Disusun Oleh Muazzin, S.H.I
Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
KATA
PENGANTAR
Segala
puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan
keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan
kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu
pengetahuan.
Dalam
rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Tafsir pada Program Studi Hukum
Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini penulis mengangkat
judul “Ayat-ayat Tentang Ilmu
Pengetahuan”.
Dalam
penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun
demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
KELOMPOK 10
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang...................................................................................
1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Al-Qur’an surat Al-Mujadalah ayat 11.............................................. 2
B.
Al-Qur’an surat Al-Fathir ayat 27-28................................................ 5
C.
Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 79...................................................... 7
D.
Al-Qur’an surat Al-Mulk ayat 1-5..................................................... 8
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu Pengetahuan merupakan anugerah yang sangat agung
dan rahasia Illahi yang paling besar dari sekian banyak rahasia Allah di alam
ini. Allah menciptakan dan membentuk manusia dengan perangkat akal dan pikiran
yang responsif terhadap berbagai fenomena kehidupan di muka bumi, beserta
berbagai macam tanda kebesaran-Nya di jagad raya. Dengan ilmu pengetahuan,
manusia dikukuhkan menjadi pembawa risalah kekhalifahan di muka bumi, yang
memiliki kewajiban untuk memakmurkan dan mengembangkannya. Dengan dinamika
kehidupan dan berbagai pernak-perniknya, berdasarkan petunjuk Rabb-Nya, selaras
dengan manhaj dan arahan-Nya, sehingga proses pencarian maupun pengamalan Ilmu
Pengetahuan dapat dikategorikan sebagai ibadah.
Berbicara tentang Ilmu Pengetahuan dalam hubungannya
dengan Al-Qur’an, ada persepsi bahwa Al-Qur’an itu adalah kitab Ilmu
Pengetahuan. Persepsi ini muncul atas dasar isyarat-isyarat Al-Qur’an yang
berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan. Dari isyarat tersebut sebagian para ahli
berupaya membuktikannya dan ternyata mendapatkan hasil yang sesuai dengan
isyaratnya, sehingga semakin memperkuat persepsi tersebut.[1]
B.
Rumusan
Masalah
- Menjelaskan
Al-Qur’an surat Al-Mujadalah ayat 11
- MenjelaskanAl-Qur’an
surat Al-Fathir ayat 27-28
- Menjelaskan
Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 79
- Menjelaskan
Al-Qur’an surat Al-Mulk ayat 1-5
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Al-Qur’an
surat Al-Mujadalah ayat 11
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
#sÎ)
@Ï%
öNä3s9
(#qßs¡¡xÿs?
Îû
ħÎ=»yfyJø9$#
(#qßs|¡øù$$sù
Ëx|¡øÿt
ª!$#
öNä3s9
(
#sÎ)ur
@Ï%
(#râà±S$#
(#râà±S$$sù
Æìsùöt
ª!$#
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
öNä3ZÏB
tûïÏ%©!$#ur
(#qè?ré&
zOù=Ïèø9$#
;M»y_uy
4
ª!$#ur
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
×Î7yz
ÇÊÊÈ
Artinya : Hai orang-orang beriman apabila kamu
dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:
“Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Kata (تفسّحوا) tafassahu dan (افسحوا ) ifsahu terambil
dari kata (فسح) fasaha, yakni lapang. Sedang kata (انشزوا) unsyzu terambil dari
kata (نشوز) nusyuz, yakni tempat yang tinggi. Perintah
tersebut pada mulanya berarti beralih ke tempat yang tinggi. Yang
dimaksud di sini pindah ke tempat lain untuk memberi kesempatan kepada yang
lebih wajar duduk atau berada di tempat yang wajar pindah itu atau bangkit
melakukan satu aktifitas positif. Ada juga yang memahaminya berdirilah dari
rumah Nabi, jangan lama-lama di sana, karena boleh jadi ada kepentingan Nabi
SAW yang lain dan yang perlu segera beliau hadapi.
Kata ( مجالس) majalis adalah bentuk jamak
dari kata ( مجلس) majlis. Pada mulanya berarti tempat duduk. Dalam
konteks ayat ini adalah tempat Nabi Muhammad SAW. memberi tuntunan agama ketika
itu. Tetapi, yang dimaksud di sini adalah tempat keberadaan secara
mutlak, baik tempat duduk, tempat berdiri, atau bahkan tempat berbaring.
Karena, tujuan perintah atau tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar
serta mengalah kepada orang-orang yang dihormati atau yang lemah. Seorang
tua non-muslim sekalipun jika Anda-wahai yang muda-duduk di bus atau di kereta,
sedang dia tidak mendapat tempat duduk, adalah wajar dan beradab jika Anda
berdiri untuk memberinya tempat duduk.
Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah
akan meninggikan derajat orang berilmu. Tetapi, menegaskan bahwa mereka
memiliki derejat-derajat, yakni yang lebih tinggi daripada yang sekedar
beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan itu sebagai isyarat bahwa
sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperan besar dalam ketinggian
derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.
Tentu saja, yang dimaksud dengan ( الّذين
اوتواالعلم) alladzina
utu al-‘ilm/ yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan
menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berati ayat di atas membagi kaum
beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekadar beriman dan beramal
saleh dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan.
Derajat kelompok yang kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai
ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain,
baik secara lisan, atau tulisan, maupun dengan keteladanan. Ilmu yang di maksud
oleh ayat di atas bukan saja ilmu agama, tetapi ilmu apapun yang bermanfaat.[2]
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘Ilmu yang
berarti pengetahuan, merupakan lawan kata jahl yang berarti
ketidaktahuan atau kebodohan. Sumber lain mengatakan bahwa kata ‘ilmu adalah
bentuk masdar dari ‘alima, ya’lamu-‘ilman. Menurut Ibn Zakaria,
pengarang buku Mu’jam Maqayis al-Lughab bahwa kata ‘ilm mempunyai
arti denotatif “bekas sesuatu yang dengannya dapat dibedakan sesuatu dari yang
lainnya”. Menurut Ibn Manzur ilmu adalah antonim dari tidak tahu (naqid
al-jahl), sedangkan menurut al-Asfahani dan al-Anbari, ilmu adalah
mengetahui hakikat sesuatu (indrak al-sya’i bi haqq qatib). Kata ilmu
biasa disepadankan dengan kata Arab lainnya, yaitu ma’rifah
(pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), dan syu’ur
(perasaan). Ma’rifah adalah padanan kata yang paling sering digunakan.
Ada dua
jenis pengetahuan, yaitu:
- Pengetahuan
biasa
Pengetahuan biasa diperoleh dari keseluruhan bentuk
upaya kemanusiaan, sepperti perasaan, pikiran, pengalaman, panca indra, dan
intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa memperhatikan obyek, cara dan
kegunaannya.
2. Pengetahuan ilmiah
Pengetahuan ilmiah merupakan keseluruhan bentuk upaya
kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu, tetapi dengan memperhatikan obyek yang
ditelaah, cara yang digunakaan, dan kegunaan pengetahuan.[3]
وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Allah mengetahui segala perbuatanmu. Tidak ada samar
bagi-Nya, siapa yang taat dan siapa yang durhaka di antara kamu. Orang yang
berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, dan orang yang berbuat buruk akan
dibalas-Nya dengan apa yang pantas baginya, atau diampuni-Nya.[4]
Dari ayat tersebut dapat diketahui tiga hal sebagai
berikut:
1.
Pertama, bahwa para
sahabat berupaya ingin saling mendekat pada saat berada di majelis Rasulullah
SAW, dengan tujuan agar ia dapat mudah mendengar wejangan dari Rasulullah SAW
yang diyakini bahwa dalam wejangannya itu terdapat kebaikan yang amat dalam
serta keistimewaan yang agung.
2.
Kedua, bahwa
perintah untuk saling meluangkan dan meluaskan tempat ketika berada di majelis,
tidak saling berdesakan dan berhimpitan dapat dilakukan sepanjang dimungkinkan,
karena cara damikian dapat menimbulkan keakraban di antara sesama orang yang
berada di dalam majelis dan bersama-sama dapat mendengar wejangan Rasulullah
SAW.
3.
Ketiga, bahwa pada
setiap orang yang memberikan kemudahan kepada hamba Allah yang ingin menuju
pintu kebaikan dan kedamaian, Allah akan memberikan keluasan kebaikan di dunia
dan akhirat.Singkatnya ayat ini berisi perintah untuk memberikan kelapangan
dalam mendatangkan setiap kebaikan dan memberikan rasa kebahagiaan kepada
setiap orang islam.Atas dasar inilah Rasulullah SAW menegaskan bahwa Allah akan
selalu menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut selalu meolong sesama
saudaranya.[5]
B.
Al-Qur’an
surat Al-Fathir ayat 27-28
óOs9r& ts? ¨br& ©!$# tAtRr& z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB $oYô_t÷zr'sù ¾ÏmÎ/ ;NºtyJrO $¸ÿÎ=tFøC $pkçXºuqø9r& 4 z`ÏBur ÉA$t6Éfø9$# 7yã` ÖÙÎ/ ÖôJãmur ì#Î=tFøC $pkçXºuqø9r& Ü=Î/#{xîur ×qß ÇËÐÈ
Artinya :Tidakkah
kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan
dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. dan di antara
gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya
dan ada (pula) yang hitam pekat.
Kata ( جدد) judad adalah bentuk jamak dari
kata ( جدّة) juddah yakni jalan. Kata ( بيض) bidh adalah bentuk jamak dari
kata (أبيض) abyadh, kata (سود) adalah bentuk jamak dari kata (أسود) aswad/ hitam, dan kata ( حمر) humur adalah bentuk jamak dari
kata ( أحمر) ahmar. Adapun kata ( غرا بيب) gharabib adalah bentuk jamak
dari kata ( غربيب) ghirbib yaitu yang pekat (sangat) hitam. Sebenarnya istilah
yang lumrah dipakai adalah ( سودغرابيب) sud gharabib/ hitam pekat, tetapi redaksi ayat ini membaliknya
untuk menggambarkan kerasnya kepekatan itu.[6]
Pada ayat ini Allah menguraikan beberapa hal yang
menunjukkan kesempurnaan dan kekuasaan-Nya, yang dapat dilihat manusia setiap
waktu. Jika mereka menyadari dan menginsafi semuanya itu, tentu mereka akan
menyadari pula keesaan dan kekuasaan Allah Yang Maha Sempurna itu. Di antara
tanda-tanda itu adalah Allah menjadikan sesuatu yang beraneka macamnyayang
bersumber dari yang satu. Allah menurunkan hujan dari langit, sehingga tanaman
bisa tumbuh dan mengeluarkan buah-buahan yang beraneka ragam warna, rasa, bentuk,
dan aromanya sebagaimana yang kita saksikan. Buah-buahan itu warnanya ada yang
kuning, merah, hijau dan sebagainya.[7]
ÆÏBur
Ĩ$¨Z9$#
Å_U!#ur¤$!$#ur
ÉO»yè÷RF{$#ur
ì#Î=tFøèC
¼çmçRºuqø9r&
Ï9ºxx.
3
$yJ¯RÎ)
Óy´øs
©!$#
ô`ÏB
ÍnÏ$t6Ïã
(#às¯»yJn=ãèø9$#
3
cÎ)
©!$#
îÍtã
îqàÿxî
ÇËÑÈ
Artinya : Dan demikian
(pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak
ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.
Al’alim adalah orang yang sangat berpengetahuan atau
orang yang mempunyai ilmu pengetahuan mendalam. Pada mulanya akar kata yang
terdiri dari kata (‘ain, lam, mim) artinya adanya bekas pada sesuatu yang
dengan bekas itu sesuatu tersebut berbeda dengan lainnya. Tanda pada sesuatu
disebut juga dengan alamat. ‘Alam juga berarti bendera atau gunung, karena
keduanya menjadi tanda. Kata ilmu juga terkait dengan arti akar kata ini,
karena dengan ilmu seseorang akan berbeda dengan orang yang tidak berilmu. Kata
al ulama di tujukan kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang luas
dalam bidang apa saja.
Dalam konteks keislaman biasanya ungkapan ini untuk
menunjukkan kepada orang yang sangat dalam pengetahuan agamanya.[8]
Dan setelah Allah menyebutkan satu persatu tanda-tanda
kebesaran, bukti-bukti kekuasaan dan bekas-bekas penciptaan-Nya, maka Dia
terangkan pula bahwa semua itu takkan di ketahui sebaik-baiknya kecuali oleh
orang-orang yang berilmu tentang rahasia alam semesta yaitu orang-orang yang
mengetahui tentang rincian-rincian ciptaan Allah SWT. Mereka itulah yang paham
akan hal itu sebaik-baiknya dan mengetahui betapa keras hantaman Allah dan
betapa besar tekanan-Nya.
Ada sebuah asar yang diriwayatkan dari Ibn Abbas
bahwa dia berkata, “orang yang berilmu tentang Allah Yang Maha Pencipta di
antara hamba-hamba-Nya ialah orang yang tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu
pun, menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya,
memelihara wasiat-Nya dan yakin bahwa dia akan bertemu dengan-Nya dan
memperhitungkan amalnya.”
Sedang Hasan Al-Basri berkata, “Orang yang berilmu
ialah orang yang takut kepada Allah Yang Maha Pengasih, sekalipun dia tidak
mengetahui-Nya. Dan menyukai apa yang disukai oleh Allah dan menghindari apa
yang dimurkai Allah.”[9]
C.
Al-Qur’an
Surat an-Nahl ayat 79
óOs9r&
(#÷rtt
n<Î)
Ìø©Ü9$#
;Nºt¤|¡ãB
Îû
Èhqy_
Ïä!$yJ¡¡9$#
$tB
£`ßgä3Å¡ôJã
wÎ)
ª!$#
3
¨bÎ)
Îû
y7Ï9ºs
;M»tUy
5Qöqs)Ïj9
cqãYÏB÷sã
ÇÐÒÈ
Artinya : Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung
yang dimudahkan terbang diangkasa bebas. tidak ada yang menahannya selain
daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman.
Ayat ini menggambarkan betapa luasnya kekuasaan Allah
SWT melalui burung-burung yang ditundukkan di udara antara langit dan bumi,
tidak ada yang menahannya di angkasa dari jauh ke bumi, kecuali Allah Azza wa
Jalla dengan kekuasaannya yang luas. Padahal tubuhnya yang berat dan udara yang
ringan menharuskan dia untuk jatuh, karena tidak ada gantungan di atasnya dan
tidak ada tiang di bawahnya. Sekiranya saja Allah mengambil kekuatan untuk
terbang yang telah Dia berikan kepadanya niscaya dia tidak akan kuasa untuk
terbang tinggi.
Ulama dahulu mengetahui adanya kerenggangan atmosfir
di lapisan-lapisan atas di angkasa. Ini adalah sebuah teori yang baru
dipelajari dewasa ini di dalam ilmu-ilmu fisika. Ka’ab Al-Ahbar mengatakan,
burung terbang di angkasa setinggi dua belas mil, tidak lebih dari itu.
Sesungguhnya pada penundukan dan penahanan burung di
angkasa benar-benar terdapat dalil, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, tidak
ada sekutu bagi-Nya dan bahwa patung-patung serta berhala tidak mempunyai
bagian di dalam uluhiyyah. Dalil tersebut bagi orang yang beriman kepada Allah,
dan mengakui-Nya dengan adanya apa yang terlihat oleh padanya mata dan terindra
oleh indra-indra mereka.[10]
D.
Al-Qur’an
Surat al-Mulk ayat 1-5
x8t»t6s? Ï%©!$# ÍnÏuÎ/ à7ù=ßJø9$# uqèdur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs% ÇÊÈ Ï%©!$# t,n=y{ |NöqyJø9$# no4quptø:$#ur öNä.uqè=ö7uÏ9 ö/ä3r& ß`|¡ômr& WxuKtã 4 uqèdur âÍyèø9$# âqàÿtóø9$# ÇËÈ Ï%©!$# t,n=y{ yìö7y ;Nºuq»yJy $]%$t7ÏÛ ( $¨B 3ts? Îû È,ù=yz Ç`»uH÷q§9$# `ÏB ;Nâq»xÿs? ( ÆìÅ_ö$$sù u|Çt7ø9$# ö@yd 3ts? `ÏB 9qäÜèù ÇÌÈ §NèO ÆìÅ_ö$# u|Çt7ø9$# Èû÷üs?§x. ó=Î=s)Zt y7øs9Î) ç|Çt7ø9$# $Y¥Å%s{ uqèdur ×Å¡ym ÇÍÈ ôs)s9ur $¨Zy uä!$yJ¡¡9$# $u÷R9$# yxÎ6»|ÁyJÎ/ $yg»oYù=yèy_ur $YBqã_â ÈûüÏÜ»u¤±=Ïj9 ( $tRôtGôãr&ur öNçlm; z>#xtã ÎÏè¡¡9$# ÇÎÈ
Artinya : 1. Maha suci
Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu, 2. Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, 3. Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.
kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu
yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu
yang tidak seimbang? 4. Kemudian
pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak
menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam Keadaan payah. 5. Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat
dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar
syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.
Yang dimaksud dengan “tangan” dalam ayat ini adalah
sifat Allah, bukan nikmat dan kodrat-Nya. Dia adalah benar-benar tangan-Nya
secara hakiki, tanpa mempertanyakan bagaimana bentuknya. Tangan yang tidak
serupa dengan semua ciptaan-Nya yang akan mengelola kerajaan-Nya sesuai yang
Dia kehendaki.
Allah Ta’ala memuliakan diri-Nya sendiri dan
memberitahukan bahwa kerajaan itu terletak di tangan-Nya. Dialah Yang Mengatur
semua makhluk-Nya sesuai dengan yang Dia kehendaki. Tiddak ada yang dapat
menolak ketetapan-Nya. Dan, Dia tidak akan ditanya tentang perbuatan-Nya,
karena Dia adalah Mahakuasa, Mahabijaksana, Mahaadil. Itulah sebabnya Allah
Ta’ala berfirman, “Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Kemudian Allah Ta’ala berfirman, “Yang menjadikan mati
dan hidup.” Ayat ini menjadi dalil bagi orang yang mengatakan bahwa kematian
itu adalah sesuatu yang wujud karena dia adalah makhluk. Adapun makna ayat ini
adalah sesungguhnya Dialah yang telah mewujudkan semua makhluk dari yang
asalnya tidak ada, dengan tujuan menguji mereka, siapakah di antara mereka yang
paling bagus amalnya. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Bagaimanakah mungkin
kamu kafir kepada Allah, sedangkan kamu sebelumnya adalah mati, kemudian Dia
menghidupkan kamu.” Allah mengistilahkan keadaan yang pertama, yaitu “tidak
ada”, dengan kematian. Dan mengistilahkan “kejadian” ini kehidupan. Itulah
sebabnya Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian Allah mematikan kamu kemudian
menghidupkan kamu.”
Dan firman Allah SWT,”Supaya dia menguji kamu, siapa
di antara kamu yang lebih baik amalnya,” dalam ayat ini Allah tidak mengatakan
yang paling banyak amalnya. Kemudian Allah SWT berfirman,“Dan Dia Mahaperkasa
lagi Maha Pengampun.” Yaitu Dialah Yang Mahaperkasa, Yang Mahaagung, dan zat
Yang Mahagagah. Walaupun demikian, Dia adalah Yang Maha Pengampun bagi orang
yang bertaubat kepada-Nya dan kembali setelah sebelumnya menduharkai dan
menentang perintah-Nya.
Kemudian firman Allah SWT, “Yang telah menciptakan
tujuh langit berlapis-lapis.” Yaitu satu tingkat demi satu tingkat. Namun,
apakah mereka sambung menyambung, dengan kata lain, apakah sebagiannya berada
di atas sebagian yang lain, ataukah terpisah oleh suatu ruang yang hampa. Ada
dua pandangan mengenai masalah ini, namun yang paling kuat adalah pendapat yang
kedua, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh hadits isra Nabi SAW. Kemudian
Firman Allah Ta’ala, “Kamu sama sekali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.” Yaitu, padanya tidak ikhtilaf,
kesimpangsiuran, pertentengan, kekurangan, aib, dan cacat. Itulah sebabnya
selanjutnya Allah Ta’ala berfirman, “Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu
lihat sesuatu yang tidak seimbang?” Yaitu, lihatlah ke langit, kemudian
renungkanlah, apakah kamu melihat ada aib, kekurangan, cacat, atau keretakan di
sana?
Kemudian firman Allah SWT, “Kemudian pandanglah sekali
lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu
cacat.” Yaitu, bila kamu memandang dengan berulang-ulang sesuai dengan kehendak
kamu, maka pastilah pandanganmu itu akan kembali dengan tidak melihat suatu
cacat dan aib apapun. “Dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” Sebab,
terlalu sering mengulang-ulang pandangan dan tidak juga mendapatkan kekurangan
di sana. Manakala Allah menegaskan bahwa di sana tidak terdapat kekurangan
apapun maka Allah pun segera menjelaskan kesempurnaan dan keindahannya. Firman
Allah, “Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang dekat dengan
bintang-bintang,” yaitu bintang gemintang yang ditempatkan di sana, baik yang
beredar maupun yang tetap.
Firman Allah Ta’ala, “Dan Kami jadikan bintang-bintang
itu alat-alat pelempar setan.” Maksudnya dengan sejenis bintang, bukan dengan
bintang itu sendiri, sebab setan itu tidak dilempari dengan bintang-bintang
yang ada di langit, tetapi dengan bola-bola api yang ada di bawahnya. Dan,
kadang-kadang pelempar itu merupakan pecahan dari bintang itu sendiri.
Firman Allah Ta’ala, “Dan Kami sediakan bagi mereka
siksa neraka yang menyala-nyala.” Yaitu, Kami jadikan kehinaan di dunia ini
untuk setan-setan itu dan akan Kami sediakan di akhirat nanti siksa yang
menyala-nyala. Qatadah mengatakan, “Bintang-bintang ini diciptakan hanyalah untuk
tiga fungsi. Diciptakan Allah untuk menghiasi langit, melempari setan-setan,
dan tanda-tanda yang dapat dipakai sebagai petunjuk. Orang yang menakwilkan di
luar dari tiga hal ini, berarti dia mengatakan berdasarkan nalarnya saja,
tersesat, menyia-nyiakan nasibnya, dan membebani diri dengan sesuatu yang tidak
diketahuinya.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian ayat-ayat di atas, dapat ditarik
kesimpulan diantaranya:
1.
Allah akan
lebih meninggikan derajat orang-orang yang beriman serta berilmu pengetahuan,
dibandingkan dengan orang-orang yang hanya sekedar beriman saja.
2.
Ada dua
jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah.
3.
Ulama’
adalah orang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang apa saja.
4.
Sumber ilmu
pada garis besarnya ada dua, yaitu:
a.
Ilmu yang
bersumber pada wahyu (al-Qur’an) yang menghasilkan ilmu naqli.
b.
Ilmu yang
bersumber pada alam melalui penalaran yang menghasilkan ilmu aqli.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghiy,
Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghiy juz XIV. Semarang: Toha Putra, 1989
Al-Maraghiy,
Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghiy juz XXII. Semarang: Toha Putra, 1992
Al-Maraghiy,
Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghiy juz XXVIII. Semarang: Toha Putra,
1989
Ar-Rifa’i,
Muhammad Nasib, Tafsir Ibnu Katsir jilid IV. Jakarta: Gema Insani
Press, 2000
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya jilid VIII. Jakarta: Lentera Abadi,
2010
Munir,
Ahmad, Tafsir Tarbawi cet.1. Yogyakarta: Teras, 2008
Nata,
abuddin, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002
Shihab,
M.Quraish, Tafsir Al-Misbah vol. 13. Jakarta: Lentera Hati, 2002
[3] Abuddin Nata, Tafsir
Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafido Persada, 2002), hlm. 155-156
[4] Ahmad Musthafa Al-Maraghiy,
Tafsir Al-Maraghiy, juz XXVIII, (semarang: CV Toha Putra, 1989),
hlm. 26
[7] Kementrian
Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid VIII, (Jakarta: Lentera
Abadi, 2010), hlm. 161
[11] M. Nasib ar-
Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid IV, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2000), hlm. 762-763
0 komentar:
Post a Comment