Contoh Makalah "Fiqh Jinayah" tentang "Hukuman"
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015




KATA PENGANTAR

            Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Fiqh Jinayah pada Program Studi "Hukum Ekonomi Syari’ah" Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini penulis mengangkat judul “HUKUMAN”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.


Wassalam
Penulis,


KELOMPOK 7



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR............................................................................................             i
DAFTAR ISI............................................................................................................             ii

BAB I       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...................................................................................            1
B.    Rumusan Masalah..............................................................................             1
C.    Tujuan Penulisan................................................................................             1

BAB II       PEMBAHASAN
A.    Pengertian hukuman..........................................................................            2
B.     Macam-macam hukuman ..................................................................             3
C.     Sebab terhapusnya hukuman.............................................................             9
D.    Tujuan pelaksanaan hukuman ...........................................................             9

BAB III    PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................             11

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................            12






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum Pidana Islam merupakan syari’at Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat. Syari’at Islam dimaksud, secara materil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syari’at, yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.
Al qur’an merupakan penjelasan Allah tentang syari’at, sehingga disebut Al-Bayan (penjelasan). Penjelasan dimaksud secara garis besar mempunyai empat bentuk  Nash (tekstual) tentang syari’at sesuatu, misalnya orang yang membunuh tanpa hak, sanksi hukum bagi pembunuh tersebut adalah harus dibunuh oleh keluarga korban atas adanya putusan dari pengadilan. Orang berzina harus dicambuk 100 kali bagi pelaku yang berstatus pemuda dan pemudi. Namun bagi pelaku yang berstatus jandaa atau duda atau sudah menikah hukumannya adalah rajam.

B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana pengertian hukuman ?
2.      Apa saja macam-macam hukuman ?
3.      Bagaimana sebab-sebab terhapusnya hukuman ?
4.      Apa tujuan pelaksanaan hukuman ?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah agar kami mampu memahami tantang pengertian hukuman, macam-macam hukuman, tujuan pelaksanaan hukuman serta sebab terhapusnya hukuman.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukuman     
"Hukuman" dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata ‘aqaba yang sinonimnya khalafahu wa ja a bi’aqabihi, artinya: mengiringnya dan datang di belakangnya. Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafazh tersebut bisa diambil dari lafaz: ‘aqaba yang sinonimnya jazahu sawa a bima fa’ala, artinya:membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu dapat disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan nyang menyimpang yang telah dilakukannya.
Menurut Hukum Pidana Islam, hukuman adalah seperti yang didefenisikan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut: “hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan syara”
Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syara’, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu.[1]
Maksud pokok hukuman adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena islam itu sebagai rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.
Hukuman itu harus mempunyai dasar, baik dari Al Qur’an, hadis, atau lembaga legislatif yang mempunyai kewenangan menetapkan hukuman untuk kasus ta’zir. Selain itu hukuman itu harus bersifat pribadi. Artinya hanya dijatuhkan kepada yang melakukan kejahatan saja. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa:”Seseorang tidak menanggung dosanya orang lain”. Terakhir, hukuman itu harus bersifat umum, maksudnya berlaku bagi semua orang, karena semua manusia sama di hadapan hukum.[2]
B.     Macam-macam Hukuman dan Jarimah
Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai  dengan tindak pidana yang dituangkan dalam syara’ ataupun yang tidak terdapat nash hukumnya. Ditinjau dari segi ada dan tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadist, hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qisas, diyat, dan kafarah. Misalnya, hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang mendzihar istrinya;
2.      Hukuman yang tidak ada nashnya, yang disebut hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan amanah, bersaksi palsu dan lainnya.
Ditinjau dari segi hubungan antara hukuman dengan hukuman yang lain ada empat macam hukuman, yaitu:
1.      Hukuman pokok (al-uqubat al-ashliyah), yaitu hukuman asal bagi kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman jilid seratus kali bagi pezina ghairu muhshan.
2.      Hukuman pengganti (al-uqubat al-badaliyah), yaitu hukuman yang menempati tempat pokok apabila hukuman pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena alasan hukum diyat, seperti hukuman  bagi pembunuh yang sudah dimaafkan qisasnya oleh keluarga korban.
3.      Hukuman tambahan (al-uqubat al-thaba’iyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan pada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapat harta waris dari harta orang yang dibunuh.
4.      Hukuman pelengkap (al-uqubat al-thakmiliyat), yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang telah dijatuhkan.[3]
Berdasarkan ringan dan beratnya hukuman, ulama membagi jinayah atau jarimah menjadi 3 macam:
1.      Jarimah Hudud
Kata hudud adalah bentuk jamak dari kata had.  Menurut bahasa, had berarti cegahan. Had juga berarti kemaksiatan sebagaimana dalam firman Allah:
y7ù=Ï?... ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydqç/tø)s? ... ÇÊÑÐÈ  
Artinya : “...Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya...” (Q.S Al Baqarah: 187)
Para ulama sepakat bahwa kategori jarimah hudud ada 7 yaitu: zina, menuduh zina (qadzf), mencuri (sirq), merampok, menyamun (hirobah), minum minuman keras (surbah), dan murtad (riddah).
Dalam pelaksanaan hukuman jarimah ini, pelaku yang telah terbukti berbuat jarimah yang masuk kelompok hudud, hakim harus melaksanakannya sesuai dengan ketentuan syara’, karena memang tidak ada pilihan hukuman lain bagi jarimah ini. Jadi, fungsi hakim terbatas pada penjatuhan hukuman yang telah ditentukan, tidak berijtihad dalam memilih hukuman.
Para ulama membuat kaidah dalam menghadapi kasus-kasus yang termasuk kelompok hudud, yaitu “kesalahan dalam memaafkan bagi seorang imam lebih baik dari pada kesalahan dalam menjatuhkan sanksi”. Hakim harus menghindari keraguan dalam menjatuhkan vonis bagi pelaku jarimah, sebagaimana kaidah hukum menyatakan berikut:
إدرؤا الحدود باالشبهات
Artinya : “Hindarilah hukuman had (hudud) karena ada keraguan (syubhat)”
            Adapun jarimah yang termasuk dala kelompok hudud menurut para ulama ada tujuh macam, yaitu perzinaan, qadzaf, minum-minuman keras, pencurian, pembegalan, pemberontakan dan keluar dari agama islam. Diantara hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasulullah SAW yang tidak boleh diubah adalah sevagai berikut:
1.      Hukuman pancung kepada orang yang tidak shalat tiga waktu berurut-turut tanpa udzur syar’i sesudah dinasihatkan
2.      Hukuman qisas, yaitu membunuh dibalas bunuh, luka dibalas luka
3.      Hukuman sebat kepada orang yang memfitnah orang lain
4.      Hukuman rotan 100x bagi pezina yang belum menikah, dirajam sampai mati bagi pezina yang sudah menikah
5.      Hukuman cambuk dengan rotan 80x bagi orang yang menuduh orang berzina tanpa bukti yang cukup
6.      Hukuman cambuk dengan rotan 80x untuk peminum arak
Di Indonesia, ringannya hukuman bagi para pelaku kejahatan tidak meminimalisir tindak kejahatan, sebaliknya tindak kejahatan semakin banyak dengan berbagai modus operandi yang beragam. Hal ini merupakan sebuah indikasi bahwa hukum yang diterapkan tidak menimbulkan efek jera bagi para pelaku kejahatan dan tidak membuat rasa takut para penjahat lainnya.
Kejahatan lainnya disebabkan oleh khamar. Hal ini dikarenakan khamar dapat mengakibatkan hilangnya akal bagi peminumnya. Dengan hilangnya kesadaran, pemabuk akan lupa diri, ia tidak mampu berpikir matang, kesadarannya hilang, sehingga ia dapat melakukan tindakan kriminal yang membahayakan orang lain, mungkin tidak hanya mencuri, tetapi juga memperkosa dan membunuh.
Dalam hukum pidana islam sendiri dikenal 2 bentuk hukuman, yaitu: had dan ta’zir. Yang termasuk dalam hukuman had adalah, murtad, zina, qadzf, mencuri, merampok, dan meminum khamar. Status hukuman bagi pelanggaran-pelanggaran tersebut terdapat dalam nash, baik didalam Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi. Itulah sebabnya, hukuman had merupakan bentuk hukuman yang ditetapkan oleh syariat. Sementara hukuman ta’zir, yaitu bentuk hukuman yang tidak terdapat dalam nash Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, tetapi didasrkan pada pertimbangan akal sehat dan keyakinan hakim untuk mewujudkan maslahat dan menimbulkan rasa keadilan.
Ciri khas Jarimah Hudud itu adalah sebagai berikut:
1.      Hukumnya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
2.      Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalu ada hak manusia disamping hak Allah, maka hak Allah yang lebih menonjol.
Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah di sini adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa di hapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang di wakili oleh negara.
Hakim dalam menjatuhkan hukuman harus berpegang pada keyakinan. Keraguan bertentangan dengan keyakinan yang menjadi dasar penegakan hukum. Oleh karena itu, majelis hakim dalam menjatuhkan vonis harus berdasarkan keyakinan. Menurut Sayyid Sabiq, madzhab Hanafi dan madzhab Syafi’i menjelaskan beberapa macam keraguan dalam menentukan sanksi hukum, yaitu sebagai berikut:[4]
a.      Penganut Madzhab Syafi’i
Kalangan penganut madzhab syafi’i membagi syubhat (keraguan) menjadi 3 bagian:
1)      Keraguan yang berkenaan dengan sasaran perbuatan, seperti menyetubuhi istri yang sedang haid atau berpuasa dan menyetubuhinya dari belakang. Kedua pintu masuk itu menjadi hak suami. Akan tetapi, pemilikan dan penguasaan sang suami atas dua pintu itu merupakan kesyubhatan yang memungkinkan pelakunya menolak hukuman, tanpa terkait pada pendapatnya tentang haram atau tidaknya melakukan perbuatan melalui jalan tersebut.
2)      Keraguan yang berkenaan dengan pelaku. Contohnya suami yang menyetubuhi seorang wanita yang dikira istrinya, tetapi ternyata bukan. Dalam contoh ini, yang menjadi dasar syubhat adalah keyakinan pelaku yang telah berbuat karena dia yakin hal itu bukan pekerjaan yang diharamkan, yakni dia yakin sasarannya itu adalah istrinya. Menurut mereka, kesyubhatan jenis ini memungkinkan seseorang menolak kesyubhatan.
3)      Keraguan yang berasal dari kebingungan menentukan sikap terhadap ketentuan hukum atas perbuatan tertentu. Misalnya seseorang yang bingung untuk memilih satu pendapat mengenai hukum disebabkan banyaknya pendapat para ahli tentang hal itu. Keraguan dalam bentuk ketiga ini bisa dijadikan alasan untuk menolong suatu hukuman.

b.      Penganut Madzhab Hanafi
Kalangan madhzab Hanafi membagi syubhat dalam dua bagian, yaitu sebagai berikut:
1)      Keraguan menyangkut hak seseorang dalam melakukan perbuatannya, yakni mempertanyakan kehalalan atau keharaman perbuatan baginya. Sementara itu, tidak terdapat dalil sam’i yang secara eksplisit menunjukan halalnya perbuatan itu dan tidak adanya dalil dimaksud, justru dianggap sebagai dalil bagi perbuatannya.
2)      Keraguan yang berkenaan dengan tempat disebut syubhat hukmiah. Keraguan ini berasal dari adnya ketidaktegasan hukum syara’ mengenai halalnya tempat persetubuhan (faraj). Syaratnya adalah keraguan itu timbul dari salah satu ketetapan syara’, yairu adanya dalil syara’ yang membatalkan haramnya perbuatan itu.

2.      Jarimah Qisas
Diantara jarimah qisas diyat yang paling berat adalah hukuman bagi pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja karena hukumannya dibunuh. Pada dasarnya, seseorang haram menghilangkan nyawa orang tanpa alasan syara’, bahkan Allah mengatakan tidaka ada dosa yang lebih besar lagi setelah kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin.
Para ulama membagi masalah jinayah menjadi tiga bagian, pembagian ini bedasarkan bobot hukuman yang dikenakan terhadap pelaku jarimah, akan tetapi, adapula ulama yang membaginya menjadi dua bagian karena memasukkan masalah qisas/diyat dalam kelompok hudud, diantarnya, Al Mawardi, yang mendefinisikan jarimah sebagai “larangan-larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman hudud dan ta’zir.”  Dari definisi tersebut, tedapat kata qisas secara eksplisit. Oleh karana itu, secara implisit, qisas termasuk dalam kelompok jarimah hudud. Karena qisas/diyat dilihat dari segi ditentukan jenis jarimah dan jenis sanksi hukuman oleh Al-Qur’an dan Hadist Nabi sama dengan jarimah hudud, qisas atau diyat masuk kedalam kelompok hudud.
Adapun ciri hasnya jarimah qisas dan diyat adalah sebagai berikut:
1.      Hukumannya sudah tertentu terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
2.      Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti bahwa koban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.
Adapun  jarimah qisas dan diyat hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas maka ada lima macam, yaitu:
1.       Pembunuhan sengaja
2.        Pembunuhan menyerupai sengaja
3.       Pembunuhan karena kesalahan
4.       Penganiayaan sengaja
5.       Penganiayaan tidak sengaja

3.      Jarimah ta’zir
Ta’zir menurut artinya al-ta’did yaitu memberi pengajaran. Dalam fiqh jinayah, ta’zir merupakan bentuk jarimah, yang sangsi hukumnya ditentukan penguasa. Jadi, jarimah ini sangat berbeda dengan jarimah qisas/diyat yang macam bentuk hukumanya telah ditentukan oleh syara’, karena jarimah ini berkaitan dengan perkembangan masyarakat dan kemaslahatanya, dan kemaslahatan tersebut selalu berubah dan berkembang. Oleh karena itu jarimah ta’zir sering disebut dengan jarimah kemaslahatan umum.
Dalam ktab subulus salam diebutkan bahwa selain penguasa, orang yang berhak memberikan hukuman ta’zir adalah:
a.       Ayah: seorang ayah boleh memberikan hukuman ta’zir kepada anaknya yang masih kecil dengan tujuan pendidikan.
b.      Majikan: seorang majikan boleh men-ta’zir hambanya, baik yang berkaitan denagn dirinya maupun dengan Allah.
c.       Suami: seorang suami diperbolehkan melakukan ta’zir kepada istri apabila istri melakukan nusyuz.
Sanksi hukuman ta’zir banyak jumlahnya, antara lain sebagai berikut:
1.      Hukuman mati
Pada dasarnya , hukuman ta’zir bertujuan untuk pengajaran, oleh karena itu, dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau nyawa. Akan tetapi, ada beberapa ulama memberikan pengecualian dari aturan hukum tersebut, yaitu boleh dijatuhi hukuman mati jika keadaan menghendaki demikian.
2.      Hukuman jilid
Dalam hal ini, masih terjadi perbedaan pendapat mengenai batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Imam Abu Hanifah 39x, Abu Yusuf 75x dan pendapat yang paling terkenal dari kalangan ulama Maliki bahwa batas tertinggi diserahkan kepada penguasa.
3.      Hukuman penjara/kurungan
Ada dua macam hukuman kurungan menurut hukum islam, pertama, hukuman penjara terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi ulam bebeda pendapat. Kedua, hukuman penjara tidak terbatas, hukuman ini berlangsung terus hingga terhukum mati atau bertobat dan kembali menjadi orang yang baik pribadinya. 
4.      Hukuman salib
Untuk jarimah ta’zir, hukuman salib tidak dibarengi atau didahului oleh hukuman mati. Penyaliban ini, menurut fuqaha tidak lebih dari tiga.
5.      Hukuman ancaman (tahdid), teguran (tanbih), dan peringatan
6.      Hukuman pengucilan (al-hajru)
Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam Perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Miroroh bin Rubai’ah dan Hilal bin Umayyah
7.      Hukuman denda (tahdid)
Adapun ciri-ciri nya adalah sebagai berikut:
a.       Hukumannya sudah tertentu terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
b.      Penentuan hukumannya adalah hak penguasa.
Berbeda dengan jarimah hudud dan qisas maka jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya, hal ini oleh karena yang termasuk jarimah ta’zir ini adalah setiap perbuatan maksiat yang tidak di kenakan hukuman had dan qishash, yang di jumlahnya sangat banyak. Tujuan di berikannya hak penentuan jarimah-jarimah ta’zir dan hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya.

C.    Sebab-sebab Terhapusnya Hukuman
Berikut adalah penyebab tehapusnya hukuman
1.      Paksaan
Dalam hal ini, ada beberapa pengertian tentang paksaan. Pertama, paksaan adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang karena orang lain. Kedua, paksaan adalah perbuatan yang keluar dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk melkukan perbuatan yang diperintahkan. Ketiga, paksaan merupakan ancaman atas seseorang dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakannya. Keempat, paksaan adalah sesuatu yang diperintahkan seseorang kepada orang lain yang membahayakan dan menyakitinya.
2.      Mabuk
Tidak dijatuhi hukuman oleh sebab ini adalah jika ia dipaksa atau secara terpaksa atau dengan kehendak sendiri, tetapi tidak mengetahui bahwa yang diminumnya itu bisa mengakibatkan mabuk.
3.      Gila (majnun), Orang gila tidak dikenakan hukum jarimah karena tidak mempunyai kekuatan berpikir dan memilih.
4.      Dibawah Umur
Anak dibawah umur dipandang belum dibebani hukum atau tidak termasuk mkallaf, oleh karenanya, tidak ada kewajiban hukum atasnya dan tidak ada pertanggung jawaban atas perbuatannya sehingga ia mencapai dewasa.

D.    Tujuan Pelaksanaan Hukuman
1.      Pencegahan (Ar Rad’u wa Zajru)
Pengertian pencegahan adalah menahan orang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus menerus melakukan jarimah tersebut. Disamping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandug arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan kepada orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama. Dengan demikian, kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan orang yang berbuat itu sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk tidak berbuat seperti itu serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.
Tujuan yang pertama ini, berefek kepada masyarakat, sebab dengan tercegahnya pelaku dari perbuatan jarimah maka masyarakat akan tenang, aman, tenteram dan damai. Dan juga efeknya terhadap pelaku, sebab dengan tidak dilakukannya jarimah maka pelaku akan selamat dan terhindar dari penderitaan akibat dari hukuman itu.
2.      Perbaikan dan Pendidikan (Al Ishlah wa Tahdzib)
Maksudnya adalah agar bisa mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebencian terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat ridha Allah.
Disamping kebaikan pribadi pelaku, syari’at islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi oleh rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya.[5]
3.      Efek jera
Hukuman adalah dibuat untuk menimbulkan efek jera kepada si pelaku jarimah, agar si pelaku bisa menyadari tentang jarimah yang dilakukannya itu.








BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Menurut Hukum Pidana Islam, hukuman adalah seperti yang didefenisikan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut: “hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan syara”.
Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai  dengan tindak pidana yang dituangkan dalam syara’ ataupun yang tidak terdapat nash hukumnya. Ditinjau dari segi ada dan tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadist, hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qisas, diyat, dan kafarah. Misalnya, hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang mendzihar istrinya;
2.      Hukuman yang tidak ada nashnya, yang disebut hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan amanah, bersaksi palsu dan lainnya.
Berbeda dengan jarimah hudud dan qisas maka jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya, hal ini oleh karena yang termasuk jarimah ta’zir ini adalah setiap perbuatan maksiat yang tidak di kenakan hukuman had dan qishash, yang di jumlahnya sangat banyak. Tujuan di berikannya hak penentuan jarimah-jarimah ta’zir dan hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya.











DAFTAR PUSTAKA


Muslich, Ahmad Wardi,  Pengantar Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta:  Sinar Grafika, 2004
Djazuli, A, Fiqh Jinayah, Jakarta: PT. Raja Grafindo, cet ke-3, 2000
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : Al-Ma’arif, 1988)



[1] Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam”Fiqh Jinayah”, (Jakarta, Sinar Grafika Offset, 2004), h. 136-137
[2] Dzajuli, A., FIQH JINAYAH (upaya menanggulangi kejahatan dalam islam), (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2000), h. 25-26
[3] Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2007), h. 11
[4] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : Al-Ma’arif, 1988). Hal. 128.
[5] Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam”Fiqh Jinayah”, (Jakarta, Sinar Grafika Offset, 2004), h. 138-139

1 komentar:

 
Top