994.
Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i,
M.A. Pengantar Ilmu Tafsir, Penerbit Pustaka Setia, Bandung
februari 2006.
Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an
Sebuah Pengantar, Penerbit Amzah, Oktober 2005.
Al-Quran, Microsoft Word Office 2007.
Anwar R, 2007. Ulum
Al-qur’an. Pustaka Setia. Bandung
El-Masni A.R,. 2006. Pengantar
Studi Ilmu Al-qur’an. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur.
[1] Prof.Dr.H.Rahmat syafe’I MA, Pengantar
Ilmu Tafsir, (pustaka setia) hlm. 37
[2] M.Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran (Bandung,Mizan,cet IV, 1996) hlm. 319
[3]
Drs, Abu Anwar,Mag ;Ulumul Quran Sebuah
Pengantar; Amzah: hlm 61
[4] Prof.DR. H.Ahmad Syafei MA.
Tafsir Sebuah Pengantar; Pustaka Setia: hlm 36
[5] Prof.DR. H.Ahmad Syafei MA.
Tafsir Sebuah Pengantar; Pustaka Setia, hlm. 36
[6] Anwar R, 2007. Ulum
Al-qur’an. Pustaka Setia. Bandung
[7] El-Masni A.R,. 2006.
Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur.
0 komentar:
Post a Comment