Makalah Ulumul Qur-an tentang Rasm Al-Quran
Di Susun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA
PENGANTAR
Segala
puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan
keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan
kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu
pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Ulumul Quran pada Program
Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini penulis
mengangkat judul “Rasm Al-quran”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang
dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
KELOMPOK 6
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang...................................................................................
1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
rasm alquran.....................................................................
2
B.
Pola, Hukum dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an................................ 2
C.
Perkembangan Rasm Al Qur’an........................................................ 4
D.
Perbedaan Ulama Tentang Kedudukan Rasm Utsmani.................... 6
E.
Pendapat Ulama Tentang Status Tawqifi Pada Rasm Utsmani......... 7
F.
Kekeliruan penulisan.......................................................................... 8
G.
Hubungan Rasm Al Qur’an Dengan Pemahaman Al Qur’an............ 8
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Quran diturunkan secara bertahap.
Setiap kali ada ayat turun, Rasulullah SAW segera menyampaikannya kepada umat,
dan memerintahkan untuk menulisnya. Diantara sahabat, ada yang langsung
menghafal ayat al-Qur'an setiap kali turun. Ada pula yang hanya menulisnya, dan
Rasulullah menuntun penulisan itu sesuai dengan urutan surat dan ayat.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Qur'an
tidak terkumpul dalam satu buku (mushaf), melainkan tersimpan dalam dada para
sahabat, terukir diatas lembar-lembar para penulis wahyu. Pada saat itu para
penghafal al-Qur'an sangat banyak, dan ada yang hafal secara keseluruhan.
Ketika Abu Bakar khalifah pertama
memberantas kaum murtadin dan pendukung nabi palsu; Musailamah, banyak dari
penghafal al-Qur'an gugur sebagai Syahid, hingga Abu Bakar khawatir hal ini
akan mengakibatkan lenyapnya al-Qur'an dari muka bumi.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Menjelaskan pengertian rasm alquran
2.
Menjelaskan Pola, Hukum dan
Kedudukan Rasm Al-Qur’an
3.
Menjelaskan Perkembangan Rasm Al Qur’an
4.
Menjelaskan Perbedaan Ulama
Tentang Kedudukan Rasm Utsmani
5.
Menjelaskan Pendapat
Ulama Tentang Status Tawqifi Pada Rasm Utsmani
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah
disamping untuk memenuhi tugas dalam perkuliahan juga agar kami khususnya dan
semua mahasiswa pada umumnya mampu memahami tentang rasm al-quran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Rasm Al-quran
Yang dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman
adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin
Affan. Istilah rasm dalam Islam Al-Qur’an diartikan
sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan
sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an.
Istilah Rasm Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus bin zubair, Said bin
Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah
tertentu. Para ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :[1]
1. Al-Hadz (membuang, menghilangkan, atau
meniadakan huruf). Contoh, menghilangkan huruf alif pada ya’nida’, dari ha
tanbih, pada lafaz jalalah.
2. Al-Jiyadah (penambahan), seperti
menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mampunyai hukum jama’ dan
menambah huruf setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak diatas
tulisan wawu.
3. Al-Hazmah, salah satu kaidahnya
berbunyui bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf
berharakat yang sebelumnya, contoh I’dzan ( ) dan U’tumin (
).
4. Badal (pergantian), seperti alif
ditulis dengan wawu sebagai penghormatan.
5. Washal dan fashl (penyambungan dan
pemisahan), seperti kata kul yang diringi kata ma ditulis dengan disambung.
6. Kata yang dapat dibaca dua bunyi.
Penulisan kata yang dapat dibaca dua bunyi disesuaikan dengan salah satu bunyi.
Didalam mushaf Utsmani, penulisan kata semacam itu ditulis dengan
menghilangkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut
buyi harakat (yakni dibaca satu alif).
B.
Pola, Hukum dan
Kedudukan Rasm Al-Qur’an
Kedudukan rams Ustman dipersilahkan para ulama, apakah pola penulisan
tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad para sahabat.
Jumbur ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan alasan
bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai
Nabi saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi,
dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang
bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi.
Sekelompok ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan didalam rams
Ustmani tidak bersifat taufiqi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah
ditemukan riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah
riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat
dikutip oleh Rajab Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan
menulis Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan
tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu. [2]
Beberapa orang memperhatikan sikap yang berlebihan dengan menyatakan
pendapat, bahwa Rasm Qur’ani itu adalah tauqifi, yang metode penulisannya
diletakkan sendiri oleh Rasulullah Saw. Mereka mengaitkan Rasm Qur’ani itu
kepada beliau, padahal beliau adalah seorang Nabi yang tak kenal baca tulis.
Mereka mengatakan bahwa Nabi pernah berkata kepada Muawiyah, salah seorang
petugas pencatat wahyu : “Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena),
rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf
“miim”, tulis lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan
tulislah lafadz “Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga
kiri, ia akan selalu mengingat Engkau. Ibnu Mubarak termasuk orang yang paling
bersemangat mempertahankan pendapat seperti itu. Dalam bukunya yang berjudul
Al-Ibrizt ia mencatat apa yang dikatakan oleh gurunya; Abdul Aziz Ad-Dabbagh,
yang mengatakan sebagai berikut :
“Tidak seujung rambut pun dari huruf
Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani
adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari
Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh mereka (para sahabat) menulis rasm
qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk tambahan huruf alif dan
pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak dapat dijangkau akal
fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi kitab-kitab suci lainnya”.[3]
Lagi pula, seandainya itu petunjuk Nabi, rasm itu akan disebut rasm
Nabawi, bukannya rasm ‘Utsmani. Belum lagi ummi Nabi diartikan sebagai buta
huruf, yang berarti tidak mungkin petunjuk teknis datang dari Nabi. Tidak
pernah ditemukan suatu riwayat, baik dari Nabi maupun sahabat bahwa pola
penulisan Al Qur’an itu berasal dari Nabi.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi
Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan
alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus
dipertahankan walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang
telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram
hukumnya menulis Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut
sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).
Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqifi,
berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola
penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca.
Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola
tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak
mempengaruhi makna Al Qur’an.
C.
Perkembangan Rasm Al Qur’an
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu
dengan lainnya. Mereka mencatat wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar.
Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan
akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka ada yang
menyelipkan catatan-catatan tambahan dari penjelasan Nabi, ada lagi yang
menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui oleh
penulisnya.
Seperti diketahui, pada masa permulaan Islam mushaf Al
Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Utsmani tidak seperti
yang dikenal sekarang, dilengkapi tanda-tanda baca. Belum ada tanda titik,
sehingga sulit membedakan antara huruf ya’ (ي) dan ba’ (ب). Demikian pula antara sin (س)dan syin (ش), antara tha’ (ط) dan zha’ (ظ), dan seterusnya.
Kesulitan mulai muncul ketika Islam mulai meluas ke
wilayah-wilayah non Arab, seperti Persia di sebelah timur, Afrika disebelah
Selatan, dan beberapa wilayah non Arab disebelah barat. Masalah ini mulai
disadari para pemimpin Islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur
Bashrah pada masa Mua’wiyah ibn Abi Sofyan (661-680 M) – riwayat lain
menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib – ia memerintahkan Abu
Al-Aswad Al-Duwali membuatkan tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari
kesalahan dalam membaca Al Qur’an bagi generasi yang tidak hafal Al Qur’an.
Al-Duwali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan
suatu kasus salah pembacaan yang fatal, yaitu :
רbr& ©!$# ÖäüÌt/ z`ÏiB tûüÏ.Îô³ßJø9$# ¼ã&è!qßuur
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari
orang-orang musyrik”.
Pada
suatu ketika seorang membaca ayat tersebut dengan :
רbr& ©!$# ÖäüÌt/ z`ÏiB tûüÏ.Îô³ßJø9$# ¼ã&!qßuur
“Sesungguhnya Allah berlepas diri dari
orang-orang musyrik dan Rasul-Nya”.
Al-Dawali memberikan tanda baca baris atas (fathah)
berupa sebuah titik di atas huruf (ﹿ), sebuah titik di bawah huruf
( ) sebagai tana baris bawah
(kasrah),k tanda dhammah ben pa wawu kecil
( ) diantara dua huruf, dan tanpa apa-apa
lagi huruf konsonan mati.
Selanjutnya rasm mengalami perkembangan. Khalifah Abdul ibn Marwan
(685-705), memerintahkan Al-Hajjaj ibn Yusuf Al-Saqafi untuk menciptakan
tanda-tanda huruf Al-Qur’an (nuqth al-Qur’an). Mendelegasikan tugas itu kepada
Nashr ibn Ashim dan Yahya ibu Ma’mur, keduanya adalah murid al-Duwali. Kedua
orang inilah yang membubuhi titik pada sejumlah huruf tertentu yang mempunyai
kemiripan antara satu dengan yang lainnya, misalnya penambahan titik diatas
huruf dal ( ) maka menjadi huruf dzal ( ).
Dari pola penulisan tersebut akhirnya berkembanglah berbagai pola penulisan
dalam berbagai bentuk seperti pola kufi, maghribi, naqsh, dll.[4]
D.
Perbedaan Ulama Tentang Kedudukan Rasm Utsmani
Mushaf-mushaf yang dikirim
Utsman ke seluruh penjuru negeri yang disebut sebagai rasm utsmani, adalah
mushaf yang wajib diikuti berdasar kesepakatan para ulama, meskipun kita tidak
begitu mengerti apa hikmah dibalik perbedaan metode penulisan Rasm Utsmani
dengan kaidah-kaidah penulisan dalam bahasa Arab. Hukum wajib ini bukan tanpa
alasan. Menurut sebagian ulama rasm utsmani telah disepaki oleh 12000 sahabat.
Kesepakatan ini menjadikan sebuah kewajiban bagi kita untuk ittiba'. Rasulullah
SAW memerintahkan kita berpegang teguh terhadap sunnah beliau dan sunnah-sunnah
khulafa'ur rasyidin.
Imam Al-Baihaqi dalam kitab
haditsnya "Syu'bul Iman", mengatakan bahwa hendaknya kita membaca dan
menulis Al-Qur'an sesuai dengan apa yang telah ditulis para sahabat. Karena
mereka lebih banyak ilmunya, lebih benar hati dan lisannya, dan lebih besar
amanahnya.
Syeikh Abduraahman bin Al-Qadli
al-Magrabi mengatakan bahwa hukum menulis al-Qur'an tidak sesuai dengan rasm
utsmani adalah haram. Alasan yang dijadikan dalil memperbolehkan penulisan
Al-Qur'an yang tidak sesuai dengan rasm utsmani berupa ketidak mengertian
kalangan awam atas rasm utsmani dan akan mengakibatkan mereka keliru dalam
membaca al-Qur'an dan alasan-alasan yang lain, adalah alasan yang tidak dapat
diterima karena ini bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sebagian
besar sahabat dan para ulama sesudahnya.
Jika ditanya, mengapa kita
tidak memakai mushaf Abu Bakar saja, padahal mushaf tersebut ada sebelum mushaf
utsman? Jawabannya adalah bahwa mushaf Abu Bakar mengumpulkan ketujuh wajah
qira'ah di mana di dalam penulisannya mengakibatkan adanya perbedaan antar satu
qira'ah dengan qari'ah yang lain, untuk menghindari kerancuan. Lagi pula mushaf
Abu Bakar telah sirna karena ikut tercuci saat Hafshah binti Umar ummul
mukminin meninggal. Sedangkan mushaf utsman dinukil dari mushaf Abu Bakar yang
hanya menuliskan satu qiraah yakni qiraah dengan dialek bahasa bangsa Quraisy.
E.
Pendapat Ulama Tentang Status
Tawqifi Pada Rasm Utsmani
Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian
mereka berpendapat bahwa rasm utsmani adalah tauqifi, dan diajarkan oleh
rasulullah SAW. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah membacakan ayat
al-Quran di hadapan Zaid bin Tsabit untuk ditulis (imla'), seperti penulisan واخشوني
dengan menggunakan ya' pada surat Al-Baqarah dan tanpa ya' dalam surat
Al-Maidah. Contoh-contoh lain banyak di dalam al-Quran, yang semuanya
disaksikan sekelompok besar sahabat. Semua dasar itu membuktikan rasm al-Qur'an
adalah tawqifi bukan hasil hasil ijtihad para sahabat. Alasan lain adalah sudah
ditulisnya al-Qur'an sejak zaman Rasulullah SAW, meski tidak terkumpul dalam
satu tempat dan urutan surat yang belum ditertibkan.[5]
Pendapat yang mengatakan rasm utsmani bukan tauqifi
melainkan hasil ijtihad sahabat memberikan alasan sebagai berikut:
- Rasulullah adalah seorang ummi, tidak bisa membaca dan menulis, meskipun ini merupakan mukjizat bagi beliau.
- Zaid bin Tsabit tidak akan berbeda pendapat dengan sahabat yang lain pada kalimah التابوت apakah ditulis dengan ta' atau ha' (tak ta'nits), hingga akhirnya sampai ke telinga Utsman dan beliau memerintahkan menulisnya dengan ta'.
- Jika rasm utsmani tawqifi, maka tidak akan terjadi perbedaan diantara mushaf-mushaf yang beliau kirim ke berbagai daerah.
- Jika tawqifi, maka Imam Malik tidak akan memperbolehkan penulisan al-Qur'an untuk bahan pelajaran anak-anak yang tidak sesuai dengan rasm utsmani
Meskipun para ulama ini mengatakan demikian, bukan berarti mereka meremehkan para sahabat penulis al-Qura'n, menganggap mereka telah
berbuat teledor atau menganggap mereka bodoh dan tidak paham akan kaidah-kaidah
penulisan bahasa Arab, seperti yang didengungkan para orientalis atau kaum
Syiah yang menganggap para sahabat penulis al-Qur'an telah berkhianat dengan
melakukan tahrif dan taghyir pada al-Qur'an serta membuang banyak ayat
al-Qur'an diantaranya adalah ayat yang menjelaskan keberhakan 'Ali bin Abi
Thalib atas kursi khalifah sesudah Rasulullah SAW.
F.
Kekeliruan
Penulisan
Mengenai mushaf Utsamani, walaupun sejak awal telah dilakukan evaluasi
ulang, ketika dilakukan tauhid al-Mashahif, ternyata tidak luput dari
kekeliruan dan inkosistensi. Hal demikian terjadi karena pada masa dilakukannya
tauhid al-Mashahif, kaum muslimin belum begitu mengenal dengan baik seni khath
dan cara penulisan (usluh al-Kitabah). Bahkan mereka beluim mengenal tulisan,
kecuali beberapa orang saja. Adanya kekeliruan (lahn) ini, diakui oleh Ustman
sendiri. Ibnu Abi Daud meriwayatkan bahwa setelah mereka menyelesaikan naskh
Al-Mahsahif, mereka membawa sebuah mushaf kepada Utsman, kemudian beliau
melihatnya dan mengatakan : “Sungguh kalian telah melakukan hal yang baik.
Didalamnya aku melihat ada kekeliruan (lahn) yang lanjutnya Utsman
mengatakan : “Seandainya yang mengimlakan dan Hudzail dan yang menulis dari
tsaqif, tentu ini tidak akan terjadi diatasnya.
Waktu akan diluruskan oleh (kemampuan) bahasa “mereka sepanjang sejarah
tidak dilakukan. Disini terdapat hikmah. Karena bila dilakukan, justru oleh
tangan-tangan ahli kebatilan yang mengatasnamakan istilah atas kekeliruan, atau
dijadikan mainan para pengekor hawa nafsu. Oleh karena itu pula, seperti
diatas, Ali bin Abi Thalib A.S mengatakan. “Sejak ini Al-Qur’an tidak dapat
diotak-ataik dan diubah-ubah.[6]
G.
Hubungan Rasm
Al Qur’an Dengan Pemahaman Al Qur’an
Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya mushaf yang
dijadikan pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan Al-Qur’an,
namun demikian masih terdapat juga perbedaan dalam pembacaan. Hal ini
disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal adanya
tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada baris
harakat. Bagi mereka (para sahabat dan tabi’in) memang tidak mempengaruhi
pembacaan Al-Qur’an, karena mereka telah fasih dalam pembacaan bahasa Arab.
Namun bagi mereka orang Islam non Arab akan meresa sulit untuk membedakan
bacaan-bacaan yang hampir sama tanpa menggunakan titik perbedaan dan baris
barakat.
Dengan demikian hubungan rasmul Qur’an dengan pemahaman Al-Qur’an
sangat erat. Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin
sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung
didalam Al-Qur’an.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha
menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh orang-orang Islam
non Arab dalam membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-tanda yang diperlukan
untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan memahami kandungan
ayat-ayat al-Qur’an tersebut .
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Yang dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman
adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin
Affan. Istilah rasm dalam Islam Al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan
al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis
dan membukukan Al-Qur’an.
Kedudukan rasm Ustman dipersilahkan para ulama, apakah pola penulisan
tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad para sahabat.
Jumbur ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan alasan
bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai
Nabi saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi,
dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang
bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu
dengan lainnya. Mereka mencatat wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar.
Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan
akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka ada yang
menyelipkan catatan-catatan tambahan dari penjelasan Nabi, ada lagi yang
menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui oleh
penulisnya.
Imam Al-Baihaqi dalam kitab
haditsnya "Syu'bul Iman", mengatakan bahwa hendaknya kita membaca dan
menulis Al-Qur'an sesuai dengan apa yang telah ditulis para sahabat. Karena
mereka lebih banyak ilmunya, lebih benar hati dan lisannya, dan lebih besar
amanahnya.
Syeikh Abduraahman bin Al-Qadli
al-Magrabi mengatakan bahwa hukum menulis al-Qur'an tidak sesuai dengan rasm
utsmani adalah haram. Alasan yang dijadikan dalil memperbolehkan penulisan
Al-Qur'an yang tidak sesuai dengan rasm utsmani berupa ketidak mengertian
kalangan awam atas rasm utsmani dan akan mengakibatkan mereka keliru dalam
membaca al-Qur'an dan alasan-alasan yang lain, adalah alasan yang tidak dapat
diterima karena ini bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sebagian
besar sahabat dan para ulama sesudahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi
dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung 1994.
Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A. Pengantar
Ilmu Tafsir, Penerbit Pustaka Setia, Bandung februari 2006.
Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar,
Penerbit Amzah, Oktober 2005.
Al-Quran, Microsoft Word Office 2007.
Anwar R, 2007. Ulum
Al-qur’an. Pustaka Setia. Bandung
El-Masni A.R,. 2006.
Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur.
[1] Prof. Dr. H. Rachmat
Syafe’i, M.A. Pengantar Ilmu Tafsir, Penerbit Pustaka Setia,
Bandung februari 2006.
[2] Drs. Abu Anwar, M.Ag,
Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, Penerbit Amzah, Oktober 2005. Al-Quran,
Microsoft Word Office 2007.
[3] Dr. M. Qhuraish
Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan
masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung 1994.
[4] El-Masni A.R,. 2006.
Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur.
[5] Anwar R, 2007. Ulum
Al-qur’an. Pustaka Setia. Bandung
[6] El-Masni A.R,. 2006.
Pengantar Studi Ilmu Al-qur’an. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur.
0 komentar:
Post a Comment