Disusun oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-hilal Sigli Tahun 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT,
shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan
agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke
alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum Agraria
pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan
ini penulis mengangkat judul “Sengketa
Tanah dalam Masyarakat”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan
saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
LIA LIANDA PUTRI
\
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah.......................................................................................... ......... 2
C. Tujuan
penulisan...................................................................................................... 2
BAB II :
PEMBAHASAN
A. Pengertian hukum agraria............................................................................... ......... 3
B.
Pengertian sengketa
tanah.............................................................................. ......... 4
C. Contoh dalam
masyarakat tentang sengketa tanah................................................. 6
BAB III :
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................... ......... 10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. ......... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Indonesia adalah negara hukum. Semua yang menyangkut
kesejahteraan umum sudah diatur dalam undang-undang dalam bentuk peraturan-peraturan
tertulis. Dengan begitu sebuah kepastian hukum untuk seseorang sejahtera hakikatnya
telah terjamin oleh konstitusi yang ada di Indonesia.
Hukum di Indonesia tidak bisa berdiri secara netral, pasti
ada beberapa kepentingan-kepentingan yang menyangkut didalamnya seperti
kepentingan negara. Dengan begitu maka politik untuk hukum bisa dikatakan
sebagai alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk
menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan
negara.
Jadi perlunya hukum untuk negara kita yaitu untuk mengatur supaya bisa
mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara, untuk melaksanakan hal tersebut
diperlukan suatu kejelasan atau kepastian hukum di dalamnya. Seseorang yang
sudah memliki kepastian hukum pasti akan lebih mudah dalam melakukan lalulintas
hukum atau kegiatan-kegiatan hukum, misalnya dalam kepemilikan tanah.
Tanah adalah suatu aset negara yang sangat banyak sekali, sumber
penghasilan negara juga sebagian besar dari pajak dan salah satu pajak yaitu
pajak dari tanah, baik itu pajak bangunan maupun pajak-pajak yang lain misalnya
sewa, hak pakai, daln lain sebagainya.
Tanah lama kelamaan pasti akan habis dengan setiap tanah bermilik atau
berpenghuni karena semakin banyaknya penduduk Indonesia. Bisa jadi
lama-kelamaan tanah kita habis dan semua untuk dimanfaatkan sudah tidak ada
lahan yang kosong atau terlantar.
Maka dari itu, diperlukan suatu peraturan hukum atau kaedah hukum yaitu
peraturan hidup kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk
menjamin tata tertibdalam masyarakat. Hukum tersebut haruslah berupa hukum yang
jelas demi memberi kepastian hukum untuk pemilik-pemilih sah dari tanah-tanah
tertentu. Dengan begitu merupakan salah satu cara untuk meminimalisasi
konflik-konflik dari masyarakat maupun dari pemerintah yang dilator belakangi
oleh sengketa tanah.
B.
Rumusan Masalah
Di dalam makalah ini, terdapat beberapa hal yang
akan dibahas untuk kelengkapan suatu tulisan yang dibuat oleh penulis.
1. Pengertian dari Hukum
Agraria,
2. Pengertian dari sengketa
tanah,
3. Contoh dalam masyarakat
secara nyata,
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah demi mendapatkan
suatu ilmu yang berharga untuk pengalaman dari contoh kasus-kasus yang terjadi
di masyarakat. Dengan makalah ini lah penulis bisa lebih mengerti akan suatu
hal yang terjadi dalam masyarakat sekarang ini yaitu mengenai sengketa tanah
dengan pihak pemerintah atau lembaga negara. Bagaimana hal tersebut bisa
terjadi, maupun langkah hukum yang dilakukan akan dibahas di makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum Agraria
Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam
bahasa latin agre berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti
persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia
agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan
tanah, dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan
usaha pertanian, sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi
bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung didalamnya.
Hukum agraria secara sempit ialah bidang hukum yang
mengatur yang mengatur mengenai hak-hak penguasaan tanah.
Pengertian hukum agraria secara luas adalah sekelompok
bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber
daya alam tertentu yang meliputi;
·
Hukum tanah, yaitu bidang hukum yang mengatur penguasaan atas
tanah(permukaan bumi),
·
Hukum air (hukum pengairan), yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas air,
·
Hukum pertambangan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan
atas bahan-bahan galian,
·
Hukum kehutanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan
atas hutan dan hasil hutan,
·
Hukum perikanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan
atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air,
·
Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa, yaitu
bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam
ruang angkasa.
B.
Pengertian
sengketa tanah
Sengketa pertanahan adalah proses interaksi
antara dua orang atau lebih atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan
kepentingannya atau objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang juga udara yang berada
dibatas tanah yang bersangkutan.
Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari
suatu sengketa tanah antara lain :
1. Masalah yang menyangkut
prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang
berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.
2. Bantahan terhadap sesuatu
alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak.
3. Kekeliruan / kesalahan
pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar.
4. Sengketa atau masalah lain
yang mengandung aspek-aspek social.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka konflik pertanahan
sesungguhnya bukanlah hal baru. Namun dimensi konflik makin terasa meluas di
masa kini bila dibandingkan pada masa kolonial. Beberapa penyebab terjadinya
konflik pertanahan adalah :
1. Pemilikan/Penguasaan tanah
yang tidak seimbang dan tidak merata;
2. Ketidakserasian penggunaan
tanah pertanian dan tanah nonpertanian;
3. Kurangnya keberpihakan
kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;
4. Kurangnya pengakuan terhadap
hak-hak masyarakat adat atas tanah (hak ulayat);
5. Lemahnya posisi tawar
masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah.
Mengenai konflik pertanahan adalah merupakan bentuk ekstrim
dan keras dari persaingan. Secara makro sumber konflik besifat struktural
misalnya beragam kesenjangan. Secara mikro sumber konflik/sengketa dapat timbul
karena adanya perbedaan/benturan nilai (kultural), perbedaan tafsir mengenai
informasi, data atau gambaran obyektif kondisi pertanahan setempat (teknis),
atau perbedaan/benturan kepentingan ekonomi yang terlihat pada kesenjangan
struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Masalah tanah dilihat dari segi
yuridis merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya. Timbulnya sengketa
hukum tentang tanah adalah bermula dari pengaduan satu pihak (orang/badan) yang
berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap
status tanah ataupun prioritas kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh
penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang
berlaku.
Menurut Maria S.W. Sumardjono secara garis besar peta
permasalahan tanah dikelompokkan yaitu :
1. Masalah penggarapan rakyat
atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek perumahan yang ditelantarkan dan
lain-lain.
2. Masalah yang berkenaan
dengan pelanggaran ketentuan Landerform
3. Ekses-ekses penyediaan tanah
untuk keperluan pembangunan
4. Sengketa perdata berkenaan
dengan masalah tanah
5. Masalah yang berkenaan
dengan hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.
Melihat penjelasan di atas, maka alasan sebenarnya yang
menjadi tujuan akhir dari sengketa bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang
lain atas tanah yang disengketakan oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum
terhadap sengketa tanah tersebut tergantung dari sifat permasalahannya yang
diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum
diperoleh sesuatu keputusan.
Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan
masyarakat Indonesia yang bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam
kehidupan masyarakat Indonesia telihat dan tercermin dalam sikap bangsa Indonesia
sendiri yang juga memberikan penghormatan kepada kata tanah, dengan penyebutan
istilah seperti Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah pusaka dan sebagainya.
Bahkan dalam UUPA juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia
dengan tanah (Pasal 1 ayat (3) UUPA).
Tanah tidak hanya sebagai tempat berdiam, juga tempat
bertani, lalu lintas, perjajian, dan pada akhirnya tempat manusia dikubur. Akan
tetapi, selama kurun waktu 52 tahun usia Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960, masalah tanah bagi manusia
tidak ada habis-habisnya. Konflik pertanahan ini ditimbulkan karena laju
penduduk yang sangat signifikan. Berdasarkan laju penduduk tersebut, maka
menyebabkan kebutuhan penduduk akan tanah seperti untuk pembangunan dan
pengembangan wilayah pemukiman, industri maupun pariwisata juga terus
bertambah, sedangkan ketersediaan tanah itu tidak bertambah atau lebih tepatnya
bersifat tetap, sehingga mengakibatkan konflik-konflik pertanahan secara
horizontal maupun vertikal sering terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa
penyebab terjadinya konflik di bidang pertanahan antara lain adalah
keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah,
ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna
penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Maka
dari itu, untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan penduduk akan tanah terhadap
tanah yang bersifat tetap, maka pemerintah berupaya mengoptimalkan peruntukan
dari penggunaan tanah dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengeluarkan
berbagai bentuk peraturan pertanahan seperti peraturan penyediaan tanah untuk
kepentingan perorangan dan Badan Hukum atas tanah-tanah Negara dan/atau atas
tanah-tanah hak.
Namun dalam kenyataannya, bagi bangsa Indonesia
salah satu masalah pokok hingga kini belum mendapat pengaturan yang tuntas
adalah masalah tanah. Permasalahan tanah yang dari segi empiris sangat lekat
dengan peristiwa sehari-hari, tampak semakin kompleks dengan terbitnya berbagai
kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era
perdagangan bebas.
Munculnya berbagai konflik atau sengketa pertanahan
tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah yang banyak
bersifat ad hoc, inkonsisten dan ambivalen antara satu kebijakan dengan yang
lain, atau bahkan tidak jarang berbau politis. Struktur hukum tanah menjadi
tumpang tindih. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang
awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi
tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan
diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral. Perbedaan antara
undang-undang itu tidak hanya dapat memberikan peluang pada perbedaan interpretasi
para birokrat, tetapi juga secara substansial undang-undang tersebut tidak
integratif.
Sebagai contohnya banyak konflik-konflik dari sengketa
tanah itu misalnya sengketa tanah oleh lembaga negara dengan masyarakat,
misalnya antara TNI dan masyarakat. Dengan memiliki bekal bahwa TNI adalah ijin
latihan dan menganggap tanah itu tanah negara dan mereka juga menjalankan tugas
negara maka mereka sangat kuat untuk mengambil tanah itu tetapi dari masyarakat
juga dikuatkan dari faktor sejarah yang dari turun-temurun keluarganya sudah
memakai tanah tersebut.
C.
Contoh Dalam
Masyarakat Tentang Sengketa Tanah Yang Terjadi
Yang pertaman yaitu konflik pertanahan yang terjadi
akhir-akhir ini, terutama dalam 13 tahun terakhir sejak reformasi bergulir,
cukup banyak yang melibatkan warga dan TNI. Salah satu persoalan sengketa tanah
antara warga dan anggota TNI tersebut yaitu terjadi antara warga Desa
Harjokuncaran dengan Pusat Koperasi Angkatan Darat KODAM V Brawijaya terhadap
lahan di Desa Harjokuncaran, Kecamatan Sumber Majing, Kabupaten Malang,
Jawa Timur. Sejauh pemberitaan di media sampai saat ini belum mencapai titik
penyelesaian. Warga mengklaim lahan tersebut milik warga setempat,
sementara TNI menyatakan milik negara. Akibat peristiwa tersebut,
sebanyak 8 warga menjadi korban, sementara 5 personel TNI AD mengalami luka di
kepala.
Sengketa warga Harjokuncaran dengan TNI sudah berlangsung
sekitar 34 tahun. Konflik itu juga sudah memakan korban berkali-kali. Lahan
yang menjadi sengketa tersebut awalnya bekas perkebunan karet C.O. Telogorejo
milik Belanda. Begitu Belanda hengkang dari Indonesia, para petani menggarap
lahan seluas sekitar 1.118 hektare itu. Pada 1964-1973, tanah yang digarap
warga dan masuk wilayah Harjokuncaran dijadikan obyek land reform.
Harjokuncaran resmi menjadi desa definitif pada 1974 lewat surat keputusan
Gubernur Jawa Timur. Wilayahnya dinyatakan seluas 650 hektare yang diambil dari
tanah perkebunan.
Persoalan terjadi saat Kodam Brawijaya mengklaim tanah yang
selama ini digarap dan dihuni warga itu sebagai milik mereka. Dasar hukumnya
Surat Keputusan Menteri Pertanian 2 Juni 1973, yang menyerahkan perkebunan
Telogorejo kepada mereka. Menurut juru bicara Kodam, Letnan Kolonel Totok
Sugiharto, Kodam juga sudah membayar uang ganti rugi ke negara untuk
pengambilalihan tanah tersebut. akan tetapi warga menolak klaim tersebut.
Mereka menunjuk dasar kepemilikan Kodam cacat hukum. Menurut Fathurozi,
warga Harjokuncaran-lah pemilik sah lahan tersebut. Dia menunjuk Surat
Keputusan Direktorat Jenderal Agraria 1 Desember 1981, yang menyatakan tanah
sengketa itu obyekland reform dengan verponding (tanda hak
milik zaman Belanda) yang seharusnya diberikan kepada warga di Desa
Harjokuncaran. Desa ini memiliki empat dusun: Banaran, Wonosari, Margomulyo,
dan Mulyosari.
Sementara itu, TNI yang merupakan lembaga pemerintah di
bawah Departemen Pertahanan yang bertugas sebagai alat utama sistem pertahanan
negara dalam melaksanakan tugasnya TNI memerlukan sumber daya alam. Yang
dimaksud sumber daya alam dalam hal ini adalah potensi yang terkandung dalam
bumi, air, dan dirgantara yang dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan
negara. Salah satu sumber daya alam yang penting adalah tanah. Tanah merupakan
unsur yang digunakan untuk pembangunan kekuatan pertahanan yang meliputi
perkantoran, tempat latihan, dan tempat beraktivitas bagi kegiatan pertahanan
negara.
Sebagaimana tertuang didalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3
tahun 2002 tentang pertahanan negara disebutkan bahwa pertahanan negara
mempunyai komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung dalam
pelaksanaannya. Komponen utama pertahanan negara adalah Tentara Nasional
Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan.
Sedangkan komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan
untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan
dan kemampuan komponen utama. Komponen pendukung adalah sumber daya nasional
yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama
dan komponen cadangan. Sedangkan sumber daya nasional adalah sumber daya
manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan.
Sementara itu, permasalahan yang terjadi diakibatkan oleh
belum optimalnya pelaksanaan administrasi pertanahan di Indonesia serta
ketidakpahaman pihak masyarakat dan pihak TNI mengenai sumber hukum pertanahan
yang berlaku di Indonesia khususnya tentang hak atas tanah. Pihak masyarakat
tidak mengetahui pengaturan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang diatur dalam
Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria,
atau yang dikenal dengan istilah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) sebagai
salah satu hukum pertanahan nasional.
Pada dasarnya baik pihak TNI maupun pihak masyarakat
menggunakan satu sumber peraturan pertanahan yang sama yaitu UUPA, namun pada
pelaksanaannya masih terdapat perbedaan penafsiran atas peraturan tersebut yang
mengakibatkan munculnya konflik tanah yang menimbulkan korban dari kedua belah
pihak. Untuk menghindari konflik pertanahan yang terjadi antara TNI dan
masyarakat umum ini, maka perlu dilaksanakan identifikasi status tanah TNI
terlebih dahulu dalam hukum pertanahan nasional yang mengatur seluruh hak atas
tanah TNI. Disamping itu, untuk memperkuat bukti hukum atas penggunaan tanah
TNI tersebut maka TNI memerlukan suatu bukti hukum hak atas tanah yang
digunakannya.
Contoh sengketa yang kedua yaitu sama dengan kasus yang
diatas yaitu antara TNI Angkatan Udara Pangkalanbun, Kotawaringin Barat,
Kalimantan Tengah dengan bupati Ujang Iskandar. Memperebutkan tanah seluas 30,2
hektar yang berada di sekitar tanah milik Lanud Iskandar Pangkalanbun.
Dengan sengketa yang dari pertengahan tahun 2012 setelah
bupati ujang diangkat dan setelah kerusuhan yang terjadi, tanah sengketa ini
akan dibangun sebuah kompleks pertokoan, tetapi ternyata sudah ada yang
memiliki lebih dahulu yaitu TNI dengan akta tanah tahun 1980an serta terdapat
beberapa patok tanah yang masih menancap milik Lanud. Karena keadaan lokasi
yang semi hutan, di Kalimantan itu kebanyakan tanah bentuknya yaitu seperti
hutan dan seperti alam liar yang tidak ada yang mengurusnya.
Karena pemanfaatan yang kurang dari pihak TNI AU, tanah
sengketa menjadi seperti tanah terlantar dan di daftarkan kepada sekertaris
PPAT dan mendapat nomor pendaftaran akta tanah tahun 2005 tanpa melihat secara
langsung di lokasi yang di sengketakan tersebut. Kesalahan pada masalah ini
yaitu tentang pendaftarannya dari pihak pembuat akta tanah yang tidak serta
merta mengecek lahan yang menjadi sengketa ke lapangan secara langsung. Dengan
kelalaian tersebut maka terjadilah pemilik ganda dari tanah tersebut.
Tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian
hukum dan kepastian hak atas tanah. Dengan diselenggarakannya pendaftaran
tanah, maka fihak-fihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status
atau kedudukan hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan
batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang ada diatas
tanahnya.
Dengan begitu maka cara untuk mendaftarkan tanah sudah
benar yaitu melalui notaris didaftarkan melalui kantor pendaftaran tanah
setempat tetapi pegawai pembuat akta tanah tersebut kurang cermat dalam
pembuatan serta tidak teliti dalam mengecek apakah tanah itu sudah ada yang
punya atau belum, begitu juga pihak lanud yang tidak serta merta dengan merawat
tanah tersebut dan alasannya yaitu mereka memiliki tanah yang sangat luas dan
belum mampu untuk selalu merawat tanahnya. Tetapi sering tanah-tanah tersebut
dibuat latihan bagi para prajurit TNI AU yang bertugas.
Dengan alasan yang kuat dari pihak lanud yaitu tanah akan
digunakan sebagai lahan untuk latihan prajurit tentara serta mereka juga
melaksanakan tugas negara sudah ada kewajiban untuk menggunakannya karena
merupakan amanah dari negara untuk memperkuat kesatuan wilayah Indonesia.
Akirnya pihak dari TNI menggugat di pengadilan untuk memperkarakan secara hukum
sengketa tanah ini.
Hak atas tanah yang dilekatkan pada tanah-tanah yang
dimanfaatkan oleh TNI adalah hak pakai. Pasal 41 UUPA menerangkan definisi hak
pakai, yaitu hak menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yangditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu
asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu
atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, dengan
cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak
pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Jangka waktu hak pakai ini diterangkan dalam Pasal 43 UUPA,
yaitu:
·
Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh negara maka hak pakai hanya
dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang berwenang.
·
Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak
lain,jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
·
TNI merupakan lembaga pemerintah dibawah Departemen Pertahanan, hak
atas tanah-tanah yang digunakan untuk kepentingan TNI adalah hak pakai.
Hak pakai adalah suatu hak benda dari seoarang yang telah
ditentukan yang dibebankan atas benda orang lain, untuk “dengan memelihara
bentuk dan sifatnya serta selaras dengan maksudnya“ memakai sendiri benda itu
dan mengambil hasil-hasilnya jika ada, akan tetapi sekedar buat keperluan
sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam menyingkapi setiap
permasalahan pertanahan kita harus mengidentifikasi terlebih dahulu tanah
tersebut termasuk hak atas tanah apa, serta siapa subyeknya. Proses
identifikasi itu penting, karena memberikan konsekuensi hukum yang berbeda-beda
pada masing-masing Hak Atas Tanah. Hal ini tentunya berguna untuk dalam
penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri. Dalam sengketa tanah antara Sipil
dengan TNI maka, di sini jelaslah bahwa TNI sebagai lembaga atau institusi
tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah. Namun sebagai Warga Negara
Indonesia, anggota TNI boleh mempunyai hak milik atas tanah. Sebagai lembaga
atau institusi, TNI hanya boleh mempunyai hak pakai atas tanah sebagai mana
diatur dalam Pemanfaatan Tanah oleh TNI. Kemudian penentuan di setiap keputusan
Pengadilan Negeri dalam setiap sengeketa tanah antara Sipil dengan TNI, sudah
seharusnya hakim memperhatikan kepentingan umum. Alapagi, apabila sengketa
tersebut yang melibatkan TNI yang notabene dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3
tahun 2002 tentang pertahanan negara menyebutkan bahwa tanah merupakan komponen
utama dalam pertahanan negara. Pasal ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan
bagi keputusan hakim. Hal ini bertujuan agar isi amar putusan hakim tidak
merugikan para pihak yang bersengketa.
Tanah milik negara digunakan demi kepentingan negara,
begitu juga dengan kasus diatas yang merupakan sengketa dengan masyarakat
tetapi hukum itu milik negara dan haruslah kembali pada negara dengan
berlandaskan untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian, Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan
Pendaftarannya, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2009
H. Ali, Achmad C., Hukum Agraria(pertanahan
Indonesia) jilid 1, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2004
Boedi, Harsono, Hukum Agaria Indonesia; Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,isi dan pelaksanaannya, Jakarta:
penerbit Djambatan, 2005
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986
Efendi, Perangin, Hukum Agraria di Indonesia,
Jakarta: Rajagrafindo Persada; 1994
Mahfud ,Moh. MD, Politik Hukum di Indonesia,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012
Maria, Rita R., Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Maria, SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009
Soedigdo, Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia,
Jakarta: Penerbit Bhratara, 1970
Urip, Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah,
Jakarta: Prenada Media, 2005
0 komentar:
Post a Comment