Alumni Al-Hilal Sigli Tahun 2015
Nah kali ini, makalah ini adalah makalah saya sendiri.. hehe...
KATA
PENGANTAR
Segala
puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan
keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan
kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu
pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Membahas Kitab Fiqh pada
Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini
penulis mengangkat judul “MASAIL FIQHIYAH”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang
dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
MUAZZIN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang...................................................................................
1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Masalah
pernikahan melalui telepon..................................................
2
B.
Pencangkokan
organ tubuh................................................................
5
C.
Undian berhadiah
dari perusahaan dagang........................................ 9
D.
Penggunaan ayat
al-quran sebagai nada dering hp............................ 11
BAB III ANALISIS
A.
Fiqh memasuki
era modern................................................................ 14
B.
Sebab-sebab
timbulnya fiqh kontemporer......................................... 15
BAB
IV PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih
adalah suatu bidang ilmu yang berkaitan erat dengan keseharian manusia dalam
menjalani kehidupan. Oleh karena itu fiqih juga sangat tergantung pada kondisi
tempat dan masa dimana manusia itu berada. Seiring dengan berjalannya waktu,
muncullah pertanyaan-pertanyaan baru dalam masalah fiqh yang berkaitan secara
langsung maupun tidak langsung dengan perkembangan teknologi. Kemudian seperti
yang kita semua ketahui bahwa agama Islam seharusnya mencakup segala bidang kehidupan
manusia maka begitu pula dengan fiqih, maka untuk menjawab tantangan zaman
itulah muncul ulama-ulama fiqih kontemporer yang berijtihad dengan menggunakan
hukum-hukum fiqih yang sudah ada kepada masalah-masalah baru dalam kehidupan
manusia modern. Untuk lebih jelasnya saya paparkan dalam makalah berikut ini.
Semoga dapat diterima dengan baik.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana hukum nikah melalui telepon?
2. Bagaimana hukum pencangkokan organ tubuh?
3. Bagaimana Undian berhadiah dari perusahaan dagang!
4. Bagaimana Penggunaan ayat al-quran sebagai nada dering hp!
1. Bagaimana hukum nikah melalui telepon?
2. Bagaimana hukum pencangkokan organ tubuh?
3. Bagaimana Undian berhadiah dari perusahaan dagang!
4. Bagaimana Penggunaan ayat al-quran sebagai nada dering hp!
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masalah
Pernikahan Melalui Telepon
Untuk
dapat menjawab pertanyaan tentang masalah akad nikah melalui telepon,
pertama-tama kita harus mengkaji tentang ijab kabul itu sendiri. Ijab berarti
menyerahkan amanah Allah kepada calon suami, dan kabul berarti sebagai lambang
bagi kerelaan menerima amanah Allah tersebut. Dalam mencapai keabsahan ijab
kabul ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi salah satunya adalah ittihad
al-majalis/bersatunya majelis dalam melakukan akad.
Terdapat dua penafsiran ”bersatunya majelis” di kalangan para ulama.
Terdapat dua penafsiran ”bersatunya majelis” di kalangan para ulama.
a.
Pendapat
pertama dikemukakan oleh Said Sabiq dan Al-Jaziri dari madzhab Hanafi yang
menekankan pada persatuan waktu antara ijab dan kabul, dan bukan persatuan
tempat.
Menurutnya,
yang dimaksud dengan ittihad al-majelis adalah bahwa ijab dan kabul harus
dilakukan dalam jarak waktu yang terdapat dalam satu upacara akad nikah. Bukan
dilakukan dalam dua jarak waktu terpisah, dalam arti bahwa ijab diucapkan dalam
satu upacara, kemudian setelah upacara ijab bubar, kabul diucapkan pula pada
acara berikutnya. Dalam hal dua jarak waktu yang terpisah bisa saja tempatnya
sama dan diadakan dalam dua acara yang berturut-turut tetapi karena
kesinambungan antara ijab dan kabul itu terputus, maka akad nikah tersebut
tidak sah.
Kita dapat melihatnya dari praktik akad nikah yang dianggap sah di
kalangan madzhab Hanafiyah. Yaitu kondisi dimana salah seorang diantara pihak
yang akan melakukan akad nikah gaib (tidak bisa hadir), maka jalan keluarnya
adalah selain bisa mengutus wali, juga bisa dengan menulis surat kepada pihak
lain untuk menyampaikan akad nikahnya, yang kemudian menghadirkan saksi untuk
membacakan redaksi surat itu di depan mereka. Hal itu dianggap sah selama
pengucapan kabulnya dilakukan langsung dalam satu majelis. Juga dalam praktek
ijab kabul dimana kedua pihak tidak berada di ruangan yang sama tetapi
menggunakan pengeras suara. Sedangkan konsekuensinya adalah saksi tidak dapat
melihat salah satu pihak yang melakukan ijab kabul.
Kemudian dalam hal saksi yang tidak bisa melihat salah satu pihak
dapat diqiyaskan kepada masalah orang buta sebagai saksi yaitu menurut Ibnu
Qudamah, seorang ahli fiqh dari kalangan Hanbali. Dalam kitabnya Al-Mughni
beliau menegaskan kabsahan kesaksian dua orang buta untuk akad nikah, dengan
alasan bahwa yang akan disaksikan adalah suara. Jika saksi tersebut dapat
memastikan secara yakin bahwa suara itu benar-benar diucapkan oleh dua orang
yang melakukan akad nikah. Pendapat ini juga diikuti oleh Said Sabiq dalam
kitabnya Fiqh As-Sunnah.
Jika
kita menggabungkan antara dua kasus ini maka pernikahan melalui telepon menjadi
sah karena masalah bahwa dua orang saksi harus mampu melihat kedua orang yang
mengucapkan ijab dan kabul menjadi tidak penting, akan tetapi kedua saksi harus
dapat memastikan bahwa yang berbicara adalah benar-benar kedua pihak yang
melakukan akad nikah dan tidak ada perselisihan dalam hal itu.
b.
Pendapat kedua
yang diutarakan madzhab Syafi’iyah menegaskan praktik akad nikah melalui
telepon tidak sah. Berikut pokok-pokok perbandingannya:
·
Kesaksian
didasarkan atas penglihatan dan pendengaran. Untuk memenuhi persyaratan bersatu
majelis dalam artian bersatu secara fisik, karena itu dengan persyaratan al
mu’ayanah (dapat dilihat secara fisik) dapat dipenuhi.
·
Dua orang saksi
menyaksikan calon suami saja, dan dua orang menyaksikan wali perempuan saja.
Meskipun hal itu bisa menjamin bahwa kedua belah pihak berakad, namun yang
seperti itu tidak pernah dicontohkan Rasulullah. Sedangkan akad nikah
mengandung arti ta’abbud yaitu dalam pelaksanaannya harus terikat dengan contoh
dari Rasulullah.
·
Yang
dicontohkan Rasulullah adalah selain calon suami hadir bersama wali perempuan
pada satu tempat untuk melakukan akad nikah yaitu dengan cara mewakilkan
(tawkil) kepada seseorang yang dipercaya jika calon suami tidak dapat hadir.
Seperti dalam hadits ”HR Abu Dawud dari Uqbah bin Amir Rasulullah berkata pada
seorang lelaki, ’Apakah engkau rela untuk saya nikahkan dengan perempuan
Fulan?’ Lelaki itu menawab ’Bersedia’. Kemudian Rasulullah berkata pula kepada
perempuan yang dimaksudkan ’Apakah kamu bersedia untuk saya nikahkan dengan
lelaki itu?’ Perempuan itu menjawab ’Bersedia’. Kemudian Rasulullah menikahkan
keduanya. Disini Rasulullah bertindak sebagai wakil si lelaki dan juga sebagai
wali si perempuan. Maka dapat dijadikan dalil bagi ketidakhadiran secara fisik
calon suami tetapi dialternatifkan dengan cara mewakilkan.
·
Apabila bukan
hanya suara calon suami saja yang dapat didengar tetapi juga gambar yang sedang
berbicara tetap dianggap tidak sah oleh madzhab Syafi’i karena yang dilihat
hanyalah gambar dan fisiknya tetap tidak berada disana.
·
Pemahaman
Syafi’iyah dalam hal ini terasa sangat kaku, sehingga masalah pelaksanaan akad
nikah tidak bisa berkembang. Tetapi dalam keketatan itu terdapat sikap
kehati-hatian untuk menghindari akad nikah yang dilakukan dengan penuh khidmat
itu, jangan sampai membuka peluang kepada praktik-praktik yang tidak pasti.
Kedua pandangan diatas dapat dijadikan alternatif untuk memilih salah satu diantaranya selama belum ada ketegasan Undang-undang dari pemerintah. Sedangkan jika pemerintah sudah menegaskan maka para ulama sepakat untuk mengikuti ketetapan dari peradilan.
Kedua pandangan diatas dapat dijadikan alternatif untuk memilih salah satu diantaranya selama belum ada ketegasan Undang-undang dari pemerintah. Sedangkan jika pemerintah sudah menegaskan maka para ulama sepakat untuk mengikuti ketetapan dari peradilan.
B. Seputar
Masalah Pencangkokan Organ Tubuh
a. Mendermakan
organ tubuhnya ketika seorang muslim masih hidup.
Tubuh
merupakan titipan dari Allah akan tetapi manusia diberi wewenang untuk
memanfaatkan dan menggunakannnya, sebagaimana harta. Sebagaimana manusia boleh
mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya,
maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang
lain yang memerlukan.
Akan
tetapi kebolehan ini bersifat bersyarat (muqayyad) yaitu tidak boleh
mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar,
kemelaratan, dan kesengsaraan bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya.
Oleh sebab itu tidak boleh mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam
tubuhnya misalnya hati atau jantung karena orang tersebut tidak mungkin hidup
tanpa organ tersebut. Maka kewajiban menghilangkan dharar tidak boleh sampai
menimbulkan dharar pada orang yang mendermakan. Juga termasuk tidak boleh
mendonorkan organ tubuh bagian luar seperti mata, tangan, dan kaki. Sedangkan
mendonorkan salah satu ginjal apabila kedua ginjal berfungsi baik diperkenankan
syara’ bahkan terpuji dan berpahala bagi yang melakukan tetapi tetap harus
dilakukan dengan seizin orang yang berhak kepada orang yang ingin mendonorkan
seperti suami seorang istri yang ingin mendonorkan karena berpengaruh juga
dapat menimbulkan dharar bagi sang suami. Dan mendonorkan ini hanya dapat
dilakukan orang dewasa dan berakal sebab anak-anak dan orang gila tidak
mengerti persis apa kepentingan dirinya.
b. Mewasiatkan
organ tubuh setelah meninggal dunia.
Apabila
seorang muslim diperbolehkan mendonorkan organ tubuhnya pada waktu hidup, maka
tidaklah terlarang untuk mewasiatkannya setelah dia meninggal nanti. Sebab yang
demikian itu akan menimbulkan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa
menimbulkan mudarat sedikit pun kepada dirinya. Jika ia melakukannya dengan
mendekatkan diri dan mencari keridhaan Allah, maka tidak ada satu pun dalil
syara’ yang mengharamkannya.
Sedangkan
alasan orang-orang yang tidak memperbolehkan yaitu akan menghilangkan
kehormatan mayit berdasarkan hadits ”Mematahkan tulang mayit itu seperti
mematahkan tulang orang yang hidup” tidak dapat diterapkan dalam hal ini karena
hadits itu dimaksudkan untuk melarang memotong-motong tubuh mayit, merusaknya,
dan mengabaikannya sebagaimana yang dilakukan kaum jahiliyah. Mengambil
sebagian organ tubuh mayit dilakukan seperti mengoperasi orang yang hidup
dengan penuh perhatian dan penghormatan, tanpa merusak tubuhnya dan mematahkan
tulangnya.
c. Menjual
organ tubuh.
Pendapat
yang memperbolehkan donor organ tubuh itu tidak berarti memperbolehkan
memperjualbelikannya. Karena jual beli itu (sebagaimana di ta’rifkan fuqaha)
adalah tukar menukar harta secara suka rela, sedangkan tubuh manusia itu bukan
harta yang dapat dipertukarkan dan di tawar-menawarkan sehingga organ tubuh
manusia menjadi objek perdagangan dan jual beli. Suatu peristiwa yang sangat
disesalkan terjadi di beberapa daerah miskin, disana terdapat pasar yang mirip
dengan pasar budak. Disana diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin dan
orang-orang lemah untuk dikonsumsi orang-orang kaya yang tidak lepas dari
campur tangan ”mafia baru” yang bersaing dengan mafia dalam masalah
minum-minuman keras, ganja, morfin dan sebagainya.
Tetapi, apabila orang yang memanfaatkan organ itu membeli sejumlah uang kepada donor -tanpa persyaratan dan tidak ditentukan sebelumnya, semata-mata hibah,hadiah, dan pertolongan- maka yang demikian itu hukumnya jaiz (boleh), bahkan terpuji dan termasuk akhlak yang mulia.
Tetapi, apabila orang yang memanfaatkan organ itu membeli sejumlah uang kepada donor -tanpa persyaratan dan tidak ditentukan sebelumnya, semata-mata hibah,hadiah, dan pertolongan- maka yang demikian itu hukumnya jaiz (boleh), bahkan terpuji dan termasuk akhlak yang mulia.
Hal
ini sama dengan pemberian orang yang berhutang ketika mengembalikan pinjaman
dengan memberikan tambahan yang tidak dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini
diperkenankan syara’ dan terpuji, bahkan Rasulullah SAW pernah melakukannya
ketika beliau mengembalikan pinjaman (hutang) dengan sesuatu yang lebih baik
daripada yang dipinjamnya seraya bersabda : ”Sesungguhnya sebaik-baik orang di
antara kamu ialah yang lebih baik pembayaran hutangnya.” (HR Ahmad, Bukhari,
Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
d. Mencangkokkan
organ tubuh binatang yang najis ke tubuh orang muslim.
Adapun pencangkokan organ binatang yang dihukumi najis seperti babi
misalnya, ke dalam tubuh orang muslim, maka pada dasarnya hal itu tidak perlu
dilakukan kecuali dalam kondisi darurat. Sedangkan darurat itu bermacam-macam
kondisi dan hukumnya dengan harus mematuhi kaidah bahwa ”segala sesuatu yang
diperbolehkan karena darurat itu harus diukur menurut kadar kedaruratannya”,
dan pemanfaatannya harus melalui ketetapan dokter-dokter muslim terpercaya.
Mungkin juga ada yang mengatakan bahwa yang diharamkan dari babi
hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana disebutkan Al-Qur’an dalam empat ayat,
sedangkan mencangkokkan sebagian organnya ke dalam tubuh manusia bukan berarti
memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya. Selain itu, Nabi saw.
memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai (yaitu kulitnya) padahal bangkai
itu diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur’an.
Maka apabila syara’ memperkenankan memanfaatkan bangkai asal tidak dimakan,
maka arah pembicaraan ini ialah diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan
tidak dimakan.
Diriwayatkan dalam kitab shahih bahwa Rasulullah saw. pernah
melewati bangkai seekor kambing, lalu para sahabat berkata ”Sesungguhnya itu
bangkai kambing milik bekas budak Maymunah” lalu beliau bersabda ”Mengapa tidak
kamu ambil kulitnya lalu kamu samak, lantas kamu manfaatkan?” Mereka menjawab,
”Sesungguhnya itu adalah bangkai” beliau bersabda ”Sesungguhnya yang diharamkan
itu hanyalah memakannya.” Permasalahannya sekarang, sesungguhnya babi itu
najis, maka bagaimana akan diperbolehkan memasukkan benda najis ke dalam tubuh
orang muslim? Dalam hal ini yang dilarang syara’ ialah mengenakan benda najis
di tubuh bagian luar.
Adapun
yang di dalam tubuh maka tidak terdapat dalil yang melarangnya. Sebab bagian
dalam tubuh manusia itu justru merupakan tempat benda najis, seperti darah,
kencing, tinja dan semua kotoran, dan manusia tetap melakukan shalat, membaca
Al-Quran, tawaf di Baitul Haram, meskipun benda-benda najis itu ada di dalam
tubuhnya dan tidak membatalkannya sedikitpun, sebab tidak ada hubungan antara
hukum najis dengan apa yang ada di dalam tubuh.
C. Undian
Berhadiah Dari Perusahaan Dagang (Produsen)
Kasus
: Seorang wakil dari perusahaan perdagangan menarik sejumlah angka sesuai
dengan jumlah pelanggan dan dikirimkan kepada mereka (misalnya 100 orang
pelanggan) kemudian menarik beberapa nomor lain. Apabila nomor yang ditarik ini
sesuai dengan nomor yang dikirimkan sebelumnya, maka orang yang mendapat nomor
yang sama itulah yang beruntung.
Kemudian pihak perusahaan mengirimkan nomor-nomor tersebut kepada pelanggan bersangkutan untuk memberitahukan kepada mereka mengenai hadiah yang akan mereka peroleh atau sejumlah keuntungan yang akan mereka dapatkan. Sedangkan pelanggan yang bersangkutan tidak ikut perlombaan, tidak mendatangi penarikan undian, juga tidak membayar apa-apa untuk undian tersebut, hanya saja seperti biasanya mereka membeli produk perusahaan tersebut.
Kemudian pihak perusahaan mengirimkan nomor-nomor tersebut kepada pelanggan bersangkutan untuk memberitahukan kepada mereka mengenai hadiah yang akan mereka peroleh atau sejumlah keuntungan yang akan mereka dapatkan. Sedangkan pelanggan yang bersangkutan tidak ikut perlombaan, tidak mendatangi penarikan undian, juga tidak membayar apa-apa untuk undian tersebut, hanya saja seperti biasanya mereka membeli produk perusahaan tersebut.
Jawaban
: Hadiah yang dibagi-bagikan perusahaan dagang kepada para pelanggan
atau pembelinya baik yang berupa uang maupun barang itu tidak termasuk ke dalam
kategori judi (maisir). Sebab salah satu karakter judi ialah mengandung
untung-rugi bagi salah satu dari dua belah pihak, seperti halnya yanasib yang
terkenal di negara-negara Barat, sangat disesalkan praktik ini telah masuk ke
dalam masyarakat kita. Hal ini karena hadiah yang diberikan oleh perusahaan itu
sifatnya dari satu pihak (yakni pihak perusahaan) tanpa merugikan pihak kedua,
yakni para pelanggan atau pembeli.
Adapun cara yang dipergunakan sebagian perusahaan dengan menggunakan undian, maka hal itu tidak terlarang oleh syara’ menurut pandangan
jumhur ulama, dan hal ini juga ditunjuki oleh beberapa hadits sahih yang
memperbolehkan menetapkan kemenangan dengan jalan undian.
Namun, dikecualikan dari hal itu ialah orang yang membeli barang dari toko atau perusahaan hanya dengan motivasi ingin mendapatkan hadiah, sedang ia tidak punya tujuan (keperluan) untuk membelinya. Maka hal ini mengarah kepada judi yang terlarang atau mendekatinya.
Namun, dikecualikan dari hal itu ialah orang yang membeli barang dari toko atau perusahaan hanya dengan motivasi ingin mendapatkan hadiah, sedang ia tidak punya tujuan (keperluan) untuk membelinya. Maka hal ini mengarah kepada judi yang terlarang atau mendekatinya.
Meskipun
cara menarik pelanggan dengan menggunakan cara Barat ini kurang dianjurkan
untuk diikuti pengusaha-pengusaha Islam, misalnya dengan membagi-bagikan hadiah
yang hakikatnya masih samar bagi kebanyakan pedagang pada zaman sekarang. Sebab
hadiah-hadiah yang dibagikan kepada sebagian pembeli itu pada akhirnya
menimbulkan kenaikan harga yang akhirnya harus ditanggung oleh semua pembeli.
Dengan demikian, seolah-olah pembeli yang beruntung mendapatkan hadiah itu
(pada undian terakhir) memungut harganya dari seluruh pembeli. Hal inilah yang
menimbulkan kesamaran (syubhat) menurut pandangan sebagian ulama, walaupun
sebagian pedagang (produsen) beralasan bahwa hadiah yang diberikan itu
diambilkan dari laba atau keuntungannya, hal ini memang masih perlu diteliti. Bagaimanapun,
menerima hadiah tersebut asalkan tujuan pokoknya adalah membeli tidak dipandang
terlarang. Wallahu a’lam.
D.
Penggunaan Ayat
Al-Quran dan Suara Azan Sebagai Nada Dering HP
Teknologi
tidak pernah berhenti berkembang. Namun sejumlah temuan-temuan baru teknologi
ternyata memunculkan perdebatan pro-kontra antara para ulama. Ring tone atau
nada dering yang begitu banyak variasinya dalam telepon genggam, awalnya tidak
pernah menjadi perhatian apalagi mengundang perdebatan ulama.
Bunyi ring tone, yang mulanya hanya merupakan nada panggil biasa,
kemudian berkembang menjadi lagu-lagu, dan berkembang lagi pada pembacaan ayat
suci Al-Quran. Perkembangan nada panggil berupa ayat suci Al-Quran lah yang
kemudian memicu perbedaan pendapat para ulama. Boleh atau tidak, haram atau
halal bila nada dering itu berisi bunyi ayat-ayat Al-Quran?
Tidak sedikit umat Islam yang menggunakan nada panggil telepon seluler miliknya berupa pembacaan ayat suci Al-Quran atau suara azan, atau do'a.
Tidak sedikit umat Islam yang menggunakan nada panggil telepon seluler miliknya berupa pembacaan ayat suci Al-Quran atau suara azan, atau do'a.
Dr. Ahmad Thoha Rayan, memandang tidak boleh menggunakan nada
panggil yang berisi suara bacaan Al-Quranul Karim. Ia beralasan, karena
Al-Quran yang dibacakan itu seharusnya diperhatikan bacaannya dan direnungkan
isinya (ditadabburi), bahkan juga harus disertai adab dan etika tertentu untuk
membacanya seperti dengan "ta'awudz" dan "basmalah". Semua
alasan itu, tidak mungkin dilakukan oleh para pemilik telepon genggam.
Sementara tentang nada panggil bersuara azan, Dr. Rayan juga
mengatakan tidak membolehkannya. Karena ini mungkin saja memunculkan kekacauan,
keraguan, salah tanggap, bagi orang yang mendengarnya ketika bukan di waktu
awal shalat. Ia juga menegaskan alasannya bukan hanya itu, tapi karena azan
adalah syiar suci yang mempunyai waktu dan tempat sendiri untuk dilantunkan.
Dan itu semua wajib dihormati.
Di Mesir dan Saudi, fatwa sejumlah ulama juga tidak jauh berbeda.
Dr. Ali Jam'ah, Mufti Mesir telah memfatwakan haramnya menggunakan bunyi
pembacaan ayat suci Al-Quran dalam telepon genggam yang dijadikan nada panggil.
Pengharaman yang disampaikan Dr. Ali Jam'ah, adalah pengharaman yang mutlak
sifatnya karena hal tersebut dianggap menodai kesucian Al-Quranul Karim yang
diturunkan Allah swt untuk peringatan, dan membacanya adalah ibadah. Bukan
digunakan untuk hal-hal yang keluar dari lingkup tujuan diturunkannya.
Sementara Syaikh Mahmud Asyur, tokoh Al-Azhar Mesir dan anggota
Majma' Buhuts Islam (forum Kajian Masalah Islam), juga mengatakan hal yang
sama. Katanya, "Al-Quran diturunkan dari langit bukan untuk digunakan
sebagai urusan yang justeru menyepelekan Al-Quran seperti menjadikannya sebagai
nada panggil." Sejumlah ulama lainnya juga menyatakan hal yang hampir
sama. Haram. Termasuk Syaikh Shalih Syamrani, Dosen Ma'had Ilmi di Jeddah yang
berada di bawah Universitas Imam Muhammad Ibnu Saud. Ia melarang penggunaan
Al-Quran dan azan sebagai nada panggil di telepon. Hanya saja, Dr. Salwa Basusi, Dosen Fiqih Fakultas Studi Islam di
Al-Azhar Mesir, lebih lunak sedikit. Ia tidak mengharamkan dan tidak pula
membolehkan. Ia hanya menyebutkan, menggunakan suara pembacaan Al-Quran dan
azan dalam nada panggil adalah makruh.
Sehingga
tidak menggunakannya dianggap lebih utama dan lebih baik. Selain para ulama
tersebut, memang ada yang tidak terlalu menganggap hal ini terlarang. Mereka
lebih mengkaitkan soal adab dan etika. Jangan sampai, bunyi ayat Al-Quran yang
dibaca terpotong di tengah ayat, sehingga memunculkan arti yang kacau. Atau,
jangan sampai kalimat "Allahu Akbar" terpotong menjadi "Allahu
Ak.. " karena si pemilik menjawab teleponnya. Bahkan yang lebih berbahaya,
jika kalimat "Laa ilaaha illallah" terpotong menjadi "Laa
ilaah.. " yang berarti tidak ada tuhan, sehingga kalimat itu menjadi
syirik.
BAB III
ANALISIS
A. Fiqih
Memasuki Era Modern
Memasuki
era modern, fiqih dalam Islam mengalami penurunan dalam penggunaan oleh
masyarakat. Fiqih yang sebenarnya mencakup segala hal dalam kehidupan manusia,
mengalami degradasi dalam cakupan pengertiannya terutama di kalangan masyarakat
awam yang memahami fiqh hanya mengatur tata cara beribadah secara ritual.
Pemerintah di berbagai negara mulai menerapkan apa yang disebut sekulerisme
yang memisahkan kehidupan agama dari kehidupan politik dan sosial. Fiqih yang
tadinya dipakai sebagai dasar negara dakam mengambil keputusan mulai dipisahkan
dari kehidupan kenegaraan karena dianggap tidak dapat menjawab segala masalah
yang muncul di era modern. Bahkan sebagian orang berpikir bahwa agama
menghambat kemajuan. Hal ini dikarenakan para ulama tidak berani berijtihad
dalam mengambil keputusan hukum tentang suatu topik dan masalah
aktual-kontemporer yang relevan dengan kehidupan kini.
Pada
akhir abad ke 20, beberapa negara berkembang mulai memeriksa kembali struktur
hukum mereka dan memantau dari segi Al Qur’an dan hukum tradisional Islam yang
ternyata terbukti lebih baik dari sistem imperialisme yang diterapkan
negara-negara barat.
B. Sebab-sebab
Timbulnya Fiqih Kontemporer
Masyarakat
Islam dituntut untuk mengikuti perubahan sosial dan sejarah dalam dunia modern.
Masalah fiqih kontemporer ini mencakup hal-hal yang terjadi akibat perkembangan
zaman dan teknologi. Contohnya dalam hal telepon dan fungsinya apakah dapat
digunakan sebagai lebih dari sekedar alat komunikasi, juga permasalahan dalam
kedokteran modern, apa saja pandangan Islam terhadap sistem-sistem pemerintahan
yang muncul di era modern, dan lain sebagainya.
Tentu saja semua itu memerlukan jawaban yang ditopang dalil-dalil yang kuat, argumentatif, dan komparatif. Maka muncullah pemikir-pemikir besar di kalangan ulama Islam terutama yang berusaha mencari jawaban atas segi fiqih suatu permasalahan yang muncul akibat perkembangan zaman. Salah satunya adalah Dr. Yusuf Qardhawi dari Mesir, beliau mengeluarkan fatwa-fatwa tentang permasalahan yang dihadapi atau dialami umat Islam. Yang mencoba mengembalikan fungsi Islam sebenarnya yaitu bukan sebagai agama saja tetapi juga sebagai cara hidup manusia secara keseluruhan.
Tentu saja semua itu memerlukan jawaban yang ditopang dalil-dalil yang kuat, argumentatif, dan komparatif. Maka muncullah pemikir-pemikir besar di kalangan ulama Islam terutama yang berusaha mencari jawaban atas segi fiqih suatu permasalahan yang muncul akibat perkembangan zaman. Salah satunya adalah Dr. Yusuf Qardhawi dari Mesir, beliau mengeluarkan fatwa-fatwa tentang permasalahan yang dihadapi atau dialami umat Islam. Yang mencoba mengembalikan fungsi Islam sebenarnya yaitu bukan sebagai agama saja tetapi juga sebagai cara hidup manusia secara keseluruhan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Latar belakang munculnya isu Fiqh kontemporer yaitu akibat adanya arus
modernisasi yang meliputi hampir sebagian besar Negara- Negara yang dihuni oleh
mayoritas umat islam. Modernisasi tersebut melahirkan berbagai macam bentuk
perubahan baik secara struktural maupun kultural.
Teks Al-Qur’an tentunya tidak mengalai perubahan, tetapi pemahaman dan
penerapannya dapat disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Karena
perubanhan sosial merupakan suatu proses kemasyarakatan yang berjalan secara
terus menerus, maka perubahan penerapan dan pemahaman ajaran islam juga harus
bersifat kontinu sepanjang zaman. Dengan demikian islam akan tetap relevan dan
aktual, serta mampu menjawab tantangan modernitas.
Ruang lingkup fiqh kontemporer meliputi aspek hukum keluarg, aspek ekonomi,
aspek pidana, aspek kewanitaan, aspek medis,aspek teknologi,aspek politik
(kenegaraan), dan aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar, Muhammad. 1996. Fiqh Kontemporer.
Yogyakarta: Lesiska.
Arifin, Bustanul, Prof Dr. H. SH., dan Prof Dr H.M. Atho
Mudzar, Permasalahan
Fiqih Kontemporer dalam Keluarga Islam. Jakarta : Gema Insani Press. 2002.
Voll, John Obert, Islam : Continuity and Change in the Modern
World, Essex England :
Westview Press Inc., 1982.
Qardhawi, Yusuf, Dr., Fatwa-fatwa Kontemporer : Jilid 2. Jakarta :
Gema
Insani Press. 1995. Eramuslim, Jumat, 5 Jan 07 11:30 WIB (www.eramuslim.com)
Insani Press. 1995. Eramuslim, Jumat, 5 Jan 07 11:30 WIB (www.eramuslim.com)
0 komentar:
Post a Comment