Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA PENGANTAR
Kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini
memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan
dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Wassalam
Penulis,
KELOMPOK 8
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................................................. .... 1
B.
Rumusan Masalah........................................................................ .... 1
C.
Tujuan
penulisan .............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian gabungan hukuman.......................................................
2
B.
Dasar hukum ....................................................................................... 3
C.
Macam-macam gabungan hukuman ................................................... 6
D.
Perbedaan Teori Gabungan Hukuman antara
Hukum Pidana,
Hukum Pidana Indonesia, dan Hukum Pidana
Islam ........................ 10
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.......................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... .... 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum pidana atau fiqih
jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang berlaku semenjak diutusnya
Rosulullah, yang berdasarkan al-qur`an dan hadist atau lembaga yang mempunyai
wewenang untuk menetakan hukuman. Oleh karenanya pada zaman Rosululah dan
Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu
hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau
ulil amri.
Hukum pidana menurut
syari’at islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan setiap
muslim dimanapun ia berada. Syari’at islam merupakan hukum yang harus
dilaksanakan oleh setiap muslim, karena syari’at islam merupakan bagian ibadah
kepada Allah SWT.
Gabungan melakukan
tindak pidana dalam hukum Islam sebenarnya tidak terdapat istilah khusus. Namun
dalam pengertian ini terdapat dua hal yang perlu diperhatikan yaitu tentang
pengertian delik gabungan dan tentang rentetan pelanggaran yang mana keduanya
bagaikan dua sisi mata uang, artinya adanya delik gabungan dikarenakan adanya
rentetan pelanggaran.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gabungan hukuman?
2. Apa Dasar Hukum Gabungan ?
3. Apa saja yang termasuk pada Macam-macam Gabungan Hukuman?
4. Bagaimana perbedaan teori gabungan hukuman antara hukum pidana, hukum
pidana Indonesia, dan hukum pidana Islam?
C.
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan gabungan hukuman
2. Mengetahui Dasar Hukum Gabungan
3. Mengetahui yang termasuk pada Macam-macam Gabungan Hukuman
4. Mengetahui perbedaan teori gabungan hukuman antara hukum pidana, hukum
pidana Indonesia, dan hukum pidana Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gabungan Hukuman
Samenloop dapat diterjemahkan gabungan atau perbarengan yang dalam bahasa Belanda
juga disebut samenloop van strafbaar feit atau concursus. Dalam
makalah ini akan digunakan istilah “gabungan”. Hukuman dalam bahasa Arab
disebut Iqab atau `uqubah merupakan bentuk balasan bagi seseorang
yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara` yang ditetapkan Allah dan
Rasul-NYA untuk kemaslahatan manusia. Menurut kamus bahasa indonesia karangan
S. Wojo Wasito Hukuman berarti, siksaan atau pembalasan kejahatan.
Sedangkan Abdul Qadir Audah
memberi definisi hukuman sebagai berikut:
العقوبة هي الجزاء المقر رالمصلØØ©
الجماعة على عصيان امر الشارع
Artinya: “Hukuman adalah pembalasan atau pelanggaran perintah syara` yang ditetapkan
untuk kemaslahatan masyarakat”.
Tujuan hukuman ialah
menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan yang
menimbulkan kerugian. Dalam Islam mempunyai dua aspek;perventif (pencegahan)
dan represif (pendidikan). Kedua aspek tersebut akan
menghasilkan kemaslahatan, yaitu terbentuknya moral yang dilandasi Agama.
Pada dasarnya dalam
hukum Islam dikenal bahwa setiap kejahatan atau jarimah telah mempunyai
ketetapan hukumnya masing-masing. Keberagaman jenis hukuman yang terdapat dalam
hukum Islam seringkali menjadikan permasalahan tatkala terdapat seseorang yang
melakukan beberapa jarimah atau jarimah ganda.
Gabungan melakukan
tindak pidana dalam hukum Islam sebenarnya tidak terdapat istilah khusus. Namun
dalam pengertian ini terdapat dua hal yang perlu diperhatikan yaitu tentang
pengertian delik gabungan dan tentang rentetan pelanggaran yang mana keduanya
bagaikan dua sisi mata uang, artinya adanya delik gabungan dikarenakan adanya
rentetan pelanggaran.
Gabungan hukuman dapat
terjadi manakala terdapat gabungan jarimah. Gabungan terjadi apabila seseorang
melakukan beberapa macam jarimah, dimana pada masing-masing jarimah tersebut
belum mendapat keputusan terakhir. Gabungan jarimah adakalanya terjadi dalam
lahir saja, dan adakalanya benar-benar nyata. Gabungan dalam lahir terdapat
apabila pelaku melakukan suatu jarimah yang dapat terkena oleh bermacam-macam
ketentuan.
Contohnya,
seperti seseorang melakukan penganiayaan terhadap seorang petugas yang
melaksanakan tugasnya. Dalam kasus ini pelaku bisa dituntut karena penganiayaan
dan melawan petugas. Gabungan jarimah nyata adalah apabila terjadi beberapa
macam perbuatan jarimah dari pelaku, sehingga masing-masing jarimah bisa di
anggap sebagai jarimah yang berdiri sendiri.
Contohnya seperti
tukang pencak yang dengan kakinya melukai seseorang, dan dengan tangannya
menikam orang lain sampai mati. Dalam kasus ini pelaku bisa dituntut karena
melakukan penganiayaan dan pembunuhan. Dari penjelasan tersebut terlihat jelas
perbedaan antara gabungan dengan pengulangan, sebagaimana telah di uraikan di
atas. Letak perbedaan antara keduanya adalah dalam hal apakah pelaku dalam
jarimah pertama atau sebelumnya sudah dihukum (mendapat keputusan terakhir)
atau belum. Kalau belum, itu termasuk gabungan dan kalau sudah, itu termasuk
pengulangan. Seharusnya pelaku pada gabungan jarimah tidak dijatuhi hukuman
atas semua jarimah yang dilakukannya, meskipun gabungan jarimah tersebut
menunjukkan jiwa kejahatannya. Hal ini karena ketika ia mengulangi suatu
perbuatan jarimah, ia belum mendapat hukuman dan pengajaran dari jarimah
sebelumnya. Berbeda dengan pengulang kejahatan yang telah mendapat hukuman, dan
dengan hukuman itu dimaksudkan agar ia tidak mengulangi perbuatannya.
Jadi gabungan hukuman
adalah serangkaian saksi yang diterapakan kepada seorang apabila ia telah nyata
melakukan jarimah (pidana) secara berulang-ulang dan antara perbuatan jarimah
yang satu dengan yang lainnya belum mendapatkan putusan terakhir.
Dengan demikian
maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya
gabungan adalah: Ada dua/ lebih tindak pidana dilakukan;
·
Bahwa dua/ lebih tindak
pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang dalam hal penyertaan);
·
Bahwa dua/ lebih tindak
pidana tersebut belum ada yang diadili; dan
·
Bahwa dua/ lebih tindak
pidana tersebut akan diadili sekaligus.
B.
Dasar Hukum
Gabungan tindak pidana
merupakan perbuatan pidana yang sangat merugikan kepentingan hukum, dimana
pelakunya harus dihukum lebih berat dari pelaku yang hanya melakukan satu
tindak pidana. Adapun dasar hukum dapat dipidananya pelaku tindak pidana
gabungan adalah berdasarkan rumusan Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 KUHP, yang
secara sistimatis dapat diuraikan sebagai berikut:
Dasar hukum gabungan
dalam satu perbuatan (corcursus idealis)
Adapun dasar hukum
mengenai gabungan dalam satu perbuatan ini adalah diatur dalam Pasal 63 dan 64
KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
Bunyi rumusan Pasal 63
KUHP :
1. jika sesuatu perbuatan termasuk dalam beberapa peraturan ketentuan pidana,
maka hanyalah dikenakan satu saja dari ketentuan itu, jika hukumannya
berlainan, maka yang dikenakan ialah ketentuan yang terberat hukuman pokoknya.
2. Jika bagi sesuatu perbuatan yang terancam oleh ketentuan pidana umum pada
ketentuan yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saja yang akan
digunakan.
Dasar Hukum Tindakan
berlanjut
Adapun dasar hukum
tentang pembarengan tindakan berlanjut terdapat dalam Pasal 64 KUHP,yang
rumusannya sebagai berikut :
1. Jika beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus
dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka hanya satu ketentuan
pidana saja yang digunakan walaupun masing-masing perbuatan itu menjadi
kejahatan atau pelanggaran; jika hukumannya berlainan, maka yang digunakan
ialah peraturan yang terberat hukuman utamanya.
2. Begitu juga hanya digunakan satu ketentuan pidana saja, bila orang
dipersalAkan memalsu atau merusakkan uang dan memakai benda untuk melakukan
perbuatan memalsu atau merusakkan uang
Akan tetapi jika
kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 364, 373, 379 dan ayat per-tama Pasal
407, dilakukan sebagai perbuatan yang diteruskan dan jumlah dari harga kerugian
atas kepunyaan orang lantaran perbuatan terus-menerus itu semua lebih dari Rp.
25,- maka, masing-masing dihukum menurut ketentuan dalam pasal 362,372,378 dan
406.
Dasar hukum gabungan
beberapa perbuatan pidana (Concursus realis)
Adapun dasar hukum
mengenai gabungan dalam beberapa tindak pidana diatur dalam Pasal 65 KUHP yang
bunyi rumusannya sebagai berikut:
1. Dalam gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang
sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan
yang diancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka satu hukuman saja yang
dijatuhkan.
2. Maksimum hukuman ini ialah jumlah hukuman yang tertinggi. Ditentukan untuk
perbuatan itu, akan tetapi tidak boleh lebih dari hukuman maksimum yang paling
berat ditambah dengan sepertiganya.
Selanjutnya mengenai
tindak pidana gabungan beberapa perbuatan ini juga dirumuskan dalam Pasal 66
sebagai lanjutan dari Pasal 65 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
Adapun bunyi Pasal 66
KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
1. Dalam gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang
sebagai perbuatan, tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan
yang terancam dengan hukuman utama yang tidak sejenis, maka tiap-tiap hukuman
itu dijatuhkan, akan tetapi jumlah hukumannya tidak boleh melebihi hukuman yang
terberat sekali ditambah dengan sepertiganya.
2. Hukuman denda dalam hal ini dihitung menurut maksimum hukuman kurungan
pengganti denda, yang ditentukan untuk perbuatan itu.
Adapun Bunyi Pasal 67
KUHP yang berbuyi sebagai berikut:
"Jika dijatuhkan
hukuman coati atau hukuman penjara seumur hidup, maka beserta itu tidak boleh
dijatuhkan hukuman lain dari pada mencabut hak tertentu, merampas barang yang
telah disita, dan pengumuman keputusan hakim"
Adapun bunyi Pasal 68
KUHP yang berbuyi sebagai berikut:
1)
Dalam hal yang tersebut
dalam Pasal 65 dan 66, maka tentang hukuman tambahan berlaku ketentuan yang
berikut di bawah ini:
a. Hukuman-hukuman mencabut hak yang dijadikan satu huk-uman, lamanya
sekurang-kurangnya dua tahun, selama-lamanya lima tahun lebih dari pada
hukuman-hukuman pokok yang telah dijatauhkan, atau kalau sekiranya tidak ada
hukuman pokok lain dari Benda yang dijatuhkan, dijadikan satu hukuman
sekurang-kurangnya dua tahun selama-lamanya lima tahun.
b. Hukuman-hukuman mencabut hak yang berbagai-bagai jenis, dijatuhkan
masing-masing bagi tiap-tiap kejahatan dengan tidak dikurangi;
c. Hukuman-hukuman merampas beberapa barang-barang yang tertentu, begitu juga
hukuman kurungan bila barang itu tidak diserahkan, dijatuhkan masing-masing
bagi tiap-tiap kejahatan dengan tidak dikurangi.
2)
Jumlah hukuman kurungan
pengganti lamanya tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Adapun bunyi Pasal 69
KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
a. Perbandingan beratnya hukuman pokok yang tidak sejenis, ditentukan oleh
susunan dalam Pasal 10.
b. Dalam hal hakim boleh memilih antara beberapa hukuman pokok maka pada
perbandingan hanya hukuman yang terberat saja yang boleh dipilihnya.
c. Perbandingan beratnya hukuman pokok yang tidak sejenis, ditentukan oleh
maksimumnya.
d. Perbandingan lamanya hukuman pokok yang tidak sejenis, begitupun hukuman
pokok yang sejenis ditentukan oleh maksimumnya.
Adapun yang diatur di
dalam Pasal 70 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
a. Jika secara yang dimaksudkan dalam Pasal 65 dan 66 ada gabungan antara
pelanggaran dengan kejahatan, atau antara pelanggaran dengan pelanggaran maka
dijatuhkan hukuman bagi tiap-tiap pelanggaran itu dengan tidak dikurangi.
b. Untuk pelanggaran, maka jumlah hukuman kurungan, termasuk juga hukuman
kurungan pengganti, tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan hukuman
kurungan pengganti, tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Adapun yang diatur di
dalam Pasal 70 bis yang berbunyi sebagai berikut:
"Tentang melakukan
Pasal 65, 66, dan 70 KUHP maka kejahatan yang diterangkan dalam Pawl 302, ayat
Pertama, 352, 364, 373, 379 dan 482 dianggap sebagai pelanggaran, tetapi jika
dijatuhkan hukuman penjara jumlah hukuman ini bagi kejahatan-kejahatan itu
tidak boleh lebih dari pada delapan bulan".
Adapun yang diatur di
dalam Pasal 71 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
"Jika seseorang,
sesudah dijatuhkan hukuman, disalahkan pule berbuat kejahatan atau pelanggaran
yang dilakukan sebelum is dihukum itu maka hukuman yang dahulu itu turut
dihitung dengan menggunakan aturan dalam bab ini, kalau perkara-perkara itu diadili
serentak"
C.
Macam-macam Gabungan Hukuman
1. Gabungan anggapan (concurcus idealis)
Gabungan jarimah itu
karena hanya bersifat anggapan, sedang pelakunya hanya berbuat satu
jarimah. Contoh: Seorang memukul petugas, ia diaggap melakukan
jarimah ganda, walaupun pelakunya menganggap melakukan jarimah tunggal, hal ini
dikarenakan yang dipukul adalah petugas sehingga oleh hukum dianggap berbuat
jarimah ganda yaitu memukul orang dan melawan petugas.
2. Gabungan nyata (concurcus realis)
Yaitu seorang melakukan
perbuatan jarimah ganda secara jelas, baik berkenaan dengan jelas atau
berbeda. Contoh: Sulaiman lakukan pemerkosaan terhadap habibah
sebelulm dijatuhi hukuman sulaiman melakukan pembunuhan terhadap ali sobri
(contoh jarimah ganda berbeda). Adapun jarimah sejenis adalah sulaiman
melakukan pembunuhan terhadap Syaikhun Adim sebelum dihukum dia melakukan
pembunuhan lagi terhadap Azmi.
Gabungan memiliki
beberapa bentuk, yaitu:
1. Gabungan dalam satu perbuatan (Eendaadse Samenloop/Concursus
Idealis)
Eendaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi dengan
satu perbuatan itu ia melanggar beberapa peraturan pidana yang berarti ia telah
melakukan beberapa tindak pidana. Hal ini diatur dalam pasal 63 KUHP yang
bunyinya sebagai berikut:
Jika suatu perbuatan
masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu
di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat
ancaman pidana pokok yang paling berat.
Jika suatu perbuatan,
yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana
yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Di antara para sarjana
terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan satu tindakan.
Sebelum tahun 1932, Hoge Raad barpendirian yang ternyata dalam putusannya,
bahwa yang dimaksud dengan satu tindakan dalam pasal 63 ayat (1)
KUHP adalah tindakan nyata atau tindakan materiil.
Taverne bertolak
pangkal dari pandangan hukum pidana bahwa tindakan itu terdiri dari dua/lebih
tindakan yang terdiri sendiri yang mempunyai sifat yang berbeda yang tak ada
kaitannya satu sama lain dapat dibayangkan keterpisahan masing-masing. Akibat
dari pendirian Hoge Raad ini, makna dari pasal 63 ayat (1) menjadi sempit.
Hanya dalam hal-hal terbatas masih apat dibayangkan kemanfaatan dari ketentuan
pasal tersebut.
2. Gabungan dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse Samenloop/concursus
realis)
Meerdaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan tiap-tiap
perbuatan tindak pidana sendiri-sendiri dan terhadap perbuatan-perbuatan tadi
diadili sekaligus. Hal ini diatur dalam pasal 65, 66, 70 dan 70 bis KUHP.
Menurut ketentuan yang termuat dalam KUHP, concursus realis dibedakan
antara jenis tindak pidana yang dilakukan. Tindak pidana kejahatan termuat
dalam pasal 65 dan 66 KUHP. Sedangkan tindak pidana pelanggaran termuat dalam
pasal 70 .
Pasal 65
KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana
pokok sejenis dan sistem pemidanaan menggunakan sistem absorpsi diperberat.
Pasal 66 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan
pidana pokok yang tidak sejenis dan sistem pemidanaanya juga menggunakan
absorpsi diperberat.
Perbedaan antara pasal
65 dan 66 KUHP terletak pada pidana pokok yang diancamkan terhadap
kejahatan-kejahatan yang timbul karena perbuatan-perbuatannya itu yaitu apakah
pidana pokok yang diancamkannya itu sejenis atau tidak. Sedangkan pasal 70 KUHP
mengatur apabila seseorang melakukan beberapa pelanggaran atau apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan kejahatan dan
pelanggaran.
Jika pasal 65 dan 66
menyebutkan tentang gabungan kejahatan dengan kejahatan, pasal 70 memberi
ketentuan tentang gabungan kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan
pelanggaran. Dalam hal ini maka kejahatannya dijatuhkan hukumannya sendiri,
sedangkan bagi masing-masing pelanggarannya pun dikenakan hukuman
sendiri-sendiri dengan pengertian bahwa jumlah semuanya dari hukuman kurungan
yang dijatuhkan bagi pelanggaran-pelanggaran itu tidak boleh lebih dari satu
tahun empat bulan dan mengenai hukuman kurungan pengganti denda tidak lebih
dari delapan bulan. Pasal 70 bis menentukan kejahatan-kajahatan ringan dianggap
sebagai pelanggaran. Bagi masing-masing kejahatan ringan tersebut harus
dijatuhkan hukuman sendiri-sendiri dengan ketentuan bahwa jika dijatuhkan
hukuman penjara maka jumlah semua hukuman tidak boleh lebih dari delapan bulan.
3.
Perbuatan
berlanjut (Voorgezette Handeling)
Apabila seseorang
melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan tindak pidana
sendriri. Tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian eratnya
satu sama lain sehingga beberapa perbuatan itu harus dianggap sebagai satu peruatan
lanjutan. Hal ini diatur dalam pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan
sistem absorpsi.
Apa yang dimaksud
dengan perbuatan berlanjut? Terdapat beberapa pendapat mengenai perbuatan
berlanjut tersebut. Ada sarjana yang memberikan pengertian bahwa perbuatan
berlanjut adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang
masing-masing merupakan delik, tetapi beberapa perbuatan yang masing-masing
delik itu seolah-olah digabungkan menjadi satu delik.
Sedangkan Simons
mengatakan bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal vorgezette
handeling sebagaimana diatur dalam pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk
gabungan dalam concursus realis. Hanya tentang pemidanaan
pasal 64 KUHP menyimpang dari ketentuan pasal 65 KUHP dan 66 KUHP. Menurut
pasal 65 KUHP dan 66 KUHP yang dijatuhkan adalah satu pidana yang terberat
ditambah dengan sepetiganya. Sedangkan menurut pasal 64 KUHP yang dijatuhkan
hanya satu pidana yang diperberat. Oleh karena itu, Simons menganggap pasal 64
KUHP sebagai pengecualian terhadap concursus realis/ meerdaadse
samenloop.
Pertimbangan fuqaha
tentang eksistensi gabungan hukuman yang berdasarkan atas dua teori :
1. Teori saling memasuki atau melengkapi
Dalam teori ini yang
dimaksudkan oleh menulis, bahwa pelaku jarimah dikenakan suatu hukuman,
walaupun melakukan tindakan kejahatan ganda, karena perbuatan satu dengan yang
lainnya dianggap saling melengkapi atau saling memasuki. Teori ini ada dua
pertimbangan.
a. Bila pelaku hanya melakukan tindakan kejahatan sejenis sebelum diputuskan
oleh hakim, maka hukumannya dapat dijatuhkan satu macam saja, jika satu hukuman
dianggap cukup. Akan tetapi jika ia belum insaf atau jera dan mengulangi lagi,
maka ia dapat dikenakan hukuman lagi.
Contoh: Hamim mencuri sebelum mencuri ia dikenakan hukuman dan ia mencuri
lagi.
b. Bila jarimah yang dilakukan oleh seorang secara berulang-ulang dan terdiri
dari bermacam-macam jarimah, maka pelakupun bisa dikenakan satu hukuman, dengan
syarat bahwa penjatuhan hukuman itu melindungi kepentingan bersama dan untuk
mewujudkan tujuan yang sama.
Contoh: Ali sobri memakan
daging babi, kemudian meminum khomer serta makan bangkai.
2. Teori penyerapan
Yang dimaksud dari
teori ini adalah penjatuhan hukuman dengan menghilangkan hukuman yang lain
karena telah diserap oleh hukuman yang lebih berat.
Contoh : Syaikhon adim
dijatuhkan hukuman mati yang lain diaggap tidak, karena telah diserap oleh
hukuman mati.
Teori penyerapan ini
dipegang oleh abu hanifah, imam malik, dan imam ahmad. Sedangkan imam syafi`k
menolak, beliau perpendapat bahwa semua hukuman harus dijatuhkan satu persatu
adapun taktik pelaksanaannya ialah mendahulukan hak adami daripada hak Allah.
Contoh :
·
Hak adami seperti diyat
(jarimah yang dilakukan tanpa disengaja seperti peluru nyasar atau semi sengaja
melempar orang dengan batu kemudian dia mati)
·
Hak Allah seperti
(mencuri, berzina, membunuh), yang sifatnya sengaja.
Sekalipun dalam islam
sendiri mengakui adanya jarimah qisas, diat, tetapi tidak selalu yang
dibayangkan. Islam justru dalam menerapkan hukuman sangat memperhatikan
kepentingan individu dan masyarakat. Ditegakkannya hukuman dalam islam pada
prinsipnya ialah demi kemaslahatan manusia.
D.
Perbedaan Teori Gabungan Hukuman antara Hukum Pidana, Hukum Pidana
Indonesia, dan Hukum Pidana Islam
Dalam hukum positif terdapat tiga teori mengenai
gabungan jarimah, yaitu:
1. Teori berganda. (cumulatie)
Menurut
teori ini pelaku mendapat semua hukuman yang ditetapkan untuk tiap-tiap jarimah
yang dilakukannya. Kelemahan teori ini terletak pada banyaknya hukuman yang
dijatuhkan. Hukuman penjara misalnya adalah hukuman sementara, tetapi apabila
digabung-gabungkan maka akan berubah menjadi hukuman seumur hidup.
2. Teori penyerapan. (absorptie)
Menurut
teori ini hukuman yang lebih berat dapat menyerap (menghapuskan) hukuman yang
lebih ringan. Kelemahan teori ini adalah kurangnya keseimbangan antara hukuman
yang dijatuhkan dengan banyaknya jarimah yang dilakukan, sehingga terkesan
hukuman demikian ringan.
3. Teori campuran.
Teori
merupakan campuran antara berganda dan penyerapan. Teori ini dimaksudkan untuk
melemahkan teori yang ada dalam kedua teori tersebut. Menurut teori campuran
hukuman-hukuman biasa digabungkan, asal hasil gabungan tidak melebihi batas
tertenu, sehingga dengan demikian akan hilanglah kesan berlebihan dalam
penjatuhan hukuman.
Dalam hukum pidana
Indonesia, ketentuan mengenai gabungan tercantum dalam pasal 63 sampai dengan
71 KUHP pidana. Dari pasal tersebut dapat diketaui bahwa dalam hukum
pidana Indonesia ada beberapa teori yang dianut berkaitan dengan gabungan
hukuman ini. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut.
1) Teori penyerapan biasa
Menurut teori ini hanya
satu pidana yang diterapkan pada pasal 63 KUHP, yaitu yang paling berat hukuman
pokoknya, apabila suatu perbuatan pidana diancam dengan beberapa aturan
pidana. Contohnya: orang membunuh dengan menembak dibelakang kaca,
jadi tindakkanya adalah membunuh (pasal 339) dan merusak barang (pasal 406)
maka yang diterapkan adalah pasal 339.
2) Teori penyerapan keras
Menurut teori ini dalam
hal gabungan perbuatan yang nyata yang diancam dengan hukuman pokok adalah yang
sejenis, hanya satu hukuman saja yang dijatuhkan dan hukuman tersebut bisa
diberatkan dengan sepertiga dari maksimum hukuman yang seberat-bratnya.
3) Teori berganda yang dikurangi
Teori ini hampir sama
dengan teori yang bersumber dari pasal 65 dan 66 KUHP. Menurut teori ini, yang
tercantum dalam pasal 65 ayat (2), semua hukuman dapat dijatuhkan, tetapi
jumlah keseluruhannya tidak melebihi hukuman yang paling berat, ditambah dengan
sepertiganya.
4) Teori berganda biasa
Menurut teori ini,
semua hukuman dijatuhkan tanpa dikurangi. Ini di anut oleh pasal 70 ayat (1)
yang berbunyi: “ Jika ada gabungan secara yang termaksud dalam pasal 65
dan 66 antara pelanggaran dengan kejahatan, atau antara pelanggaran maka
dijatuhkan hukuman bagi tiap-tiap pelanggaran itu dengan tidak dikurangi”.
Dalam hukum pidana
Islam, teori tentang bergandanya hukuman sudah dikenal di kalangan fuqaha,
tetapi teori tersebut dibatasi pula dengan dua teori yang lain, yaitu teori
saling melengkapi (At-Tadakhul) dan teori penyerapan (Al-Jabbu).
a. Teori saling melengkapi ( At-Tadakhul)
Menurut teori ini,
ketika terjadi gabungan jarimah, maka hukuman-hukumannya saling melengkapi,
sehingga oleh karenanya itu semua perbuatan tersebut dijatuhi satu hukuman,
seperti kalau ia memperkuat perbuatan. Teori ini didasarkan atas dua
pertimbangan, yaitu:
Pertama Meskipun perbuatan jarimah berganda, sedang semuanya adalah satu
macam, seperti pencurian yang berulang kali atau fitnahan yang berulang kali,
maka sudah sepantasnya kalau hanya dikenakan satu macam hukuman, selama belum
ada keputusan hakim. Beberapa perbuatan dianggap satu macam selama objeknya
adalah satu, meskipun berbeda-beda unsurnya serta hukumannya, seperti pencurian
biasa dan gangguam keamanan (Hirabah). Alasan penjatuhan satu
hukuman saja adalah bahwa pada dasarnya suatu hukuman dijatuhkan untuk maksud
memberikan pengajaran (ta’dib)dan pencegahan terhadap orang
lain (zajru), dan kedua tujuan ini dapat dicapai dengan satu hukuman
selama cukup membawa hasil. Namun, kalau diperkirakan pembuat akan kembali
melakukan perbuatan-perbuatannya, maka kemungkinan ini semata-mata tidak cukup,
selama belum jadi kenyataan bahwa hukuman tersebut tidak cukup menahannya. Baru
setelah mengulangi perbuatannya sesudah mendapat hukuman, maka ia dijatuhi
hukuman lagi, karena hukuman yang pertama ternyata tidak berpengaruh.
Kedua Meskipun perbuatan-perbuatan yang dilakukan berganda dan berbeda-beda
macamnya, namun hukuman-hukumannya bisa saling melengkapinya dan cukup untuk
satu hukuman yang dijatuhkan untuk melindungi kepentingan yang sama. Seseorang
misalnya makan bangkai, darah dan daging babi, maka atas ketiga perbuatan ini
dijatuhi satu hukuman, karena hukuman-hukuman tersebut dijatuhkan untuk
mencapai satu tujuan, yaitu melindungi kesehatan perseorangan dan masyarakat.
b. Teori penyerapan (Al-Jabbu)
Yaitu menjatuhkan suatu
hukuman, dimana hukuman-hukuman yang lain tidak dapat dijatuhkan. Hukuman
tersebut dalam hal ini tidak lain adalah hukuman mati, dimana pelaksanaannya
dengan sendirinya menyerap hukuman-hukuman lain. Teori ini dikemukakan oleh
beberapa ulama diantaranya Imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad.
Menurut Imam Malik,
apabila hukuman had berkumpul dengan hukuman mati karena Tuhan, seperti hukuman
mati Karena jarimah murtad, atau berkumpul dengan hukuman mati karena qisash
bagi seseorang lain, maka hukuman had tersebut tidaj dapat dijalankan karena
hukuman mati tersebut menyerapnya, kecuali hukuman memfitnah saja(qadzaf) yang
tetap dilaksanakan, dengan cara di-jilid dahulu delapan puluh kali, kemudian
dihukum mati.
Menurut Imam Ahmad,
apabila terjadi dua jarimah hudud, seperti mencuri dan zina bagi orang-orang
muhshan, atau minum dan mengganggu keamanan (hirabah)dengan
membunuh, maka hanya hukuman mati saja yang dijalankan, sedang hukuman-hukuman
lain gugur. Kalau hukuman hudud berkumpul dengan hak-hak adami, dimana salah
satunya diancam hukuman mati, maka hak-hak adami tersebut harus dilaksanakan
terlebih dahulu, dan hak-hak Allah diserap oleh hukuman hukuman mati.
Bagi Imam Abu
Hanifah, pada dasarnya apabila terdapat gabungan hak mannusia dengan hak-hak
Allah, maka hak manusialah yang harus didahulukan, karena ia pada umumnya ingin
lekas mendapatkan haknya. Kalau sesudah pelaksanaan hak tersebut hak Allah
tidak bisa dijalankan lagi, maka hak tersebut hapus dengan sendirinya.
Bagi Imam
Syafi’i tidak ada teori penyerapan (al-jabbu), melainkan semua
hukuman harus dijatuhkan selama tidak saling melengkapi (tadakhul). Caranya
ialah dengan mendahulukan hukuman bagi hak-hak adami yang bukan hukuman mati,
kemudian hukuman bagi hak Allah yang bukan hukuman mati kemudian lagi hukuman
mati.
c. Teori Percampuran (al Mukhtalath)
Teori percampuran ini
dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari dua metode sebelumnya
yaitu teori al jabbu (penyerapan) dan teori al
tadaahul (saling memasuki), yaitu dengan cara menggabungkan keduanya
dan mencari jalan tengahnya.
Sebagaimana yang telah
disebutkan di awal bahwa hukum Islam dalam menggunakan kedua teori tersebut
tidak secara mutlak. Dalam teori percampuran ini langkah yang dilakukan yakni
dengan membatasi kemutlakan dari dua teori sebelumnya. Penggabungan hukuman
boleh dilakukan namun tidak boleh melampaui batas tertentu. Tujuan daripada
pemberian batas akhir ini bagi hukuman ialah untuk mencegah hukuman yang
terlalu berlebihan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam islam mempunyai berbagai syari’at yang tidak dapat dipisahkan dari
diri seorang muslim, dimanapun ia berada. Salah satunya gabungan hukuman yang
artinya serangkai saksi yang diterapkan kepada seseorang apabila ia benar-benar
telah melakukan tidakan pidana secara berulang-ulang diantara perbuatan
perbuatannya tersebut antara yang satu dengan yang lain belum ada keputusan.
Dalam hukum pidana,
hukum pidana indonesia, dan hukum pidana islam memiliki teori yang
berbeda-beda. Seperti dalam teori hukum pidana terdapat tiga teori mengenai
gabungan hukuman, yaitu teori berganda, penyerapan, dan campuran. Dalam hukum
pidana Indonesia terdapat empat teori mengenai gabungan hukuman yaitu, teori
penyerapan keras, penyerapan biasa, berganda yang dikurangi, berganda biasa.
Sedangkan dalam hukum pidana Islam, teori gabungan hukuman ada tiga, yaitu
teori saling melengkapi, teori penyerapan dan
pencampuran.
Dalam gabungan hukuman
terdapat perbedaan pendapat antara para fuqaha diantaranya pendapat imam
maliki, hanafi, dan ahmad menyatakan apabila gabungan hukuman itu berupa
hukuman mati, maka dengan sendirinya jarimah-jarimah yang telah di lakukannya
terhadapus, berbeda dengan pendapat imam syafi`i yang mengemukakan semua
jarimah di hukum satu-persatu, dan cara pelaksanaan hukumannya didahulukan hak
adami kemudian baru hak Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Hanafi. 1968. Asas-Asas Hukum Pidana
Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Djazuli. 2007. Fiqih Jarimah. Ed. 2. Cet
III. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kanter, E.Y. dan S.R. 2002. Sianturi. Asas-Asas
Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.
Mahrus Munajad, 2004. Dekontruksi Hukum Pidana
Islam. Djogjakarta: Logung Pustaka.
Muslich, Ahmad Wardi. 2004. Pengantar dan Asas
Hukum Pidana Islam. Cet I. Jakarta: Sinar Grafik.
Moeljatno. 1987. Asas-Asas Hukum Pidana
Indonesia, Jakarta: Bina Aksara.
Rahmat, Hakim. 2000. Hukum Pidana Islam.
Bandung: Pusataka Setia.
R. Soesilo. 1987. Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana serta Komentar – Komentarnja Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor:
Politeia.
0 komentar:
Post a Comment