Disusun Oleh Muazzin S.H.I
alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA
PENGANTAR
Segala
puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan
keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan
kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu
pengetahuan.
Dalam
rangka melengkapi tugas dari mata kuliah pada Program Studi Ekonomi Syari’ah IAI
AL-AZIZIYAH dengan ini penulis mengangkat judul “Wakaf”
Dalam
penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
KELOMPOK 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang...................................................................................
1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan penulisan ............................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
wakaf dan dasar hukum wakaf ....................................... 2
B.
Macam-macam
wakaf ....................................................................... 6
C.
Syarat dan rukun
wakaf .................................................................... 7
D.
Hikmah dan
manfaat wakaf dalam kehidupan ................................. 9
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................
11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber
utama institusi wakaf adalah Alquran. Walaupun dalam Alquran, kata wakaf yang
bermakna memberikan harta tidak ditemukan sebagaimana zakat, tetapi merupakan
interprestasi ulama mujtahid terhadap ayat-ayat yang membicarakan pendermaan
harta berupa sedekah dan amal jariah.
Diantara ayat-ayat tersebut; QS. Ali Imran (3) : 92 dan QS.
Al-hajj (22) : 77, para ulama memahami ayat-ayat tersebut sebagai ibadah wakaf.
Diantara mufassir itu ditemukan dalam Tafsir Al-Manar karangan Muhammad Rasyid
Ridha. Kendatipun di dalam Alquran terdapat kata-kata wakaf ditemui sebanyak
empat kali; yaitu pada QS. Al-an’am (6) : 27 dan 30, QS. Saba’ (34) : 31, QS.
Al-saffat (37) : 24, tetapi wakaf dalam ayat-ayat tersebut bukan bermakna wakaf
sebagai pemberian. Tiga ayat pertama berarti mengedepakan sedangkan ayat
keempat bermakna berhenti atau menahan. Konteks pembicaraan dalam ayat ini
adalah proses ahli neraka yang akan dimasukkan kedalam neraka. Meski demikian,
Alquran dapat dikatakan sebagai sumber utama perwakafan.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian Wakaf
dan Dasar Hukum Wakaf ?
2.
Apa saja Macam-macam
Wakaf ?
3.
Apa Syarat dan Rukun
Wakaf ?
4.
Bagaimana Hikmah dan
Manfaat Wakaf dalam Kehidupan ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui Wakaf dan Dasar Hukum Wakaf
2.
Untuk mengetahui Macam-macam Wakaf
3.
Untuk mengetahui Syarat dan Rukun Wakaf
4.
Untuk mengetahui Hikmah dan Manfaat Wakaf dalam Kehidupan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakaf
dan Dasar Hukum Wakaf
1.
Pengertian Wakaf
Menurut bahasa wakaf
berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan) , al-tasbil (tertawan) dan al-man’u (mencegah) .[1] Perkataan wakaf yang
menjadi bahasa Indonesia, berasal dari bahsa Arab dalam bentuk masdar atau
kata yang dijadikan kata kerja atau fi’il waqafa. Kata kerja atau
fi’il waqafa ini adakalanya memerlukan objek (muta’addi).
Dalam perpustakaan sering ditemui sinonim waqf ialah habs Waqafa dan habasa
dalam bentuk kata kerja yang bermakna menghentikan dan menahan atau berhenti di
tempat.[2]
Sedangkan menurut
istilah syara, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil
manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal
zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan,
tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
a. Menurut mazhab syafi’i
dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di
segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai
taqarrub kepada Allah ta’alaa.
b. Menurut imam Abu Hanafi
adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan
bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada
orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka
harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih
hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik
untuk dijual atau dihibahkan.
c. Menurut mazhab Maliki
adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya
tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat.
d. Menurut Peraturan
Pemerintah / PP No.41 tahun 2004 adalah perbuatan
hukum wakif untuk memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan
selamanya atau dalam jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan
ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dari definisi tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam
pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap
utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang
tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, misalnya tanah,
bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk
masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
Hukum wakaf sama dengan
amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma
(sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang
berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda
yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah.
Harta yang diwakafkan
tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf
tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum
sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya
Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada
Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan
tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan
sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan
tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan
tidak pula diwariskan.”(HR Bukhari dan Muslim).
2. Dasar Hukum Wakaf
Dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari :
a. Ayat Al-Quran, antara
lain :
(#qè=yèøù$#ur uöyø9$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? ) ÇÐÐÈ
Artinya: “Perbuatlah kebajikan,
supaya kamu mendapatkan kemenangan”(QS: al-hajj: 77)
`s9
(#qä9$oYs?
§É9ø9$#
4Ó®Lym
(#qà)ÏÿZè?
$£JÏB
cq6ÏtéB
4
$tBur
(#qà)ÏÿZè?
`ÏB
&äóÓx«
¨bÎ*sù
©!$#
¾ÏmÎ/
ÒOÎ=tæ
ÇÒËÈ
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai
kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta
yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah
mengetahuiny” (QS: al-imran: 92).
b. Sunnah Rasulullah SAW.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَ :
أَصَابَ عُمَرَ أَرْضًا بِخَـيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَسْـتَأْمِرُ فِيْهَا فَقَالَ :يَارَسُوْلُ
الله إِنِّي أُصِـبْتُ أَرْضًا بِخَـيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطٌّ هُوَ
أَنْفَسُ عِنْدِيْ مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُنِيْ بِهِ . فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ الله صلّى الله عليه وسلّم ، إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ اَصْلَهَا
وَتَصَدَّقْتَ بِهَا فَتَـصَـدَّقَ بِهَا عُمَرُ، أَنَّهَا لاَتُبَاعُ وَلاَتُوْهَـبُ
وَلاَتُوْرَثُ .قَالَ
وَتَـصَـدَّقَ بِهَا فِي الْفُـقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي
سَبِيْلِ الله وَاِبْنُ السَّبِيْلِ وَالضَّيْفِ لاَجُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيُّهَا
أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَـعْرُوْفِ وَيُـطْعِمُ غَيْرَ
مُتَـمَوِّلٍ
Artinya: "Dari Ibnu Umar ra. berkata : 'Bahwa sahabat Umar ra.
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah
saw. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: "Hai Rasulullah saw., saya
mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu,
maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?" Rasulullah saw. bersabda:
"Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan
(hasilnya). "kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak
dijual, tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ibnu Umar berkata: "Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum
kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi
yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk
harta" (HR. Muslim).
Dalam sebuah hadits
lain disebutkan:
إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَـطَعَ
عَمَـلُهُ إلاَّ مِنْ ثَـلاَثٍ :صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْـتَفَعُ بِهِ، أَوْ
وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. رواه مسلم
Artinya: "Apabila anak adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya
kecuali dari tiga perkara: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak
saleh yang mendoakannya". (HR.Muslim)[3]
c. Dalil Ijma' :
Imam
Al-Qurthuby berkata: Sesungguhnya permasalahan wakaf adalah ijma (sudah
disepakati) diantara para sahabat Nabi; yang demikian karena Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, Aisyah, Fathimah, Amr ibn Al-Ash, Ibnu Zubair, dan Jabir,
seluruhnya mengamalkan syariat wakaf, dan wakaf-wakaf mereka, baik di Makkah
maupun Madinah, sudah dikenal masyhur oleh khalayak ramai. (Lihat: Tafsir
Al-Qurthuby: 6/339, Al-Mustadrah 4/200, Sunan Al-Daraquthny 4/200, Sunan
Al-Baihaqy 6/160, Al-Muhalla 9/180).
Jabir berkata:
Tiada seorangpun dari sahabat Nabi yang memiliki kemampuan dan kelapangan
rizqi, kecuali pasti pernah mewakafkannya. (Lihat: Al-Mughni 8/185, Al-Zarkasyi
4/269). Ibnu Hubairah berkata:
Mereka sepakat atas dibolehkannya wakaf. (Lihat: Al-Ifshah 2/52).
Imam Syafii
berkata: Telah sampai riwayat kepadaku bahwa ada 80 orang sahabat Nabi dari
kalangan Anshar yang mengeluarkan shadaqah dengan shadaqah mulia. Imam Syafii
menyebut wakaf dengan nama shadaqah mulia.
Imam Tirmidzi
menyatakan: Wakaf telah diamalkan oleh para ulama, baik dari kalangan sahabat
Nabi maupun yang lainnya, saya tidak melihat ada perbedaan pendapat di kalangan
ulama mutaqaddimin tentang bolehnya wakaf, baik wakaf tanah maupun wakaf yang
lainnya.” (Lihat: Sunan Tirmidzi 5/13 setelah hadits no. 1375).
B.
Macam-Macam Wakaf
Bila ditinjau dari segi
peruntukan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf dapat dibagi menjadi dua macam :
1. Wakaf Ahli (dzurri)
Yaitu wakaf yang
ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif
atau bukan. Dalam pengertian lain wakaf dzurri adalah wakaf yang di khususkan
oleh yang berwakaf untuk kerabatnya, seperti anak, cucu, saudara, atau ibu
bapaknya.[4]
Wakaf untuk keluarga
ini secara hukum Islam dibenarkan berdasarkan Hadits Nabi yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu
Thalhah kepada kaum kerabatnya. Di ujung hadits dinyatakan sebagai berikut,
yang artinya: “Aku telah mendengar
ucapanmu tentang hal tersebut. Saya berpendapat sebaiknya kamu memberikannya
kepada keluarga terderkat. Maka Abu Thalhah membagikannya untuk para keluarga
dan anak-anak pamannya”.
Dalam satu segi, wakaf
ahli (dzurri) ini baik sekali, karena si wakif akan mendapat dua
kebaikan, yaitu dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikan dari silaturrahmi
terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf.
2. Wakaf Khairi
Yaitu wakaf yang secara
tegas untuk kepentingan agama / keagamaan atau kemasyarakatan / kebajikan umum.
Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah,
jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagianya. Wakaf ini
ditujukan kepada umum dengan tidak terbatas penggunaanya yang mencakup semua
aspek kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya.
Dalam tinjauan
penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan
jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil
manfaat. Dam jenis wakaf inilah sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan
perwakafan itu sendiri secara umum. Dalam jenis wakaf ini juga, si wakif (orang
yang mewakafkan harta) dapat mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan itu,
seperti wakaf mesjid maka si wakif boleh saja di sana, atau mewakafkan sumur,
maka si wakif boleh mengambil air dari sumur tersebut sebagaimana pernah
dilakukan Nabi SAW dan sahabat Ustman bin Affan.
Secara substabsinya,
wakaf inilah yang merupakan salah satu segi dari cara membelanjakan
(memanfaatkan) harta di jalan Allah SWT. Dengan demikian, benda wakaf tersebut
benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan (umum), tidak hanya
untuk keluarga atau kerabat yang terbatas.
C. Syarat dan Rukun Wakaf
Wakaf dinyatakan sah apabila terpenuhi rukun dan
syaratnya apabila terpenuhi rukun dan syaratnya.
1. Rukun Wakaf
a. Orang yang berwakaf (wakif),
syaratnya;
1) Mempunyai kecakapan
untuk melakukan tabarru, yaitu melepaskan hak milik tanpa imbalan materi.
2) baligh, berakal sehat,
dan tidak terpaksa.
b. Sesuatu (harta) yang
diwakafkan (mauquf bih), syaratnya;
1) Harta yang bernilai dan
tahan lama.
2) Milik sendiri
walaupun hanya sebagian yang diwakafkan atau musya (bercampur dan tidak
dapat dipindahkan dengan bagian yang lain)
c. Mauquf’Alaih
atau Tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu), yakni orang
yang memilki sesuatu, anak dalam kandungan tidak syah.
d. Akad / Shighat
(pernyataan atau ikrar wakif/peruntukan wakaf), misalnya: “Saya wakafkan ini
kepada masjid, sekolah orang yang tidak mampu dan sebagainya” tidak perlu qabul
(jawab) kecuali yang bersifat pribadi (bukan bersifat umum)
2. Syarat Wakaf
a. Wakaf tidak dibatasi
dengan waktu tertentu sebab perbutan wakaf berlaku untuk selamanya, tidak waktu
untuk waktu tertentu. Bila seseorang mewakafkan kebun untuk jangka waktu 10 tahun misalnya, maka
wakaf tersebut dipandang batal. .
b. Tujuan wakaf harus jelas, seperti mewakafkan sebidang tanah untuk mesjid,
mushalla, pesantren, pekuburan (makam) dan lainnya. Namun, apabila seseorang
mewakafkan sesuatu kepada hukum tanpa menyebut tujuannya, hal itu dipandang sah
sebab penggunaan benda-benda wakaf tersebut menjadi wewenang lembaga hukum yang
menerima harta-harta wakaf tersebut.
c. Wakaf harus segera
dilaksanakan setelah dinyatakan oleh yang mewakafkan, tanpa digantungkan pada
peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang sebab pernyataan wakaf
berakibat lepasnya hak milik bagi yang mewakafkan. Bila wakaf digantungkan dengan kematian yang
mewakafkan, ini bertalian dengan wasiat dan tidaklah bertalian dengan wakaf.
Dalam pelaksanaan seperti ini, berlakulah ketentuan-ketentuan yang bertalian
dengan wasiat.
d. Wakaf merupakan perkara
yang wajib dilaksanakan tanpa adanya hak khiyar (membatalkan atau meneruskan
wakaf yang telah diucapkan) sebab pernyataan wakaf berlaku seketika dan untuk
selamanya.
D.
Hikmah dan Manfaat
Wakaf dalam Kehidupan
Manfaat wakaf dalam
kehidupan dapat dilihat dari segi hikmahnya. Setiap peraturan yang disyariatkan
Allah Swt kepada makhluknya baik berupa perintah atau larangan pasti mempunyai
hikmah dan ada manfaatnya bagi kehidupan manusia, khususnya bagi umat Islam.
Manfaat itu bisa dirasakan ketika hidup sekarang maupun setelah di akhirat
nantinya yaitu berupa pahala (didasarkan pada janji Allah).
Ibadah wakaf yang
tergolong pada perbuatan sunnat ini banyak sekali hikmahnya yang terkandung di
dalam wakaf ini.
Pertama, harta benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin
kelangsungannya. Tidak perlu khawatir barangnya hilang atau piindah tangan,
karena secara prinsip barang wakaf tidak boleh ditassarrufkan, apakah itu dalam
bentuk menjual, dihibahkan, atau diwariskan.
Kedua, pahala dan keuntungan bagi si wakif akan tetap mengalir walaupun suatu
ketika ia telah meninggal dunia, selagi benda wakaf itu masih ada dan dapat
dimanfaatkan.
Ketiga, wakaf merupakan salah satu sumber dana yang sangat penting manfaatnya
bagi kehidupan agama dan umat. Antara lain untuk pembinaan mental spritual dana
pembangunan dari segi fisik.
Wakaf disamping
mempunyai nilai ibadah, sebagai tanda syukur seorang hamba atas nikmat yang
telah di anugerahkan Allah Swt, juga berfungsi sosial. Dengan wakaf, di samping
dana-dana sosial lainnya, kepincangan di antara kelompok yang berbada dan yang
tidak berada dapat dipertipis atau jurang antara si miskin dan si kaya dapat di
prtipis dan di hilangkan terutama dalam bentuk wakaf yang dikhususkan kepada
kelompok yang tidak mampu. Dengan wakaf itu juga, penyediaan sarana dan
prasarana ibadah, pendidikan, seperti mesjid, mushalla dan gedung-gedung
pendidikan akan lebih memugkinkan dengan menggunakan potensi wakaf yang ada.
Hikmah wakaf kata Ahmad
Jarjawi, dapat membantu pihak yang miskin, baik miskin dalam artian ekonomi
maupun tenaga. Silain pihak juga bertujuan unutk meningkatkan pembangunan
keagamaan. Di samping itu hikmah lain adalah dapat membentuk jiwa sosial di
tengah-tengah masyarakat. Dapat juga mendidik manusia agar mempunyai tenggang
rasa terhadap sesamanya.
Dampak positif langsung
dari ibadah wakaf itu akan membentuk tali hubungan yang errat antara si wakif
dan maukuf ‘alaih atau anatara si kaya dan si miskin sehingga terciptalah rasa
kesetiakawanan sosial.
Melalui ibadah wakaf
dua belah pihak memperoleh manfaatnya, baik bagi si wakif (orang yang berwakaf)
maupun bagi si maukuf’alaih (orang yang menerima wakaf). Bagi si wakif dari
segi agama mendapat pahala sedangkan maukuf’alaih terlepas dari kesulitan.
Bahkan mampu menjadi sumber dana umat Islam untuk mengembangkan dakwah
Islamiyah, tentu dengan mendayagunakan harta wakaf secara optimal.
Dangan demikian dapat
diketahui bila wakaf itu dijalankan atau dilakukan menurut semestinya akan
meningkatkan rasa sosial di tengah-tengah masyarakat sehingga terbentuklah atau
terjalinlah hubungan yang harmonis antara si kaya dengan si miskin. Begitu juga
sebaliknya dengan si miskin akan timbul rasa syukur kepada Allah Swt yang telah
memberikan rezeki kepadanya, disamping itu akan timbul rasa hormat kepada si
kaya yang telah menolongnya.
Akhirnya timbul sinar
keimanan bagi setiap individu dan terhindarlah dari segala perpecahan dan
perselisihan di antara anggota masyarakat. Memng inilah yang di harapkan dan
menjadi sasaran dari ajaran agama Islam.
Maka dapat dirumuskan
secara sederhan beberapa hal keutamaan wakaf, sebagai berikut :
1.
Melalui wakaf seseorang
dapat menumbuhkan sifat zuhud dan melatih seseorang untuk saling membantu atas
kepentingan orang lain.
2.
Dapat menghidupkan
lembaga-lembaga sosial keagamaan maupun kemasyarakatan untuk mengembangkan
potensi umat.
3.
Menanamkan kesadaran
bahwa di dalam setiap harta benda itu meski telah menjadi milik seseorang yang
secara sah, tetapi masih ada di dalamnya harta agama yang mesti diserahakan
sebagaimana halnya zakat.
4.
Menyadarkan seseorang
bahwa kehidupan di akhirat memerlukan persiapan yang cukup. Maka persiapan itu
di antaranya wakaf, sebagai tabung akhirat.
5.
Keutamaan lain, dapat
penopng dan penggerak kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam, baik aspek
ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan lainnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Wakaf ialah menahan sesuatu
benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan
Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak
diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil
manfaatnya saja.
Dalam sebuah hadits
disebutkan yang Artinya: "Apabila anak adam meninggal dunia, maka
terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shodaqoh jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya". (HR.Muslim)
Bila ditinjau dari segi peruntukan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf dapat
dibagi menjadi dua macam :
1. Wakaf Ahli (dzurri)
2.
Wakaf Khairi
Wakaf dinyatakan sah apabila terpenuhi rukun dan
syaratnya apabila terpenuhi rukun dan syaratnya.
Keutamaan wakaf dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
Melalui wakaf seseorang dapat menumbuhkan sifat zuhud dan melatih seseorang
untuk saling membantu atas kepentingan orang lain.
2.
Dapat menghidupkan lembaga-lembaga sosial keagamaan maupun kemasyarakatan
untuk mengembangkan potensi umat.
3.
Menanamkan kesadaran bahwa di dalam setiap harta benda itu meski telah
menjadi milik seseorang yang secara sah, tetapi masih ada di dalamnya harta
agama yang mesti diserahakan sebagaimana halnya zakat.
4.
Menyadarkan seseorang bahwa kehidupan di akhirat memerlukan persiapan yang
cukup. Maka persiapan itu di antaranya wakaf, sebagai tabung akhirat.
5.
Keutamaan lain, dapat penopng dan penggerak kehidupan sosial kemasyarakatan
umat Islam, baik aspek ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad al-Syarbini al-Khatib, Al-‘Iqna fi Hall al-Alfadz Abi
Syuza,(Dar al-Ihya al-Kutub: Indonesia, t.t)
Drs. H. Abdul Halim, M.A, Hukum Perwakafan di Indonesia,(Ciputat:
Ciputat Press, 2005).
Hendi Suhendi, fiqh
muamalh, PT. Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2010.
[1] Muhammad al-Syarbini al-Khatib, Al-‘Iqna fi Hall al-Alfadz Abi
Syuza,(Dar al-Ihya al-Kutub: Indonesia, t.t), hal.319.
[2] Drs. H. Abdul Halim, M.A, Hukum Perwakafan di Indonesia,(Ciputat:
Ciputat Press, 2005), cet.I. hal. 6.
[3] Hendi Suhendi, fiqh
muamalh, PT. Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2010, hlm. 240
[4] Drs. H. Abdul Halim, M.A, Hukum Perwakafan di Indonesia,(Ciputat:
Ciputat Press, 2005), cet.I. hal. 25.
izin save
ReplyDelete