Contoh Makalah "Fiqh Jinayah" tentang "Azas Legalitas" dan Perkembangannya dalam "Hukum Pidana"
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-hilal Sigli Tahun 2015
KATA
PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita
semua. Sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul "AZAS
LEGALITAS" tepat pada waktunya. Dan tidak lupa pula kita sanjung
pujikan kepada Nabi Besar Muhamad SAW yang telah membawa kita dari alam yang
gelap gulita ke alam yang terang benderang ini.
Penulis menyadari bahwa didalam
pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam
kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Terima kasih
yang sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian Makalah ini. Wassalam.
Sigli, 02 April 2015
Pemakalah
KELOMPOK 3
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pemberlakuan Asas
Legalitas bertujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia, karena Hak Asasi
Manusia adalah hak yang paling hakiki, yang tidak boleh dikurangi sedikitpun.
Salah satu ketentuan dari asas Legalitas adalah melarang berlakunya
undang-undang secara surut (retroaktif). Namun dalam kenyataannya masyarakat
selalu mengalami perkembangan, dan hukum selalu mengikuti perkembangan
masyarakat tersebut. Dalam konteks yang demikian hukum seharusnya tidak selalu
tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Maka salah satu pergeseran paradigma
yang telah dicapai yaitu dengan memberlakukan asas retroaktif (berlaku surut)
yang secara nyata menyimpangi asas legalitas dengan tujuan untuk melindungi Hak
Asasi Manusia, serta tercapainya suatu rasa keadilan.
Permasalahan yang
dibahas dalam makalah ini adalah Bagaimana pemberlakuan asas retroaktif dalam
hukum pidana di Indonesia, bagaimana kedudukan asas legalitas dalam hukum
pidana di Indonesia, dan Bagaimana perkembangan asas retroakti dalam tindak
pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
metode pendekatan perundang-undangan (statute aproach) yaitu suatu penelitian
normatif yang bertujunan untuk mengetahui dan membuat undang-undang sebagai
acuan dalam membuat penulisan skripsi, serta penelitian hukum normatif dengan
metode pendekatan analisais (analisis approach) yaitu menganalisa bahan hukum
untuk mengetahui makna yang terkandung dalam perundang-undangan secara
konsepsional. Pemberlakuan asas retroaktif di Indonesia sifatnya terbatas, diterapkan
pada kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat
kekejaman dan destruksinya setara dengannya.
Indonesia menganut asas
Legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Asas inilah
menjadi acuan bagi penerapan peraturan sekaligus perlindungan terhadap Hak
Asasi manusia di Indonesia. Perkembangan asas retroaktif dalam tindak pidana
korupsi di Indonesia Berdasarkan bagian menimbang huruf a UU No.20 Tahun 2001
bahwa tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga
telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas.
Berdasarkan hal
tersebut maka korupsi dapat dimasukkan ke dalam extra ordinary crime,sehingga
penanganannya pun harus dilakukan dengan cara yang luar biasa, salah satunya
dengan menerapkan asas retroaktif.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana bentuk asas
legalitas dalam hukum pidana ?
2.
Bagaimana masalah-masalah dalam azas legalitas ?
3.
Apa yang menyebabkan
lemahnya asas legalitas ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
Pasal 1 ayat (1) KUHP:
“Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”
Dalam hukum pidana,
dikenal asas legalitas, yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu
dalam undang-undang. Dalam bahasa latin, dikenal sebagai Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenalli yang artinya lebih
kurangnya adalah tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih
dahulu Asas ini di masa kini lebih sering diselaraskan dengan asas non
retroaktif, atau asas bahwa peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku
surut. Secara mudah, asas ini menyatakan bahwa tidak dipidana kalau belum ada
aturannya.
Syarat pertama untuk
menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan
dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan memberikan
suatu sanksi terhadapnya. Kalau, misalnya seseorang suami yang menganiaya atau
mengancam akan menganiaya istrinya untuk memaksa bersetubuh tidak dapat
dipidana menurut KUHP yang berlaku. Sebab Pasal 285 KUHP (Pasal 242 Wetboek
van Strafrecht/Sr) hanya mengancam perkosaan “di luar pernikahan”. Syarat
tersebut di atas bersumber dari asas legalitas.
1. Sejarah Asas Legalitas
Ucapan nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenalli ini berasal dari
Anselm von Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang
merumuskannya dalam pepatah latin tadi dalam bukunya: “Lehrbuch des
peinlichen Recht” (1801). Dalam kaitannya dengan fungsi asas
legalitas yang bersifat memberikan perlindungan kepada undang undang pidana,
dan fungsi instrumental, istilah tersebut dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang;
b. Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana;
c. Nullum crimen sine poena legalli: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.
Di dalam hukum romawi kuno, yang memakai bahasa latin,
tidak dikenal pepatah ini; juga asas legalitas tidak dikenal. Dalam sebuah
karangan dalam : Tijdschrift v. Strafrecht dalam halaman 337 dikatakan bahwa di
zaman Romawi itu dikenal kejahatan yang dinamakan criminal extra
ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam
Undang-Undang.
Di antara crimina extra ordinaria ini
yang sangat terkenal adalah crimina stellionatus, yang letterlijk
artinya: perbuatan jahat, durjana. Jadi tidak ada ditentukan perbuatan berupa
apa yang dimaksud di situ. Sewaktu hukum Romawi kuno itu diterima di Eropa Barat
dalam abad Pertengahan, sebagaimana halnya kita dalam jaman penjajahan,
meresipier hukum Belanda) maka pengertian tentang crimina extra
ordinaria ini diterima pula oleh raja-raja yang berkuasa. Dan dengan
adanya crimina extra ordinaria ini lalu diadakan kemungkinan untuk menggunakan
hukum pidana itu secara sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhan raja
sendiri.
Sebagai puncak reaksi terhadap sistim absolutisme
raja-raja yang berkuasa tersebut, yang dinamakan zaman Ancien Regime, maka di
situlah timbul pikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan terlebih dahulu
(Prof. Moeljatno mempergunakan istilah wet) perbuatan-perbuatan
yang dapat dipidana, agar warga lebih dahulu bisa tahu dan tidak akan melakukan
perbuatan tersebut. Menurut Montesquieu dalam bukunya “L’esprit des Lois”
(1748, dan JJ Rousseau “Dus Contrat Social” (1762), pertama tama dapat
diketemukan pemikiran tentang asas legalitas ini. Asas ini, diadopsi dalam
undang-undang adalah dalam pasal 8 “Declaration des Droits de l’homme et du
citoyen” (1789), semacam undang-undang dasar pertama yang dibentuk dalam
tahun pecahnya Revolusi Perancis. Bunyinya: Tidak ada sesuatu yang boleh
dipidana selain karena suatu peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang dan
diundangkan secara sah. Dari peraturan tersebut, asas ini dimasukkan dalam
Pasal 4 Penal Code di Perancis, di bawah pemerintahan Napoleon (1801). Dan dari
sinilah asas ini dikenal di Belanda karena penjajahan Napoleon, sehingga
mendapat tempat dalam Wetboek van Strafrecht Nederland 1881, Pasal 1 dan
kemudian karena adanya asas konkordansi, antara Nederland Indie (Indonesia) dan
Nederland, masuklah ke dalam pasal 1 Wetboek van Strafrecht Nederland Indie
1918.
Perumusan asas legalitas dari von Feurbach dalam
bahasa latin tersebut dikemukakan sehubungan dengan teori vom
psychologischen zwang, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macam
perbuatan yang dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macam pidana yang dikenakan.
Dengan cara demikian ini, maka setiap orang yang akan melakukan perbuatan yang
dilaran tersebut terlebih dahulu telah mengetahui pidana apa yang akan
dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian, dalam
hatinya, lalu terdapat suatu kesadaran atau tekanan untuk tidak berbuat hal
tersebut. Dan kalau akhirnya perbuatan tadi tetap dilakukan, maka apabila
pelaku dijatuhi hukuman atas perbuatan pidana tersebut, dapat dianggap pelaku
telah mneyetujuinya. Jadi, pendirian von Feuerbach mengenai pidana ialah
pendirian yang tergolong absolut. Sama halnya dengan teori pembalasan
(retribution).
2. Arti Pasal 1 KUHP
Pasal 1 Kitab Undang
undang hukum pidana menjelaskan kepada kita bahwa:
a. Suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana menurut
undang-undang. Oleh karena itu pemidanaan berdasarkan hukum tidak
tertulis tidak dimungkinkan;
b. Ketentuan pidana itu harus lebih dahulu ada daripada perbuatan itu, dengan
kata lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu
dilakukan. Oleh karena itu ketentuan tersebut tidak berlaku surut (asas non
retroaktif), baik mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sanksinya.
c. Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat pengecualian atas ketentuan tidak berlaku
surut untuk kepentingan terdakwa. Jadi, sepanjang menguntungkan
terdakwa, maka pemberlakuan hukum pidana yang baru (meskipun berlaku surut)
dapat dilaksanakan.
Sesuai dengan jiwa pasal 1 KUHP, disyaratkan juga
bahwa ketentuan undang-undang harus dirumuskan secermat mungkin. Ini dinamakan
asas lex certa. Undang-undang harus membatasi dengan tajam dan
jelas wewenang pemerintah terhadap rakyat (lex certa: undang-undang
yang dapat dipercayai). Pengertian dasar pasal 1 KUHP juga berkaitan dengan
jiwa pasal 3 KUHP: hukum pidana harus diwujudkan dengan prosedur yang memadai
dan dengan jaminan hukum.
Satochid Kertanegara dalam buku Hukum Pidana (kumpulan
bahan kuliah) menyatakan bahwa dengan adanya Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut di
atas, maka KUHP tidak dapat berlaku surut. Hal ini berarti bahwa:
a. KUHP tidak dapat berlaku surut, ini adalah asas yang pertama.
Adapun rasionya adalah bahwa KUHP harus bersumber pada peraturan tertulis
(asas non retroaktif);
b. KUHP harus bersumber pada peraturan tertulis.
Jadi hukum pidana tidak boleh bersumber pada hukum
adat, atau hukum tidak tertulis lainnya. Lain dengan hukum perdata dimana hukum
adat masih menjadi salah satu sumber hukum. Hal ini bertentangan dengan
pendapat Prof. Moeljatno yang menyatakan bahwa hukum pidana adat itu masih
berlaku walaupun hanya untuk orang-orang tertentu dan sementara saja. Dasarnya
adalah Pasal 14 ayat 2 UUD Sementara.
Jadi dengan meninjau ketentuan seperti yang diatur
dalam Pasal 1 ayat (1) dimana tekanan diletakkan pada perkataan “sebelumnya”,
ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak dapat berlaku surut. Namun asas ini
bukan merupakan asas yang mutlak. Sebagaimana telah disampaikan dalam buah
pemikiran Prof. Moeljatno diatas, senada dengan itu, Prof. Satochid Kartanegara
juga menyampaikan bahwa terhadap asas non retroaktif ini, terdapat pengecualian
dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: Jika sesudah perbuatan dilakukan ada
perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi
terdakwa. Dari aturan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa ayat ini memungkinkan
memperlakukan KUHP secara surut, pada umumnya untuk memperlakukan undang-undang
secara surut (asas retroaktif), sepanjang, undang-undang yang baru ini
lebih menguntungkan terdakwa/tersangka. Untuk memahami aturan ayat (2) ini,
pertama-tama harus dipahami apa yang dimaksudkan dengan perubahan di dalam
undang-undang.
Perubahan dimaksud adalah perubahan yang terjadi
setelah seseorang melakukan perbuatan yang dilarang, dan diancam dengan hukuman
oleh undang-undang, dan apabila undang-undang yang baru ini lebih menguntungkan
daripada undang-undang yang lama maka undang-undang yang baru itu harus
diperlakukan kepada dirinya. Jadi singkatnya, KUHP boleh diperlakukan surut
apabila:
a. Dilakukan perubahan undang-undang;
b. Perubahan ini terjadi setelah seseorang melakukan perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, akan tetapi sebelum
dijatuhkan hukuman terhadap perbuatan tersebut;
c. Undang-undang yang baru terlebih menguntungkan bagi si tersangka, daripada
undang-undang yang lama.
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas
memberikan sifat perlindungan kepada undang-undang pidana: undang-undang pidana
melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari
pemerintah. Ini dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana.
Disamping fungsi melindungi tersebut, undang-undang pidana juga mempunyai
fungsi instrumental yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh
undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas
diperbolehkan.
3. Asas Legalitas atau asas oportunitas terhadap
penuntutan pidana
Rumusan ketiga von
Feuerbach berhubungan dengan fungsi instrumental undang-undang pidana dan
merupakan ajaran paksaan psikologis. Undang-undang pidana diperlukan untuk
memaksa rakyat berbuat menurut hukum dengan mengancamkan pidana terhadap
perbuatan yang melawan hukum. Tetapi agar ancaman pidana itu mempunyai efek,
tiap-tiap pelanggar undang-undang harus sungguh-sungguh dipidana.
Pemerintah juga harus
selalu mempergunakan wewenang yang diberikan kepadanya untuk memidana.
Disinipun ada landasar syarat keadilan, yaitu asas persamaan, adalah tidak adil
dalam keadaan yang sama memidana pelanggar undang-undang yang satu sedangkan
yang lain tidak dipidana. Dalam arti keharusan menuntut pidana, asas legalitas
mempunyai banyak pengikut terutama di Jerman, di mana sejak akhir abad yang
lalu titik tolak dari tindakan yustisial yaitu setiap pelanggaran undang-undang
harus dituntut. Ini berlaku juga di beberapa Negara lain. Sebaliknya,
di perancis, belgia, dan khususnya di belanda, diikuti asas oportunitas, yang
menentukan bahwa pemerintah berwenang tetapi tidak berkewajiban menurut
undang-undang untuk menuntut semua perbuatan pidana. Karena alasan-alasan
oportunitas penuntutan itu, dapat juga diabaikan (lihat pasal 167 dan 242Sv).
Cacat-cacat dalam
penerapan asas legalitas ini karena adanya pertentangan anatara fungsi
instrumental dan fungsi melindungi. Terkadang, demi kepentingan fungsi
instrumental undang-undang pidana, kadang fungsi melindungi dikurangi.
Syarat-syarat perlindungan hukum kepada rakyat tidak boleh mengikat pemerintah
sedemikian rupa sehingga menghalangi tugas penuntutan pidana yang efektif.
Harus ada penimbangan kepentingan. Dalam hal ini kita berada di lapangan
politik hukum kriminal.
4. Berbagai Aspek asas legalitas
Biasanya asas legalitas
ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
Pengertian yang pertama
tersebut di atas, bahwa harus ada aturan udang-undang jadi aturan hukum yang
tertulis terlebih dahulu, jelas tampak dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, dimana
dalam teks Belanda disebutkan: “wettelijke strafbepaling”, yaitu aturan pidana
dalam perundangan. Tetapi dengan adanya ketentuan ini, konsekuensinya adalah
perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab
di situ tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis.
b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi/kiyas.
Asas bahwa dalam
menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi
(kiyas) pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan negara-negara. Di Indonesia
dan di belanda pada umunya masih diakui prinsip ini, meskipun ada juga beberapa
ahli yang tidak dapat menyetujui hal ini, misalnya Taverne, Pompe dan Jonkers.
Prof. Scholter menolak adanya perbedaan antara analogi dan tafsiran ekstensif,
yang nyata-nyata diperbolehkan. Menurut pendapatnya, baik dalam hal penafsiran
ekstensif, maupun dalam analogi dasarnya adalah sama, yaitu dicoba untuk
menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum atau lebih abstrak)
daripada norma yang ada. Penerapan undang-undang berdasarkan analogi ini
berarti penerapan suatu ketentuan atas suatu kasus yang tidak termasuk di
dalamnya. Penerapan berdasarkan analogi dari ketentuan pidana atas
kejadian-kejadian yang tidak diragukan patut diidana, akan tetapi tidak
termasuk undang-undang pidana memang pernah dilakukan.
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Tiada suatu perbuatan
dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah
ada sebelumnya, semikian pasal 1 ayat (1) KUHP. Ayat (2) pasal tersebut
memberikan pengecualian sebagaimana telah kita bahas diatas. Peraturan ini
berlaku untuk seluruh proses perkara. Dengan kata lain, kalau dalam waktu
antara putusan tingkat pertama dan tingkat banding, atau antara banding dengan
kasasi terjadi perubahan undang-undang untuk kepentingan terdakwa, maka Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi dan MA harus menerapkan Pasal 1 ayat (2) KUHP.
Ingat, larangan
kekuatan surut hanya berlaku untuk ketentuan pidana. Tidak untuk peraturan
yurisdiksi misalnya yang berhubngan dengan wewenang pembentuk undang-undang
nasional lainnya. Namun Sahetapy menambahkan lagi empat aspek
yakni:
1) Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
Pemidanaan juga harus
berdasarkan undang-undang, tidak diperbolehkan berdasarkan kebiasaan. Jadi
pelanggaran atas kaidah kebiasaan dengan sendirinya belum menghasilkan
perbuatan pidana. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa kaidah kaidah
kebiasaan tidak berperan dalam hukum pidana. Adakalanya undang-undang pidana
secara implisit atau eksplisit menunjuk ke situ. Penunjukan secara implisit ke
kebiasaan terdapat pada blanket norm seperti dalam pasal 282
KUHP, dan beberapa delik omisi di mana tidak berbuat dapat dipidana. Penunjukan
secara eksplisit ke kebiasaan terdapat dalam Pasal 8 Wet
Oorlogsstrafrecht 1950 (UU Hukum Pidana Perang di Belanda) yang mengancam
pidana berat terhadap pelanggaran undang-undang dan kebiasaan perang.
Ketentuan-ketentuan tersebut semuanya melanggar asas lex-certa.
2) Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa).
Syarat lex
certa berarti bahwa undang-undang harus cukup jelas, sehingga:
Merupakan pegangan bagi warga masyarakat dalam memilih tingkah lakunya,
danUntuk memberikan kepastian kepada penguasa mengenai
batas-batasan kewenangannya.
Namun tidak mungkin
untuk merumuskan semua kelakuan yang patut dipidana secara cermat dalam
undang-undang. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang untuk kelakuan
masyarakat, juga ditentukan berdasarkan kebiasaan yang berlaku disitu. Walaupun
demikian, orang berhak untuk bertanya, apakah pembuat undang-undang dengan
pasal 8 Wet Oorlogsrecht tidak terlampau mudah menyelesaikan
tugasnya.
3) Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang.
Undang-undang
menentukan pidana-pidana yang dijatuhkan, demikian bunyi Pasal 89 ayat (2) UUD
Belanda. Dengan undang-undang disini adalah undang-undang dalam arti formal.
Pembentuk undang-undang yang lebih rendah dapat membuat peraturan pidana selama
diizinkan oleh pembentuk undang-undang formal. Tetapi tidak boleh menciptakan
pidana lain daripada yang telah diatur dan ditentukan oleh undang-undang dalam
artian formal. Hakim juga tidak diperbolehkan menjatuhkan pidana lain daripada
yang telah ditentukan oleh undang-undang. Meskipun demikian, pasal 14a KUHP
memberikan wewenang kepada hakim untuk menetapkan syarat khusus kepada pidana
bersyarat berupa kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi oleh
terpidana, namun hal ini ada batasan-batasannya.
4)
Penuntutan pidana hanya
menurut cara yang ditentukan undang-undang.
Penuntutan pidana
adalah seluruh proses pidana, mulai dari pengusutan sampai pelaksanaan pidana
(bandingkan pasal 1 butir 7 KUHAP: penuntutan adalah tindakan penuntut umum
untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan negeri yang berwenang dalam hal
ini menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Peraturan acara pidana
dengan demikian sama di seluruh negara. Larangan membuat peraturan acara pidana
berlaku untuk pembentuk undang-undang yang lebih rendah, tidak untuk pembentuk undang-undang
dalam arti formal
B.
Masalah- masalah dalam asas Legalitas
Asas yang berlaku di
Indonesia sesuai dengan Pasal 1 (1) KUHPidana ; lex temporis delicti =
nonretroaktif. Ide awal dari perlindungan HAM.UU No. 39 tahun 1999 khusus untuk
pelanggaran HAM yang berat yaitu kejahatan genosida dankejahatan terhadap
kemanusiaan (Pasal 7 sampai Pasal 9 jo. Pasal 36Pasal 42) dan UU No. 26
tahun2000 tentang Pengadilan HAM.
1. Permasalahan muncul dari :Penjelasan Pasal 4 UU No. 39 tahun 1999 ; hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surutdapat dikecualikan
dalam hal pelanggaran berat terhadap HAM yang digolongkan dalam
kejahatanterhadap kemanusiaan.Pasal 43 UU No.26 Tahun 2000 ; pelanggaran HAM
yang berat yang terjadi sebelum diundangkannyaundang-undang ini, diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
MASALAH ATURAN PERALIHAN (ATPER)
Asas Legalitas (Pasal 1
KUHP) merupakan asas mengenai ‘ruang berlakunya hukum pidana menurutwaktu’ yang
terdiri dari 2 asas,yaitu : tidak berlaku surut (non retroaktif) dan kepastian
hukumb. dengan adanya ketentuan Pasal 1 (2) maka sebenarnya didalam KUHP sudah
ada aturan umummengenai ATPER, namun dalam realitas penegakan hukum dan pratek
legislatif, pernah ramaidipermasalahkan tidak adanya ATPER.
MASALAH MELEMAH /
BERGESERNYA ASAS LEGALITAS
Asas Legalitas dalam
KUHP Indonesia bertolak dari ide/nilai dasar ‘kepastian hukum’, namun
dalam realitanya asas legalitas ini mengalami berbagai bentuk
pelunakan/penghalusan ataupergeseran/perluasan dalam menghadapi berbagai tantangan:Pasal
1(1) Dalam praktek yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran
sifat melawan hukumyang materiil asas legalitas tidak semata-mata
diartikan sebagai nullum delictum sine lege tetapi juga sebagai nullumdelictum
sine ius tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal tetapi
jugalegalitas materiil, yaitu denganmengakui hukum adat, hukum yang hidup atau
hukum yang tidak tertulis.KUHP Belanda, Yunani, Portugal =pemaafan /
pengampunan hakim.
2. Kongres menyadari bahwa dalam prakteknya penghapusan menyeluruh pidana
penjara pendektidaklah mungkin, pemecahan yang realistik hanya dapat dicapai
dengan mengurangi jumlahpenggunaannya.
3. Pengurangan berangsur-angsur itu dengan meningkatkan bentuk-bentuk
pengganti / alternatif (pidana pengawasan/probation, denda,
pekerjaan diluar lembaga dan tindakan-tindakan lain yang tidakmengandung
perampasan kemerdekaan)
4. Dalam hal pidana penjara pendek tidak dapat dihindari, pelaksanaannya harus
terpisah/tersendiri dariyang dijatuhi pidana penjara untuk waktu yang lama dan
pembinaanya harus bersifat konstruktif dan dalam lembaga terbuka (open
institution).
C.
Lemahnya dan Bergesarnya Asas Legalitas
1. Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu
dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP;
2. Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran
sifat melawan hukum yang materiel;
3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang-undang
Dasar Sementara 1950; Undang-undang Nomor 1 Drt 1951; Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru), asas
legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai 'nullum delictum sine lege',
tetapi juga sebagai 'nullum delictum sine ius' atau tidak semata-mata dilihat
sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas materiel, yaitu dengan
mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai
sumber hukum;
4. Dalam dokumen internasional dalam KUHP negara lain juga terlihat
perkembangan/pengakuan ke arah asas legalitas materiel (lihat Pasal 15 ayat (2)
International Convention on Civil and Political Right (ICCPR) dan KUHP Kanada
di atas);
5. Di beberapa KUHP negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal)
ada ketentuan mengenai 'pemaafan/pengampunan hakim' (dikenal dengan berbagai
istilah, antara lain 'rechterlijk pardon', 'Judicial pardon', 'Dispensa de
pena' atau 'Nonimposing of penalty') yang merupakan bentuk 'Judicial corrective
to the legality principle';
6. Ada perubahan fundamental di KUHAP Perancis pada tahun 1975 (dengan
Undang-undang Nomor 75-624 tanggal 11 Juli 1975) yang menambahkan ketentuan
mengenai 'pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana' ('the declaration of
guilt without imposing a penalty');
7. Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari
'cyber-crime' merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas 'lex certa',
karena dunia maya (cyber-space) bukan dunia riel/realita/nyata/pasti.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pasal 1 ayat (1) KUHP:
“Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”
Dalam hukum pidana,
dikenal asas legalitas, yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu
dalam undang-undang
Biasanya asas legalitas
ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi/kiyas.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia
(dalam Undang-undang Dasar Sementara 1950; Undang-undang Nomor 1 Drt 1951;
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999; dan
Konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai 'nullum
delictum sine lege', tetapi juga sebagai 'nullum delictum sine ius' atau tidak
semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas
materiel, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum
tidak tertulis sebagai sumber hukum;
DAFTAR PUSTAKA
Moeljatno,
2002, Asas – Asas Hukum Pidana, Cet. Ke–VII, Rineka Cipta, Jakarta,
h. 25.
Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2013, Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Direktorat Jenderal Hukum DanPerundang-Undangan
Prodjodikoro, Wirjono, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia,
Refika Aditama, Bandung
Sahetapy, 2003, Asas Retroaktif : Suatu Kajian Ulang, KHN
Newsletter, Edisi Mei 2003
Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas
Pasal-Pasal Terpenting Dalam KitabUndang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan
Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Demikianlah makalah "Azas Legalitas" dan Perkembangannya dalam "Hukum Pidana"
0 komentar:
Post a Comment