Makalah Ilmu Hukum tentang Penemuan dan Penafsiran Hukum
Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015

Makalah Penemuan dan Penafsiran Hukum


KATA PENGANTAR


            Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Ilmu Hukum pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini penulis mengangkat judul Sumber-sumber Hukum”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.


Wassalam
Penulis,


KELOMPOK 5


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR............................................................................................             i
DAFTAR ISI............................................................................................................             ii

BAB I       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...................................................................................            1
B.    Rumusan Masalah..............................................................................             1
C.    Tujuan penulisan................................................................................             1

BAB II       PEMBAHASAN
A.    Macam-macam sumber hukum nasional Indonesia............................            2
B.     Hirarki peraturan perundang-undangan Indonesia............................            6

BAB III    PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................             11

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................            12





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
           Menurut UUD 1945 pasal 15c ayat 1 “presiden memegang kekuasaam membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dwan Perwakilan Rakyat (DPR), jika suatu rancangan Undang-Undang yang diajukan presiden (pemerintah) tidak mendapat persetujuan DPR, maka rancangan tadi tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu (pasal 20 ayat 2 UUD-1945).
           Tetapi dikarenakan terlalu lamanya  UU itu disahkan maka keputusan hakim juga diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan demikian telah diakui, bahwa pekerjaan hakim merupakan salah  satu faktor pembentukan hukum.

B.     Rumusan Masalah
1.      Menjelaskan tentang penemuan hukum
2.      Menjelaskan tentang penafsiran hukum

C.    Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah disamping untuk memenuhi tugas dalam perkuliahan juga agar kami khususnya dan semua mahasiswa pada umumnya mampu memahami penemuan dan penafsiran hukum.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penemuan Hukum
            Penemuan hukum, pada hakekatnya mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.
Penemuan hukum termasuk kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum pajak. Ia adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum. Dalam menjalankan profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat keputusan-keputusan hukum, berdasarkan hasil analisanya terhadap fakta-fakta yang diajukan sebagai masalah hukum dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum positif. Sementara itu, sumber hukum utama yang menjadi acuan dalam proses analisis fakta tersebut adalah peraturan perundangan-undangan. Dalam hal ini yang menjadi masalah, adalah situasi dimana peraturan Undang-undang tersebut belum jelas, belum lengkap atau tidak dapat membantu seorang ahli hukum dalam penyelesaian suatu perkara atau masalah hukum. Dalam situasi seperti ini, seorang ahli hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan perkara tersebut. Artinya, seorang ahli hukum harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Seorang ahli hukum harus mampu berperan dalam menetapkan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan hukum, walaupun peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya.
Tindakan seorang ahli hukum dalam situasi semacam itulah yang dimaksudkan dengan pengertian penemuan hukum atau Rechtsvinding. Dalam proses pengambilan keputusan hukum, seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama, diantaranya yaitu :
a.       Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.
b.      Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan perkembangan didalam masyarakat.
Penemuan hukum merupakan pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit, juga merupakan proses konkretisasi atau individualis peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu, jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit.
Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia. Upaya yang semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia ialah hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum sendiri dapat berlangsung secara damai, normal tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan. Dalam hal penegakan hukum tersebut, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan.
Tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya juga akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan. Dan kadang undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen scripta).
Berbicara tentang hukum pada umumnya, kita (masyarakat) hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaidah atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi para praktisi. Sedang kita sadar bahwa undang-undang itu tidaklah sempurna, undang-undang tidaklah mungkin dapat mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau ada kalanya undang-undang tersebut tidak jelas. Tidak hanya itu, dalam Al-Qur’an sendiri yang merupakan rujukan kita (umat Islam) dalam menentukan hukum akan suatu peristiwa yang terjadi, ada kalanya masih memerlukan suatu penafsiran (interpretasi), pada masalah-masalah yang dianggap kurang jelas dan dimungkinkan (terbuka) atasnya untuk dilakukan suatu penafsiran.
Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak hukum (hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang. Olehnya, karena undang-undang yang mengatur akan peristiwa kongkrit tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka dalam hal ini penegak hukum (hakim) haruslah mencari, menggali dan mengkaji hukumnya, hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum ini memang pada umumnya dipusatkan sekitar “hakim”, oleh karena dalam kesehariannya ia senantiasa dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikannya, jadi sifatnya konfliktif. Dan hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum serta dituangkan dalam bentuk putusan. Di samping itu pula hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan sumber hukum. Penemuan hukum itu sendiri lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit. Atau lebih lanjutnya dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu.
Dari abstraksi pemikiran yang dikemukakan di atas, terdapat beberapa hal atau faktor serta alasan yang melatarbelakangi perlunya suatu analisis terhadap prosedur penemuan hukum oleh hakim dalam proses penyelesaian perkara terutama pada tahap pengambilan keputusan, antara lain sebagai berikut :
1.      Bahwa kegiatan kehidupan manusia ini sangatlah luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia, sehingga tak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas maka harus dicari dan ditemukan.
2.      Perhatian dan kesadaran akan sifat dan tugas peradilan telah berlangsung lama dan ajaran penemuan hukum, ajaran penafsiran hukum atau metode yuridis ini dalam abad ke 19 dikenal dengan hermeneutic yuridis (hermeneutika), namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan penerapannya.
3.      Munculnya suatu gejala umum, yakni kurangnya serta menipisnya rasa kepercayaan sebagian “besar” masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Gejala ini hampir dapat didengar dan dilihat, melalui berbagai media yang ada. Menurut hemat peneliti gejala ini lahir tidak lain adalah karena terjadinya suatu ketimpangan dari apa yang seharusnya dilakukan/diharapkan (khususnya dalam proses penegakan hukum) dengan apa yang terjadi dalam kenyataannya.
4.      Kaitannya dengan gejala umum di atas, dari mekanisme penyelesaian perkara (kasus) yang ada, tidak jarang hakim selaku penegak hukum menjatuhkan putusan/vonis terhadap kasus yang tanpa disadari telah melukai rasa keadilan masyarakat disebabkan karena terlalu kaku dalam melihat suatu peraturan (bersifat normative/positivistik) tanpa mempertimbangkan faktor sosiologis yang ada. Salah satu contoh yang masih hangat dimemori kita pada awal bulan yang lalu yakni divonis bebasnya beberapa kasus korupsi (koruptor) kelas kakap yang nyata-nyata telah merugikan Negara.
Alasan yang lain yang tentunya sangat terkait dengan kajian ini yakni melihat bagaimana seorang hakim melakukan penemuan hukum dalam tugas dan tanggung jawabnya yang sudah menjadi kewajiban melekat pada profesinya serta sejauhmana hal itu dapat mewarnai dalam setiap putusan yang dilahirkan.
Kegunaan Penemuan Hukum
Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga didalam masyarakat. Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa :
a.       Adakalanya pembuat Undang-undang sengaja atau tidak sengaja menggunakan istilah-istilah atau pengertian pengertian yanga sangat umum sifatnya, sehingga dapat diberi lebih dari satu pengertian atau pemaknaan.
b.      Adakalanya istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di dalam peraturan perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan didalam masyarakat.

B.     Penafsiran Hukum
           Dengan adanya kodifikasi, hukum itu lalu menjadi beku, statis, sukar berubah. Adapun yang selalu melaksanakan kodifikasi hukum ialah hakim, karena dialah yang berkewajiban menegakkan hukum di tengah-tengah masyarakat.
           Walaupun kodifikasi telah diatur selengkap-lengkapnya, namun tetap juga kurang sepurna dam masih terdapat banyak kekurangan-kekurangannya, hingga menyulitkan dalam pelaksaannya. Hal ini disebabkan waktu kodiufikasi dibuat, ada hal-hal atau benda-benda yang belum ada atau belum dikenal, misalnnya listrik.
           Aliran listrik sekarang dianggap juga benda, sehingga barang siapa dengan sengaja menyambung aliran listrik tanpa izin yang berwajib, termasuk perbuatan yang melanggar hukum, yaitu tindak pidana pencurian.
             Oleh karena hukum bersifat dinamis, maka hakim sebagai penegak hukum hanya memendang kodifikasi sebagai suatu pedoman agar ada kepastian hukum, sedangkan dalam memberi keputusan hakim juga harus mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
          Dengan demikian maka terdapat keluwesan hukum (rechtslenigheid)  sehingga hukum kodifikasi berjawa hidup yang dapat mengikuti perkembangan jaman. Ternyatalah untuk memberi putusan seadil-adilnya seorang hakim harus mengingat pula adat-kebiasaan, jurisprudensi, ilmu pengetahuan dan akhirnya mendapat hakim sendiri ikiu menentukan; dan untuk itu perlu diadakan penafsiran hukum.
Ada beberapa macam penafsiran, antara lain:
1.      Penafsiran tata bahasa (grammatikal),
           Yaitu cara penafsiran berdasarkan berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang di pakai oleh undang-undang; yang dianut ialah semata-mata arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan ,yakni arti dalam pemakaian sehari-hari. Sebagai contoh dapat dikemukakan hal yang berikut: suatu peraturan perundangan melarang orang memparkir kendaraannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan istilah “kendaraan” itu.
        Orang lalu bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan “kendaraan” itu, hanyalah kendaraan bermotorkah ataukah termasuk juga sepeda dan bendi.   Seringkali keterangan kamus bahasa belum mencukupi. Hakim harus pula mencari kata yang bersangkutan dalam susunan kata-kata kalimat atau hubungannya dengan peraturan-peraturan lain.
         Contoh lain dalam Jurisprudensi Negeri Belanda adalah sebagai berikut: Pasal 1140 KUHS memberikan hak mendahului (privilege) kepada seorang yang menyewakan rumah terhadap segala barang perabot rumah yang terdapat dalam rumah sewaan itu. Hal ini berarti, jika si penyewa menunggak (yaitu tidak membayar) uang sewa, dan pada suatu waktu dilakukan penyitaan atas barang-barang perabot rumah tersebut, maka si pemilik rumah harus di bayar  terlebih dahulu daripada penagih-penagih hutang lainnya daru uang pendapatan lelangan barang-barang tersebut untuk melunasi uang sewa yang belum di bayar:  Dalam kalimat terakhir dalam pasal 1140 ditegaskan: “tidak peduli apakah barang narang perabot rumah tersebut kepunnyaan pemilik rumah tersebut atau bukan.”
         Timbullah pertanyaan, apakah pasal 1140 KUHS  itu juga berlaku walaupun orang yang menyewakan rumah itu sejak semula, yakni semenjak diadakannya perjanjian sewa-menyewa, sudah mengetahui bahwa barang itu bukan milik si penyewa sendiri? Dalam kasus seperti ini, Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) dalam putusannya tanggal 17 april 1938 telah menjawab “iya,” dengan mengambil pedoman “art perkataan-perkataan” sebagaimana dipakai dalam undang-undang.
2.      Penafsiran sahih, (autentik, resmi)
           Ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh Pembentukan Undang-Undang, misalnya pasal 98 KUHP: ”malam” berari waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; pasal 101 KUHP: “ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi (periksa KUHP buku I Titel IX).

3.      Penafsiran historis, yaitu:
a.       Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah hukum tersebut, sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan  perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan.
b.      sejaran undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk undang0undang pada waktu membuat undang-undang itu misalnya didenda f 25,-, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik Indonesia, sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP itu dibuat.
4.      Penafsiran sistematis, (dogmatis)
         Ialah penafsiran penilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang lain misalnya “asas monogami” tersebut di pasal 27 KUHP menjadi dasar pasal-pasal 34, 60, 64, 84, KUHS dan 279 KUHS.

5.      Penafsiran Nasional
           Ialah penafsiran menilik sesuai tidanya dengan sistem hukum yang berlaku misalnya hak-milik pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia (Pancasila).
6.      Penafsiran teleologis, (sosiologis)
        Yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. Ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi undang-undang tetap sama saja.
7.      Penafsiran ekstensif
Yaitu memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukannya seperti “aliran listrik” termasuk juga “benda”.
8.      Ipenafsiran restriktif
          Ialah penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu, misalnya “kerugian’ tidak termasuk kerugian yang “tak terwujud” seperti sakit, cacat dan sebagainya.
9.      Penafsiran analogis
              Yaitu memberi tafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya “menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik.
10.  Penafsiran a contrario (menurut peringkaran)
          Ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang di atur dalam suatu pasal undang-undang. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal tersebut.
         Contoh: pasal 34 KUHS menetukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Timbullah kini pertanyaan, bagaimanakah halnya dengan seorang laki-laki? Apakah seorang laki-laki juga harus menunggu lampaunya waktu 300 hari?
          Jawaban atas pertanyaan ini ialah “tidak” karena pasal 34 KUHS tidak menyebutkan apa-apa tentang laki-laki dan khusus ditujukan bagi perempuan.
        Maksud “waktu menunggu” dalam pasal 34 KUHS ialah untuk mencegah adanya keragu-raguan mengenai kedudukan sang anak, berhubung dengan kemungkinan bahwa seorang perempuan sedang mengandung setelah perkawinannya diputuskan. Jika dilahirkan anak setelah perkawinan yang berikutnya, maka menurut undang-undang anak itu adalah anak suaminya yang terdahulu (jika anak itu lahir sebelum lewat 300 hari setelah putusnya perkawinan terdahulu). Ditetapkan waktu 300 hari karena waktu itu di anggap sebagai waktu kandunag yang paling lama.






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
          Penemuan hukum, pada hakekatnya mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret.
Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga didalam masyarakat.
Ada beberapa macam penafsiran, antara lain:
1.      Penafsiran tata bahasa (grammatikal),
2.      Penafsiran sahih, (autentik, resmi)
3.      Penafsiran historis, yaitu:
4.      Penafsiran sistematis, (dogmatis)
5.      Penafsiran Nasional, dsb

  



DAFTAR PUSTAKA


CST Kanzil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum indonesia ,Jakarta :Pradnya Paramita,1990
R.Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta :Rajawali Press,2001
DR.Chairul Anwar,S.H.Dasaar-Dasar Ilmu Hukum


0 komentar:

Post a Comment

 
Top